"Aira...!!!"panggil Zii heboh, dari depan pintu masuk. Gadis itu melangkah santai, bertemu Bu Wina yang menyambut ramah. Disusul sahabatnya yang tersenyum padanya.
"Hai, Zii. Sendirian?"tanya Aira, memeluknya sekilas.
"iya dong, Adnan sibuk. Kamu baru pulang BookShop?" Zii duduk di samping Aira yang bersila di atas lantai, depan TV.
"Iya. Tadi aku pulang agak awal. Mampir beliin Bu Wina bumbu apa gitu, ga ada di supermarket deket sini. Adanya di deket GWalk sana."cerita Aira. Mengganti saluran Tv, tangannya yang lain sibuk mengudap bakso goreng tidak pedas.
Zii mengangguk paham. Ikut menikmati bakso crispy. Namun Ia berdiri setelah menyelesaikan suapannya. Berjalan pelan ke dapur, meminta sesuatu pada Bu Wina.
Kembali lagi membawa dua botol saus, dan mangkuk kecil. Menuangkan saus tomat dan super pedas jadi satu, lalu mengaduknya, menggunakan sendok. Kemudian Ia jadikan cocolan. "Kalo ga pedes, ga enak!"bisiknya. Zii melirik Aira. Bola Matanya bergerak, mengkode Aira untuk ikut mencicipi.
Sang sahabat mengangguk senang, mengikuti Zii mencocol saus. Sebelumnya, ia ambil seteko kecil es jeruk nipis dari kulkas.
Kedua gadis itu menikmati cemilan juga menikmati tayangan Tv. Filmnya lumayan bagus, jadi Aira tak mengganti channel. Zii tampak tenang. Tak seperti biasanya.
Ceria, suka cerita apa saja. Kali ini duduk si sisi Aira dengan kalem dan anteng.
"Zii...?"panggil Aira.
"Hm?"
"Kamu kenapa? Diam aja. Ada masalah?"tanya Aira, masih menatap Tv.
"Ga apa-apa , Ai. Btw, kamu udah sehat kan, Ai?" Zii seperti mengalihkan obrolan.
"Hm, ya. Aku siap jadi pendengar yang baik kok, Zii. Kalau kamu punya masalah." Aira menjawab dengan melirik sekilas sahabatnya.
Wajah Zii tampak linglung. Kemudian menunduk.
Aira menatap sahabatnya, "Bener kan ,ada masalah? Cerita aja, Zii!"ujarnya, lembut. Mengusap-usap pundak sang sahabat.
Zii mendongak, menatap Aira sendu.bernafas dalam, sebelum akhirnya, mulai bicara, "I'm pregnant, Ai..."
Aira terkesiap. Menutup mulut. Ia tatap lekat, Zii yang berkspresi sendu namun datar. "Adnan's?"
Zii mengangguk. "Mungkin kami terlalu bebas, sama-sama jauh dari orangtua. Dan..."ujarnya, biasa saja. Ia peluk Aira.
"Adnan mau kan bertanggung jawab?"tanya Aira.
"Ya, dia siap. Awalnya, dia sedikit marah. Tapi lalu aku menghilang darinya, selama beberapa hari. Dan dia akhirnya menghampiriku ke kantor. Minta maaf." Zii mendesah panjang.
"Syukurlah jika begitu. Aku ikut bahagia untukmu, Zii." Aira tersenyum. Membelai pipi sahabatnya.
"Bagaimana rasanya punya calon suami sahabat sendiri, Hm?" Ai menggoda Zii. Terkikik geli.
"Heeiii..!!" Zii tergelak. Menimpuk lengan Aira. Mereka tertawa bersama. "Kamu ma Raave baik-baik saja, kan?"
"Hm, ya. Orangtuanya mengundangku Dinner."jawab Aira.
Zii berbinar. "Waaahhh.. Kapan?"
"Nanti malam"
Zii langsung berdiri. "Kalau begitu, aku pulang saja, kamu harus siap-siap! Dandan yang cuantik ya..!"pesan Zii, tanpa menunggu jawaban Aira. Ia melesat keluar begitu saja. Masuk mobil sambil melambai. Aira membalas lambaian tangannya. Masih melongo.
"Thanks..!!"teriaknya. Entah didengar Zii atau tidak.
Gadis itu melirik jam. Baru jam 5 sore. Ia memutuskan naik ke kamar. Mencoba memilih gaun atau dress yang simpel namun elegan.
Di sela memilih dress, Aira teringat Raave. Lelaki itu tak menghubunginya sama sekali hari ini. Ia putuskan menghubungi sang lelaki lebih dulu.
Hingga nada tunggu ketiga, keempat, kelima, tak ada sahutan sama sekali. Aira mendesah pelan. Mengakhiri panggilan. Kemudian ia kirim pesan singkat,
'Jaga kesehatan ya, Raave... By the way,... I miss you.'
Aira tersenyum. Melanjutkan memilih gaun. Ia juga mengeluarkan Pump Shoesnya dari kotak. Berwarna silver berkilau dengan hiasan manik dan mutiara.
Akhirnya, Pilihannya jatuh pada Pleated dress selutut, berwarna abu muda. Bahan shiffon impornya lembut dan adem. Potongan Tie neck sederhana, dengan kerah kecil dan belt berwarna setingkat lebih tua. Taburan mutiara kecil tersebar indah di bagian dada.
Lengan panjang dengan ruffle di pergelangan juga. Aira memakai anting mutiara kecil, juga necklace sederhana.
Rambutnya Ia kuncir kuda, setelah sebelumnya ia curly di bagian bawah. Ia sisakan beberapa baby hair di sisi telinga. Make up sederhana, sedikit BB Cream, menambah eye liner dan melentikkan bulu mata, mempertegas bentuk alis. Memakai lipstik warna agak menyala. Rockrose scent. SIAP!
Quilted bag ia sampirkan di bahu. Ponsel, dompet, obat sudah lengkap di dalam. Tissue. Ia turun.
Bu Wina melongo. Mulutnya setengah terbuka. Memandangi sang Nona yang melangkah anggun menuruni tangga.
"Mba, cantiknyaaa... !"celetuknya, geleng geleng kepala.
Aira tersenyum manis. "Masa, Bu?"
"Yaaa...!" Ia belai pipi Aira. "Nunggu jemputan kan? Atau berangkat sendiri?"
"Nunggu jemputan."jawab Aira. Raave berkata akan menjemputnya pukul 7. Entah siapa yang menjemput, Raave tak menjawab panggilannya beberapa kali. Mungkin Lei. Atau Gio.
Aira menunggu Sambil menonton Tv, beberapa saat, Ditemani Bu Wina yang mengajaknya berbincang ringan.
Ia segera berdiri, saat mendengar suara mobil berhenti. Ia pakai sepatunya, kemudian melangkah menuju pintu. Lei keluar dari mobil sambil terengah. Gio juga.
Mereka berdua? Aira menatap kedua asisten kepercayaan Raave itu heran. "Kalian berdua? Kenapa tak salah satu saja?"tanyanya, bingung.
Lei dan Gio melongo menatap Aira. Belum pernah mereka lihat, memang, Aira berdandan all out seperti malam ini. Bukan all out sebenarnya. Ia tak menggunakan make up lengkap seperti model model itu.
"Halooo.. Tuan tuan...? Kita bisa berangkat? Dimana Dinnernya?" Aira menyadarkan Lei dan Gio, yang langsung mengusap muka.
"I-Iya Nona, kita berangkat sekarang!"balas Gio lantang. Ia akan membukakan Aira pintu, namun gadis itu menolak. Akhirnya dengan tersenyum, Gio masuk ke posisinya. Duduk di sisi, sopir, Lei. Aira duduk di belakang.
"Raave baik saja kan ,Tuan Gio?"tanya Aira. Ketika dalam perjalanan.
Gio menoleh. "Iya, Nona. Dia baik saja, kenapa anda tanya begitu?" suara Gio seperti tertekan. Berat. Lei berulang kali melirik lewat spion. Wajahnya tegang.
"Tidak, hanya beberapa kali kuhubungi, dia tak menjawab."balas Aira.
Gio menoleh lagi, "Anda tenang saja, Nona."jawabnya. Ia usap keringat berkali-kali dengan sapu tangan.
Aira merasakan ketegangan diantara mereka berdua. 'Ada apa dua orang ini, sebenarnya?'tanyanya dalam hati. Ia ingin bertanya lagi. Namun ditahan sekuat tenaga. Takut membuat Lei dan Gio malah semakin gusar.
Perjalanannya lumayan lama. Lei melaju kencang. Gio sampai menyodorkan air oksigen pada Aira. Jika mungkin gadis itu haus.
"Terima kasih, Tuan Gio. Kita masih lama?"tanya Aira. Sediit mencari info.
"Sebentar lagi, Nona."jawab Lei. Masih saja tegang. Keringatnya bercucuran tak karuan.
Aira membatin, mungkin Dinnernya di rumah Raave. Perjalannya hampir satu jam. Namun saat ia kembali memastikan, Hanya 45menit. Lei ngebut.
Benar dugaan Aira. Lei membelokkan mobil di rumah megah itu. Samar Ia dengar Gio berbisik, "Cepat sedikit, Lei! Kau mau kepala kita dijadikan hiasan diatas perapian, hm?!!"
Lei memarkir mobil dengan gesit. Masuk ke garasi. Dengan pintu yang otomatis tertutup saat mobil telah masuk, dan lampu yang menyala tanpa diperintah. Suara berdecit ban, menggema di garasi yang luasnya seukuran rumah Aira itu. Lei mengerem terlalu dalam.
Gio keluar, membukakan pintu untuk sang Nona.
Aira ternganga. Garasi saja, seluas dan semegah ini. Ada banyak sekali mobil disekitar mereka. Dengan berbagai merek, warna, model. Yang Aira yakin ini mobil para tamu. Karena, ada yang lecet, kotor, ada juga yang mengkilap bersih.
Jadi ini Dinner perayaan. Entah perayaan apa.
Lei mengusapi keringatnya. Membenahi jas. Lalu bersama Gio menggiring Aira masuk.
Mereka ternyata masuk lewat pintu samping. Bukan lewat ruang tamu luas yang pernah Aira lewati sebelumnya. Namun lewat bagian rumah yang lain. Yang juga tak kalah luas nan mewah. Hanya tak ada perabot. Satu set sofa dan lemari saja yang menjadi penghuninya.
Aira berjalan santai di belakang Gio. Sementara Lei di belakangnya. Seolah menjadi perisai untuknya. Mereka berdua tak tahu, bahwa di hati, Aira ingin menanyakan berbagai macam hal yang tak biasa ini.
Gadis itu mengira, ini Dinner keluarga biasa. Hanya orangtua Raave. Walau Ia juga semaksimal mungkin dalam berdandan. Namun tetap berpenampilan sopan. Ingin menghormati orangtua sang CEO.
Mereka masih saja berjalan. Naik melalui lift. Jujur saja, Aira sedikit pegal. Berjalan di rumah seluas ini. Ia berusaha sabar, menata hati agar lebih tenang, karena sedari tadi waktu ia melihat ada dua orang yang menjemputnya, perasaannya agak tak karuan.
Akhirnya... Lift terbuka. Menampakkan suasana rooftop yang ditata begitu apik. Indah. Private namun tetap cozy. Sofa sofa empuk tersebar di berbagai penjuru, yang telah penuh oleh orang orang berpakaian formal. Suit lengkap bagi pria, dan gaun malam nan indah untuk wanita. Lampu gantung bergaya vintage. Tanaman hias menjalar, juga lampu kristal kecil yang berbentuk seperti tirai.
Aira tertegun. Dressnya yang memang hanya sedikit terbuka di bagian punggung, dirasanya tak cukup pantas untuk acara ini. Dress berbahan sifon dengan bagian depan tertutup, namun transparan di belakang.
Gio menatap Aira. Ia mempersilahkan gadis itu duduk di salah satu sofa yang Ia tunjuk. Kosong, berada di bagian agak sudut rooftop.
Sang gadis mengangguk lalu melangkah menuju sofa yang dimaksud. Ia edarkan pandangan. Tak ada tanda tanda Raave. Hanya beberapa lelaki yang berbincang dalam satu kelompok, atau para wanita berusia 30an yang mengobrol seru di satu meja. Sambil menyesap wine. Yang tampak olehnya.
Aira mulai tak sabar. Ia teguk lagi air dari botol yang diberikan Gio, saat di mobil. Satu asisten datang, membawakannya segelas jus strawberry yang segar dan air mineral. Juga Pie bluberry dan canape. Atas instruksi Gio, karena lelaki itu tersenyum pada Aira.
"Dimana Raave?"tanya Aira pada Gio dengan bahasa bibir.
Gio menegang. Tapi lalu mengangguk, menjawab dengan bahasa bibir juga, "Otewe, sudah saya panggil"
Aira tersenyum. Gio menghilang di keramaian. Gadis itu mengaduk jus, orangtua Raave juga tak tampak di kerumunan ini, batinnya. 'Sebenarnya, hal tak menyenangkan apa yang akan kuhadapi malam ini?' tebaknya dalam hati. Galau. Ia gigit pie perlahan.
Menikmatinya dengan santai. Sambil menunggu lelakinya datang. Jujur saja, Sengaja tak makan dari rumah. Jadi, sekarang Ia lapar.
"Hm, enak sekali..!"gumamnya lirih, senang. Sembari masih mengudap pie, Ia cek ponsel. Beberapa pesan dari Louise. Aira tersenyum.
Sudah berapa lama ia tak bertemu lelaki ini. Menurut asisten pribadinya, Louise ada keperluan mendadak ke Sydney. Ia tersenyum, membalas sekenanya.
Fokusnya pecah. Ketika para tamu bersorak, juga bertepuk tangan. Meriah. Raave berjalan keluar. Dengan wajah muram.
Aira berdiri, senang. Tersenyum lebar. Akhirnya Raave muncul juga. Tapi senyumnya, tak bertahan lama.
Continued...