Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 59 - DINNER (Part 3)

Chapter 59 - DINNER (Part 3)

Ia dekati mejanya. Mengamati. Piring lebar dengan sisa kulit salmon, piring panjang dengan potato crispy yang masih sisa berapa, dan piring sedang. Juga gelas tinggi untuk jus. Melihat bekasnya, Raave tahu, ini jus strawberry. Ia tambah yakin, dengan adanya botol air oksigen yang sudah kosong.

"Aira... Astaga! berapa lama kamu sudah menunggu...??"lirihnya, sedih. Lelaki itu memejamkan mata sekilas. Mengusap muka, galau. Lalu berbalik.

"Ada apa, sayang?" Nyonya Pranaja di belakangnya. Memperhatikan sang Putra yang dari awal bermuka masam.

"Aira, Mom..."balas Raave. Suaranya tenggelam.

Nyonya Pranaja kaget. "Ya Tuhan Raave, Mama juga lupa kalau mengundangnya. Terlalu fokus pada para tamu dan Prue yang terus mengekor. Dimana dia sekarang? Sudah pulang??" Ia tatap Raave sedih. Mencengkeram lengan putranya, ingin tahu soal Aira.

Raave hanya menggeleng. "Mungkin, Dia terlalu lama menunggu. Aku tak menemuinya dari tadi!"balasnya. Parau. Duduk dan menunduk, di sofa yang awalnya menjadi tempat Aira menunggunya.

"Dia pasti kecewa. Sedih... Apa yang kulakukan..??!"

"Mr Raave...!!!" Gio menghampiri, terengah. Kehabisan nafas. Menunduk, saat tahu ada Nyonya besar duduk di seberang Raave.

"Kenapa kamu ngos ngosan gitu, Gio?"tanya Ibunda Raave. Sementara sang putra hanya memandangi Gio. Wajahnya muram.

"Nona Aira... " Gio mengatur nafas. Mengendalikan diri.

"Baiklah, tenang dulu!" Nyonya Pranaja berusaha menenangkan.

"Nona Aira tadi duduk di sini, menunggu Anda, dua jam. Lalu karena Anda tak menemuinya, Ia minta diantar pulang... "

Raave mengangguk, semakin terlihat sedih. "Dua jam??"gumamnya. Frustasi. Ia berdiri. Sudah akan melangkah, namun tangannya ditahan Gio.

"Anda mau kemana?"

Raave hanya menatap Gio. Tanpa bicara.

"Dia tak ada di rumah, Sir. Rumahnya kosong. Percuma anda kesana."

"Dimana Aira??! Kenapa daritadi tak ada yang melapor padaku??!!"sergah Raave kasar. Menatap tajam Gio.

"Saya sudah memberitahu Anda berulang kali tadi, Nona Aira sudah datang, Sir. Tapi tak Anda pedulikan."

Raave Menunduk.

"Nona Aira akan saya antarkan pulang tadi karena kepalanya pusing, tapi saat akan turun, Ia muntah ditoilet. Keluar dengan darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Kata Dokter, ada racun di tubuhnya. Zat kimia yang membuatnya pendarahan hebat." Gio menjelaskan dengan tenang dan kalem.

Raave menahan nafas, Shock.pun Nyonya Pranaja. Wanita berwajah manis itu menutup mulut, Kaget bukan main.

"Menurut saya, inilah rencana Ashley itu, Tuan. Ia tahu anda dekat dengan pemilik BookShop. Jadi.... "

"Bagaimana kondisi Aira???" tanya Raave, wajahnya basah. Tangannya mencengkeram kedua lengan Gio. Mengguncangnya kasar.

"Dia di Ruang Perawatan Intensif bersama Bu Wina. Belum sadar"jawab Gio, apa adanya.

Raave segera berlari, Pergi, meninggalkan Gio dan Ibundanya, yang memandanginya sendu.

"Dia benar-benar mencintai gadis itu, Gio?"tanya Nyonya Pranaja.

Gio tersenyum miris. "Dia tak pernah mengakuinya, Nyonya. Dia berkata tak jatuh cinta pada Nona Aira."

"Tapi... Reaksinya seolah Aira sangat berarti untuknya. Dia tak mau mengakuinya???"

Gio mengangguk mantap.

"Antarkan aku ke tempat Aira, Gio!"

"Baik, Mam!"

Rumah Sakit

Raave membuka pintu dengan cukup kencang. Mengagetkan Bu Wina yang merebahkan kepala di samping ranjang. "Mas Raave?"

Raave menghampiri Aira, sambil melepas dasinya dengan kasar. Melemparnya sembarangan. Ia tatap sang gadis sedih.

"Ai... "suaranya tertahan di tenggorokan. Terlalu sedih. Bu Wina pindah ke kursi lain. Membiarkan Raave duduk di sisi ranjang.

"Maaf, Ai. Aku benar benar minta maaf."lirih Sang lelaki, pilu. Ia genggam erat tangan Aira. Wangi Rockrose masih begitu segar di hidung Raave. Parfum sang gadis, yang biasanya disemprotkan di pergelangan tangan.

Tok.. Tok..

Pintu terdorong pelan. Perawat masuk. Mengecek kondisi Aira. Mengganti infus yang tinggal sedikit.

Nyonya Pranaja masuk kemudian. Mengusap pundak sang putra. "Dia belum sadar?"

Raave setengah kaget. Berbalik. "Mom, Mom kesini?"

Nyonya Pranaja yang melihat wajah basah Raave, hanya bisa tersenyum tipis. Ia ingin bicara, namun sepertinya ini bukan waktu yang pas.

Ibunda Raave itu menghampiri Aira dari sisi ranjang yang lain. Membelai pipi sang gadis. "Maafkan Tante, Aira. Membuatmu menunggu begitu lama."gumamnya, menyesal.

Gio yang berdiri tak jauh dari pintu, menyalakan handsfree. "Hm, gimana perkembangannya??" Ia mendengarkan.

"Oke. Kamu selidiki lebih dalam. Temukan orangnya!! Aku menunggui Nyonya di Rumah sakit!"jawab Gio sedikit berbisik.

Nyonya Pranaja tersenyum melihat Bu Wina. "Anda ini...?"

"Saya asisten Mba Aira, Nyonya"jawab Bu Wina sopan.

"Oh lalu orangtuanya?"

"Di Semarang. Mba Aira hanya sendiri di Surabaya."

Nyonya Pranaja mengangguk paham. "Kamu tak menghubungi mereka?"

"Mba Aira melarang saya memberitahu MamaPapanya jika dia sakit. Agar mereka tak terlalu khawatir." Balas Sang asisten, jujur.

"Begitu ya. Hm.. Gadis yang sungguh mandiri. Berarti hanya bersama Bu Wina saja?"

"Iya, Nyonya"

"Oke, Bu Wina. Saya harus pulang, masih banyak tamu. Tak apa ya, oh tolong jaga Aira."pesan sang Nyonya, yang disambut anggukan dan kepala menunduk hormat oleh Bu Wina.

"Mama pulang ya Raave. Kamu jaga kesehatan"pamit sang Ibu pada Raave yang hanya mengangguk.

Nyonya Pranaja melangkah pelan keluar, diikuti Gio.

Raave masih menekuri sang gadis. Membelai pipinya, yang sebenarnya tertutup ventilator. Ia memandang sekeliling. Pump Shoes sang gadis, Quilted bag, juga dress yang telah bersih, tertata rapi di dekat kursi.

LElaki itu membayangkan sang gadis dalam balutan dress abu muda itu. Memakai Pump Shoes. Menyampirkan tas di bahunya. Sederhana dan simple namun pasti cantik.

Ya, memang berbeda dengan Prue yang tampil glamor tadi. Tapi itu tak ada artinya baginya. Sama sekali. Ia tak akan tertarik dengan CEO wanita itu, walau sang perempuan mengejarnya dengan cara yang halus.

"Permisiii..." Dokter melangkah santai menghampiri Aira. Memeriksa keadaan sang gadis. Tersenyum lega. Ia meminta perawat melepas ventilator, dan memindahkannya ke kamar inap.

"Dia baik saja, kan Dok?"tanya Raave.

Dokter mengangguk sabar. "Sudah cukup stabil, hanya perlu menunggu dia sadar dan istirahat beberapa waktu. Baik, saya permisi"pamit Dokter.

"Terima kasih, Dok" Raave mengusap mata merahnya. Mengulas senyum senang.

Sementara para perawat sibuk memindahkan Aira ke Brankar, untuk dibawa ke kamar inap.

Bu Wina memberesi barang Aira dan mengikuti Raave keluar.

"Mau dibawa kemana, Sus?"tanya Raave heran. Mereka di lantai dua. Kamar kelas 1 dan 2.

"Kamar inap, Tuan. Maaf, kelas 1 kan?"jawab salah seorang etugas medis itu.

"No.. No...!! VVIP Room!"jelas Raave.

Para perawat saling pandang.

"Masih ada yang kosong kan?"

Mereka mengeceknya detail. lewat catatan. "Sayangnya penuh, Tuan. Bagaimana Jika VIP? ada kosong satu."saran perawat berkacamata.

Raave mendesah. Mengangguk. " Tidak bisa dibooked? Yang VVIP?"

"Maaf tidak bisa ,Tuan"

"Oke"

Mereka naik satu lantai lagi. Kamar VVIP dan VIP berada satu lantai.

Raave tampak menghubungi seseorang. Bicara serius. Sedikit menggunakan nada ketus. Lalu mengakhiri pembicaraan.

Ia kembali menghubungi orang lain. Bicara dengan santun dan lembut. Mendengarkan sejenak, lalu tersenyum lega. Mengakhirinya dengan ucapan terima kasih.

"Sus, VVIP Room. Lantai 4."ujar Raave penuh keyakinan.

Membuat para perawat saling tatap dengan mata membelalak. Kemudian memandangi Raave takjub.

Mereka sampai. Lantai 4 adalah lantai khusus, jika kamar di bawah tak mampu lagi menampung pasien, barulah lantai 4 dibuka. Dan kamarnyapun hanya tersedia jenis VVIP. Tentunya jika ingin di sana, biaya akan lebih mahal.

Usai para perawat memindah Aira, mereka undur diri.

Raave berterima kasih. Tersenyum puas. Bu Wina yang tahu hanya geleng geleng kepala. Mengelus dada.

*

Rumah Sakit, 07.00 pagi

Raave kaget. Ia buka mata perlahan. Sinar matahari begitu silau. Dilihatnya Aira masih tidur.

Gadis itu tak sadar sehari semalam. Baru semalam, Ia membuka mata.

Raave beranjak, berjalan ke toilet. Mencuci muka. Lalu kembali dengan senyuman manis sang gadis menyambutnya.

"Kamu bangun?" Raave belai pipinya. "Mau makan sesuatu?"

Aira menggeleng. Tersenyum, berterima kasih.

"Maaf soal Dinner, Ai... "

"Sudahlah, tak perlu dibahas lagi."balas Aira. "Kamu ada hubungan dengan Nona Prue?"

"Tidak!"

"Ya, itu cukup."

"Kenapa kamu mau menungguku begitu lama?"

"Tuan Gio memaksaku menunggumu. Tapi setelah dua jam itu, aku sudah tak sanggup lagi. Aku malu jika harus menghampirimu Dulu, dikira gadis murahan nanti!" Aira sedikit cemberut.

"Maaf.." Raave meminta maaf lagi. Benar-benar merasa bersalah.

"Kamu lupa sudah mengajakku Dinner?"tanya Aira. Awalnya ingin Ia lupakan, malah jadi ingat lagi.

"Tidak, Ai.. Aku..."

"Terlalu fokus pada Prue dan orangtuanya?"potong Aira.

Raave bernafas dalam.

"Maaf, aku tak akan bertanya apa-apa lagi, lupakanlah. Anggap aku tak tanya apapun!"sergah Aira. Mengusap pelan, sudut mata.

Sang lelaki mendekapnya erat.

"Aku mau pulang saja. Bisakah aku minta tolong padamu?" Aira menatap Raave, setelah melepaskan paksa dekapan lelaki itu.

"Kamu baru dua hari, di sini, baru sadar. Kenapa minta pulang? Kondisimu belum memungkinkan." Raave berusaha menjelaskan.

"Aku mau pulang saja. Please!" Aira memohon, bulir beningnya luruh perlahan. Teguh pada keinginannya.

Raave dengan sangat terpaksa mengangguk. Menghubungi Dokter. Lewat saluran internal Rumah sakit.

Sang Dokter dan seorang perawat segera datang memeriksa Aira. Mereka tersenyum. "Ya, tak apa jika Nona mau pulang, tapi yang harus diingat, bedrest. Jangan aktifitas dulu. Anda juga sakit kan, Nona Aira?" Dokter mengusap lengannya. Mengingatkan. Menatap Aira lekat.

Sang gadis mengangguk, tersenyum. "Terima kasih Dok, Sus!"ucapnya sopan.

Dokter dan perawat undur diri. Aira segera beranjak. Agak melompat sebenarnya, menuju toilet. Hanya dress ini pakaian satu satunya. Ia pakai lagi, toh sudah bersih dan wangi. Ia tak pakai sepatunya. Hanya bertelanjang kaki.

Aira tampak manis. "Maukah kamu mengantarku pulang?" Ia tatap Raave. Dalam.

Raave terpana. Padahal wajah gadis ini, agak pucat. Aira mengikat jadi satu rambutnya. Tinggi ke atas. Menenteng sepatu. Tangannya menggandeng tangan Bu Wina erat.

Lelaki itu terpukau, menyaksikan sang gadis dalam balutan dress simple ini. Berbeda dengan yang sehari-hari ditemuinya. Yang terkesan agak tomboy, suka pakai baju kasual dan cuek, percaya diri makan siang di Resto, hanya pakai celana pendek dan kaos.

"Raave...?" Aira memperhatikan lelaki itu.

"Oh maaf Ai. Ya. Aku antar pulang. Ayo!" Raave segera meraih tangan Aira, menggenggamnya erat. Melangkah keluar kamar. "Kamu kuat jalan atau pakai kursi roda?"

"Jalan..." jawab Aira sedikit tak yakin.

"Atau Mau kugendong?"

"Tidak usah. jalan saja." Aira menjawab dengan muka malu. Ia cengkeram lengan sang lelaki, karena nampaknya tubuhnya terhuyung.

Raave segera merengkuhnya. Namun, menatap wajah Aira yang lemas, ia putuskan menggendong sang gadis.

"Naik ke punggungku!"perintahnya. Berjongkok.

"Tidak usah Raave! nanti jasmu kotor." Aira menolak. Memalingkan muka. Raave geleng- geleng kepala. Jadi terpaksa, Ia gendong sang gadis ala Bridal style.

Aira memberontak.

Stay tune...