"A-ada apa, Mas Raave?"tanya Bu Wina, hati-hati. Takut.
Raave menggeleng. "Tak ada apa-apa, Bu. Kata Dokter, Aira akan dalam kondisi seperti ini, 1x24jam."jelas Raave.
Sang asisten mengangguk. Para Perawat laki-laki datang, memindahkan Aira ke brankar dan membawanya ke kamar inap.
Raave menyusul, juga asisten Aira itu. Tiba di kamar VVIP Room lantai 3, sang CEO tak melepaskan sedikitpun genggamannya, dari tangan sang gadis. Ia berterima pada para Perawat, sebelum mereka pergi.
"Ai, berarti baru nanti malam, kamu bangun, kan?"gumamnya. Memainkan rambut Aira, sambil merebahkan kepalanya. Duduk Di sisi ranjang.
Sang gadis diam, alat bantu nafasnya masih setia menemani. Juga alat lain. Raave memandanginya sendu. Sedih. Tak sadar, Ia tertidur begitu saja.
"Raave.."suara seorang perempuan memanggilnya.
Raave menoleh, tersenyum senang. Menghampiri, Aira, sang perempuan yang memanggilnya. Ia dekatkan wajahnya. Mengecup perlahan bibir lembut beraroma rockrose itu, dalam. Tangannya memeluk sang gadis erat.
Aira membalas ciumannya. Mencecap begitu dalam, bibir sexy sang lelaki. Menenggelamkan diri dalam rasa bahagia. Ia lingkarkan lengannya di leher Raave. Berusaha mengimbangi gaya berciuman sang CEO yang kuat, dan bisa dibilang sedikit mendominasi.
Tangan Raave berpindah ke pipinya. "Aira..."sela Raave diantara nafas yang sedikit, terengah. Ia tempelkan keningnya di kening gadisnya. Sejenak, lalu menatap penuh cinta Aira, membelai pipinya. "Aku.... "
Raave tersentak! Ia buka matanya lebar. Selebar-lebarnya. Kaget. Nafasnya cepat. Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Padahal Biasanya sudah sangat kencang dan cepat.
"Hah.. Hanya mimpi!! Sial!"gerutunya lirih. Ia berdiri, melangkah ke toilet. Mencuci muka. Kembali ke sisi gadisnya. "Ai, kamu kenapa tak bangun juga..?"lirih Raave.
Ia mendekat, berbisik di telinga gadis itu. "Aku ingin bicara padamu, Aira. Bangunlah! Ini penting!"
Bu Wina yang duduk di sofa, sambil membaca tabloid, geleng geleng kepala. Tak begitu paham terkadang, dengan kelakuan lelaki satu ini.
"Jika kamu tidur begini, bagaimana aku bisa bicara padamu. Maka dari itu, bangun, Ai!!"lirih Raave lagi. Berharap, keajaiban, Aira akan bangun. Walau belum 24jam. Ia sengaja mengoceh, agar Aira secepatnya membuka mata.
"Hei, Ai. Aku tahu ada Cafe baru di daerah dekat Gwalk. Maukah kamu kuajak kesana? Kata Gio, cappuccinonya sedap, dear. Ada roti, croisant. Cake potong kesukaanmu. Kesukaanku juga, pastinya." Raave mengelus pipi Aira.
"Kamu boleh makan berapa slicepun kamu mau. Lalu kita akan ke Resto favoritku, memesan Wagyu dan Salmon Baked kesukaanmu. Dengan kentang." lelaki itu terus bergumam. Tak henti.
Sinar matahari mulai merembet masuk melalui celah jendela. Bu Wina menutup sedikit tirainya. Lalu duduk lagi. Memperhatikan Raave yang mangajak Aira ngobrol.
Ngobrol yang lebih tepatnya disebut bermonolog sendiri.
"Oh iya, Ai. Kelihatannya Rose mulai mencari info tentangmu. Pasti dari Mama. Ya, siapa lagi. Gio juga. Nampaknya Ia ingin bertemu denganmu, saat ada waktu luang."cerita Raave.
Rose mengirim pesan singkat padanya, melalui aplikasi chat. Bercerita bahwa Ia ingin bertemu gadis yang dekat dengan Raave, bernama Aira. Ia juga diceritakan oleh ibu mereka, bagaimana Raave, bersama gadis itu.
Raave agak terkejut, sebenarnya. Namun tak mempermasalahkan. Sepandainya ia tutupi, pasti akan ketahuan juga.
"Aku akan bilang padanya, bahwa Aira juga ingin bertemu dengan kakak perempuanku. Benar begitu, kan Ai?"celoteh Raave.
Bu Wina yang membawa bekal seadanya, membuatkan Raave teh hangat. Memintanya minum dulu, lalu melahap sarapan yang sudah disediakan Rumah sakit, untuk penunggu pasien.
Raave menolak makanan Rumah sakit. Ia hanya menyeruput teh dari Asisten Aira. Kembali pada gadisnya.
"Ehmm.. Sedap sekali teh Bu Wina, Ai. Ini juga salah satu kesukaanmu kan, teh Lemon." Lelaki itu bicara lagi.
Raave menghabiskan tehnya. Meminta secangkir lagi pada Bu Wina.
"Kamu... Suka cerita ya sekarang..."sahut Aira, lirih. Tiba-tiba. Agak tersendat, karena masih memakai ventilator. Mencoba melepasnya, hati-hati.
Raave dan Bu Wina menoleh kaget.
"Aira..!!"teriaknya rendah, senang. Ia dekap Aira erat.
Bu Wina menghampiri sang gadis.
"Kamu bangun juga.." Raave begitu gembira.
"Hm, aku mendengar suara berisik. Dan seseorang bercerita, panjang lebar... "
Raave tergelak. "Memang kusengaja, agar kamu secepatnya bangun."
"Kenapa kalau aku tidur? Aku tak boleh tidur dan istirahat??"
"Aira, jujur saja, kamu seperti orang yang hampir tak tertolong, saat tadi pagi, aku ke rumahmu. Jadi, kamu harus dibangunkan. Agar..."
"Kenapa memangnya seandainya aku tak bangun?"
Raave menutup mulut Aira dengan jarinya, menggeleng tak suka. "Jangan katakan hal seperti itu!" Ia dekap sang gadis lagi.
"Mau makan sesuatu?"tanya Raave. Mengusap-usap lengan Aira. Gadis itu bangun, bersandar pada bantal. Sudah lumayan baikan.
Aira menggeleng pelan. "Mulutku tak nyaman rasanya."
"Kamu tak ingin makan cemilan misalnya, keripik kentang rasa rumput laut kesukaanmu, mungkin?"tawar Raave, sabar.
Gadis itu tersenyum.
"Salmon baked with cream, Potato wedges??" suara sang lelaki dibuat-buat sedemikian rupa.
Aira menggeleng. Menahan tawa, menutup mulut.
"Ehmm...Ai.. Cake mentega dengan keju leleh dan Orange peel? Dan Peach Tea?" Raave menggoda Aira, dengan berbagai makanan favorit gadisnya itu. Ia benar-benar paham selera Aira.
"Atau mungkiinn... Tumis brokoli daging, perkedel, ikan fillet goreng tepung, dan sup jagung. Hm..yummy!!" Raave memejamkan mata, mengecup jarinya. Membayangkan betapa lezatnya makanan itu.
Aira tergelak. "Kamu mencoba menggodaku dengan makanan, Raave?"
"Aku tidak menggodamu, dear. Aku ingin kamu makan, sesuatu." Raave bersuara, seolah bercanda dan tidak serius.
"Oh begitu. Aku tak ingin makan itu Semua, Raave."
"Hm, lalu ingin makan apa?" Raave mendengarkan dengan cermat. Barangkali seleranya berubah lagi.
Aira mendekat, berbisik lirih. "Aku ingin memakanmu." Lalu menutup Mulut, menahan tawa.
Raave tampak tegang, mematung.
Ia tatap Aira dalam. "Oh kamu tidak bisa memakanku, dear. Kamu harus membunuhku dulu." balas Raave bercanda. Ia mengerti benar maksud Aira.
"Lagipula dagingku keras, berotot begini, keras sekali!"lanjutnya. Ia pamerkan lengannya yang kekar. Berekspresi seolah itu tak menyenangkan sama sekali.
Aira tertawa lepas. Memandangi ekspresi lelakinya yang tak biasa, kala bercanda. "Maaf hanya bercanda, Raave. Aku hanya bercanda. Sumpah!"
Raave tergelak. Ia belai pipi Aira. Mengangguk. "Kamu memang selalu penuh kejutan, Ai".
Gadis itu tersenyum. "kamu benar-benar menemaniku?"
"Tentu saja! Jadi bagaimana, ingin kupesankan apa? Nanti kutemani makan, dear. Aku kebetulan juga lapar." Raave menepuk perutnya.
"Terserah kamu, aku suka semuanya. Termasuk orang yang memesannya. Ups!" Aira terkikik geli. Raave adalah sasaran empuk untuk digoda.
Lelaki itu tersipu malu. Kembali memandang gadisnya, usai memesan semua makanan lewat online. "Ai, kamu selalu bisa membuatku tersipu malu. Kamu selalu berhasil membuatku tergoda, dan kagum dengan apa yang kamu lakukan"
"Apa kamu bosan dengan semua itu, Raave. Maaf jika aku terla... "
"Ssshhhh.. Ga.. Ga.. Aku tak bosan. Bukan bosan, justru aku senang. Gadis lain hanya memuji ketampananku, kesempurnaan fisik dan segala macamnya." Raave memotong kata-kata Aira.
"Namun kamu berbeda. Kamu menganggapku seolah aku berharga. Untukmu. Hidupmu. Dengan selalu berkata, kamu suka padaku, dan semua itu. Sementara aku hanya datar-datar saja."lanjutnya.
Aira mengulas senyum lebar. Senang, sang lelaki bisa mengungkapkan perasaannya seperti ini. Padahal sebelumnya, bicara saja tidak. Ia mengingat apa yang telah dilakukannya, hingga sang lelaki seperti ini sekarang.
Namun tak ada yang dilakukannya. Biasa saja. Menyayanginya, kadang menggodanya. Biasa saja.
"Raave, aku kehabisan kata-kata"ucap Aira.
Lelaki itu terbahak. "Baiklah. Tak usah bicara kalau begitu. Aku saja. Kamu harus banyak istirahat. Bukan banyak bicara."
Bu Wina ikut bahagia menyaksikan kedua sejoli di depan matanya, begitu penuh cinta. Dan saling menyayangi. Saling menyayangi???
30 menit menunggu, Delivery Man mengantarkan juga pesanannya.
Raave berterima kasih, sebelum si Pengantar pergi. Ia ambil lunchbox berisi Salmon Steak dan Mashed potato. Juga Garlic bread. Ia serahkan pada Aira.
Lalu ia mengambil untuknya sendiri. Wagyu beef saus Lada hitam, salad sayuran. Bu Wina Ia pesankan Spaghetti dan Ayam panggang.
"Maaf Raave jika membuatmu tak nyaman, tadi" ujar Aira menyesal, sambil berusaha melahap makanannya perlahan.
Raave membelai wajahnya, mengangguk. Menunjuk makanan. Meminta Aira menghabiskannya. Tanpa bicara lalu Mulai makan.
Aira mengangguk patuh. Walau dengan agak susah payah, karena mulutnya pahit. Ia tak ingin mengecewakan Raave.
Beberapa menit berlalu, Perlahan makanannya tandas. Dengan Raave yang menyuapinya sedikit demi sedikit. Penuh kesabaran.
Setelah itu Aira minum obat. Bersandar di kepala ranjang.
Bu Wina memberesi bekas makanan mereka, menjadikannya satu dan membuangnya ke tempat sampah.
Raave lepas jasnya, kemudian dasi dan sepatu.
"Hm, Apa G?" Gio menghubunginya.
"Nampaknya Nona Aira sudah baikan. Suara Anda sudah normal. Oh, tamu dari NY datang sore ini. Anda menyambut mereka, kan?"komentar Gio. Melaporkan kedatangan si tamu.
"Hm, tentu."jawab Raave.
"Oke. Jam 5 mereka check in di Hotel. Anda sambut di Bandara atau bagaimana?"
"Atur saja. Aku menurut! Sedang malas berpikir!!"sergah lelaki itu lagi. Gusar. Berarti artinya, Ia tak bisa menemani gadisnya sore dan malam nanti.
"Baik, Mr Raaavve..." Gio menjawab dengan suara dibuat-buat.
"Hm" call end.
"Kamu akan ke kantor lagi?"tanya Aira, paham.
Raave melirik jam, 2 siang. Masih ada beberapa jam lagi. Mengangguk pelan. "Maaf, tamu dari Luar, datang sore ini. Aku... "
"Tak apa, pergi saja. Sudah ada Bu Wina. Nanti paling Zii dan Adnan kesini."potong Aira, tersenyum. Memegangi tangan sang lelaki.
Tatapan mata sang gadis yang begitu dalam padanya, membuat Raave tak tega meninggalkan Aira. Tapi tamu ini penting juga. Ia mengumpat dalam hati, sebal.
Aira menggenggam erat tangan lelaki itu. "Kenapa ya, saat kamu di dekatku, sakit dan apalah itu, semua seolah hilang begitu saja, Raave?"gumamnya lirih.
Sang CEO hanya mengulas senyum penuh arti, sambil mengusap kepala gadisnya. Tanpa bicara. Menahan sesuatu yang begitu membuncah di dalam hati. Ia berusaha menekannya sekuat tenaga. Tak membiarkan sesuatu itu, menguasainya dengan mudah.
Masih saja, seorang Raave Pranaja, CEO Perusahaan IT terbesar di Indonesia, cerdas, angkuh, dan merupakan salah satu pria paling berpengaruh di kota besar itu, menyangkal.
Prinsip yang utama. Tak bisa diganggu gugat. Apapun yang terjadi! Ia pegang teguh prinsipnya, oleh karena itu, bisa dibawanya Pranaja Tech melanglang buana.
Impiannya, bisa mendunia. Tak hanya kawasan Asia Tenggara, namun Benua Eropa, Amerika, Australia.
Sepertinya kata-kata Gio waktu itu, hanya mampir saja ditelinga.
Prinsip atau ego??
*