Chereads / Ster-Vin / Chapter 6 - Cute Him?

Chapter 6 - Cute Him?

Revin belum juga datang dari toilet. Padahal orang yang baru datang itu, sudah bersiap memasuki restoran. Bagaimana mungkin Stevina tidak risih, karena ternyata orang itu adalah David.

Stevina memalingkan wajahnya agar tidak dikenali David. Dadanya terasa sesak ketika David berjalan tepat di sebelahnya dan melewati dirinya begitu saja.

Stevina menoleh. Menatap David yang berjalan memasuki restoran seorang diri. Tidak ia sangka kalau hari ini akan berpapasan dengan David.

Stevina berjalan lesu menuju mobil Revin di parkiran.

"Stevina?" Panggil seseorang.

Stevina menoleh. David! Ternyata David yang memanggilnya. Mata David berbinar seolah menemukan harta karun yang telah lama hilang. Matanya menatap sendu wajah Stevina.

David mendekat. "Ternyata bener itu kamu."

"Stop!" Seru Stevina. Walau ada rasa sedikit senang bertemu David, walau ia sangat merindukan David bahkan ingin memeluknya saat ini, tapi rasa sakitnya menenggelamkan semua rasa itu. Yang tersisa hanya rasa kecewa. Stevina bahkan ragu kalau yang David lakukan dengan perempuan lain itu murni karena mabuk.

"Aku juga gatau kenapa aku tiba-tiba pengen makan di sini. Sekarang aku tau. Kita emang ditakdirin ketemu hari ini."

Stevina terdiam mendengarnya.

David mendekat. "Udah lama banget Stevina. Aku kangen kamu. Please.. Kasi aku.." David meraih kedua tangan Stevina.

Stevina menghempas genggaman tangan David. "Urusin aja istri lo. Bukannya kemarin lo ngepost foto bareng dia di Instagram?" Sindir Stevina.

"Stevina." Revin yang baru datang dari kamar kecil, menatap mereka berdua dengan bingung.

Stevina menoleh. Ia berlari menghampiri Revin. "Emm.. Kita pulang sekarang juga. Ayo cepetan."

"O.. Okey. Ayok."

David memperhatikan Revin dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan tajam.

"Stevina berhenti!" Seru David.

Revin menatap Stevina. "Dia siapa?"

"Gue ga kenal orang itu. Ayo kita pergi aja."

David merasa marah karena mengira Revin adalah pacar Stevina sekarang. "Jadi sekarang lo tipe cewek kaya gini hah?"

Langkah kaki Stevina dan Revin sama-sama terhenti. Stevina memutar kepalanya. Menatap David penuh keheranan. Apa maksud kata-kata itu?

Sementara Revin tampak bingung. Ia tidak tahu apa-apa.

"Bagus! Hebat! Sekarang lo jadi cewek yang mau-mau aja dideketin sama cowok kan? Dasar cewek gampangan lo!"

Stevina terpatung. Ia tak percaya akan apa yang ia dengar. David yang ia kenal sebagai sosok yang lembut, sekarang dengan tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan. David yang ia kenal memang sudah hilang.

Revin tidak terima mendengarnya. Ia mendekati David dan menarik kerah bajunya. "Lo pikir lo siapa berani ngomong gitu? Lo gatau aja usaha gue buat dapetin Stevina. Orang kaya lo ga pantes hina Stevina."

David tertawa. "Lo pikir lo siapa? Selamanya Stevina cuma milik gue. Lo denger?" David menarik kerah baju Revin. "Selamanya cuma milik gue," tegasnya.

Revin menghantam wajah David sampai ambruk. Stevina ingin mencegahnya tapi tubuhnya kaku seketika. Beruntung orang-orang disekitar datang melerai dan memisahkan mereka.

❄❄❄

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam di Jakarta. Perlu beberapa menit lagi untuk sampai di apartemen.

Revin menepikan mobilnya. "Lo tunggu di sini bentar."

Stevina mengangguk. Revin berlalu meninggalkan Stevina sendirian di mobil. Stevina melihat sekeliling. Banyak minimarket dan outlet makanan minuman. Mungkin Revin ingin membeli sesuatu.

Stevina mengambil HP di tas dan memeriksanya. Ada lima panggilan tak terjawab dari Angelina. Stevina mengirim pesan agar Angelina tidak khawatir.

Sepuluh menit berlalu, Revin datang dan membawa minuman lengkap dengan camilannya.

"Nih." Revin menyodorkan minuman. Itu adalah minuman favorit Stevina. Ia bingung bagaimana Revin bisa tahu kalau itu minuman favoritnya. Stevina pikir itu hanya kebetulan.

"Makasi udah mau jalan sama gue. Kalau ini, anggap aja hadiah."

Stevina mengangguk. Ia menerima minuman pemberian Revin. Persetan dengan gengsi. Rasa haus dan tergiur minuman favorit membuat Stevina mengesampingkan gengsinya.

"Gue tau lo suka minuman ini dari Instagram lo. Jangan lupa follback gue lah."

Ternyata Revin mengetahuinya dari Instagram. Pertanyaan Stevina terjawab sudah.

Revin mengambil HP di sakunya. Ia memperlihatkan video Stevina saat menyontek tadi dan menghapusnya. "Biar lo ga khawatir," ujarnya lembut.

Stevina menatap Revin yang tengah sibuk membuka bungkus camilan. Ia merasa sedikit tersentuh oleh perlakuan Revin hari ini.

Revin menyetel lagu klasik ala Barat. Mereka berdua sama-sama terdiam. Asyik terbuai dalam lamunan masing-masing.

Perkataan David masih terngiang di otak Stevina. Hatinya seperti ditusuk-tusuk.

"Oh ya, cowok tadi.. Lo.. Kenal?" Revin memberanikan diri menanyakan tentang David.

"Dia orang yang harus gue lupain."

"Jadi lo kenal dia?"

Stevina mengangguk pelan.

"Kalau gue boleh tau, apa yang udah dia perbuat sama lo?"

"Lo seriusan mau denger ini?" Tanya Stevina.

Revin mengangguk yakin.

Setelah terdiam beberapa saat dan menarik napas panjang, akhirnya Stevina bersedia menceritakan kisahnya dari A sampai Z.

"Dia itu mantan gue. Jadi waktu itu..."

Revin mendengarkan dari awal sampai akhir dengan saksama.

Ekspresi Revin malah membuat Stevina tak berhenti tersenyum dan terkekeh pelan.

Revin tidak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar cerita Stevina. Ia tidak habis pikir dengan David yang menyia-nyiakan perempuan spesial yang duduk di sampingnya ini.

"Lo mau sampe berapa jam melongo kaya gini Revin?" Tanya Stevina.

Revin seketika tersadar. "Oh.. Maaf. Kita pulang sekarang. Besok ada yang telat lagi," goda Revin.

"Terus kenapa?"

"Lo lupa ya, kan gue ketua OSIS. Gue bebas nentuin hukuman buat lo." Revin tersenyum penuh arti.

Stevina terkekeh. "Gue ga takut sama sekali, ketua OSIS sombong!"

❄❄❄

"Oke anak-anak jadi tugasnya sudah jelas kan?"

"Jelas bu."

"Kalau kalian mau pakai aktor luar negeri juga boleh."

Revin mengangkat tangan hendak bertanya.

"Ya, bagaimana Revin?"

"Kalau bukan aktor boleh ga bu? Kalau model gimana bu?"

"Model?"

"Iyaa bu. Ibu pasti pernah lihat dia. Setau saya dia masih SMA."

"Oh ya? Emang kamu pernah ketemu sama model itu?"

"Pernah bu waktu dia pemotretan. Saya sih suka sama dia, tapi jelas dia ga suka sama saya."

Seisi kelas termasuk guru malah tertawa mendengar curhatan Revin. Nina dan Rendi tertawa paling heboh.

Mendengar ada kata 'pemotretan', Stevina yang tengah menulis seketika berhenti menulis. Ia melirik sekilas seisi kelas yang tengah tertawa. Lalu ia lanjut menulis lagi.

"Model cantik itu ada di kelas ini bu," tambah Revin.

"Hah? Siapa?" Tanya Nina.

Revin melirik Stevina yang sedang menulis. Entah gadis itu menulis apa.

Merasa tengah diperhatikan, Stevina ikut melirik Revin.

"Model cantik itu lo," ucap Revin pelan sambil memasang senyum cool.

Stevina sedikit salah tingkah dan bingung dibuatnya. Ia sama sekali tidak berpikir kalau yang Revin ceritakan tadi adalah dirinya.

❄️❄️❄️

"Okey. Jadi rapat hari ini kita akhiri. Terima kasih banyak atas partisipasi kalian semua. Silakan melanjutkan aktivitas." Revin menutup rapat OSIS siang itu.

"Nin, kamu nyadar gak?" Tanya Rendi.

"Nyadar banget lah. Kayanya adik kelas sama kakak kelas juga pada nyadar tuh. Revin beda banget ga sih hari ini? Kaya lebih ceria tapi kenapa ya?"

"Mungkin iblis dingin dan sombong yang merasuki jiwa raganya udah musnah," sahut Rendi polos.

"Ahahah.. Rendi jangan gitu."

"Aku mau samperin Nino dulu. Dia belum bayar hutang," ujar Rendi.

"Yaudah sana."

"Sepuluh menit lagi kita pulang," beritahu Rendi sambil berlalu pergi.

Nina mendekati Revin saat ruang OSIS sudah sepi.

"Kayanya ada bau-bau kabar gembira nih. Ada manusia dingin yang berubah ramah soalnya."

"Kabar apaan?" Tanya Revin.

"Ga usah pura-pura kenapa sih? Cerita lah. Stevina kan nih?"

Revin tak menjawab. Ia masih sibuk mengurus berkas di laptop.

"Tuh kan lo ga bisa boong. Keliatan dari mata lo tuh, berbinar. Gimana, lo udah mulai deket sama dia?"

"Nina, lama banget sih." Rendi tiba-tiba muncul di depan pintu ruang OSIS yang terbuka.

"Tuh, dicari pacar lo. Pulang sana."

"Ahh.. Menghindar aja lo. Dasar. Yaudah bye!" Nina berlari menghampiri pacarnya alias Rendi untuk pulang bareng.

❄❄❄

"Nah.. Jadi ini ruangan khusus kucing-kucing manis gue," ujar Clara. Stevina berdecak kagum. Bagaimana mungkin ruangan khusus kucing lebih bagus dari kamarnya.

"Bahkan ruangan khusus kucingnya Clara lebih gede dari kamar mandi gue Stevi," ujar Vani.

"Miris," tambah Vriska.

"Udah. Manusia kok iri sama kucing. Hahaha." Clara mengelus kucing Persia kesayangannya.

"Udah yuk, gue laper Clar," rengek Vani.

"Yaudah sana ke dapur. Pake bilang-bilang lagi lo."

"Kan ga sopan atuh."

"Halah ga usah belagak! Biasanya juga lo gatau malu. Sana ke kulkas sendiri. Cari sesuka hati lo apapun yang bisa dimakan."

"Hehehe.. Makasi.." Vani berlalu menuju dapur.

"Kerasukan hantu sopan dia," sindir Vriska.

"Yuk ke kamar gue," ajak Clara.

Di kamar Clara, Vriska mendekati sesuatu yang digantung di dinding kamar Clara dan tertutup kain.

"Kok ditutup?" Tanya Vriska.

"Udah lah. Udah ga ada harapan," jawab Clara lesu.

Stevina fokus mengamati furniture kamar Clara yang berbahan serba kayu dan diukir. Stevina menyukainya. Terlihat klasik dan elegan.

Vani datang sambil membawa banyak camilan. "Yuk dimakan. Ga usah malu-malu. Anggap rumah sendiri," kelakar Vani.

"Memang rumah gue!" Seru Clara.

"Stevina, sini." Vani memanggilnya.

"Eh, kenapa posternya ga dibakar aja sekalian? Ngapain pake ditutup segala sih?" Ketus Vani.

"Sensi mulu lo sama tu manusia," heran Vriska.

"Gregetan gue sama manusia macam dia. Sombong. Ga bisa ngehargai perasaan cewek."

"Emang siapa sih?" Tanya Stevina.

"Lo mau tau?" Vani beranjak bangun.

"Mau ngapain ni anak," heran Vriska.

"Nih, liat baik-baik siapa orang sombong yang gue maksud." Vani menyibak kain penutup poster. Sekarang terlihat jelas siapa orang di poster itu. Stevina tersentak. Revin?

"Gue tu kesel sama Clara. Dia tu nyakitin dirinya sendiri. Berharap sama orang yang udah jelas-jelas ga suka sama dia. Sampe dibuatin poster segala. Ditempel di dinding kamarnya pulak. Sesuka apa sih lo sama dia?"

Clara menunduk.

"Si Revin ni juga. Sombong banget. Gue heran kenapa cewek-cewek di sekolah pada tergila-gila sama orang gila."

"Eh, ngawur lo ngatain si Revin gila," celetuk Vriska sambil terkekeh.

"Tau ah. Heran gue sama dunia." Vani keluar dari kamar Clara. Sementara Clara beranjak ke toilet di dalam kamarnya.

Stevina speechless. Ia tidak pernah menyangka kalau Clara ternyata menyukai Revin. Bahkan gelagat Clara ketika berpapasan dengan Revin tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda. Perempuan memang pandai menyimpan perasaan.

Ia jadi merasa tidak enak hati dengan Clara.

"Oh iya. Lo belum tau ya Stev. Clara itu suka sama Revin. Tapi saingan dia banyak banget loh di sekolah. Secara Revin itu kan ketua OSIS. Dan ya.. Gue akui sih dia tamvan." Vriska menghela napas. "Clara pernah ngungkapin perasaan dia. Tapi ya, cuma berani lewat chat."

"Terus gimana?" Tanya Stevina.

"Jangankan dibales, dibaca juga enggak. Palingan chat Clara juga udah tenggelem di antara banyaknya chat cewek yang naksir si Revin. Udah lumutan juga tuh pesan."

"Emang si Revin itu pernah punya pacar?" Tanya Stevina.

"Ga pernah. Dia tu terlalu cuek sama cewek. Eh, gatau juga ya di SMP dia gimana. Kali aja pernah pacaran."

"Ngomongin apa sih nih? Gibah ya?" Goda Clara yang baru keluar dari kamar mandi.

"Iya. Gibahin lo," jujur Vriska.

"Oh iya. Ngomong-ngomong lo tinggal di mana Stevi?" Tanya Clara.

"Kalian mau ikut gue?" Stevina merasa nyaman dan cukup terbuka dengan mereka. Karenanya, ia berniat mengajak mereka bertiga ke apartemennya tanpa ragu.

❄️❄️❄️

"Wahh.. Dari dulu tinggal di apartemen itu impian gue banget Stevi." Vani berdecak kagum melihat desain apartemen Stevina.

"Bener banget. Gue pengen ngeliat pemandangan kaya gini tiap hari." Vriska melihat pemandangan hiruk-pikuk Jakarta dari dinding kaca.

"Malem-malem pasti bagus banget," tambah Clara.

"Wow, lo mirip nyokap lo banget di foto ini." Clara melihat foto keluarga yang Stevina letakkan di meja tamu.

"Pantes lo kaya bule. Nurun dari bokap lo ternyata," tambah Vriska.

"Nyokap bokap lo pulang jam berapa kalau boleh tau?"

"Gue tinggal sendiri." Stevina meletakkan nampan berisi camilan dan minuman dingin.

"Seriusan lo berani?" Tanya Vriska.

"Terus nyokap bokap lo?" Tanya Vani.

"Nyokap gue.. Em... Gue ga siap aja tinggal bareng nyokap gue sama keluarga barunya."

Clara, Vani, dan Vriska langsung mengerti maksud Stevina. Mereka mendadak canggung.

Stevina mengerti ketiga temannya ini sedang merasa tidak enak. Ia juga tahu apa yang ingin mereka tanyakan lagi. Semuanya jelas terbaca dari raut wajah mereka.

"Kalau bokap gue, udah ga ada."

"Maaf Stevina, " Clara memeluk Stevina.

"It's fine. Oh ya, ke balkon aja yuk. Lebih adem di sana," ajak Stevina.

"Boleh, yuk yuk."

"Wow..." Mereka berdecak kagum.

"Ehh buat story yuk."

Seperti anak muda pada umumnya, kalau sudah berkumpul dan diam di tempat yang estetik, sangat disayangkan jika sampai melewatkan story Instagram.

❄️❄️❄️

Siang itu sepulang sekolah, Stevina sibuk berkutat dengan tugas kelompok.

"Nah, pakai background ini aja lebih bagusan buat PPT kita. Lebih elegan kan?" Tanya Vani.

Stevina mengangguk.

"Duh, gue ke toilet dulu deh. Ada panggilan alam," ujar Vani.

"Okey," jawab Stevina sambil terkekeh.

Vani keluar kelas dan Nina yang datang.

"Stevina, gue mau kasi info nih. Rendi sama Revin lagi sibuk di ruang OSIS. Kalau power point kalian belum kelar, mereka bakal kerjain sisanya."

"Oh.. Okey. Makasi Nina."

"Oh iya." Nina meletakkan bungkusan yang ia bawa di samping laptop Stevina.

"Ini buat lo. Dari Revin." Nina langsung bergegas pergi dari kelas. Padahal Stevina belum sempat mengatakan apa-apa.

Stevina melirik bungkusan itu. Ia membuka bungkusan itu perlahan dan tersentak. Isinya adalah camilan dan minuman favoritnya. Pikirannya langsung tertuju pada seseorang.

Stevina langsung mengecek ponselnya. Ternyata benar. Revin sudah mengirim pesan untuknya. Stevina menjawab dengan hanya mengirim emoticon jempol.

"Wah.. Lo pesen makanan ga nunggu-nunggu gue," celetuk Vani yang baru datang dari toilet.

"Ini buat lo juga."

Sepuluh menit berlalu, Revin, Rendi, dan Nina akhirnya datang ke kelas.

"Ehh kalian." Vani menotice Revin dan Rendi. "Kerjain power point. Cepetan," ketus Vani.

"Santai. Pasti Revin kerjain," celetuk Rendi.

"Lo juga Ren. Kerjain gih tugas kelompok kita," balas Vani.

"Ehh, nonton film yuk," usul Nina. "Mumpung LCD proyektor masih di kelas."

"Boleh juga. Yuk yuk," seru Vani antusias.

"Nonton film apa? Nih di flashdisk gue ada banyak genre film." Nina mengeluarkan flashdisk dari sakunya.

"Drakor dong.." jawab Vani antusias.

"Wahhh ayo gas kalau drakor," tambah Nina.

Revin melirik Stevina. Ia tahu apa yang Stevina suka. "Film horor atau film action Hollywood lo punya ga Nin?"

Stevina melirik Revin. Usulan Revin membuatnya berpikir, apakah lelaki ini memiliki selera yang sama dengannya?

"Nahh itu aja lah. Masak gue nonton drakor," celetuk Rendi.

"Issss.. Yaudah lah," pasrah Vani.

"Ohh iya gue punya film horor terbaru. Yuk horor dulu. Abis itu action. Kita yang nonton, cowok-cowok yang lanjut buat power point. Gimana?" Canda Nina.

"Ide yang cemerlang Nin," ujar Vani.

"Kejam banget cewek-cewek," keluh Rendi.

"Hahah bercanda heii.."

"Abis ini Drakornya Lee Min Ho gimana?" Usul Stevina.

"SANGAT MAUU!" Antusias Nina.

Mereka berlima pada akhirnya malah nonton bareng di kelas.

"Nin, sini duduk bareng gue," pinta Vani heboh.

"Camilan ada ga?"

"Tenang tenang. Ini ada banyak."

"Nahh bagus..."

Vani dan Nina terlihat heboh berdua mencari camilan.

"Kecilin dong volumenya."

"Gapapa biar lebih serem."

Revin melirik Stevina sambil tersenyum. "Rendi, lo duluan kerjain. Nanti gue lanjutin."

Stevina melirik Revin diam-diam. Tapi ketahuan. Ia langsung buang muka saat Revin balik menatapnya.

Seulas senyum tercetak di bibir Revin melihat tingkah imut Stevina.

"Mau kemana lo?" Tanya Rendi bingung begitu melihat Revin beranjak bangun.

"Kenapa lo? Takut?" Ejek Revin.

"Gue? Takut? Mustahil lah," balas Rendi sok angkuh sambil terkekeh.

"Yaudah ga usah nanya." Revin menyusul Stevina yang duduk sendiri karena Vani pindah duduk bareng Nina.

"Film pilihan gue pasti seru," celetuk Revin yang tiba-tiba datang menyelonong duduk di samping Stevina. Revin melirik Stevina sambil tersenyum sok ramah. Yang dilirik balas menatap Revin.

"Uhukss.." Nina pura-pura batuk melihat aksi Revin. "Eh Van, air dong air."

"Ambil aja di tas," ujar Vani tanpa melirik Nina saking seriusnya ia menonton.

Stevina merasa risih. "Revin, cepet balik. Sana duduk sama Rendi. Kalau engga, gue yang pindah." Stevina tidak enak hati kalau nanti Vani melihatnya duduk bersebelahan dengan Revin. Bisa saja Vani memberitahu Clara. "Revin, cepetan pindah!" Stevina melirik Vani yang belum menyadari karena masih fokus menonton.

Revin akhirnya pasrah dan kembali duduk bersama Rendi.