Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 65 - PERASAAN TAK KARUAN

Chapter 65 - PERASAAN TAK KARUAN

Pranaja Tech Office

"Kau baik-baik saja, kan Kak?"tanya Raave. Ia sudah ada di kantor pagi sekali. Segera menghubungi sang Kakak. Menanyakan perkembangannya dengan Rey.

Rose berkata dengan nada senang, bahwa Ia baik saja. Dan mulai percaya lagi pada Rey, akhirnya. Berterima kasih lagi pada sang Adik.

Raave tersenyum. Ikut bahagia. Ia berbincang sebentar, sebelum akhirnya terpaksa menyetop obrolannya bersama sang kakak, karena meetingnya akan dimulai.

Lelaki itu bersiap. Bersama beberapa map dan notebook pribadinya. Handsfree. Hanya sekedar berjaga-jaga. Perasaannya sedikit tak karuan dari bangun tidur tadi. Ia melangkah gagah, menuju ruang meeting. Ekspresi seriusnya, malah semakin membuat para Staff perempuan memandanginya tanpa henti.

Gio setia di belakangnya.

Rumah Aira (Sore Harinya)

"Aii, kamu baik saja?"tanya Zii khawatir. Pulang kantor, Ia mampir ke rumah sang sahabat. Sebenarnya bukan pulang kantor. Tapi pulang dari Dokter kandungan.

Aira mengangguk, tersenyum. "Kamu udah periksa Dokter, Zii?"

"Udah, barusan. Terus kesini kan. Katanya ga boleh makan pedes dulu. Huuhh.. Padahal kan enaakk!! Aku ga nyangka akan jadi begini dengan Adnan , Ai. Kukira dia akan bersamamu akhirnya." Zii mendengus.

Berbaring nyaman di atas karpet. Mendesah sangat panjang. Sedikit menggeliat.

"Hahaha.. Tapi kamu sayang juga kan ma dia?"goda Aira. Duduk bersila di sisinya.

Zii tergelak, terlihat malu. Pipinya bersemu merah. Tampak jelas di wajahnya yang putih bersih.

"Makan malam di sini ya. Aku tadi udah bilang Bu Wina. Minta tolong beliin Ayam geprek kesukaanmu."kata Aira.

Zii mengangguk senang. Tapi lalu khawatir. Ia bangun, "Ai..." diusapnya hidung sang sahabat dengan tissue. "Mimisan lagi. Gimana perkembangan sakitmu, Ai? Adnan cerita padaku waktu itu."

"Ya, beginilah. Aku udah ga terlalu sering kambuh sebenarnya. Obat dari Dokter datang tepat waktu. Makanya kan, Harus terus minum obat, biar ga terlanjur parah."jawab Aira, tubuhnya lemas. Ia bersandar di sofa.

Bu Wina sudah datang membawa kantong, berisi beberapa bungkus Ayam. Nasinya sudah Bu Wina masakkan sendiri.

Mereka makan bersama Pak Seta, sopir pribadi kiriman Ayah Aira, yang mengantar Bu Wina beli Ayam juga. Tuan Harsena memaksa sang putri, untuk mengontak Pak Seta jika akan ke BookShop. Agar Ia tak kecapekan.

Ternyata ambruknya saat ke Semarang karena menyetir sendiri, membuat sang Ayah sangat khawatir. Aira semakin takut untuk bicara tentang sakitnya. Ia demam saja, Ayahnya begitu panik, apalagi jika tahu Ia menderita leukimia. Akan bagaimana jadinya?

Pak Seta bekerja di sebuah kantor Pengacara terkenal di Surabaya, juga sebagai Sopir pribadi. Jadi jika Aira ada keperluan, tinggal mengontak pria 50tahun itu, yang selalu stand by di kantornya.

"Ai, kamu baik-baik saja. Wajahmu pucat, sayang?" Zii panik.

Sang sahabat tersenyum. Mengangguk. Aira hanya mengambil sedikit nasi. Dan itupun tak dihabiskannya. Juga ayam, yang biasanya jadi lauk favorit sang gadis. Masih tersisa banyak.

Setelah menaruh piring ke bak cuci, minum, mencuci tangan, Aira berbaring begitu saja di sofa. Menutup mata. Kepalanya berputar lagi. Tubuhnya sedikit terasa aneh. Menggigil.

Zii terpaksa memanggil Dokter, setelah menandaskan makannya. Ia khawatir dengan Aira.

Raave calling..

Zii menatap ponsel Aira di dekatnya. Bingung. Ia biarkan saja akhirnya. Fokus pada Aira yang diperiksa Dokter. Dokter yang kebetulan tinggal, dekat dengan rumah sahabatnya itu. Karena butuh yang cepat.

Dokter meresepkan obat penambah darah, penurun demam, dan meminta Aira istirahat. Gadis itu demam tinggi.

Zii berterima kasih, sesaat sebelum Dokter pergi.

"Aku ke kamar ya, Zii. Ampun! Ga enak banget rasanya badanku... Hhhh.." gadis itu bernafas cepat. Aira berbaring nyaman di bed. Pak Seta yang mengangkatnya dibantu Bu Wina. Setelah itu sang sopir pamit, karena kantor membutuhkannya.

Zii menemani sang sahabat di kamar, hingga malam semakin larut. Ia raba kening Aira.

"Ai, aku pulang ya."pamit Zii. Usai melirik jam. "Kamu istirahat, besok ga usah ke BookShop!"pesannya sebelum berjalan cepat keluar kamar.

Aira mengangguk, tersenyum. Ia raba kening sendiri. Sudah tak sepanas sebelumnya. "Bu, bisa tolong teleponin Dokter Alan pake ponsel saya? Ada namanya kok."lirih Aira.

"Iya Mba." sang asisten segera mengambil ponsel, mengutak atiknya, agak lama. Tapi kemudian mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo"

"Ya" terdengar balasan dari seberang sana. Bu Wina menyerahkannya pada Aira.

"Dok, saya udah ga demam.... tapi Mimisan lagi tadi.... bisa kirim obat Dok, sekarang?"gumam Aira. Bicara perlahan. Mengatur nafas.

"Oke oke. Mba Aira lemes. Istirahat saja. Segera saya kirim obat biasanya. Kok udah tahu habis, ga ke tempat saya, atau telepon."

"Maaf, Dok. Ga tahu... Kalo mau... Ambruk gini.."balas Aira. Nafasnya sudah teratur, namun tubuhnya gemetar.

"Oke! Tunggu!"

"Makasih, Dok!" call end. Ia berikan ponsel pada asistennya. Lalu menutup mata.

Bu Wina memijati tangan sang Nona. Menatapnya khawatir. Sendu. "Yang dari Dokter tadi ga diminum?"

Aira menggeleng. "Itu umum. Ga akan bisa Bu. Buat jaga-jaga aja. Simpen di kotak obat."balasnya, masih merem.

Obat segera datang. Diantar sendiri oleh Staff Dokter Alan. Bu Wina berterima kasih, lalu bergegas naik ke kamar Nonanya.

Aira meminum obat yang ada 4jenis itu bergantian. Bersama sebotol air mineral yang langsung Ia habiskan. Gadis itu memberi jeda sejenak. Beberapa menit. Setelah dirasanya cukup, Ia Berbaring. Menaikkan selimut, lalu merem lagi.

Bu Wina yang menemani sang Nona hingga pagi. Wanita itu bangun, saat pagi masih gelap. Turun, Membuatkan Aira bubur dan teh panas. Membersihkan dapur.

Menjelang jam 8pagi, Asistennya terpaksa membangunkan Aira. Karena sang gadis masih belum saja keluar kamar. Biasanya, sesakit apapun, jika memang tak parah sekali, gadis itu turun, walau melanjutkan tidur lagi di depan sofa TV.

Ia usap lembut lengan Aira. "Mba, maem dulu yuk."ucapnya pelan.

Aira masih memejamkan mata. Wajahnya sungguh lelap dan damai. Bu Wina kembali membelai pipi sang Nona. Sedikit kaget. "Mba..!!"panggilnya lagi. Wanita itu meraba kening, agak dingin.

Ia raba pergelangan tangan sang gadis. Ekspresinya berubah total. Bu Wina menahan nafas. Menggeleng tak percaya. "Mba Aira..! Bangun..!" Ia guncang tubuh Aira. Berharap sang Nona membuka mata. Tapi harapan tinggalah harapan. Aira masih tak bangun.

Raave calling...

Bu Wina segera meraih ponsel gadis itu. Bernafas sedikit lega.

"Halo.."

"Ya, ini bukan Aira. Bu Wina?"

"Mas Raave. Bisa tolong kesini??" suara sang asisten yang gemetar dan sedikit terisak, membuat lelaki di seberang sana, ikut panik.

"Ada apa Bu??!"

"Mba Aira... Tak bangunin, ga bangun-bangun dari tadi. Badannya agak dingin. Nadinya ga kedengaran.. Mas Raave to..."

"Oke! saya kesana sekarang!!"tukas Raave, suaranya terdengar shock. Memotong kalimat asisten Aira itu. Call end.

Setengah jam, Raave sampai di kamar sang gadis. Terengah. Ia sampai berlari menghampiri gadisnya. Segera membelai pipinya. Menepuknya lembut.

"Dia minum vitamin lagi, Bu?"tanya Raave, masih panik.

"Ga kok. Hanya tadi malam, mimisan, demam. Ada Mba Zii juga. Diteleponin Dokternya terus dikirimi obat."jelas Bu Wina. Khawatir. Ia usap matanya yang basah.

Raave menatap shock Aira. "Aira...!! Bangun dear!! Kamu harus bangun!!"panggilnya, lantang.

Sang gadis tetap menutup mata rapat. Tak ada tanda akan terbangun. Raave mengguncang tubuhnya berulang kali. Tapi tak ada hasil sama sekali. Mencoba menunggunya beberapa menit. Biasanya saat Aira minum vitamin, Ia akan bangun sendiri.

"Bu, panggil ambulans!"perintah Raave dengan suara gemetar. Setelah penantian mendebarkan 30menit tanpa hasil. Yang diangguki Bu Wina.

"Airaaa...!! Kamu kenapa Ai??"gumam Raave. Matanya tergenang. Ia berusaha tenang. Mengatur nafas. Meredam jantung yang berdetak kencang. Hingga membuat tubuhnya ikut gemetaran. Sang gadis memucat.

Ia genggam tangan gadisnya. Menunggu Ambulans. Ia tak akan fokus menyetir dalam keadaan shock begini.

Raave meletakkan satu tangannya yang bebas di dada sang gadis. Merasakannya, mendengarkannya dengan seksama. Kemudian menunduk. "Ai.. Aku tak bisa merasakannya, jantungmu..nafasmu. kamu kenapa, dear??!"rintihnya pilu.

Ia angkat Aira. Menggendongnya keluar kamar. Menutup pintu, menuruni tangga dan membaringkan Aira perlahan, di sofa ruang tamu. Menciumi bibir dan pipinya bergantian. Siapa tahu, Aira bangun, pikirnya.

"Aii..!!"panggilnya lagi.

Ia Bernafas lega, mendengar suara sirine ambulans mendekat.

Beberapa petugas medis dengan sigap mengangkat Aira ke dalam Ambulans. Bu Wina ikut serta. Raave membawa mobilnya. Ia yakin gadisnya baik saja. Berusaha tenang dan fokus mengemudi. Dadanya terasa sesak tiba-tiba.

Dalam perjalanan, Rose menghubunginya. Ia jawab lewat handsfree.

"Hm"

"Raave...? Kamu baik saja. Suaramu..." Rose terdengar khawatir.

"Ya, ada apa, Kak?" Raave berusaha bicara dengan nada biasa.

"Kamu sibuk?"

"Maaf, iya. Aku ada pertemuan. Namti kuhubungi."balasnya.

"Oh oke.. Ya sudah."tutup Rose.

Raave melaju sangat kencang. Dan tiba lebih dulu dari mobil Ambulans. Ia booked kamar lebih dulu. Bicara pada Dokter Alan. Dengan mata yang memerah.

Sang Dokter berusaha menenangkan lelaki tampan itu.

Ambulans datang beberapa menit kemudian, segera membawa Aira ke IGD. Dokter Alan langsung memeriksa. Wajahnya terlihat sendu. Bisa Raave lihat, saat tak sengaja pintu terbuka sedikit.

Bu Wina menangis dalam diam. Duduk di depan IGD. Raave di sebelahnya. Melepaskan dasi dengan kasar dan menyimpannya di saku jas.

Gio menghubungi.

"Hm?" Raave hanya berdehem

"Tuan, Anda dimana?"

"di Rumah sakit"

"Nona Aira??"

"Hm"

"Baiklah. Akan saya sesuaikan lagi. Bagaimana kondisinya, Sir?"

"Masih di IGD."

"Anda baik baik saja, Mr Raave?"

"kamu masih bertanya begitu, G? Apa menurutmu aku baik saja sekarang?"

"Maaf, Tuan. Baik." call end.

Raave mengusap muka.

Dokter datang menghampirinya, tersenyum, samar. "Ikut saya ke ruangan, Mr Raave!"perintahnya langsung berjalan cepat. Diikuti Raave yang juga melangkah gusar.

Asisten Aira memandangi kedua lelaki itu dengan sendu. Berdoa dalam hati, agar Nonanya baik saja. Iseng, wanita itu berdiri. Mengintip dari kotak kecil kaca.

Bertanya pada perawat yang keluar dari sana. "Sus, Mba Aira baik saja kan?"

Sang perawat yang akan berjalan, berhenti, tersenyum. "Iya, Bu. Yang di dalam kan? Hanya butuh istirahat. Tapi memang agak lama bangun. Harus sabar. Baik, permisi."pamitnya, menunduk sopan.

"Terima kasih, Sus!"

"Sama-sama Bu!"

Bu Wina bernafas sangat lega. "Mba, syukurlah Mba Aira baik saja." Ia duduk lagi.

Perawat lain keluar, "Silahkan kalau mau dijenguk, Bu,"ujarnya ramah. Pada Bu Wina. Kemudian berjalan pergi usai pamit.

Sang asisten segera berdiri, senang. Melangkah masuk ke IGD. Mendorong pintu hati-hati. Menghampiri sang Nona yang masih mengenakan alat bantu pernafasan. Mengusap tangan Aira yang menghangat. Namun...

BRRAAKKKK...!!

Pintu IGD terbuka, dengan kasar. Bu Wina melompat kaget.

Raave masuk, dengan wajah yang tak ramah sama sekali. Bu Wina bergidik ngeri.

To be continued...