Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 56 - PERTEMUAN

Chapter 56 - PERTEMUAN

"Dia masih tak menyerah?!"gumam Raave. Ia menyandarkan diri di kursi ruang kerjanya. Usai meeting pagi hari yang membosankan. Pagi-pagi sekali, sebelum berangkat, ia menghubungi Aira. Dan gadis itu berkata akan istirahat di rumah.

Namun ternyata, Staff khusus yang ia tugaskan menjaga gadis itu, berkata, Ben ke rumahnya. Berbincang dengan sang gadis hingga cukup lama, dan sempat pergi berdua. Walau sebentar.

Raave mencengkeram dasi, melepasnya dengan kasar. Kemudian melempar gelas wine, yang tersisa setengah ke sembarang arah. Tak tahan lagi. Ia sambar kunci mobil lalu keluar dari ruangan. Berjalan cepat ke mobil, sambil menghubungi Gio, memintanya menghandle semua urusan di kantor. Membuat Gio melongo dan bingung.

Lelaki itu melaju kencang ke rumah sang gadis. Dalam perjalanan, Ia teringat lagi, kala tak sengaja melihat Aira makan siang bersama Ben di sebuah kedai sederhana.

Padahal, Aira yang saat itu baru keluar dari Rumah sakit, nekat ke BookShop. Raave sudah memintanya di rumah saja, namun Aira tetap berangkat. Hingga lalu Ia melihat mereka makan siang bersama.

Raave tak memergokinya. Namun mengirim pesan singkat pada Aira. Memberinya kata-kata, 'Selamat bersenang senang dengan Mr Ben, ya. Have fun with that lunch!!' flashback end

Sedikit lega saat tiba disana, Ben nampaknya sudah pulang. Karena mobilnya sudah tak ada. Raave berlari masuk.

Aira duduk bersila di ruang TV sambil menikmati keripik kentang, sendirian. Obatnya berserakan di sebelahnya.

Keluar dari Rumah sakit, tubuhnya seolah tak mau diajak kompromi. Apa mungkin karena baru 2 hari Ia dirawat, Aira sudah minta pulang? Lalu malah nekat ke BookShop. Oleh sebab itu, masih saja, terasa kembali nyeri seluruh tubuhnya.

Sang gadis yang bersweater tebal, celana panjang, juga berkaos kaki membuat amarah Raave sedikit menguap.

"Ai..!"panggilnya.

Aira menoleh. Tersenyum, berdiri, menghambur memeluk Raave. "Kamu kesini? Maaf soal makan siang kemarin, Raave!"ujarnya emosional.

Lelaki itu membelai pipi Aira. "Hari ini dia kesini lagi, tadi kamu kemana bersamanya?"tanya Raave masih emosi.

"Aku minta tolong antar beli obat. Obatku habis semua."jawab Aira, masih menatap Raave dalam. Wajahnya takut. Jika Raave benar-benar marah padanya. Tanpa sengaja, ia mengendus kemeja si lelaki. "Kamu minum?"

Raave diam saja, tak menjawab. Melepaskan Aira, lalu berjalan ke sofa, duduk di sana. Mengeluarkan ponsel, mulai mengutak-atiknya. Ia berusaha menekan emosi yang sudah akan meledak. Melihat gadisnya, berjalan beberapa kali dengan pria yang sama.

Aira duduk di sebelah Raave. "Kamu masih marah?"

"Apa itu perlu kamu tanyakan juga?!"ketus Raave.

"Maaf, Raave. Aku... "

"Cukup..!! Tak perlu kamu jelaskan! Cukup! Aku ada meeting online jam ini. Jangan menggangguku, okay?!"sergahnya.

Aira mengangguk, menyingkir dari sisi Raave. Kembali duduk bersila di lantai sambil memandangi acara TV, yang sama sekali tak ia pahami. Airmatanya turun perlahan. Semakin lama semakin deras.

Ia usap kasar. Namun ternyata malah semakin tak karuan. Ia pindah saluran TV nya. Tak ada yang menarik, akhirnya, ia menonton acara kartun anak-anak. Lumayan bisa sedikit meredakan tangisnya. Samar ia dengar, Raave masih berbicara di ruang tamu. Berarti masih meeting.

Aira berjalan menuju kamar, mengambil ponsel. Ia buka. Beberapa panggilan tak terjawab, Raave. Juga pesan. Raave juga. Isinya, menanyakan keadaannya pagi itu, obatnya. Aira kembali berurai airmata. Ia cengkeram ponsel. Sambil melangkah kembali ke ruang TV. Duduk lagi. Acara kartun telah usai. Ia pindah lagi channel Tv. Drama Korea, percintaan, drama China juga percintaan. 'Oh apakah harus drama percintaan semua acara Tv ini?!'gerutunya dalam hati. Akhirnya ia matikan TV LED itu. Lalu melempar remote ke sembarang arah.

Aira mundur perlahan, berniat berbaring di lantai. Dengan bantal yang sudah ia siapkan. Namun tubuhnya ditangkap Raave. Lelaki itu mendekapnya, dari belakang. Erat. Kepalanya terbenam di leher sang gadis.

Ia berbalik, memeluk sang lelaki. "Maaf Raave. Membuatmu marah. Aku janji, ini ga akan terulang lagi."

Raave tersenyum, begitu menawan. Mengangguk. Tanpa berkata apa-apa.

"Kamu demam, Ai"ucapnya akhirnya. Ia usap kaki Aira. Panas. Ditatapnya gadis itu khawatir.

"Aku sudah minum obat."jawabnya lugas. Tersenyum membelai pipi lelakinya, mengecup bibirnya lembut.

Terasa panas di bibir Raave. Ia balas kecupan Aira perlahan. Menatapnya lekat.

"Kamu ga bosan, melihatku seperti ini berulang kali,Raave?"tanya Aira iseng. Ia merasa sedikit tak percaya diri.

Raave menggeleng.

"Kenapa? Banyak gadis di luaran sana yang sehat, yang tak perlu harus kamu cemaskan kesehatannya seperti aku. Yang juga cantik"lanjutnya.

Raave diam, menatap dalam Aira. "Mereka beda denganmu, dan jangan tanya lagi alasannya aku seperti ini, Ai. Karena aku sendiri pun tak tahu."jawabnya.

Aira bernafas dalam.

"Oh iya Raave, boleh aku tahu, apa yang dilakukan Anne saat menghampirimu di Resto waktu itu?" mendadak, Aira ingat perempuan itu.

"Dia memintaku, membuka lagi semua fasilitasnya." Raave menjawab dengan santai. Membetulkan rambut Aira yang berantakan.

"Lalu, kamu membukanya?"

"Tidak!"

"Apa yang kamu lakukan sebenarnya?"tanya Aira kepo.

"Aku memblokir semua kartu kredit maupun debitnya, juga akunnya di beberapa marketplace. Lalu menghajarnya, Hahahhh.. Kurasa aku yang menang. Dia tak tahu berhadapan dengan siapa. Dan dia harus membayar apa yang sudah dia lakukan padamu, Ai. Aku benar-benar marah dan sakit hati, saat melihatmu terkapar di gudang hari itu..." Raave menutup muka. Mengingat lagi kejadian Aira diculik.

"Semua black card pemberianku dulu, kutarik. Debitnya juga. Biar dia minta ayahnya jika butuh belanja."lanjut Raave. Terkekeh.

"Aku juga menyelipkan beberapa black card di dompetmu, namun tak pernah kamu gunakan, kan? Kenapa?" Raave membelai pipi Aira.

"Aku tak terlalu suka makan hasil jerih payah orang lain. Aku punya BookShop. Aku bisa mencari uang sendiri. Tak perlu terlalu kamu pikirkan!"jawab gadis itu, diplomatis.

"Aku orang lain bagimu?!"tanya Raave, menatap tajam gadisnya.

Aira tersenyum. "Mengertilah! aku lebih suka berdiri di atas kakiku sendiri. Seburuk apapun kondisi. Kamu bukan orang lain. Eh memangnya kamu siapaku, Raave??"tanya Aira menggoda lelakinya.

Raave tergelak. "You are mine, Dear. And I'm yours. Maaf aku tak pandai berkata romantis"balas Raave, menggaruk belakang kepalanya. Linglung.

Aira tertawa kecil, meraih bibir Raave.

"Bagaimana jika seandainya BookShop, kujadikan Anak perusahaan Pranaja Tech? Hanya formalitas. Kendali penuh tetap di tanganmu. Pemiliknya juga namamu, hanya agar ada masalah apa-apa, aku bisa membantu. Atau mungkin BookShop butuh apa. Kamu setuju?" saran Raave, usai membalas ciuman gadisnya.

Aira tersenyum. "Ehmm...?" ia sedikit ragu.

"Kendali penuh tetap ada padamu, Ai. Hanya formalitas. Aku hanya ingin membantu, jika terjadi masalah atau kamu butuh bantuan. Sebenarnya tak jadi anak perusahaan juga tak apa, tapi jika suatu saat, mungkin.. Mungkin saja ada masalah, aku tak bisa dengan mudah campur tangan kan. Hanya seperlunya. Tapi jika di bawah naungan Pranaja, aku bisa secara total dan penuh membantu. Kamu pikirkan saja dulu, aku hanya memberi saran. Dan mungkin jika kamu ingin mendirikan branch BookShop baru, aku siap membantu,"jelas Raave

"Setahuku, jika anak perusahaan bukankah pemilik berubah jadi si induk perusahaan itu sendiri?"balas Aira. Mencoba mencari kejelasan.

"Iya memang begitu, ini khusus untukmu. Pemiliknya tetap Aira Harsena Lou. Pun pendirinya. Aku hanya sekedar ingin memback up mu, Dear. Agar tak ada yang berani macam-macam denganmu"

"Begitu ya? Kupikirkan dulu ya, maaf"jawab Aira. Sungkan.

Raave mengangguk, mengulas senyum lega. "Ayah dan Ibu mengundangmu Dinner, lusa malam, Ai. Kamu tak ada acara kan?"ujar Raave. Menyalakan TV, dengan tangan melingkar di pundak gadisnya.

Aira mendelik sekilas. "Ehmm... "

"Kenapa? Jangan bilang kalau kamu sudah ada janji?"

"Bukan itu, aku bisa. Bukankah Tuan dan Nyonya Pranaja sedang liburan ke Luar Negeri, katamu?"balas Aira bingung.

"Sudah pulang. Yaa.. Hanya sebentar kurasa. Kalau Rose ya, masih di sana. Orangtuaku ingin mengenalmu, lebih dekat."terang Raave.

"Kamu cerita apa soal aku, Raave?"tanya Aira., menyelidik.

"Tak macam-macam. Mereka bertanya, dengan siapa aku dekat saat ini. Aku jawab kamu. Orangtuaku juga sudah pernah bertemu denganmu, kan. Saat dulu kamu kuajak makan siang di Resto itu. Masih ingat?" Raave mengerling.

Aira mengangguk. Memutar bola mata, ingat lagi ketika tiba-tiba Raave mengatakan Ia adalah kekasihnya.

"Mereka sedikit kaget sebenarnya. Karena aku masih dekat denganmu, Ai."

"Apakah dulu itu, kamu serius dengan kata-katamu?"

Raave kaget. Saat itu Ia memang hanya mengajak Aira, sebagai formalitas saja. Agar orangtuanya tak lagi cerewet soal jodoh.

Lelaki itu hanya mengulas senyum maut pada Aira, sebagai jawabannya. Yang biasanya sukses membuat sang gadis luluh.

"Oh dan kapan aku kamu ajak bertemu Papa dan Mamamu, Ai?"tanya Raave, ia ingin mengenal keluarga gadisnya lebih dekat juga. Mengalihkan topik sejujurnya.

Aira tersentak. "Kamu mau bertemu PapaMama juga?!!" Tak sadar Ia sedikit berteriak. Kaget.

"Heii.. Tentu saja. Kenapa kaget begitu??"balas Raave, heran.

"Ehmm.. Seluangmu lah, aku kan gampang. Tapi kuharap hingga aku sehat dulu. Aku tak mau membuat mereka khawatir. Mereka tak tahu aku sakit, Raave." ujar Aira, Akhirnya.

Raave terkejut. "Apa?! Orangtuamu tak kamu beritahu?!"

"Aku tak ingin membuat mereka kepikiran. Anak perempuan yang masih ada satu-satunya, malah kebanyakan bikin masalah."

"Anak perempuan satu-satunya yang masih ada?"

"Ya, aku punya kakak perempuan dan lelaki. Tapi mereka meninggal dalam kecelakaan, saat berangkat sekolah bersama, dulu. Tabrak lari. Tinggal aku yang saat itu masih belum sekolah." Aira mengingat kakak kembarnya, yang meninggal di rumah sakit, di usia mereka yang masih sangat belia.

"Mereka kembar laki dan perempuan?"

"Ya. Lahir bersama, meninggal juga bersama"

Raave memeluk Aira. "Papa dan Mama, sama siapa di rumah?"

"Bu Weni, saudara Bu Wina dari desa. Yang bantu urusan Rumah tangga. Papa juga masih ke kantor. Mama sesekali menerima job Menulis artikel. Tapi, sekarang sudah agak jarang. Beliau sudah tak bisa fokus."

"Hm. Okay." Raave mengeratkan pelukannya. "Panas, kamu beneran udah minum obat? Kok masih panas gini?"

"Sudah. Biasanya juga langsung turun. Mungkin kamu bisa..." Aira mengerling. Seolah menggoda Raave. Menelusuri kancing kemeja lelaki itu dan melepaskannya satu.

"Sssshhh... Gak! Kamu demam. Gak akan!!" Raave mendekap sang gadis. Erat. "Gini aja, biar panasnya pindah ke tubuhku."

"Bisa ya??"

"Bisa"bisiknya lirih di telinga Aira. Merapatkan dekapannya.

**