"Turunkan aku, Raave!!"teriak Aira.
Raave terus berjalan, "Ssshhhh... Kamu tidak malu, Hm? Lihat! mereka menatap kita, seolah aku akan menculikmu! Tenanglah Ai. Percayalah padaku!" Ia berusaha sabar. Memasang senyum mautnya, agar sang gadis diam.
Dan usahanya berhasil, gadis itu luluh, mengeratkan dekapannya di leher sang CEO. Agar tak jatuh. Walau sebenarnya tak berpengaruh. Raave sudah menggendongnya mantap dan erat. Tak akan jatuh.
Raave melangkah ke lift. Bu wina terkekeh, dengan tingkah laku kedua sejoli itu.
Masuk ke lift, ada tiga orang di dalam. Mereka menatap Raave yang menggendong Aira dengan tatapan iri. Raave sengaja, mengecup pipi Aira. Membuat ketiga orang yang semuanya perempuan itu, 'Panas'. Sementara Aira yang malu, membenamkan wajahnya di ceruk leher sang lelaki. Wajahnya entah berwarna apa. Merah bak udang rebus, atau malah pucat pasi layaknya cumi belum disiangi.
Raave tersenyum lebar.
Tiinnggg...
Lift terbuka, Ia melangkah keluar. Meninggalkan aroma mint dan Aqua maskulin pekat di lift, yang masih dihuni ketiga wanita yang 'gerah'.
Bisa lelaki itu rasakan, pandangan kagum mereka terhadapnya. Dan rasa iri pada Aira.
Raave berjalan keluar, menuju mobil, Bu Wina membukakan pintu. Mendudukkan Aira di kursi belakang. Dengan sangat hati-hati. Lalu ia sendiri masuk, duduk di sisi gadisnya.
Bu Wina di depan bersama Luke.
Aira segera menyandarkan kepala di pundak Raave. "Boleh kan, aku bersandar?"tanyanya ragu, mendongak.
"Jangan bertanya, kamu bebas bersandar di semua bagian tubuhku! Kepalamu pusing?" Ia raba kening gadis itu. "Badanmu hangat, Ai."
Aira tak menjawab, memejamkan mata. Tangannya erat memeluk lengan Raave. "Nyaman sekali!"gumamnya lirih.
"Tidurlah. Nanti kubangunkan"ujar Raave. Diusapnya lembut kepala gadisnya. Sembari menahan genangan di sudut mata.
Hitungan detik, tangan Aira tak lagi erat, memeluk lengannya, Lunglai begitu saja.
"Ai..!"panggil Raave. Panik mendadak.
Aira diam.
"Airaa..!"panggilnya lagi, disertai usapan pelan di pipinya.
"Hm?" Gadis itu membuka mata, "Sudah sampai?"
Raave bernafas lega. Sangat lega.
"Belum, Istirahatlah, maaf!"jawab Raave.
Aira kembali memeluk lengan sang lelaki. Tidur lagi.
Luke tersenyum haru memandangi Tuan mudanya.
Mereka tiba di Rumah Aira. Raave kembali menggendong gadisnya. Namun di punggung. Naik ke kamar. Lalu menurunkannya perlahan, di atas tempat tidur. "Terima kasih, sudah menggendongku!" Ia kecup bibir Raave sekilas. Lalu melangkah ke toilet. Berganti baju.
Raave tersenyum. Duduk di tepi bed. Ia amati keseluruhan kamar sang gadis.
Aira kembali dengan setelan kaos dan celana panjang nyaman. Ia segera menghempaskan diri di bednya. "Kamu kembalilah ke kantor jika memang sibuk, Raave."ujarnya lemas. Namun tangannya menggenggam tangan sang lelaki begitu erat, seolah tak mau lelaki itu pergi.
Raave memandangi sang gadis. Tersenyum, mengusap -usap kepalanya dengan sayang. 'Gadis ini yang mau menunggu bahkan hingga dua jam! untuk bertemu denganku. Tak bakalan mungkin Prue, Anne, Ghina apalagi, atau siapapun mau melakukannya. Walau ia dipaksa Gio. Tapi jika memang begitu, dia bisa memaksa pulang juga sebenarnya. Siapalah Gio.' suara hatinya mengusik ketenangan.
Aira tertidur. Genggamannya melonggar.
lngin Ia tarik tangannya dari genggaman longgar itu, namun sama sekali tak dilakukannya. Raave mengulas senyum. Senyum yang seolah kalah. Hanya dia sendiri yang bisa menerjemahkannya.
Lelaki itu menarik tangannya perlahan. Genggaman Aira lepas, seiring semakin lelapnya Ia tidur.
Ia kecup bibir gadisnya sebelum pergi. Melangkah keluar dari kamar itu. Menutup pintu perlahan. Pamit pada Bu Wina.
Kembali masuk mobil. Masih dengan senyum kekalahannya.
"Ada apa, Sir? Anda tampak aneh." Luke berkomentar. Menatap wajah Raave yang tak bisa dilukiskan dengan kata.
"Aku baik saja, Luke. Hanya mengakui kekalahan."jawabnya singkat.
"Kekalahan?" Luke berbalik.
"Hm. Ya. Oleh gadis penghuni rumah ini"balas Raave lagi. Mengalihkan pandangan ke rumah Aira.
"Artinya?" Luke bingung.
"Artinya, hanya aku sendiri yang paham. Kau tak akan mengerti!"lanjut Raave lagi. "Kita ke kantor! Hampir jam makan siang."
"Anda mau makan dulu?"tanya Luke. Mulai melaju.
"Tidak, di kantor saja nanti"
Luke mengangguk, melaju semakin cepat.
**
Beberapa hari kemudian
"Kita Dinner, malam ini?" Raave mengajak Aira siang itu, saat mereka makan siang bersama.
Aira menatap lekat lelakinya. "Maaf, aku mau nobar sama Zii. Sekalian beli beberapa keperluan untuknya."jawabnya santai. Ia masih agak trauma diajak Dinner.
"Kamu masih kecewa?"
"Yaaa... Aku memang ada janji dengan Zii. Lagipula kita sudah makan siang."balas Aira lagi. Ia menikmati potongan Ayam menggunakan tangan. Kedua sejoli itu makan di kedai sederhana, langganan Adnan dan Zii.
Menu favorit Raave, Wagyu Beef tak ada di sana. Jadi Aira memesankannya Korean Fried chicken. Yang merupakan salah menu andalan.
Aira lebih suka Ayam Suwir bumbu Bali. Dan Nasi Liwet. Awalnya, Ia memesankan Raave Kentang Panggang mentega, untuk menemani Ayam Korea. Namun katanya, Ia ingin coba juga Nasi liwet seperti Aira.
Suapan pertama, Raave sedikit mengerutkan alis. Mungkin karena rasa rempahnya. Aira menatapnya lekat, penasaran dengan reaksi sang lelaki.
Suapan kedua, Sudah sedikit berbinar. Suapan ketiga dan seterusnya, Aira tak memperhatikan, karena Raave telah begitu lahap. Menyantap makanan.
Ditemani Es Kuwud Bali nan segar, Raave agak sedikit aneh saat menatap gelasnya. Terbiasa minum wine atau cocktail, membuatnya agak bingung juga.
Ia menyeruput lewat sedotan. Perpaduan air kelapa, buah melon, daging kelapa muda, ditambah sedikit kucuran jeruk nipis, membuatnya tak kalah segar dari Mojito. Lebih alami dan tanpa efek samping.
Raave terus menyeruput, hingga tak terasa, habis. Gelasnya kosong.
"Lagi?"tanya Aira.
"Hm. Yeah. It's good! Like on a beach!"komentarnya.
Aira tergelak. "Makanya jangan kebanyakan minum wine. Hm?"
"Bahannya apa Ai?"
"Air kelapa muda, bahan dasarnya. Jadi beda. Lebih bermanfaat buat tubuh."bisik Aira. Mengerling.
Segelas Es Kuwud Bali datang lagi.
"Mau pesan dessert juga? Atau pulang?"tanya Raave.
"Terserah kamu."
"Pulang yuk, aku kenyang banget, nasinya porsi kuli. Mana Ayamnya juga banyak."keluh sang CEO, kekenyangan.
"Siap Bos!" Aira yang membayar makan siangnya. Ia sudah berjanji pada Raave. Awalnya Raave menolak keras. Tapi Ia memilih mengalah, daripada terus mendebat gadis itu.
Aira ke Kasir. Raave menunggunya agak jauh.
Mengantri di belakang seorang wanita.
"Huh! Kok mau ya, dia bayarin cowoknya. Kalo aku sih ogah! Dimana-mana yang bayar ya cowok! Cewek bodoh!"celetuk salah seorang perempuan yang mengantri bersama temannya, di belakang Aira.
Darah Aira seolah mendidih. Ia redam dan berusaha tenang.
"Ai..!"panggil Raave. Ia agaknya mendengar omongan si perempuan.
Aira menoleh dan tersenyum. Mengkodenya untuk tenang saja.
Tiba giliran Aira membayar, Ia keluarkan Black card atas nama Raave. Yang memang diberikan Raave untuknya.
"Atas nama Raave Pranaja. Pin?"tanya kasir. Aira menekan tombol di mesin EDC. Lalu mendapat Bukti pembayaran. Perempuan di belakangnya diam. Tak lagi bicara.
Sejurus kemudian, ia juga sudah mendapat rincian pembeliannya. Ia tersenyum, berterima kasih pada kasir. Dan pergi.
"Oh Babe, Black card darimu kugunakan hari ini, yang lain biar di rumah ya. Aku tak ingin terlalu bawa banyak barang di dompet." Ia bicara lantang, pada Raave yang menatapnya linglung.
Aira melirik perempuan yang mengejeknya, mereka menatap ke arahnya dengan pandangan tak percaya. "Ayo pulang, Sayang!"
Ia menggelayut manja di lengan Raave, yang sudah paham akhirnya.
Lelaki itu berjalan dengan gagah. "Terserah kamu, Dear" sambil membelai pipi gadisnya.
Membuka pintu kedai, melangkah perlahan menuju mobil.
Saat akan menutup pintu mobil, seseorang menahannya. Aira kaget, pun Raave.
Aira mendongak, mendapati Kedua perempuan yang membicarakannya tadi. "Ya, ada yang bisa dibantu, Nona?" Ia terpaksa keluar dari mobil.
Sang perempuan bicara dengan kepala tertunduk. "Kami minta maaf soal tadi, Nona. Terima kasih sudah membayar makanan kami!" Ia menundukkan badan berulang kali. Malu nampaknya.
"Ya, sama-sama. Lain kali jangan asal bicara!"balas Aira. "Permisi" Ia tersenyum sopan, yang dibalas keduanya dengan senyum malu. Aira masuk mobil, Raave segera melaju kencang.
"Bagaimana bisa kamu lakukan itu?"tanya Raave.
"Apa?"
"Tadi, dia menjelekkanmu, lalu kamu malah membayar makan mereka." Raave tersenyum takjub pada gadisnya.
"Hanya berusaha baik pada orang. Ya begitulah saja, Raave. Lagipula mereka hanya makan sepiring Nasi goreng dan Lemon tea. Satu untuk berdua. Hanya kesitu untuk foto foto dan pamer."
"Kamu tahu??" Kembali dibuat kaget, Karena Aira tahu detailnya.
"Kata kasirnya. Hehe.."balas Aira, meringis.
Raave tersenyum lebar, Ia usap lembut kepala Aira.
"Maaf, terpaksa pakai Card mu. Aku benar-benar emosi tadi. Memangnya kenapa kalau perempuan yang bayar." tukas Aira.
Raave kembali menatap sang gadis. Kagum. "Karena mereka materialistis, Ai. Yang mereka pikirkan hanya gengsi dan uang. Di pikirannya, harus dapat lelaki yang kaya mungkin, tajir bahasanya."
"Justru jika bertemu lelaki yang seperti itu, aku malah takut."
"Kenapa??"
"Takut tak pantas berada di sampingnya.... " jawab Aira. Suaranya dalam, pun tatapannya pada Raave.
Sang lelaki terdiam sesaat. Ia menatap Aira dalam juga, tentu dengan tetap fokus menyetir. "Kamu.. Merasa begitu... Padaku???"
"Ya...!"jawab Aira, mantap.
"Apa yang membuatmu takut, sebenarnya?"
"Banyak hal. Penampilanku, wajahku, pendidikanku, pekerjaanku... Semua aspek!"
"Apa itu penting?? Jika memang sang lelaki sudah merasa si gadis ini bagian dari hidupnya??"tanya Raave.
"Penting. Bagaimana tanggapan keluarganya, bukankah nanti malu, jika pendidikannya tak tinggi barangkali. Atau tak cantik.. Atau... "
Raave berhenti mendadak. Meraih tengkuk sang gadis, menyatukan bibir mereka lembut. Membungkam Aira. Ia kecup dengan dalam, bibir gadisnya. Salah satu candunya, selain wine... Dan cake mentega.
"Jangan berpikir seperti itu, Ai...!"sela Raave.
"Aku hanya manusia biasa Raave!"
"Akupun sama!! Hei.. Aku percaya, semua yang kumiliki saat ini, bisa saja lenyap dalam sekejap, lalu aku tak punya apa-apa lagi. Apakah saat itu, kamu masih mau bersamaku?"
"Tentu! Aku.... Oh ya, aku... Ehmmm..." 'Aku cinta padamu, Raave'lanjutnya, dalam hati saja.
"Kamu apa, Ai?"
"Tidak! Aku tak memandang semua itu, itu saja."
"Akupun sama, Aira!! Tak memandang penampilanmu, pendidikan, atau apalah itu!"jawab Raave.
"Kamu bijak sekali, Raave. Baru kali ini kudengar kamu bicara begini. Sejak kapan ini terjadi?"
"Sejak saat itu... Hanya aku yang tahu." Raave mengerling, melaju lagi. Dengan senyum mengiringi.
"By the way Ai, kamu memanggilku, 'sayang' tadi?"tanya Raave.
"Iya, maaf, hanya untuk memanasi para perempuan itu!"jawab Aira.
"Hanya untuk itu?"
"Hm, ya. Kenapa?"
Raave Melirik Aira sekilas.
"Maaf, jika membuatmu tak nyaman dengan itu."ujar gadis itu, menyesal. Menatap sang lelaki.
"Justru aku nyaman sekali!" Raave mengerling.
Aira tersipu.
**