"Stevina," panggil Vriska. "Tuh kan panjang bener."
"Kenapa emang?" Tanya Vani sambil menyeruput cokelat panasnya.
"Gimana kalau kita panggil Stevina dengan sebutan Vin aja? Biar singkat sih," usul Vriska.
"Ntar Clara keinget si doi lagi. Revin kan juga dipanggil Vin sama anak-anak. Hahaha.." ejek Vani.
"Ih.. Gue biasa aja kali ya," protes Clara.
"Gimana? Boleh kan Stevina?"
Stevina setuju-setuju saja. Tapi mendengar Revin juga dipanggil Vin, perasaannya jadi aneh.
"Ehh iya gue lupa." Clara melirik jam tangannya.
"Kenapa? Lupa apaan?" Tanya Vriska.
"Jadi gini. Gue udah mesen tiket nonton buat kita berempat. Yuk nonton yuk."
"Ihh seriusan lo? Nonton film apa?" Tanya Vani antusias.
"Nih liat. Ini film yang kita tunggu-tunggu itu loh." Clara menyodorkan ponselnya. Memperlihatkan tiket yang ia pesan via online. "Yuk ah biar ga telat."
"Waw... Beneran udah dipesen dong."
"Yeyyy.. Nonton.." girang Vriska.
"Yuk buru.."
Keempat gadis itu bersiap dan segera turun ke basement.
Tiba di basement, ada saja masalah yang mampir.
"Ah.. Motor gue kumat," keluh Clara.
"Yahh.. Kalian naik apa dong?" Keluh Vani. Sepulang sekolah tadi, Stevina pulang dengan Clara menggunakan motor Clara.
"Yaudah kita berempat barengan aja naik taksi," usul Vriska.
"Motor kita gimana?" Tanya Clara.
"Tunggu." Stevina berlari entah kemana.
"Okey Vin."
Vriska melirik motor Clara. "Hm.. Ciri-ciri minta ganti motor baru nih kayaknya," celetuk Vriska.
"Oh jelas... Entar ngekode dulu dong sama bokap."
"Hahaha.. Dasar."
Selang beberapa menit kemudian, sebuah mobil mini berwarna ungu mendekati mereka. Si pengendara membuka kaca mobil. "Yuk masuk."
"Ste.. Stevina?" Mereka bertiga terdiam keheranan sesaat. Apa mereka tidak salah lihat?
"Geez. Vriska, ini kan mobil idaman gue. Mobil.."
"Sst.. Ga usah sebut merk Van!" Potong Vriska.
"Jadi selama ini dia pura-pura miskin?" Bisik Vani.
Melihat reaksi teman-temannya, Stevina tak kuasa menahan tawa. "Guys?" Panggil Stevina. "Kalian gamau masuk?"
"Eh.. I.. Iya..."
"Lo masuk dong ngapain diem?!" Seru Vani.
"Ihhh.. Terus lo juga ngapain diem aja?!" Balas Vriska.
"Udah buruan masuk lo bacot!"
"Gue duduk di depan pokoknya!" Seru Clara. "Minggir kalian!"
Stevina tertawa mendengar ocehan mereka. Setelah memastikan semua temannya sudah naik tanpa ada yang kurang, mobil Stevina meluncur meninggalkan basement.
Di dalam mobil, semua mendadak terdiam. Mereka yakin seratus persen, Stevina tidak akan memulai percakapan lebih dulu.
"Lo kenapa harus naik taksi ke sekolah Vin?" Tanya Clara memulai percakapan. Ia tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Vin, ini tuh mobil idaman gue tau ga sih. Kalau gue jadi lo sih, udah gue bawa ke sekolah nih tanpa pikir panjang," celoteh Vani.
"Mm.. ga mood aja gue nyetir ke sekolah."
Jawaban itu membuat ketiganya mati kutu.
"Oooo... Gitu," sahut Clara.
"Ehh btw entar abis nonton bantu gue pilih dress ya," pinta Clara. Ia berusaha mengalihkan topik.
"Ohh iyaa.. Bentar lagi ada party nih," celetuk Vriska. "Malah gue yang ga sabar nih. Clara, undang doi gue dong ke pesta lo. Mumpung gue bakal tampil cantik biar dia selera liat gue."
"Mulai.. Mulai.."
"Gegaya lo!"
"Udah.. Gue tau kalian iri karena ga punya gebetan kan? Ngakuu.."
"Belagu lo!"
"Udah jomblo ga usah sedih."
❄❄❄
"Lo kenapa Vin?" Tanya Vani yang sedari tadi memperhatikan wajah gundah Stevina.
"Engga kenapa kok," jawab Stevina berbohong. Sebenarnya ia tidak terlalu suka film komedi. Entahlah, tetapi humornya tidak berfungsi.
Sekarang ini ia ingin menonton film horor yang sudah ia tunggu-tunggu. Tapi tentu tidak mungkin hari ini. Ia menghargai Clara yang sudah memesan tiket film komedi untuk dirinya.
"Beli popcorn aja yuk."
"Boleh."
Film yang diputar berdurasi sekitar satu jam lebih. Usai menonton, mereka makan untuk mengisi tenaga sebelum membantu Clara memilih dress. Percayalah, menemani perempuan berbelanja tidaklah cepat dan mudah.
Seharian itu mereka berempat menghabiskan waktu bersama sampai malam.
❄❄❄
Lelaki yang baru datang dengan moge merahnya itu kini menjadi pusat perhatian di SMA Vrekodara pagi itu.
Gadis-gadis kegirangan dan salah tingkah. Semua itu karena ulah si ketua OSIS idola mereka.
Gadis-gadis semakin menjerit ketika Revin membuka helm. Seperti biasa, rambutnya terlihat segar karena pomade. Membuat ketampanannya bertambah dua kali lipat.
"Dia ganteng banget Ya Tuhan."
"Meleleh gue."
Dari parkiran, Revin melangkah menuju kelas. Pandangan para gadis masih tertuju padanya.
Melewati koridor kelas, tubuh beraroma mint khas Revin membuat para gadis semakin gemas hingga meremas rok mereka sendiri.
"Cool banget wanginya."
"Yaampun aromanya buat gue mabuk cinta."
"Lewat lagi dong kak.."
Mendengar suara keributan, Stevina melihat ke sumber dari atas rooftop. Ia melihat para gadis yang bersikap aneh dan seseorang yang berjalan melewati mereka. Seseorang itu adalah Revin.
Kini ia mengerti apa yang para gadis itu ributkan. Ia sekarang paham. Ternyata Revin memang sepopuler itu. Stevina melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena hal yang tidak berfaedah. Ia lanjut membuka YouTube di laptop.
Revin melewati para gadis pemimpi itu dengan raut wajah cool khasnya. Senyum hangatnya hanya untuk gadis pujaan hatinya yang sekarang entah sudah berada di kelas atau belum.
Tiba di kelas, suasana tambah heboh. Revin melewati kerumunan para gadis yang sedang heboh membahas sesuatu dengan Clara. Entah membahas apa, ia tidak peduli. Revin menghampiri bangku Nina.
"Nin, dia udah dateng belum?"
"Tadi udah sih. Tapi gatau deh dia kemana."
Tanpa meletakkan tas, Revin langsung pergi menuju tempat yang ia yakini kalau Stevina ada di sana.
Revin melangkah cepat menuju rooftop. Takut ada yang mendahuluinya.
Sampai di sana, ia lega melihat Stevina masih di sana sendirian. Revin bergerak mendekatinya.
"Pagi nona Stevina," sapa Revin.
Stevina menoleh. Ia melepas headset di kepalanya.
Revin menarik sebuah kursi dan duduk tepat di depan Stevina. Matanya menatap lekat-lekat wajah gadis di hadapannya.
Gadis itu tidak ada niat untuk mengatakan apa-apa. Ia hanya diam. Menunggu Revin saja yang membuka obrolan. Jemarinya fokus mengetik. Entah mengetik pesan untuk siapa.
"Gue mau bilang sesuatu sama lo."
"Stevina.." panggil sebuah suara yang mengganggu aksi Revin. Stevina dan Revin menoleh bersamaan. Ternyata Nina yang datang.
"Yaampun beneran di sini dong. Gue kira lo bercanda bilang di rooftop." Nina berlari kecil menghampiri mereka.
Revin senang. Ternyata tadi Stevina chatting dengan Nina. Bukan dengan lelaki lain.
"Eh, Revin. Ngapain lo di sini?" Tanya Nina. Ekspresinya terlihat senang melihat Revin bersama Stevina. Tapi ia juga merasa bersalah karena datang di saat yang tidak tepat.
Revin tak menjawab. Boleh gue lanjutin?" Tanya Revin kepada Stevina.
Stevina mengangguk pasrah.
"Gue suka sama lo. Gue mau lo jadi pacar gue."
Deg!
Suasana hening seketika. Saking heningnya sampai terdengar suara semilir angin.
Stevina melirik Nina yang juga tengah meliriknya. Ia tidak habis pikir mendengarnya. Saat itu benar-benar momen canggung dan mendebarkan. Nina pun ikut canggung. Ia merasa menjadi perusak suasana di sana. Lagipula, kenapa Revin harus mengatakan itu saat masih ada dirinya.
"Em.. Eh, oh iya, ini buku yang lo mau pinjem." Stevina menyodorkan buku kepada Nina yang tampak kikuk.
"Ohh.. Iya.. Thanks. Nanti pulang sekolah gue balikin. Emm.. Oh ya, gu.. gue duluan yah." Nina berlari meninggalkan rooftop, Revin, dan Stevina.
"Eh.. Nina.. Tunggu.." lirih Stevina. Suasana kembali canggung.
Revin mendekatkan wajahnya ke wajah Stevina. "Gue ga bohong. Lo cewek pertama yang buat gue sayang."
Stevina mendadak bisu. Ia menarik napas dalam-dalam. "Revin, lo belum bener-bener kenal siapa gue. Dan gue juga belum bener-bener kenal sama lo," ujar Stevina datar. Ia memberesi barang-barangnya dan buru-buru pergi meninggalkan Revin.
Penolakan. Ya, penolakan.
Revin tercengang. Ia baru saja mengalami penolakan. Rasa sedih dan kecewa seketika menyelimuti. Revin berbalik badan. Ia melangkah pelan menuju ujung rooftop. Matahari yang baru terbit terlihat begitu jelas.
Revin menunduk. Seumur hidup, ini kali pertama ia merasakan penolakan. Revin malah terkekeh sendiri. Ternyata sesakit ini rasanya penolakan.
Stevina yang juga melihat sunrise, membatalkan niatnya meninggalkan rooftop. Ia teringat sesuatu dan sedikit berlari menuju pinggir rooftop. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari kantong bajunya dan buru-buru membuka kamera. Ia harus lekas mengabadikan gambar sunrise di hadapannya itu. Persetan dengan apa yang baru saja terjadi. Tugas ini lebih penting.
Revin memperhatikannya. "Pasti buat tugas dokumentasi Seni Budaya."
Stevina melirik Revin sekilas dengan sedikit tidak enak hati.
Revin mengeluarkan dua botol susu segar. "Nih, buat lo."
Stevina terdiam memperhatikan Revin dan botol susu itu.
Revin terkekeh. "Tenang aja, susu ini ga beracun kok."
Stevina meletakkan kembali ponselnya dan menerima susu pemberian Revin.
"Makasi."
Tanpa disengaja, keduanya menenggak susu dan menoleh secara bersamaan ke arah sunrise dari atas rooftop sekolah. Keduanya sama-sama terpukau menyaksikan keindahan pagi itu. Mereka berdua juga sama-sama bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
❄️❄️❄️
"Vin, anter ke toilet dong," pinta Vani kepada Stevina.
Revin menoleh ke sumber suara.
"Apa sih lo liat-liat?" Ketus Vani.
Revin mengira Vani memanggilnya. Stevina melirik Revin yang tampak kebingungan.
Baru setelah Stevina dan Vani berlalu, Nina menoleh ke bangku Revin. "Sekarang mereka manggil Stevina itu dengan sebutan Vin. Tapi Clara doang yang enggak manggil sebutan itu setau gue."
Revin cukup senang dengan panggilan baru Stevina yang membuat mereka tampak serasi.
"Hmm.. Seneng kan lo," sindir Nina. "Eh btw, lo tu jangan main ngegas dong. Tahan dikit kek. Tunggu gue pergi dulu lah baru nembak Stevina. Aneh banget sih lo."
Ucapan Nina membuatnya teringat penolakan itu lagi.
Hari itu Revin kurang bersemangat. Ternyata seperti ini rasanya penolakan. Walau hatinya cukup sedih karena penolakan Stevina, ia tetap yakin. Stevina akan jadi miliknya. Pasti, suatu saat nanti, dan secepatnya.
❄❄❄
Stevina terdiam di kamar mandi sekolah sambil berpikir keras. Ini karena ia baru saja datang bulan di sekolah. Saat itu ia tidak mengenakan pembalut karena tidak tahu tamu bulanan itu akan datang sekarang. Baru kali ini ia tidak merasakan apa-apa menjelang datang bulan. Sialnya lagi, ia tidak membawa HP karena tertinggal di kelas.
Stevina mengintip keluar. Tidak ada orang. Tidak ada yang bisa ia mintai pertolongan.
Ia melirik ke arah toilet putra yang berhadapan dengan toilet putri. Seketika pintu masuk toilet putra terbuka. Seseorang yang membuka pintu itu melihat wajah Stevina. Ia juga melihatnya. Orang itu ternyata Revin.
Refleks, Stevina tidak sengaja menutup pintu dengan keras.
"Lo ngapain ngintip begitu?" Tanya Revin.
Perlahan, Stevina membuka sedikit pintu toilet. Ia hanya memunculkan kepalanya.
"Lo kenapa? Ada yang bisa gue bantu?" Tanya Revin.
Stevina cukup malu untuk menjawabnya. "Em.. Gini. Emm.. Eh, gue beneran boleh minta tolong kan?"
"Boleh banget."
"Bisa panggilin Clara, Vani atau Vriska ga? Salah satu dari mereka deh."
"Panggilin buat apa? Harus jelas dong."
Stevina ingin marah tapi sadar ia sedang meminta tolong. "Gapapa panggilin aja."
"Biar gue aja yang tolongin lo."
"Lo ga akan bisa. Lo pasti gengsi, " jawab Stevina sedikit gemas.
"Gue ga bisa?" Tanya Revin dengan nada angkuh. "Kenapa gue ga bisa?"
Stevina mengelus dada berusaha bersabar. "Gue lagi datang bulan Revin. Gue butuh pertolongan mereka buat beli pembalut. Jadi jangan banyak tanya dan tolong panggilin mereka."
"Yaudah gue yang beliin."
"Hah? Serius? Ini pembalut loh."
"Iyaa terus kenapa? Yaudah lo tunggu bentar. Biar gue beliin."
Stevina merogoh kantong bajunya. "Ini uangnya.. Ehh Revin.. Uangnya.."
Revin malah nyelonong pergi begitu saja.
Lima menit menunggu, akhirnya Revin tiba juga. Stevina membuka pintu toilet. Revin menyodorkan sebuah kresek hitam.
"Mm.. Makasi banyak," ujar Stevina.
Revin langsung bergegas pergi.
Stevina buru-buru memakai pembalut dan langsung keluar dari toilet.
Di koridor kelas, Stevina melirik ke arah lapangan basket. Revin berdiri di ujung sana bersama teman-temannya. Tetapi pandangan matanya mengarah ke Stevina.
Stevina sampai menunduk karena masih malu. Tapi ia kemudian mendongak, melirik ke arah Revin, dan melempar senyuman terima kasih.
❄️❄️❄️
"Revin," panggil Clara sepulang sekolah.
Revin menoleh. Pandangannya malah fokus pada Stevina yang berdiri di belakang Clara bersama gengnya.
"Gue mau ngundang lo ke acara ulang tahun gue." Clara menyodorkan kartu undangan.
Revin hanya menatap kartu undangan itu. "Lo dateng?" Tanya Revin. Pandangannya mengarah ke Stevina. "Gue bakal dateng kalo Stevina dateng."
Ucapan Revin sontak membuat semua pandangan mengarah pada Stevina. Clara merasa kaget dan cemburu. Vani dan Vriska juga kaget dan bertanya-tanya apakah Revin menyukai Stevina? Sementara Stevina mendadak mati kutu. Lidahnya terasa kelu.
"Ya dateng lah. Heran gue sama pertanyaan lo," ketus Vani. Revin tak menyahut. Ia menatap Stevina. "Yaudah. Karena ada Stevina, gue bakal dateng," ujar Revin dan berlalu pergi.
Stevina baru tahu kalau ternyata Revin sedingin itu kepada gadis lain.
Suasana menjadi hening seketika.
"Cie.. Revin suka ya sama lo," goda Clara dengan nada yang aneh. Stevina tidak tahu harus mengatakan apa. Lidahnya masih terasa kelu.
"Emm.. Eh, gimana kalau kita ke mall?" Usul Vriska memecah suasana canggung.
"Ide bagus," celetuk Clara. Walau perasaannya gundah, ia tetap bersikap biasa. Clara memasang fake smile. Vani dan Vriska paham benar apa yang sahabat mereka rasakan sekarang. Tetapi mereka masih bingung. Benarkah Revin menyukai Stevina?
Di mall saat sedang makan, tingkah Clara semakin aneh.
"Clara, makan. Jangan dianggurin lah makanannya," nasihat Vani.
"Oh iya. Udah dateng ya makanan gue."
"Udah dari tadi Clara.." sahut Vani sedikit gemas.
Tringg
Kali ini Clara menjatuhkan sendoknya.
"Eh maaf. Gue ga fokus."
Melihat Clara seperti itu, Stevina semakin merasa bersalah. Vani dan Vriska hanya diam tidak berkomentar.
❄❄❄
Tamu-tamu berdatangan dan memberi selamat kepada Clara. Semua teman seangkatan diundang untuk menghadiri pesta ulang tahun Clara yang diadakan di Golden Pool. Clara memang menyukai pesta tema outdoor.
"Gue jadi pengen nyebur," ujar Vriska sambil menatap air kolam renang yang tenang.
"Jangan malu-maluin lo. Kaya orang ga pernah berenang aja," ketus Vani.
Vriska mendengus. "Vin kok lama ya?" Tanyanya sambil menyeruput Blue Ocean.
Revin yang akhirnya datang, duduk bersama Rendi dan Nina.
"Andai aja gue tau kalau Stevina ga akan ke sini," keluh Revin.
"Ya sabar lah. Ga mungkin dia ga dateng ke acara temen deketnya," jelas Nina. "Tunggu aja."
"Nah, itu Vin." Vriska menoleh ke arah parkiran. Sebuah mobil yang ia kenal terlihat sedang mencari tempat parkir.
Teman-teman yang lain ikut menoleh ke parkiran.
"Loh, itu bukannya Stevina?"
"What the..?"
"Hah? Setau gue dia ga pernah bawa kendaraan deh ke sekolah. Bukannya dia selalu naik taksi?"
"Iyaa.. Gue kira dia misk.."
"Heh!!"
Gadis-gadis mulai bergosip.
"Vin.." Panggil Vriska heboh. Stevina mendongak melihat Vriska yang sedang melambai di lantai tiga tempat pesta diadakan. Stevina tersenyum dan balas melambai.
"Ga di sekolah, ga di acara, datengnya pasti sepuluh menit sebelum acara mulai." Vani geleng-geleng kepala.
"Ciri khas Stevina," celetuk Vriska.
"Ehh iyaa.. Bantu gue perbaiki make up dong," pinta Vani.
"Boleh. Sini make up lo."
Vani merogoh isi tasnya dan mengeluarkan beberapa peralatan make up. "Nih.."
"Alis dulu ya," saran Vriska.
"Buru.."
"Lo diem ya. Bikin alis itu susahnya setengah hidup."
"Nyenye!" Ejek Vani.
"Bentar gue ngaca dulu," pinta Vani. "Ga terlalu tebel kan? Muka gue no make up sama make up ga beda jauh kan?"
"Engga ih. Emang kenapa sih?"
"Ya engga sih. Kalau beda jauh kan takutnya doi illfeel. Hehe.."
"Biarin aja ih. Salah dia dong terlalu berharap," ujar Vriska.
"Bukan salah dia yang terlalu berharap, tapi gue yang namanya nipu. Gilak ih," balas Vani.
"Ahh udah gaapa biarin."
"Yee.. Jangan dong. Bayangin aja lo udah seneng ketemu cowok tajir. Ehh ternyata itu semua hasil minjem. Aslinya dia ga tajir. Gimana? Nyesek ga lo ditipu?"
"Hum.. Iya juga ya."
"Makanya, posisikan diri aja intinya."
Beberapa detik kemudian, obrolan para tamu terhenti. Semua pandangan kini tertuju pada gadis yang baru datang itu. Gadis anggun yang mengenakan dress brokat berwarna pink selutut dengan ikat pinggang cokelat itu berhasil mencuri perhatian. Kedua tangannya memegang sebuah kotak kado.
Semua berbisik-bisik membicarakan Stevina.
"Kaya orang Korea cantiknya."
"Isss iya cantik banget."
"Tenang, masih cantikan kita."
"Gue akui dia cantik. Gue aja demen, gimana kaum adam ya?"
"Gue denger-denger, di sekolah lamanya dia itu famous karena prestasi sama kecantikan dia. Kalian inget David gak? Dia mantan pacar David loh," gosip Trisha.
"Hah? David temen SMP kita? Si ketua OSIS itu? Yang sekarang udah menik..."
"Sst.. Ga usah dilanjutin."
"Girls, kayanya cowok kita pada ngeliatin Stevina deh."
"Uhuk." Vriska sampai tersedak mendengar berbagai komentar itu. Tawanya pecah seketika. Sementara Vani hanya cengar-cengir.
"Temen kita kayanya emang seleb sekolah ya Vris?" Canda Vani.
"Haha iya juga."
Clara menatap Stevina yang tampaknya sedang mencarinya. Pandangan Clara kini beralih ke arah Revin.
Seperti dugaannya, Revin tersenyum senang melihat kedatangan Stevina. Clara berusaha positif dan tetap memasang senyum. Walau perasaannya sedang kacau. Ternyata benar. Lelaki yang ia sukai itu malah menyukai temannya sendiri.
"Stevina," Clara melambai. Stevina tersenyum. Langkah kakinya segera menuju Clara.
"Happy born day." Stevina menyodorkan kado. Clara memeluk Stevina.
"Thank you Vin."
Stevina terperangah. Baru kali ini sebutan Vin keluar dari mulut Clara.
"Vin, Clara, foto yuk." Vani dan Vriska datang mengajak berfoto. Nina membantu memotret mereka menggunakan kamera milik Vriska.
"Selamat hari menetas Clara.." Vani memeluk Clara.
"Lo kira ayam," sahut Vriska. "Ehh Vin. Penampilan lo bener-bener kaya royal bloodline tau ga sih."
"Banyak yang gibahin lo tuh," sambung Vani.
"Hm.. hehe.."
Malam itu, pesta ulang tahun Clara berlangsung meriah di luar ekspektasi Stevina. Kembang api turut menghiasi langit malam itu.
Revin sedari tadi hanya minum bersama teman sekelas dan beberapa teman OSIS sambil memikirkan cara untuk mendekati Stevina.
"Mikirin Stevina?" Sindir Rendi sambil terkekeh.
"Kenapa lo?" Tanya Revin.
"Lo dari tadi ngeliatin tuh cewek. Cantik juga dia."
"Diem ya lo. Inget, lo udah ada Nina," ketus Revin dingin.
Rendi tertawa. "Santai Vin santai."
Revin bangun dari duduknya.
"Woy Vin. Dateng juga lo," celetuk Nino, teman sesama OSIS yang baru datang. Revin mengacuhkan Nino dan melangkah pergi.
"Gilak. Gue samperin malah pergi tu manusia."
"Mau modus dia," celetuk Rendi.
"Seriusan lo? Sama siapa?" Tanya Nino.
"Lo liat aja dia kemana," jawab Rendi.
Revin berjalan pelan menuju tempat Stevina berada. Gadis yang ia cari itu sedang berdua saja dengan Vriska. Aman tanpa Vani yang selalu bersikap barbar dan pastinya akan menghancurkan suasana.
Revin memandangi Stevina. Tangan kanan Stevina memegang segelas Mojito. Kali ini ia bisa melihat senyuman Stevina yang sedang berbincang dengan Vriska.
Sudah lama ia tidak melihat senyuman itu.
Sementara itu, dari jauh Rendi dan Nino memperhatikan Revin.
"What? Stevina? Serius? Ah.. Itu kan cewek yang gue incar," keluh Nino.
"Ahahaha.. Iya. Dia suka sama Stevina. Gws buat lo," canda Rendi.
"Ahh sial," keluh Nino.
"Ngalah aja bro," sahut Rendi sambil tertawa.
Vriska melirik ke arah Revin yang sedang mengambil segelas Mojito. Ia tahu siapa yang ingin Revin lihat. Vriska membisiki sesuatu kepada Stevina.
Stevina beranjak bangun. Revin dengan sigap mengawasi gerak-gerik Stevina. Ia berniat mengikuti gadis itu. Stevina berpura-pura berjalan seperti biasa seolah tidak tahu Revin mengikutinya. Ia menghampiri Vani yang tampak serius berbincang dengan tim ekstranya.
Revin ikut menetap di kerumuman yang tak jauh dari Stevina. Para gadis di sekitar Revin mendadak panas dingin dan salah tingkah.
Langkah selanjutnya, Stevina menghampiri Clara dan kerumunannya. Revin melakukan hal yang sama seperti tadi.
"Revin, foto yuk." Beberapa gadis kelas lain mengajak Revin untuk berfoto. Revin menatap mereka dengan tatapan dinginnya selama beberapa detik.
Ia menolak dengan menjauh dari kerumunan itu. Stevina melihat itu semua. Ini semua memang bagian dari rencananya. Revin pasti tidak akan tahan berada di kerumunan para gadis. Stevina lega melihat Revin berhenti mengikutinya. Ia langsung bergegas menuju toilet.
Di toilet, Stevina berkaca melihat dirinya sendiri. Ia perlu bernapas. Berada di toilet yang sepi membuatnya sedikit tenang. Suka berada di tempat ramai bukanlah tipenya.
Tapi sepertinya anemianya kumat. Ia merasa pusing dan tubuhnya sangat lemas.
Brak
Seseorang membuka pintu toilet dengan kasar. Stevina terkejut bukan main.
"Revin? Buka pintunya biasa aja dong. Kaget gue!"
"Gue ga suka buang-buang waktu." Revin berjalan pelan mendekati Stevina. Semakin mendekat sampai Stevina menempel di dinding seperti cicak.
Revin mengapit Stevina dengan kedua tangannya yang bertumpu di tembok. "Kenapa lo sulit dimengerti?"
"Kadang gue sendiri juga ga ngerti sama diri gue. Jangan coba-coba buat ngertiin gue. Lo ga akan pernah berhasil."
Revin tersenyum sinis. "Gue udah pernah cium lo."
"Hah?" Stevina mengerutkan keningnya.
"Iya. Waktu lo pingsan."
"Cih.. Lo main curang."
"Main curang?" Revin tersenyum sarkas. Ia mencium pipi Stevina secepat kilat.
"Ih.. Sialan lo ya." Stevina melayangkan tangannya. Revin menahan kedua tangan Stevina yang sudah bersiap menamparnya.
"Stevina, lo harus jadi pacar gue."
Stevina berdoa agar ia tidak terlihat lemah lagi di hadapan Revin kali ini. "REVIN!!" Pekik Stevina sambil mendorong Revin sekuat tenaga. "Ga waras lo!"
Stevina berlari keluar.
"Stevina.." panggil Revin. Ia bergegas mengejar gadis itu.
Stevina sengaja berjalan dekat sekali dengan pinggiran kolam. Ia meninggikan langkahnya ketika melewati tangga besi kolam renang.
Revin yang berlari, menabrak tangga kolam renang karena lengah. Akhirnya ia tercebur ke kolam renang. Sesuai dengan rencana Stevina.
Semua tamu undangan terkejut melihatnya. Clara sampai menutup mulut. Vriska beranjak bangun dari kursinya. Vani mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Seketika Stevina menyesal dan mendekat ingin menolong Revin. Tapi terhalang ketika Rendi dan Nino berlari hendak menolong.
Stevina menatap Revin yang juga tengah menatapnya aneh. Stevina memutuskan untuk pergi saja ketika melihat kerumunan teman-teman Revin datang hendak menolong.