BRRUUKK...!!!
Aira ambruk begitu saja, ketika ia bangun tidur dan melangkah pelan ke toilet. Sudah bisa ditebak yang akan terjadi selanjutnya.
Perlahan tapi pasti, bulir bulir merah berjatuhan dari sana, hidungnya. Ia bersyukur tidak dalam posisi di BookShop atau tempat umum. Aira berusaha bangun, berdiri lagi. Berpegangan sangat erat pada apa saja.
"Mba..!!" Bu Wina datang membawa sarapan.
"Ya Allah, Mba Aira pucat banget! Hidungnya berdarah lagi. Pantas kok ga keluar keluar kamar." Bu Wina membantu Aira berbaring lagi. Menyelimutinya, gadis itu menggigil. Tubuhnya panas.
"Sarapan dulu, dikit ga apa. Saya suapin ya" Bu Wina menawarkan diri.sedih melihat Nonanya.
Aira makan dengan perlahan. Kepalanya pusing. "Saya tak tidur ya, Bu."
Bu Wina mengangguk, lalu keluar setelah kembali menyelimuti sang gadis.
Gadis itu memejamkan mata rapat. Tertidur begitu saja.
Raave calling...
Aira tersentak. Melirik ponsel dengan kesadaran yang setengah setengah. "Aduuh.. Raave telepon"keluhnya.
"Ya"suaranya tidak keluar. Hanya mirip gumaman tak jelas. 'sial!!'batinnya
"Aira..kamu sakit?!"
"Ga, hanya serak aja" Aira berusaha bicara lebih lantang, namun gagal. Suaranya tak mau diajak kompromi. Ia malah terbatuk.
"Ai, jangan membuatku khawatir!"
"Ga, maaf Raave. Kamu ini sudah di kantor?"
"Belum, aku masih siap-siap."
"Ya udah, nanti kesiangan Raave. Tutup ya. Ati-ati di jalan."
"Ya, kamu beneran gak apa-apa kan?"
"Ya"
"oke"
Call end
Aira bernafas lega. Ia letakkan ponsel di samping bantalnya, lalu kembali menutup mata. Kepalanya berputar. Dan perutnya agak sakit. Hidungnya masih mengeluarkan darah sedikit.
'Aku benar benar tak berdaya'gumamnya dalam hati. Ia minum obatnya lagi, dengan agak tertatih. Setelah itu berhasil tidur pulas juga nyenyak. Dengan masih berada dalam selimutnya yang nyaman.
Beberapa jam ia tertidur, dan bangun dengan kondisi yang lumayan membaik. Ponselnya menyala.
Missed called.. Raave(10)
'Ohh maaf Raave, aku.. Tak ingin membuatmu khawatir'batin Aira. Ia usap hidungnya. Darah lagi. Ia lirik jam. Masih lumayan pagi. Gadis itu bangun, mencoba beranjak. Namun kembali terhuyung. Ia bertahan untuk tidak jatuh. Memegangi apa saja, melangkah keluar dari kamarnya.
Berhasil. Sampai di ujung tangga, kepalanya berputar lagi. Ia duduk di lantai, sambil memegangi kepala. Bu Wina yang tak sengaja meliriknya bergegas naik.
"Mba Aira Mau turun?"
Aira mengangguk. Bu Wina memapahnya turun perlahan. "Mba, kita ke Rumah sakit aja gimana?"
Ia bernafas dalam. Duduk bersandar di sofa. "Ga Bu"jawabnya lemas. "Saya udah minum obat"
"Tapi Mba Aira ga membaik setelah minum obat. Pucat banget gini, hidungnya berdarah terus." Asistennya itu berkaca kaca.
Tanpa menunggu jawaban Aira, ia hubungi Ambulans. Sesekali melirik sang Nona yang masih dalam kondisi lemas, dengan hidung memerah.
Beberapa saat kemudian Ambulans tiba. Petugas medis segera mengangkat Aira, masuk mobil. Bu Wina menutup pintu lalu ikut menemani sang Nona.
Tiba di Rumah sakit secepat kilat, Dokter sudah menunggu di IGD. Sang gadis melemah. Tak sadarkan diri kemudian. Dokter Segera memeriksa Aira.
Bu Wina menunggu dengan cemas. Berdoa dalam hati, agar sang Nona baik-baik saja.
Pranaja Tech Office
"Mr Raave, ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani. Setelah itu kita ada pertemuan dengan beberapa relasi penting. Anda....?" Gio seperti bicara pada dirinya sendiri.
Raave mematung, diam. Tatapannya kosong ke arah notebook di hadapannya.
"Sir..?" panggil Gio lagi.
"Hm. Ya. Aku dengar. Siapkan saja semuanya" suara Raave terdengar berat.
"Ada apa, Sir?"
"Tak apa-apa. Aira tak menjawab panggilanku, sejak tadi pagi."
"Apakah perlu saya jadwalkan ulang, semua ini?"
"Tidak. Sesuai itu saja. Semoga dia baik baik saja. Tapi tolong kosongkan jadwalku saat jam makan siang, aku akan ke rumahnya,"
"Baik,Sir!"
"Tuan Gio.."
"Hm ya. Apa?" Gio menjawab panggilan Staff khususnya. Lewat handsfree.
"Saya tak sengaja lewat rumah Nona Aira. Ada Ambulans di depan rumahnya. Nampaknya menuju rumah sakit." lapornya.
Gio menegang. Lalu menatap Raave. Sang Tuan sudah tampak biasa, tak terlalu muram seperti sebelumnya. Haruskah ia sampaikan berita ini? Gio galau sendiri.
"Ada apa, G?!" Raave nampaknya tahu. Jadi walaupun ia berbohong, tak akan ada gunanya.
"Nona Aira, di Rumah sakit. Sir" jawabnya hati-hati.
Raave membeku. Wajahnya kembali muram. Tangannya mencengkeram meja dengan kencang. Lalu bernafas cepat. Raave merebahkan kepala di atas meja, ia tutup notebooknya.
"Sir..?"
"Hm. Semoga aku bisa fokus." ujarnya, mengusap muka. Lalu mulai membubuhkan tanda tangan, pada beberapa tumpuk kertas di meja.
Mendekati jam makan siang, Raave masih berbincang serius dengan relasi yang datang langsung dari New York. Dua orang lelaki dan seorang perempuan. Mereka bertiga khusus ke Indonesia untuk bisa bertemu dengan Raave. Membicarakan kerjasama, soal tekhnologi baru buatannya, yang ternyata terdengar hingga ke Benua Amerika.
Raave Pranaja, lelaki yang profesional. Walaupun gadisnya tak berdaya di Rumah sakit, ia tetap menemui relasi yang jauh datang. Ia menghargai mereka. Tak ingin mengecewakan.
Sang CEO menjamu ketiga tamu, dengan makan siang mewah di sebuah Resto ternama. Sambil masih membicarakan si Tekhnologi baru ini.
Usai makan siang, para tamu kembali ke Hotel. Raave berjanji akan melanjutkan pembicaraan. Ia pamit pada mereka, karena ada urusan lain. Menjenguk gadis yang sukses mengalihkan fokusnya.
Raave melaju kencang menuju rumah sakit. Berlari, begitu Staff bagian Informasi memberitahu kamar sang gadis.
Bu Wina sedikit kaget melihat Raave datang. Masih memakai jas lengkap dan tampak menawan. Tapi wajahnya begitu muram. Lelaki itu berjalan pelan menghampiri gadisnya.
"Ai.." Raave mengusap kepala Aira yang masih memejamkan mata. Dengan selang nafas yang masih menempel di hidung.
Ia genggam tangannya erat. Aira membuka mata perlahan. "Raave.." suaranya begitu lirih.
"Istirahatlah." Raave hanya memandangi Aira sendu. Tanpa bicara banyak. Ia duduk di sisi ranjang. Mengusap kepala sang gadis dengan penuh perasaan.
"Aira.. Kamu tak apa-apa?!" suara seorang pria, menggema di kamar itu, tiba-tiba. Raave menoleh dan kaget.
Ben setengah berlari menghampiri sang gadis. Aira tersenyum tipis pada Ben. "Anda di sini , Sir?"
"Ya, aku diberitahu oleh Mr Suri tadi. Kamu ijin tak ke BookShop. Saat aku ke rumahmu, ada tetanggamu bilang, kamu dibawa Ambulans"jelas Ben, terengah.
Raave menatap Ben lekat. "Anda yang bernama, Ben Hendrawan? Kepala Divisi Periklanan, Global Ads?"
"Ya, benar sekali. Anda tahu. Maaf, Saya belum memperkenalkan diri. Ben" Ben menjabat tangan Raave ramah. Menyebutkan namanya.Tersenyum. Entah tersenyum sopan, atau terpana dengan menawannya Raave.
"Raave.."sahut Raave cuek.
"Anda tahu saya, Mr Raave?"
"Ya, saya tahu. Kenapa Tuan Ben?"
Ben tersenyum sungkan, menunduk sekilas. "Saya hanya heran saja, baru kali ini kita bertemu, tapi Anda kenal saya. Anda ini...?" tanyanya penasaran
Aira menyadarinya, lalu menyahut, mendahului Raave yang sudah akan membuka mulut. "Dia adalah seseorang itu, Ben. Yang diceritakan Adnan tempo hari. Anda ingat kan?" Ia tatap Raave penuh cinta,
yang tersenyum maut.
Ben membeku. "Jadi Mr Raave ini, Ai?"suaranya parau.
Aira mengangguk.
Ben segera mampu menguasai diri. Ia menggelengkan kepala perlahan, mengulas senyum senang. Sepertinya menutupi kegalauan di hati.
"I see, Nice to meet you, Mr Raave."ujarnya sopan.
"Nice to meet you too, Tuan Ben. Sampaikan salam saya untuk Mr Arga. Jika anda tak keberatan tentunya." jawab Raave, tersenyum.
Ben kembali melongo. Menimpali dengan terbata, "A-anda ke-kenal CEO kami, Tuan Raave?"
Aira menahan senyum. Tubuhnya masih lemas. Hanya bisa memperhatikan kedua lelaki di hadapannya berbincang.
Tok...tok..
Mereka semua menoleh. Ingin tahu, siapa yang datang.
Gio berjalan cepat ke arah Raave. "Sir, tamu dari New York ingin mengajak Anda Dinner nanti, karena besok pagi sudah harus kembali ke Negaranya."lapornya, membuka Ponsel pintar 6,5inchinya.
"Oke. Masih ada waktu. Aku akan di sini dulu, menemani Aira. Kau siapkanlah semuanya, G!"perintah Raave.
"Baik, Sir." Gio melangkah keluar, bergumam pelan lewat handsfree.
Ben masih memandangi Raave. 'Siapa lelaki ini sebenarnya?'batinnya kepo.
"Kamu mau berangkat menjamu tamu?"tanya Aira pelan.
"Tidak, masih nanti malam kan. Aku akan menemanimu di sini." Raave memasang senyum maut. Lagi. Ia belai pipi Aira.
"Oke. Jika kamu di sini, rasanya sakitku hilang, Raave."lirihnya. Hanya Raave yang bisa mendengarnya. Ia usapkan lagi tangan sang lelaki di pipinya.
"Bolehkah aku menemanimu, Ai?" Ben menyela. Berharap.
Seketika Raave menegang. "Bukankah Anda harus kembali ke kantor, Mr Ben."ujarnya sedikit tegas.
"Saya akan minta ijin Mr Arga, Tuan Raave. Saya sungguh khawatir dengan kondisi Aira."jawab Ben, kekeuh dengan pendiriannya.
Raave bernafas dalam. Tersenyum miring.
"Saya sudah ditemani, Raave, Ben. Jadi tak masalah jika Anda ingin kembali ke kantor!" Aira menimpali. Berharap lelaki yang sedikit agresif ini, cepat pergi.
Raave terlihat memasang handsfree. Menginstruksikan sesuatu pada Gio. Dengan suara lirih. Kemudian tersenyum puas.
"Tak apa, Ai. Aku akan menungguimu di sofa.. Kamu ..."
Kliing.. Kliing.. Ponsel Ben berdering.
"Ya, Sir."jawabnya.
Ben mengangguk, terlihat serius. Mendengarkan dengan seksama, perintah Pimpinan yang menghubunginya.
"Oh.. Oke. Oke. Saya segera kesana, Mr Arga!"lanjutnya. Takzim. Sekaligus mengakhiri pembicaraan. Ia simpan ponselnya lalu menatap Aira.
"Maaf Ai, sepertinya aku tak jadi menemanimu. Aku harus ke kantor. Ada klien penting yang ingin menggunakan jasa kami"pamit Ben. Suaranya terdengar kecewa.
Aira mengangguk. "Ya, tak masalah. Silahkan. Terima kasih, Mr Ben"
Lelaki itu bergegas melangkah keluar, usai pamit juga pada Raave, yang hanya dibalas anggukan.
Raave tersenyum puas. Kembali duduk di sisi ranjang.
"Jadi..?" Aira seolah tahu, Si klien yang ingin menggunakan jasa Ben adalah Raave.
"Hm?" Raave berpura-pura bodoh.
"Kamu yang membuat Ben sibuk di kantor, Hm?"balas Aira. Tersenyum jail. Mencubit pinggang lelakinya.
Raave mendekapnya erat, "Hm, yaaa,... benar sekali, aku tak suka dia dekat dekat denganmu, yang boleh menemanimu, hanya aku!"bisiknya, mengecup bibir Aira sekilas.
"Kamu ini egois ya!"timpal Aira, gemas.
"Memang. Aku egois. Sangat. Terutama, yang ada hubungannya denganmu."
Aira hanya bisa mengulas senyum lemah. Kepalanya berputar lagi, saat Ia akan bangun.
"Istirahatlah, Ai. Kamu masih lemas, kan?" Raave mengelus rambut Aira perlahan. Gadis itu mengangguk, lalu memejamkan mata. Tangannya menggenggam tangan sang lelaki.
Global Ads. Management
"Mr Arga, saya hampir lupa, Anda dapat salam dari Mr Raave." Ben menyerahkan data lengkap dari Klien, pada sang CEO di ruangannya.
Arga, CEO Global Ads. Kaget bukan main. Wajahnya cerah. "Benarkah??"
"Iya, Sir. Anda kelihatan... Senang?"
"Tentu saja. Dapat salam dari CEO Perusahaan IT terbesar di Negeri ini. Bagaimana aku tidak senang!!"jawab Arga, tersenyum lebar.
*