"Oke. Aku kesana, jangan kemana-mana!"
"Ya!"call end
Ia mengirim pesan singkat untuk Raave. 'Maaf jika aku mengganggumu, Dear. Ben mengekoriku terus, dari tadi. Akan Mengajakku makan juga setelah ini. Tadi hampir menggenggam tanganku. Please, datanglah secepat kilat. Ajak aku bersamamu' tulisnya sok dramatis. Ia tahu, Raave lelaki yang posesif, pencemburu, jadi Ia sengaja. Aira terkekeh geli.
Pranaja's Office.
"Mr Raave, setelah ini ada perjamuan khusus dengan tamu dari Swiss. Anda..."kalimat Gio terpotong.
"Tunda beberapa Jam atau batalkan! Ganti di lain hari. Ini penting sekali, Gio. Aira dalam bahaya!"geram Raave. Ia berjalan sangat cepat, dengan Gio terseok-seok mengikutinya.
Raave masuk mobil. Lalu melihat lagi ponselnya. New message, 'Aira'. Lelaki itu membacanya. Ekspresinya semakin muram. Matanya mendelik emosi. "Ben sialan!! Mau apa dia?!! G!! cepat!!"perintahnya setengah marah. Berteriak, Gio melirik takut dari spion.
Marvel City, Mall
Aira masih terus berjalan santai dengan Ben.
"Apa? Oh batalkan sementara. Saya sedang bersama seseorang. Kamu mengerti kan?"ujar Ben, menjawab Staff pribadi yang menghubunginya.
Aira semakin muram. Menghembuskan nafas sangat dalam. 'Dimana Raave?'batinnya cemas. Ia tampak celingak-celinguk. Tak ada tanda-tanda Raave datang.
Mereka sudah tiba di kedai mie langganan Ben. Lelaki itu melangkah maju ke order corner dan bicara, sambil menunjuk gambar di atas kepalanya. Sementara Aira duduk dengan lesu.
Namun...
Mendadak, Aira dibekap seseorang dari belakang, aroma sandalwoodnya begitu membius. Ia menoleh, Raave tersenyum misterius, mengerling. "Ayo kita pergi!"lirihnya dengan bahasa bibir.
Ia bawa belanjaannya dan pergi dari sana, tanpa suara. Mengendap-endap. Sementara Ben masih terus bicara. Entah ingin pesan apa, hingga membuat waitress yang melayaninya memutar bola mata, bosan. Terlalu bertele-tele.
Beberapa orang menatap Aira dan Raave heran.
Raave menggandeng sang gadis, Di tangan kanan, sementara tangan kiri membawakan belanjaan Aira. berlari dari sana. Dengan Gio lagi lagi terseok di belakang. Tubuhnya yang agak tambun, susah berlari. "Tunggu, Mr Raave!"panggilnya, tersengal. Nafasnya hampir habis.
Aira dan Raave menggunakan lift, dan tiba di lantai dasar. Lalu secepat kilat menuju parkiran dan masuk mobil. Gio kehabisan nafas. RaAve menaruh belanjaan di bagasi belakang.
"Oohh Raave...!!!"teriak Aira tiba-tiba. Gio dan Raave kaget setengah mati.
'Apa lagi?!!'batin Gio. Ia duduk di balik kemudi. Mulai melaju. agak cepat.
"Telurnya, pecah!!!" Aira memegangi kepala, panik.
"Heiii..!!" Raave bingung.
"Telur!!!" teriak Aira lagi.
"Aira! Please!! telur bagaimana, Hm?!" jawab Raave frustasi. Ia sampai mengendorkan dasi, yang memang sudah tak karuan.
"Aku tadi beli telur, pasti Pecah!! Kamu bawanya begitu! Ah ya sudahlah!" Aira kembali santai. Ekspresinya berubah dalam sekejap. Gadis itu seperti punya dua kepribadian.
'What the hell??!'gumam Gio lirih sekali. Memutar bola mata.
Raave membuka jasnya, bernafas dalam. Ia tatap Aira. "Jadi kamu dibuntuti Ben, begitu?"
"Tidak, aku ketemu dikasir. Terus jadi ngikuuutt aja, kemanapun aku pergi"
"Selama ini kamu dekat dengannya?" Raave tak memandangi Aira lagi. Ia minum air mineral dari botol yang ada di depan kursinya. Sekali teguk.
"Tidak. Dia datang ke BookShop dan... "
"Dan kamu jadi dekat dengannya, jalan bersama, makan malam,... Hm??!" Raave menggeram. Emosi.
"Tidak Raave! Aku tak dekat dengannya. Dia lelaki ribet. Ga seperti kamu. Tegas dan... mempesona."jawab Aira. Berbisik di telinga Raave saat mengucapkan kata mempesona. Lalu mengecup daun telinga lelaki itu lembut.
Seketika, emosi sang lelaki lenyap. Entah kemana. Ia rengkuh gadisnya erat. Mengecup bibirnya sekilas. "Kamu adalah satu-satunya gadis yang bisa menghiburku, meredakan amarahku, Ai."bisiknya.
Gio yang tak sengaja dengar, memutar bola mata. 'Katanya ga jatuh cintaaa...! Heeuuhh..!' rutuknya dalam hati. Bingung dengan sikap Raave.
Raave mengantar Aira pulang. Namun saat keluar dari mobil, ia berteriak lagi. "Raave..!!"
"Ada apa lagi, Ai?"
"Mobilku, Raave. Masih di Mall!!"balas Aira, geli.
Raave geleng geleng kepala. Gio mengelus dada. "What the fuck!!"lirihnya.
"Nanti biar diambil Staffku Ai. Berikan tiketnya" Raave mengulurkan tangan. Meminta tiket masuk Mall.
"Hilang, Raave!"teriak Aira mendelik. Linglung. Setelah mengaduk tas dan sakunya, tapi tak ketemu juga.
"Oh My GOD!!! Forgive me!!"teriak Gio dalam hati.
Raave gantian mengelus dada, Gio membentur-benturkan kepala pada kemudi mobil. Frustasi. Gemas.
Aira terkekeh geli. Ia berikan STNK mobilnya, kunci, juga KTP. Berterima kasih. Belanjaannya hampir lupa, jadi segera ia buka bagasi dan mengambil semuanya.
Raave melaju kencang, usai pamit pada Aira.
Bu Wina keluar dari rumah, membantunya membawa belanjaan ke dalam. Terkejut saat membukanya. Telur berantakan. Untungnya didalam plastik khusus. Hanya beberapa yang bisa diselamatkan. Akhirnya ia bumbui dan kukus. Sisanya dibuat cake.
"Memangnya tadi bawanya gimana, kok bisa telur pecah semua, setengah kilo ini!" Bu Wina mengaduk adonan cake.
"Iya, Bu. Sambil lari keburu-buru tadi soalnya. Hehe..!"sahut Aira. Ia duduk santai di depan TV. Mengambil cemilan yang dibongkarnya dari paperbag. Melahapnya sambil menonton tayangan misteri.
Bu Wina sibuk di dapur, mengolah telur menjadi cake mentega. Tidak selembut BakeShop, namun mantap juga rasanya. Karena hanya memanfaatkan beberapa telur yang pecah.
"Untung beli cuma setengah. Kalo sekilo kan, sayang juga."lirih Aira. Masih geli, kejadian di Mall yang baru saja dialaminya.
Agak merasa bersalah pada Ben, Ia kirim pesan singkat pada lelaki itu. 'Maaf, Ben, aku pergi tadi. Aku terburu-buru. Ada janji dengan sahabatku. Maaf, sekali lagi.' Disertai stiker lucu orang meminta maaf.
Balasan segera datang,
'Iya, Ai, aku mencarimu tadi. Kata rang di sebelahku, kamu diajak pergi seorang lelaki tampan sekali.'
Aira melotot. Lalu kembali membalas,
'Iya dia sahabatku, aku ada janji dengannya. Dia orangnya tak sabaran.'
Agak lama. Sepuluh menit, Ben membalas,
'It's okay Ai. Lain waktu masih bisa, kan?'
Aira memutar bola mata,
'Ya' balasnya singkat.
Gadis itu menghela nafas dalam. Kembali menekuri TV. Acaranya lumayan menarik.
Bu Wina tahu tahu sudah mendorong piring berisi potongan cake di depannya. Mengerling. Yang dibalas binar ceria sang Nona. Mereka menikmati cake bersama.
Sorenya...
Ben calling...
"Ya"
"Aira, kamu di rumah?"
"Ya, kenapa?"
"Oh, aku ke rumahmu, boleh?"
"Silahkan"
"Oke" call end
Zii calling...
"Hai, Ziii..!!!"teriak Aira.
"Hai, girl. Aku ke rumahmu ya!"
"Siap bos!" call end
Zii datang lebih dulu, beberapa saat kemudian, bersama Adnan. Aira menghambur ke pelukan kedua sahabatnya itu. Senang. Sudah beberapa waktu mereka tak bertemu. Zii Menyerahkan paperbag pada Aira.
Aira mengajak mereka masuk. Ke ruang Tv.
Bu Wina segera menyiapkan minuman dan makanan kecil.
"Oh by the way, kamu baik aja kan , Ai?" Adnan menatap khawatir sahabatnya, yang tampak sedikit pucat. Duduk di sofa, Zii di sampingnya.
"Iya, kenapa?"
"Memastikan saja. Maaf kami jarang banget kesini." Zii menimpali. Mengusap lengan Aira.
"Ga masalah, kalian sibuk. Aku sendiri juga ngurusin BookShop kan?" Aira tersenyum. "Ini, mau pada kemana?"
"Mau jalan-jalan biasa aja, Ai."jawab Zii Sedikit gugup.
"Permisi" suara Ben menggema dari depan pintu.
Aira, Adnan dan Zii menoleh. Kaget. "Mr Ben?"Adnan bergumam rendah. Menatap Ben dengan pandangan sedikit curiga. Lalu memandangi Aira.
"Hei, ada apa?!"balas Aira. Melangkah keluar, Merasa dipelototi sahabatnya. Mempersilahkan Ben duduk. Adnan dan Zii, ikut keluar menemui Ben.
"Mr Ben, anda kesini?"sapa Adnan, menjabat tangan Ben.
"Jadi ini Nona Zii yang beruntung itu?" Ben berkomentar, menjabat tangan Zii. Memandang Zii lalu Aira bergantian. "Kalian ini sahabatan kan, ya?"
"Betul sekali. Ini kekasih saya, dan Aira sahabat dekat."jawab Adnan. "Oh Mr Ben, ada keperluan apa ke rumah Aira?"tanya Adnan blak-blakan.
"Ah tidak, hanya ingin menemui Aira, siapa tahu bisa saya ajak jalan-jalan"jawab Ben ceplas ceplos. Tersenyum.
Adnan dan Zii saling pandang. "Jalan-jalan?" Zii bertanya heran.
Ben tersipu malu. "Ya, jalan keluar, Dinner, makan siang, atau menemaninya belanja, mungkin."jawabnya percaya diri.
Adnan tertawa kecil. "Anda tidak takut dengan kekasihnya, Sir?"
"Kekasihnya??" Ben terlihat sedikit cemberut. Menatap tajam Adnan.
"Ya, kekasih Aira." balas Adnan lagi. Entah apa maksudnya. Memanasi Ben, sepertinya.
Aira hanya menahan senyum, Zii juga.
Ben semakin muram. "Benarkah itu, Ai?" Ia tatap sang gadis, meminta penjelasan.
Aira tersenyum, mengangguk.
Adnan memutuskan untuk pergi, meninggalkan Ben dengan teka-teki tentang kekasih Aira.
Lagipula, karena Ia sedikit terburu-buru. Menarik tangan Zii yang sebenarnya tak ingin meninggalkan sahabatnya. Aira merengut sendiri, ditinggal hanya bersama Ben. Ya, walau Ben lumayan juga.
Kulit putih bersih, rambut pendek, tak terlalu tinggi. Normal. Manis sebenarnya. Namun ia lebih tertarik dengan lelaki berkulit sawo seperti Raave. Rahang tegasnya, tubuhnya yang berotot dan kekar. Jambangnya. Ohh.. Sungguh mempesona. Tangannya yang besar dan hangat. Bibirnya yang kissable. Aira membayangkan sang lelaki. Yang beberapa waktu lalu menegaskan padanya, bahwa dia adalah lelakinya.
Saat mereka berciuman dengan dalam, ia didekap erat oleh lelaki itu. Nampaknya Aira mulai agak gila.
"Aira?"panggil Ben bingung. Menatap Aira yang senyum-senyum sendiri, sambil menatap kosong entah ke arah mana.
"Maaf, Ben. Saya kurang fokus."
"Kamu sakit?"tanya Ben.
"Mungkin sedikit butuh istirahat. Saya terlalu lelah beberapa hari ini" jawab Aira. Berniat agar Ben lekas pergi.
"Apakah benar kata Adnan tadi, soal kamu sudah punya seseorang?"tanya Ben. Meyakinkan diri sendiri.
"Ya, Mr Ben. Saya punya seseorang."
"Maaf, Ai. Jika aku bertanya begini."
"Tak masalah."
"Kamu mencintainya?"
"Ya, saya mencintainya."jawab Aira mantap. 'Tapi, aku tak tahu, dia punya perasaan yang sama denganku atau tidak.'batin Aira. Sendu. 'Raave tak pernah bilang apapun, hanya mengatakan, Aku harus bersamanya.'
Tampaknya, niatnya berhasil. Walau sedikit terlambat. "Oh, baiklah. Kamu harus istirahat, sepertinya Ai. Aku pulang saja. Kamu baik baik ya. Dan ini, aku hampir lupa. Aku membawakannya untukmu" Ben pamit dan menyerahkan sebuah paperbag.
Aira berterima kasih. Mengantar Ben hingga ke pintu,lalu masuk dan langsung ke kamar. Ia melirik sekilas isi paperbag. Cake dan cemilan. Hanya ia masukkan kulkas.
Gadis itu naik ke kamarnya, berbaring nyaman di Bed. Lagi lagi bayangan tentang Raave muncul. "Raave, bagaimana aku di hatimu? Apa yang kamu maksud, waktu itu, orang yang memasuki wilayah pribadimu, tak akan kamu biarkan keluar begitu saja?"
"Apakah aku berhasil masuk di hati dan pikiranmu, Raave??" Ia bertanya pada diri sendiri. Memeluk guling dan bantal besar kesayangannya. Mengalirkan bulir bening dari sudut mata.
Bersamaan dengan guntur yang menggelegar. Baru jam 7malam. Aira semakin erat mendekap bantal.
**