Raave berdiri. "Baik, Saya harus pergi, Nona Prue!" Ia berbalik.
Namun tangan Prue menahannya. "Bisakah Anda pertimbangkan lagi keputusan Anda, Mr Raave?"
"Sebutkan alasan, kenapa saya harus mempertimbangkannya, Nona Prue? Sedangkan anda juga tak pertimbangkan lagi, saat mengambil yang harusnya jadi milik orang lain?"sergah Raave, tak sabar.
"Baik. Baik. Saya akan mengganti kerugian padanya. Saya akan cari tempat strategis untuknya. Bisakah ini diterima?"saran Prue. Menatap Raave, memohon. Membujuknya secara halus, agar tetap mendanai project Perusahaan.
Raave hanya tersenyum meremehkan. Matanya beralih pada tangan Prue, yang masih memegangi lengannya. "Lepaskan tanganku!!"tukasnya.
Prue menarik tangannya. "Maaf, Sir!". Ia tersenyum malu, senang juga bisa memegang tangan sang lelaki.
"Jadi, Mr Raave. Alasan saya cukup meyakinkan Anda untuk mempertimbangkan lagi?"tanya Prue. Memastikan.
Raave tampak berpikir. Ia masih berdiri, sedikit menunduk, dengan kedua tangan berada di saku celana.
"Hm. Dua hari!! Jika dalam waktu itu, tak ada hasil. Aku berhenti!!"jawab Raave lagi, keputusan akhirnya. Lalu berbalik, tanpa memandang Prue dan yang lain. Tanpa mendengarkan balasan dan reaksi. Tak peduli.
Ia berjalan cepat keluar dari Aula, bersama Gio di belakangnya. Kemudian diikuti beberapa Staffnya, yang menunggu di lantai bawah.
Raave pergi begitu saja. Secepat kilat.
Prue yang masih agak gemetaran, segera meminta Manager Operasional mencari lokasi strategis.
Zii masih tak habis pikir. Bingung. Hanya bisa membantu seperlunya.
CEOnya tampak sibuk bicara dengan sang Manager Operasional. Sambil membubarkan para Staff lain yang tak berkepentingan. Termasuk Zii.
Ia tak ambil pusing akhirnya. Melangkah keluar, kembali ke ruangan. Melanjutkan pekerjaan.
BookShop Aira
Aira masih berdiskusi dengan Mr Suri. Serius.
Raave calling...
Nada dering ketiga, Ia baru menjawabnya.
"Ya.."
"Aku sudah bicara pada Prue. Dia akan mencarikanmu lokasi lain, Ai."
"Haaahh.. Raave kamu tak perlu begitu! Aku bisa cari lokasi lain sendiri." Aira mendesah panjang.
"Aira. Aku sudah bilang padamu, aku ini egois. Tadi aku sedikit mengerjainya. Akan kuhentikan pendanaan untuknya, jika dalam dua hari tak ada lokasi untukmu!"
"Apaa??!! Kamu bercanda??!"
"Tidak sama sekali! Biar dia tak mengambil lokasi orang lain seenaknya. Karena aku juga bisa bertindak sesuka hatiku!"jawab Raave. Tegas.
"Dia tahu, lokasi itu awalnya sudah kubooked?"
"Tidak nampaknya."
"Hm. Cepat lambat akan tetap tahu!" Aira bergumam pelan.
"Kamu sudah berada di bawah naungan Pranaja Tech, Ai. Aku melindungimu sepenuhnya!"
"Melindungiku??"
"Ya, Melindungimu. BookShopmu dan kamu sendiri!"balas Raave. Suaramya terdengar serius dan dalam.
"Terima kasih."ucap Aira tulus.
"Itu sudah tugas induk perusahaan, Dear. Aku tutup ya. Aku sedang break meeting, ini mau mulai lagi."
"Oke." call end.
Aira kembali pada Mr Suri. "Mr Suri, tak perlu cari lokasi. Katanya sudah dicarikan orang yang kemarin ngambil lokasi kita!"jelasnya.
Sang Head Manager mengangguk, tersenyum.
Aira akhirnya setuju untuk berada dalam naungan Pranaja Tech. Setelah diskusi panjang dengan seluruh Staffnya. Juga Mr Suri, tentunya. Tapi semua masih di bawah kendalinya penuh. Masalah keuntungan, Aira berdiskusi lagi dengan para Staff dan Head Manager, khusus Pranaja Tech, semua buku gratis. Bagi para karyawannya, potongan khusus, beberapa persen.
Walau Raave menolaknya. Raave hanya ingin melindungi BookShop dan Aira. Tanpa ada bagi hasil keuntungan, seperti pada umumnya. Tapi Aira bersikeras berkeputusan begitu.Raave lagi lagi mengalah.
Kata lelakinya itu, hanya formalitas, agar bisa melindunginya. 'Tapi bagaimana laporannya nanti?'batinnya. 'Ah tau lah!!' Aira tak ambil pusing.
"Entah apa yang dilakukannya, hingga akhirnya Prudence Construction mau mencarikan ganti!"celetuk Aira.
Mr Suri tersenyum. "Mr Raave benar benar melindungi kita, Mba." balasnya, terlihat senang.
Aira hanya membalasnya dengan senyum juga.
"Sepertinya kita santai saja Mba, sudah dicarikan tempat. Tak perlu pusing. Saya permisi ya Mba Aira." ujar Mr Suri, pamit. Berdiri.
"Iya, Sir. Terima kasih."jawab sang gadis.
Lelaki itu mengangguk takzim, lalu mulai melangkah keluar ruangan. Menutup pintu perlahan.
Aira mengecek notebook. Tak ada yang perlu dicek dan diperbaiki lagi, jadi Ia bersantai. Sambil membaca novel.
Prudence Office
Prue masih dengan kelimpungannya, mencari-cari lokas pengganti. Ia menemukan satu lokasi bagus, di Surabaya. Salah satu Staffnya kebetulan punya tetangga yang berprofesi sebagai Broker. Memberikan info berharga, bahwa baru saja ada tanah luas dijual. Lokasi tengah kota. Dekat pasar, Stasiun pengisian BBM dan Sekolah.
Perempuan itu mencoba menghubungi Raave. Namun malah ditertawakan.
"Prue, mereka mengambil tanah di Semarang karena akan membuka Branch pembantu di kota itu. Apa gunanya di sini.?"kata Raave.
"Mereka bisa cari sendiri, tak perlu campur tanganmu!!"lanjutnya sinis.
Ia manyun, wajahnya muram. Iseng, Ia cek di notebook. Di laporan Managernya. Siapa sebenarnya si klien yang sudah booked itu.
Tak ada keterangan apapun. Akhirnya Ia bertanya langsung pada sang Manager. Memanggilnya secara pribadi ke ruangan.
"Mr William, Anda yang mengurusi keseluruhan project ini, kan? Saya hanya ingin tahu, siapa klien yang sudah booked lebih dulu itu?"tanya Prue, tanpa basa-basi.
William, sang Manager menjawab dengan agak ragu. "Memangnya kenapa, Miss Prue? Pentingkah?"
"Aku hanya ingin tahu. Kamu tahu kan?"
"Ya. Saya sempat bertanya pada pemiliknya kemarin, katanya mau buka Branch pembantu untuk Toko Buku mereka."jawab William, mengingat.
"Toko Buku?? Namanya?" Prue sedikit kaget.
"Apa ya Miss? Bahasa Inggris kok. Ehmmm... " William berusaha keras.
Prue menunggu dengan was-was. Banyak Toko Buku di Surabaya yang namanya Kebarat-baratan. Pikirannya tertuju pada sahabat Zii. Tapi berusaha mengenyahkannya.
"The BookShop Miss.. Iya itu dia namanya!!" Wiliam akhirnya ingat.
Prue terhenyak. Pikirannya terbukti. BookShop milik Aira. Kebetulan dulu, saat Zii cerita soal Aira, Ia iseng mengecek di internet. Soal Toko Buku dengan Pemilik bernama Aira. Dan hanya The BookShoplah satu-satunya.
"Dan saya dengar juga, Miss. Staff suruhan Mr Raave diutus kesana, menemui pemiliknya. Menegur, kenapa tempat yang sudah dibooked, malah diberikan orang lain."lanjut William. Menambahi informasi.
"Oke, Will, terima kasih. Kamu boleh kembali ke ruanganmu!"perintah Prue tegas.
Wiliam segera berdiri, dan mengangguk takzim, sebelum akhirnya keluar dari ruangan pimpinannya.
"Ada hubungan apa, Raave? Kamu dan Aira? Hingga seperti ini?"gumam Prue, tak senang. Wajah cantiknya dihiasi cemburu dan emosi. Tangannya mengepal di atas meja. Hampir saja menggebraknya.
Hatinya bergemuruh. Sepertinya cemburu sudah menguasai, seluruh hati dan pikiran sang perempuan. "Apa istimewamu, Aira? Hingga seorang Raave Pranaja, marah karena hal ini."bisiknya sinis.
Ia panggil Zii, sahabat Aira. Ke ruangannya. Masih dengan emosi dan sebal di hati.
Zii datang dalam hitungan detik. "Ya, Miss Prue." Ia duduk di depan Prue.
"Zii, kamu sahabat Aira kan?"tanya Prue mengawali. Berekspresi biasa saja.
"Benar."
"Aku ingin tahu, Zii. Kamu juga pasti mengetahuinya. Semua kisah dan keseharian sahabatmu. Betul begitu?" Prue mencoba bicara secara halus. Basa-basi, lebih tepatnya.
Zii hanya tersenyum. Firasatnya buruk. "Apa yang Anda ingin tahu, Miss?"
"Hm. Begini, Zii. Kamu tahu sendiri, Raave marah tadi pagi, gara-gara tempat yang kita rebut di daerah Semarang itu. Padahal tempat itu sudah dibooked oleh Perusahaan lain." Prue bercerita.
"Yaa..?"
"Ya, dan ternyata setelah kucek. Perusahaan yang awalnya sudah booked itu adalah, BookShop sahabatmu, Aira. Itu menjadi penyebab seorang Raave Pranaja marah besar pada Perusahaan ini, hingga hampir akan menghentikan pendanaan!" Prue mengoceh. Wajahnya sudah terlihat emosi.
Zii mengangguk paham. 'Oh, ternyata. Makanya Raave marah!'batinnya. Ia tersenyum geli kemudian. Yaa... Melihat temperamen Prue, Ia sudah siap.
"Oh, begitu, Miss, saya juga tak paham."balas Zii. Datar. "lalu?"
"Aku ingin tanya, ada hubungan apa Raave dan sahabatmu, Aira? Sampai Raave membelanya sedemikian rupa, Zii. Yang kutahu tak pernah Raave lakukan sebelumnya!" Prue mendelik marah.
Zii menatap sang CEO. "Ya, mereka dekat, Miss!"jawabnya mantap.
"Dekat? Sejak kapan dan sedekat apa?"tanya Prue, seperti detektif. Detail.
"Kalau sejak kapan, saya tak paham, Miss. Yaa, dekat. Setahu saya. Sering makan siang dan Dinner bersama. Mungkin Anda bisa tanyakan detailnya pada yang bersangkutan, Mr Raave. Saya tak berhak mencampuri urusan mereka, kan?"jawab Zii, berani. Ia jawab dengan santai dan penuh keyakinan. Tak merasa takut pada apapun.
Prue menunduk dalam. "Benar saja. I got it, Zii. Oke terima kasih. Kamu boleh kembali!"ujarnya. Setengah menggeram.
Zii mengangguk takzim, pamit, kemudian keluar. Meninggalkan sang pimpinan, yang sedang dibakar amarah dan dikuasai rasa cemburu berat.
Gebrakan meja yang tertahan tadi, terjadi juga pada akhirnya. Tangannya memerah. Terlihat mencolok di kulitnya yang putih bersih.
"Kenapa harus begini??! Raave...!!"isaknya pelan. Airmatanya jatuh juga. Begitu deras. Membasahi pipi, membuat wajahnya ikut memerah. Ia begitu emosional.
Prue, CEO Prudence yang dikenal lembut nan kalem, menangis tersedu di ruangannya. Melampiaskan perasaan yang sedang tak baik-baik saja. "Sekali lagi, aku patah hati. Dan kali ini menyakitkan sekali!!"lirihnya di sela isak yang tak juga reda. Ia tutupi mulutnya dengan handuk kecil yang ia ambil dari lemari pribadi.
Tujuannya, agar sedu sedannya tak sampai keluar. Bukankah memalukan, jika semua Staff dan anak buahnya mendengarnya terisak pilu begini?
Beberapa jam kemudian, usai puas menumpahkan airmata, Ia cuci muka. Melirik jam.
Setelah segar, ia beresi barangnya, dan keluar dari ruangan, pulang.
Ruangan Zii
Zii melihat sekilas, Prue melewati ruangannya, menyampirkan tas di pundak. Dan... Matanya terlihat sembab.
'Pasti dia menangis tadi'batinnya, bingung juga. 'Apakah karena kata kataku tadi? Tapi dia bertanya, ya, aku jawab. Benar kan? Apa adanya. Tak ada niat gimana gimana. Sebenarnya sebal juga, merebut tempat milik Aira.' Zii menduga-duga.
"Oh, maaf kalau begitu, Miss Prue."lirihnya. "Masih banyak lelaki setampan Raave di luar sana kan? Anda cantik. Mudah mendapatkannya juga."doanya tulus.
Zii menghembuskan nafas panjang. Kembali pada pekerjaan, setelah membalas pesan singkat Adnan. Sang kekasih mengajaknya makan di kedai baru dekat rumah.
Terkadang Ia heran. Begitu cepat Adnan mendapat informasi tentang kedai baru, menu baru atau Cafe, Resto yang launching. Lelaki yang gemar wisata kuliner.
Diam-diam, Zii tersenyum geli. Bisa tambah berisi badannya, jika terus-terusan diajak wisata kuliner di tempat baru. "Ah tak apa!"gumamnya lagi, Mengelus perut.
"Semua ini juga demi kamu sayang, yang tentunya butuh asupan nutrisi yang banyak. Biar cepat gedhe dan sehat selalu."lirihnya hampir tak terdengar.
Senyum bahagianya terulas.
*