Gadis itu kini berdiri di hadapannya. Stevina beranjak bangun dari duduknya.
"Stevi.." Dengan mata sembab, Siska menatap Stevina dengan memasang wajah penuh penyesalan. Stevina menatap Siska dingin.
Siska mencakupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Please, dengerin penjelasan gue."
Stevina mengalihkan pandangannya. Rasanya ia ingin pergi saja dari hadapan Siska yang membuatnya merasa muak walau dengan melihat wajahnya saja.
Siska meraih kedua tangan Stevina. "Please, jangan kacangin gue. Lo perlu tau kebenarannya."
Stevina melirik kedua tangannya yang dipegang Siska. Ia akhirnya sudi menatap Siska.
"Gua sengaja lewat sekolah dan ngeliat lo sendiri. Jadi gue beraniin diri buat nemuin lo. Gue mohon, lo mau dengerin gue."
Stevina mengangguk. Walau hanya setengah niatnya untuk mendengarkan penjelasan Siska. Stevina mengisyaratkan Siska untuk duduk di sebelahnya.
Siska duduk dengan sedikit gemetaran. "Ini semua terjadi waktu kelas gue ngadain party di vila. Gue denger, lo sama David lagi bertengkar waktu itu. David nelpon lo terus tapi ga pernah lo respon. Akhirnya dia milih minum sama temen-temennya. Terus.." Siska memejamkan mata. Berusaha mengatur napasnya.
"Gue papasan sama David dalam keadaan dia mabuk berat. Dia bahkan manggil gue dengan nama lo. Dan dia.. Dia.. Dia akhirnya ngelakuin hal yang ga pantes itu. Dan gue juga lepas kendali."
Stevina memejamkan mata. Telinganya terasa panas. Dadanya semakin sesak.
Siska memberanikan diri menggenggam tangan Stevina. "Gue ga pernah ada maksud ngerusak hubungan lo. Gue juga masih mau sekolah," isak Siska.
Ingatan Stevina melayang pada saat itu. Memang ia sedang bertengkar hebat dengan David saat itu. Tapi hubungan mereka sudah baik kembali. Sampai akhirnya hari ini tiba dan mengubah segalanya. Stevina beranjak bangun. Tidak tahu harus berkata apa.
"Gue ga bisa maksa lo buat maafin gue. Yang penting lo udah tau kebenarannya." Siska ikut bangun dari duduknya.
"Satu lagi Stev. Lo perlu tahu. Kalau udah berduaan, persetan dengan segalanya. Ga ada yang bisa nolak David." Siska tersenyum licik.
Ucapan Siska refleks membuat Stevina menatapnya tajam. Apa-apaan dia? Ucapan macam apa itu?
"Eh maaf," ucap Siska sambil menunduk.
"Sebentar lagi Lisa dateng. Mending lo pergi daripada lo..."
"Siska!!" Pekik sebuah suara.
Baru saja dibahas, Lisa sudah datang dengan tatapan buasnya.
Lisa yang tengah dikuasi amarah, mendorong tubuh Siska.
"Gatau diri lo. Ngapain lo ke sini lagi?! Sekolah udah ga nerima lo!"
"Lisa stop," lerai Stevina. Ia memegang kedua bahu Siska. "Lo pulang sekarang."
"Makasi Stevina." Siska berlalu pergi.
"Iblis itu ngapain cari lo?" Ketus Lisa. "Segala bilang ga bisa nolak David lagi. Dih," gerutu Lisa.
Stevina tak menjawab. Ia malah mengambil minuman di tangan Lisa dan meminumnya sampai tersisa setengah.
"Ih.. Makanya ga usah sok nolak kalau diajak beli," ketus Lisa melihat Stevina malah meminum minumannya.
❄❄❄
Rambut panjang kecokelatan yang terurai itu sedikit berantakan. Si pemilik rambut sama sekali tidak memedulikan penampilannya. Tatapan mata gadis itu kosong. Tangan kirinya menopang kepalanya. Sementara tangan kanannya sibuk memutari bibir gelas. Segelas Mojito yang terlihat segar menggoda itu tidak berhasil membuyarkan lamunan Stevina. Pikirannya tengah dipenuhi awan hitam.
"Stevi."
Si pemilik nama menoleh. Matanya yang semula sendu, mendadak terbelalak kaget melihat siapa yang datang. "Ada urusan apa lagi lo sama gue?" Ketusnya.
Orang itu adalah David. Ia melempar tatapan sendu yang malah membuat Stevina merasa muak.
"Kamu ngapain masih di sini jam segini? Besok kamu harus sekolah."
"Bukan urusan lo." Ketus Stevina. Tanpa basa-basi lagi, Stevina beranjak bangun meninggalkan kafe itu. Niatnya menenangkan diri sudah gagal. Salahnya juga karena memilih tempat yang sudah pasti David tahu. Siapa yang tahu malam itu David mencarinya.
David membuntuti Stevina yang tidak menyadarinya.
"Stevina.." Di parkiran, David mencengkeram tangan Stevina.
"Ini apa-apaan sih!" Pekik Stevina.
"Aku ga terima kamu berubah."
Stevina menarik tangannya. "Di sini rame ya. Kalau lo macem-macem, gue bakal teriak," ancamnya. Stevina mendorong David yang menghalangi jalannya. "Minggir!"
"Stevina.."
Stevina berbalik badan. Menatap David dengan sinis. "Mending sekarang lo urus istri lo aja deh. Ga usah cari gue lagi." Stevina bergegas pergi.
David menendang batu di sekitarnya. Penyesalan tidak ada gunanya. David hanya bisa meratapi kebodohannya.
Di perjalanan pulang, Stevina menangis dibalik masker hitam yang menutupi mulutnya. Jalanan cukup sepi. Hanya ia satu-satunya pejalan kaki malam itu. Tangis yang sudah ia tahan sejak di sekolah akhirnya tumpah juga. Di dekat bangku jalan, Stevina berhenti sejenak. Ia menangis seorang diri. Tidak ada yang melihatnya. Bahkan tidak ada yang tahu, apalagi peduli.
❄❄❄
Stevina membuka kaca jendela apartemennya. Pagi itu dingin sekali.
Sudah seminggu berlalu. Tapi luka di hatinya masih belum sembuh. Apalagi setelah mendengar kabar pernikahan David dan Siska.
Tak terhitung berapa kali David mencoba menemui Stevina. Namun sampai detik ini, mereka belum pernah bertemu kembali. Stevina selalu menghindar. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan David. Malam pahit di kafe itu, adalah pertemuan terakhirnya dengan David.
Perpisahan karena hal konyol, dimana mereka yang berpisah masih memiliki perasaan yang sama. Tak peduli akan perasaan mereka, perpisahan ini adalah sebuah keharusan.
Untuk mempercepat proses move on, Stevina akhirnya memilih jalan ini. Meninggalkan Bandung, dan memutuskan untuk tinggal di sebuah apartemen di Jakarta.
Stevina tetap tidak mau tinggal seatap dengan ayah tirinya itu. Walau begitu, Angelina tetap senang karena bisa lebih dekat dengan Stevina. Sebelumnya, Angelina sangat khawatir dengan kondisi Stevina yang begitu terpuruk karena David.
Sekarang putrinya itu akan membuka lembaran baru di Jakarta.
Hari pertama Stevina di Jakarta, Angelina menawarkan diri untuk mengantar Stevina ke sekolah barunya." Berangkat yuk," ajak Angelina setelah mereka selesai sarapan. Sambil melihat selembar foto, Stevina mengangguk. Ia lalu memasukkan selembar foto itu ke dalam tas sekolah. Foto itu adalah foto ayahnya, Stefan Barjoli.
❄️❄️❄️
Di perjalanan, Stevina melihat dua orang gadis berseragam SMA sedang berjalan kaki sambil bercanda dan tertawa. Seketika Stevina teringat akan Lisa.
Stevina menghela napas. Ia yakin, sepupunya yang frontal itu pasti baik-baik saja tanpanya.
Tiba-tiba rasa ingin tidur menyerang Stevina. Kedua matanya perlahan mulai terpejam.
"Hhm.. Mulai deh si putri tidur," canda Angelina. "Yaudah, nanti kalau udah sampai di sekolah mama bangunin. Okey?"
❄️❄️❄️
"Stevi, bangun sayang." Angelina menepuk pundak Stevina. "Ayo bangun sayang. Udah sampai nih di sekolah baru kamu."
Stevina terbangun sambil melirik ke arah sekolah barunya.
"Kamu tau gak, ini dulu sekolah mama sama tante Elina loh. Semoga kamu betah sekolah di sini."
Mendengar nama Elina, Stevina jadi teringat dengan tantenya itu. Sedang apa dia sekarang? Karenanya, sekarang Elina tinggal sendirian saja di Bandung.
Setelah mencium punggung tangan Angelina, Stevina mengambil tas di jok belakang, membuka pintu mobil, dan menapakkan kedua kakinya di depan gedung sekolah bernuansa putih biru itu. Matanya berjelajah mengitari keadaan sekeliling. Ia bisa merasakan aura yang cukup positif dari sekolah barunya ini. Stevina berdoa semoga semuanya berjalan lancar.
Ia menarik napas dalam-dalam. Tibalah saatnya. Beradaptasi adalah hal tersulit bagi seorang introvert sepertinya.
Harus memperkenalkan diri di depan orang asing dalam sebuah kelas, membuka obrolan sekadar menanyakan nama walau nanti lupa lagi, menghapal jalan ke kantin, ke toilet, bersiap memiliki haters baru, dan.. Argh.. Stevina hanya berharap masa ini cepat berlalu.
"Tunggu sayang. Mama mau ketemu sama guru mama," seru Angelina dari dalam mobil.
Stevina menengok ke dalam melalui kaca mobil yang masih terbuka. "Emang gurunya masih inget sama mama?"
Angelina terkekeh mendengarnya. "Salah sasaran kamu. Alumni murid teladan kaya mama ga bakal dilupain guru-guru dong," canda Angelina. Stevina hanya manggut-manggut sambil tersenyum kecut.
Usai Angelina memarkirkan mobil, ibu dan anak itu berjalan bersama memasuki SMA baru Stevina, SMA Vrekodara.