Stevina menarik selimut lembut nan tebal miliknya. Membungkus manja tubuhnya dengan selimut super lembut. Gadis itu sebenarnya sudah bangun dengan mata yang masih terpejam. Kasur nyaman dan selimut hangat membuatnya enggan meninggalkan kasur.
Lima menit kemudian, barulah Stevina sudi membuka mata. Tangannya mulai aktif mencari benda yang selalu menjadi prioritas ketika bangun tidur. Yup, apalagi kalau bukan HP?
"Geez," Stevina terperanjat dan melompat dari kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul 6.20. Kecil kemungkinan untuknya tiba tepat waktu di sekolah.
❄❄❄
Setelah turun dari taksi, Stevina berhenti sejenak. Tampak kerumuman murid yang terlambat tengah dicatat oleh OSIS di depan gerbang sekolah yang sudah ditutup.
Stevina memberanikan diri menuju kerumunan itu. Semua menoleh ketika melihat Stevina mendekat. Ia menghela napas melihat tatapan aneh orang-orang.
Baru saja sampai di antara kerumuman, seorang OSIS menghampirinya. "Lo murid baru kan? Baru juga sekolah di sini udah telat aja," ketus OSIS perempuan itu. "Dik, catet dia. Gue mau urus yang lain. Jangan lupa tentuin hukuman buat dia," perintah OSIS yang ternyata kelas 12 itu.
OSIS yang diperintahkannya mendekati Stevina. "Hai Stevi. Gue Nina. Temen sekelas lo."
Stevina termenung. Dia bahkan tidak tahu gadis di depannya ini adalah teman sekelasnya. Okey, kali ini Stevina keterlaluan.
"Sekarang lo ikut gue," lanjut Nina.
Stevina mengangguk pasrah. Langkahnya sempat tertunda. Pandangannya tertuju kepada seseorang di ujung sana yang tengah memperhatikannya di antara kerumunan siswa telat lainnya.
Revin? Kenapa dia ada di sana? Apa dia telat juga? Tunggu. Stevina teringat perkataan Vani saat itu yang mengatakan bahwa Revin adalah ketua OSIS. Well, ignore it! Stevina lanjut membuntuti Nina.
Di koridor sekolah, langkah Nina terhenti. Gadis itu berbalik menghadap Stevina di belakangnya. "Em.. Mending lo ke kelas aja deh sekarang."
Stevina menatap Nina bingung.
"Gini, gue kasi lo permakluman karena ini pertama kalinya lo telat. Harusnya sih, sekarang lo bersihin gudang. Tapi yaudah, nanti aja pulang sekolah."
Stevina mengangguk paham dan melempar senyum kepada Nina. "Makasi."
"Yaudah Stevi, gue duluan ya."
Beruntungnya guru mata pelajaran pertama belum datang ke kelas. Stevina berjalan ke bangkunya dengan pandangan lurus ke depan. Mengabaikan tatapan aneh teman-temannya. Like, who care?
"Hai," sapa seseorang yang duduk di samping bangkunya. Ternyata Clara, teman sebangkunya itu sudah sekolah hari ini. Tampaknya dia adalah seorang gadis periang dan suka berceloteh. Stevina merespon celotehannya ala kadarnya saja.
"Vriska, liat jawaban lo dong," pinta Vani.
"Hah? Ada PR?" Celetuk Clara yang diam-diam menyimak.
"Iya ada."
"Ah.. Kemarin gue tanya katanya ga ada PR. Hih.. Sengaja ya kalian biar gue dihukum? Teman dajal! Sekarang malah sibuk bahas PR. Gue goreng juga kalian satu-satu," protes Clara barbar. Vani dan Vriska malah tertawa.
"Ya maap.."
"Lupa gue seriusan. Ini aja baru buat tadi pagi." Vriska berusaha membela diri sambil menahan tawa. "Nih Vani nih, lo kenapa ga kasi tau Clara kalo ada PR?"
"Ini aja baru mau nyontek PR sama lo Vriss..."
"Ah kalian. Sini liat PR lo," Clara merampas buku PR Vriska.
"Ihh udah marah-marah, nyontek pula," rayu Vani.
"Iss.. Diem lo! Ini juga gara-gara lo gue ga buat PR," ketus Clara.
"Halah.. Kalau tau ada PR juga lo ngerti."
"Dasar teman titisan iblis!"
Stevina geleng-geleng. Menarik juga ketiga teman barunya itu.
Suasana kelas yang gaduh tiba-tiba hening ketika Revin dan Nina datang.
"Santai kalik. Ga ada sidak kok," ujar Nina yang sudah hafal pikiran teman-temannya.
"Yeah.." Suasana kelas kembali gaduh.
"Denger dulu guys," lanjut Nina.
"Apaan lagi?"
"Guru mapel pertama hari ini ga masuk dan ga ngasi tugas. Jadi, sekarang kita free."
"Yes..."
"Nah.. Gitu dong.."
"Mantap.."
Suasana kelas semakin riuh. Ada yang lanjut gosip, ada yang membuka laptop untuk membuat bioskop mini ala kelas, dan ada juga yang diam-diam pergi ke kantin.
"Yuk, sekarang aja buat tugas kelompok di perpus."
"Yaudah yuk."
Revin diam-diam memperhatikan Stevina yang berlalu pergi bersama gengnya.
"Sst.. Nina," panggil Revin.
Nina yang duduk di depan bangku Revin berbalik. "Apaan?"
"Pacar gue lo kasi hukuman apa?"
"Hah? Pacar lo? Siapa?" Nina mengerutkan keningnya keheranan.
Revin tersenyum jahil. "Stevina maksud gue."
"Hah? Astaga.. Serius dia? Hm.. Jadi gue suruh dia bersihin gudang nanti pulang sekolah."
Revin mengangguk-angguk paham.
"Wah.. Lo naksir dia nih?"
Revin tidak menyahut. Nina berpindah duduk di bangku sebelah Revin yang kosong. Si penghuni kursi itu alias Rendi entah sedang pergi kemana.
"Gue denger-denger sih, di sekolah lamanya Stevina itu termasuk anak berprestasi. Dan pastinya, banyak banget yang suka sama dia. Banyak saingan lo."
"Dia punya pacar?" Tanya Revin.
"Ya kalo itu gue ga tau lah. Dia tu cuek banget orangnya. Katanya sih dia cuek parah. Hmmm.. Iya deh kayanya. Tadi aja waktu gue ngobrol sama dia, hemat banget dia bersuara."
"Oh.."
"Tumben-tumben lo kepincut sama betina. Lagian ya, di sekolah ini perasaan ga kekurangan cewek cantik yang naksir sama lo deh. Ya gue sebagai cewek mengakui sih, Stevina cantik pake banget."
"Hmm.."
"Ya gue sebagai teman baik bakal dukung lo sih. Biar pernah aja gue liat lo pacaran. Penasaran gue kalo lo pacaran tuh kaya gimana. Haha..."
Revin memasang wajah masam.
"Kalau lo bisa jadian sama dia, ingat. Bakal banyak yang patah hati. Bakal banyak haters tuh cewek lo."
"Ngawur lo ah."
"Hahaha... Kita liat aja ntar. Kalau beneran gimana?"
"Gue yang bakal lindungin dia."
"Hhm... Stevina beruntung banget."
❄❄❄
"Bacain Vris. Paragraf berikutnya," pinta Vani yang sekarang mendapat giliran mengetik.
"Maka, anda harus mengurangi kegiatan tersebut agar luka tidak memarah."
"Hah? Memarah? Itu lo sendiri yang buat kalimat?" Tanya Vani.
"He-em. Kenapa emang?"
"Yaampun itu tu ga nyambung astaga. Bukan memarah kali bahasanya. Ada-ada aja lo."
"Iyaa ya aneh juga. Nanti dikira luka yang marah lagi."
"Untung sadar lo. Clar, apa sih bahasanya yang baik dan benar?"
"Aduh gatau gue lagi ga ada otak," jawab Clara yang masih asyik di YouTube.
"Ini nih udah di ujung lidah tapi gue lupa. Lu bantu mikir kek Vris."
"Sabar kalik. Otak gue lagi berpikir keras ini."
"Cih.. Sok-sok mikir keras. Ujung-ujungnya juga ga ada hasil."
"Jangan bicara begitu. Ucapan anda bisa merobohkan mental saya loh."
"Bacot!"
Stevina menahan tawa mendengar perdebatan mereka. Gadis itu bangkit menghampiri Vani dan laptopnya.
"Gimana Stev?" Tanya Vani penuh harap. Stevina tersenyum dan mulai mengetikkan sesuatu di laptop.
Vriska dan Vani membacanya bersamaan. "Memperparah."
"Ohhh iyaa ya... Kok ga kepikiran," antusias Vriska. "Berarti jadinya agar tidak memperparah luka?"
"Sini gue rangkai kata-kata."
"Ini tadi udah di ujung lidah tapi gue lupa. Thanks Stevina, lo emang teman kelompok dengan otak yang berguna. Ga kayak sebelah."
"Heh.. Lo juga sama, diem lo!" Seru Clara dan Vriska bersahut-sahutan.
"Maaf ya. Setidaknya gue sama kaya Stevina. Ga banyak bacot, tapi langsung bertindak."
"Nyenyenye..." Ejek Clara.
❄❄❄
"Gue sama Vriska pulang duluan ya," pamit Vani.
"Mau les matematika dulu. Biar otak ada isinya," tambah Vriska.
"Halah. Giliran besok ulangan aja baru pada mau les. Pencitraan lo pada," sindir Clara.
"Iri aja lo sama orang rajin. Yuk Van. Kita les biar pandai."
"Bye!"
Stevina dan Clara menatap kepergian dua makhluk heboh itu. Stevina menahan tawanya. Sementara Clara geleng-geleng kepala menghadapi tingkah mereka berdua.
Stevina tersadar. Di sekolah ini ia lebih sering tersenyum dan tertawa. Untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman berteman.
"Oh iya. Lo mau gue tungguin beresin gudang?" Tawar Clara.
"Engga usah. Gue sendiri aja." Stevina pamit dengan menepuk bahu Clara. Ia berlalu meninggalkan kelas yang masih tersisa beberapa murid. Untungnya ia sudah hafal jalan menuju gudang.
Tiba di gudang, Stevina menyalakan lampu dan tercengang melihat pemandangan di hadapannya. Lantai kotor, bangku tak terpakai yang penuh debu dan sarang laba-laba, serta dinding yang sedikit berlumut. Benar-benar seperti ruangan yang tak terawat selama bertahun-tahun.
Stevina melirik jam tangannya. Bisa-bisa ia telat ke Bandung untuk pemotretan. Pekerjaannya sebagai freelance model itu kali ini berlokasi di Bandung.
Stevina bergerak cepat. Sudah disediakan sapu, kemoceng, dan pengepelan juga di sana.
Diam-diam, Revin mengintip Stevina yang sedang membersihkan debu dengan kemoceng. Ia memang sudah menunggu Stevina di gudang dari tadi.
Revin memasuki gudang dengan berusaha agar tidak mengeluarkan suara. Revin tidak berhenti tersenyum melihat wajah indah Stevina yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Stevina mengambil earphone dari kantong baju seragamnya. Sesaat ia sibuk memilih lagu yang enak untuk didengar. Sementara Revin mengambil kemoceng yang tersisa satu di atas sebuah bangku yang sudah reyot.
Stevina berbalik dan terlonjak kaget mendapati Revin di sana. Lelaki itu menahan tawa melihat wajah kaget Stevina.
"Lo?"
"Hai."
"Lo ngapain di sini?"
"Ngawasin lo."
"Hah.. Maksud lo?"
"Lo tau kan gue ketua OSIS di sini?"
Stevina mengangkat kedua alisnya. Menganggap remeh sebutan ketua OSIS.
"Dan gue ragu lo mau bersiin gudang sekotor ini. Kalo lo kabur gimana?"
"Cih.. Kabur lo bilang? Maaf ya, gue bukan tipe orang yang tidak bertanggung jawab."
"Yaudah gue awasin."
"Awasin aja sepuas lo."
Revin terkekeh. Ternyata Stevina jauh lebih manis ketika marah.
Revin malah ikut membantu Stevina membersihkan gudang. Apapun yang Stevina lakukan, selalu Revin ikuti. Sementara Stevina cuek saja. Ia bahkan tidak melirik Revin sedikitpun. Seolah lelaki itu tidak ada di sana.
"Biar gue aja." Revin mencegah Stevina membersihkan kaca. "Lo kerjain yang lain. Ini biar gue yang urus." Stevina berbalik tanpa mengucap sepatah katapun. Revin mengira gadis itu akan berterima kasih.
Dengan memakan waktu lima belas menit saja, gudang sudah bersih. Stevina bersiap pulang.
"Lo ga bilang makasi ke gue? Tumben nih, ketua OSIS turun tangan bantuin murid yang melanggar."
Stevina memutar bola matanya kesal. "Gue ga minta bantuan lo sama sekali ya, ketua OSIS," balas Stevina dengan nada penuh penekanan pada kata ketua OSIS.
Revin membuang sapu yang ia pegang dan menghadang Stevina. "Itu perbuatan not nice. Lo tau?"
"Lo sendiri gimana? Nyelonong masuk ke sini, pamer jabatan lo yang ga penting itu, dan berpikir negatif kalo gue bakal kabur? Itu juga not nice." Stevina melipat kedua tangannya di depan dada.
Revin terkekeh. "Itu kan cuma alasan. Gue ke sini.." Ucapan Revin terpotong. Wajahnya mendekati wajah Stevina.
Spontan Stevina mundur menghindari wajah Revin.
"Supaya bisa liat lo lebih lama," lanjut Revin.
Stevina mengacuhkan rayuan basi itu. Ia bergegas pergi dari hadapan makhluk menyebalkan itu.
Stevina mendorong pintu gudang yang mendadak susah dibuka. Ia melirik jam tangannya. Rasanya ia memang akan telat ke Bandung kali ini. Stevina mendadak panik.
"Yah.. Kita berdua kekurung." Revin duduk di lantai yang sudah dipel itu. Pintu gudang yang sudah tua itu memang susah dibuka. Revin bisa saja membukanya kalau ia mau.
Stevina berusaha membuka pintu sekuat tenaga. Tapi tidak membuahkan hasil. "Eh.. Lo!" Seru Stevina. "Lo kenapa diem aja? Lo gak mau pulang?"
"Gue malah seneng kekurung sama lo," rayu Revin.
"Ih. Dasar aneh!" Umpat Stevina.
"Pasti ada yang sengaja kunci dari luar."
"Lo jangan aneh-aneh deh. Pintu kaya gini emang susah dibuka karena udah tua!"
"Hmm.. Gue ga mau nolong lo."
"Siapa juga yang minta bantuan lo!"
Stevina menghentikan usahanya ketika anemianya mendadak kambuh. Sebenarnya ia sudah merasa pusing sejak pulang sekolah. Perutnya juga sudah keroncongan minta diisi. Stevina duduk di lantai depan pintu.
"Lo gapapa?" Tanya Revin khawatir.
Stevina mulai merasa was-was. Ia tidak mau terlihat lemah di depan laki-laki menyebalkan ini.
"Yaudah awas dulu. Gue bukain pintunya."
Stevina bersusah payah berdiri dan menunggu di belakang Revin.
Ternyata Revin juga sedikit kesusahan membuka pintu. Stevina sudah tidak kuat. Pandangannya mulai kabur. Gadis itu ambruk.
Akhirnya Revin berhasil membuka pintu menyusahkan itu. "Akhirnya. Berkat gue kita bisa.." Revin melongo mendapati Stevina yang sudah pingsan.
Refleks, Revin bergegas mengangkat tubuh Stevina untuk dibawa ke UKS. Tapi ketika melihat wajah cantik dengan tubuh yang menggoda itu, Revin mulai goyah. Ia kembali membiarkan tubuh Stevina tergeletak di lantai. Pintu gudang ia tutup kembali.
Revin berlutut menatap kemolekan tubuh Stevina yang terbaring di lantai. "Lo bener-bener ciptaan Tuhan yang luar biasa." Senyum Revin mengembang. Tubuhnya merendah. Wajahnya sedikit demi sedikit mendekati wajah Stevina.
Sebelum merasakan bibir menggoda itu, Revin mengecup kening Stevina. Sekarang bibirnya siap bergerak menuju bibir Stevina.
Semakin mendekat.. Dan..
"Shit." Untungnya Revin tersadar. Ia menepis nafsunya dan bergegas membawa Stevina ke UKS.
❄❄❄
Saat siuman, Stevina sudah berada di kamarnya. Stevina melirik Angelina yang tertidur di sofa kamarnya.
Tangannya meraih segelas air putih di atas nakas.
Seketika Angelina terbangun. "Stevi, kamu udah sadar?" Angelina berpindah duduk ke kasur Stevina. "Tadi mama ditelepon sama Bu Rosa. Katanya kamu pingsan. Kamu pasti ga minum suplemen kamu ya?"
Stevina tidak menjawab. Ia melirik jam dindingnya. Stevina kembali lemas. Ternyata sudah sangat telat untuk pemotretan.
"Kamu ga usah khawatir. Jam pemotretan diundur. Makan dulu yuk."