"Kamu di rumah?"suara indah Raave terdengar.
"Yes, aku baru pulang, ada Zii main kesini"
"Hm, oke. Sudah makan?"
"Belum. Kan masih sore. Kamu sudah pulang?"
"Aku masih di kantor. Ada beberapa pekerjaan yang belum ku...."
"Hai raave...!!"suara seorang perempuan menggema.
Zii dan Aira saling tatap. "Baiklah Raave. Sepertinya ada tamu. Kututup ya. Jangan kecapekan."tutup Aira. Call end. Tanpa menunggu balasan sang CEO.
"Siapa itu tadi?" Zii kepo.
"Ga tahu, Zii. Dan Ga mau tahu! terserah!"jawab Aira, sedikit dongkol.
Ia kembali melahap kue manis. Lalu melanjutkan obrolan dengan sang sahabat, tak lagi ingin menyinggung masalah Raave.
"Makan malam disini?"tawar Aira.
"Ga usah, dear. Ada janji ma Miss Prue nanti malam. Dia ngajak aku Dinner bareng bareng katanya"
"Oh oke."
"Dia titip salam buat kamu, sesekali ingin ngajak kamu Dinner juga"timpal Zii. Membersihkan remah makanan di sofa Aira.
"Salam kembali. Iya Zii. Aku minder kalau jalan ma dia"
"Kenapa?"
"Jauh, kaya bumi dan langit!"
"Tapi nyatanya kamu yang lebih bisa menaklukan Seorang Raave, daripada dia." Zii tersenyum bangga pada sahabatnya. Membelai sekilas pipi sang gadis.
"Itu hanya kebetulan saja."
"Ah kamu selalu merendah. Udah, aku pulang ya. Udah gelap nih!" Zii pamit. Usai memberesi barangnya. Melangkah keluar dari kamar, turun dan berhenti di depan pintu.
"Zii, kamu baik saja?" Aira menghampiri sang sahabat yang memegangi kepala.
"Gak apa, Ai. Cuma agak pusing!"keluh Zii.
"Aku teleponin Adnan ya, suruh jemput."
Zii menggeleng, "Ga usah, Ai. Aku masih kuat bawa mobil" Ia tersenyum, lalu masuk mobil. Melaju santai, sambil melambai.
"Ati-ati!"teriak Aira.
Gadis itu menghubungi Adnan. Namun tak diangkat, akhirnya ia kirim pesan singkat. Memintanya mengawasi Zii yang pulang sendiri membawa mobil. Dan memberitahukan, bahwa sang gadis sempat mengeluh pusing.
Aira kembali ke dalam rumah, usai menutop pintu dan menyimpan ponsel. Segera bergabung dengan Bu Wina yang selesai menyiapkan makan malam.
"kenapa kok termenung gitu?"tanya sang asisten, melihatnya hanya diam, terpekur di meja makan.
"Ga, cuma aneh aja. Ga biasanya Zii sakit. Ah mungkin dia kecapean, Bu. Katanya sering diajak Boss nya pergi" Aira bicara sendiri.
Bu Wina hanya tersenyum, "Iya barangkali". Ia ambilkan nasi untuk sang Nona. Lalu lauknya.
Aira kaget. "Bu Wina masak apa?"
"Ayam bacem, sup tomat..."
"Sambelnya mana??"potong Aira.
"Ga da sambel, Sayangku... Mas Raave ga bolehin masakin sambel. Lagipula, Saya juga takut, Mba Aira kayak kemarin itu, kalo kebanyakan pedes. Saya takut banget, Mba Aira muntah darah kan kemarin!"ujar Bu Wina, sedih.
Gadis itu mendengus. "Sejak kapan, dia boleh ngatur apa yang boleh dan tak boleh aku makan. Bikin sambel gak apa Bu, tapi jangan pedes pedes gitu aja."
"Saya ga berani juga, Mba. Dia udah ngirim belanjaan banyak banget tadi, khusus buat masakin Mba Aira. Tapi sama sekali ga ada cabenya."
"Kirim belanjaan?" Aira bingung.
Bu Wina berdiri, melangkah ke dapur mengambil kotak agak besar. Meletakkannya di bawah meja makan. Ia buka.
Aira tersentak. Aneka sayur, Kentang, wortel, brokoli, buncis, lengkap. Dan bumbunya. Kornet, sardin, kulit pangsit, tak ketinggalan. Barangkali sesuatu yang disebut makanan dapur, diborongnya semua.
Sang asisten mengambil beberapa kotak plastik dari kulkas. Ia taruh diatas meja lalu membukanya juga. Daging potongan besar, ayam, ikan, telur, jamur, bakso. Lengkap juga.
"Apa-apaan ini??!"gumam Aira lirih. Menunduk. Terharu juga sebenarnya. Raave sampai seperti ini, padanya.
"Waktu saya tanya kurirnya, apa ga salah kirim. Katanya ga salah, Mba, buat Mba Aira dari Mr Raave Pranaja. Dia telepon saya, pokoknya jangan masak yang pedes buat Mba Aira. Saya juga dibeliin jajanan ini tadi, Mba. Belum saya makan, mau tak tunjukin Mba Aira dulu"
Wanita paruh baya itu mengambil paperbag dan menunjukkannya pada sang Nona. Aneka snack kering.
"Permisiii... Paket, Mba Aira!!" suara kuriir langganan Aira.
Aira membuka pintu. Menatap sang kurir, yang mengangkat satu kotak sedang. Gadis itu langsung mengambil alih si kotak. Tersenyum pada si kurir.
"Dari mana, Mas?"
"Ehmm, Mr Raave Pranaja. Ini susulan. Yang satunya sudah tadi siang, Mba!"jawab Sang kurir. Lalu undur diri.
Aira berterima kasih, lalu membawa kotak ke dalam. "Bu,, ada lagi..!" Ia letakkan di depan Tv. Membukanya bersama dengan Bu Wina.
Dua kotak besar Susu, yoghurt, keju yang setahu Aira, selalu diletakkan di rak khusus, Roti tawar, croisant, lemon tea celup favoritnya. Dan.. Sebuah kotak putih yang terasa dingin. Berisi buah segar. Anggur, kiwi, pir, apel dan jeruk. Juga beberapa snack kesukaan Aira.
Aira dan Bu Wina saling pandang. Tertegun sesaat. "Banyak banget ya, Mba!"bisik sang asisten. Takjub.
"Oh Raave. Bagaimana aku harus berkata kata...?"gumamnya lirih. Segera Ia hubungi si lelaki.
"Ya, Ai"
"Kamu sudah pulang?"
"Aku dalam perjalanan."
"Bersama Luke?"
"Hm"
"Paket apa yang kamu kirimkan, begitu banyaknya padaku?"
"Oh itu... Aku hanya ingin kamu makan bergizi. Agar kamu selalu sehat."jawab Raave santai.
"Maaf jika aku banyak sekali merepotkanmu, saat aku sakit, Raave"
"Hei, Dear. Bukan begitu, jangan merasa begitu. Itu semua tak masalah, aku hanya ingin membantumu, agar kamu bisa cepat pulih."
"Terima kasih Raave. Tapi apakah ini tidak terlalu banyak??"
"Tidak sama sekali, malah justru ada yang kurang sepertinya.. Akan kukomplain sellernya. Ehm akan kususulkan be..."
"Ssshhhhh... Cukup Raave! Jangan merepotkan dirimu sendiri. Tak usah disusulkan. Stop! Ini sudah lebih dari cukup. Aku bisa membelinya sendiri besok!"balas Aira sendu. Memotong kalimat sang lelaki.
"Aira.. Sungguh, aku tak merasa kerepotan sama sekali"
"Maaf. Aku benar benar tak ingin merepotkanmu"
"Aku mengerti. Aira.. Jangan kamu pikirkan. Sudah. Istirahatlah. Hm."
"Ya, kamu jaga kesehatan ya Raave"
"Hm" call end.
Aira mendesah pelan. Lalu membantu Bu Wina memberesi semuanya. Ia tata lemari es nya lagi. Beruntungnya, kulkasnya jenis multi door yang berkapasitas besar.
Setelah semua rapi, Aira mulai makan malam, yang sempat tertunda tadi. Shock karena Raave berbelanja.
Gadis itu menikmati makanannya yang tidak pedas. Manis, gurih dan lezat. Seperti masakan Bu Wina biasanya. Kenyang makan, Ia duduk di sofa depan tv. Bu Wina di sampingnya.
"Mas Raave bener-bener sayang sama Mba Aira"celetuk Bu Wina, senang.
Aira hanya tersenyum kecil. "Mungkin, Bu. Atau hanya kasihan"
"Maksudnya?"
"Ya, dia ga pernah bilang apapun pada saya, Bu. Saya ga masalah juga sih.Sesukanya, yang penting ga merugikan saya, gitu aja"balas Aira, menoleh dan mengerling pada asistennya.
Bu Wina mengusap tangan sang Nona. "Semoga Mba Aira selalu bahagia"doanya, tulus.
"Makasih banyak ya Bu, sudah banyak bantu saya selama ini"ujar Aira sungguh sungguh.
"Sama-sama. Mba Aira istirahat deh. Kan masih harus minum obat yang dari Rumah sakit kemarin itu"saran Bu Wina.
"Udah tak minum tadi, Bu. Ya, saya naik Bu." Aira melangkah ke tangga, naik ke kamarnya.
**
"Sir...!!"panggil Gio.
Yang dipanggil hanya diam termenung. Raganya di tempat, namun jiwa dan pikirannya entah ada dimana. Kursinya yang empuk, adalah tempat yang nyaman untuk merenung. Masalah apa saja. Seperti sekarang. Siang menjelang sore, diiringi mendung gelap dan angin.
Gio mendesah panjang. "MR RAAVE..!!"
Raave terlonjak. Benar benar kaget. Ia memandangi Gio sambil mengusap muka. "Hm, maaf G!"
"Apa yang Anda pikirkan hingga saya panggil berulang kali, tak dengar??"
"Aku memikirkan Aira."
Gio kaget. Memutar bola mata. "Memangnya Nona Aira kenapa, Sir?"
"Soal microchip itu."
"Yes, so...?" Gio masih bingung.
"Aku masih tak bisa bayangkan, efeknya, jika serpihan itu, ada yang tertinggal di tubuhnya. Oh GOD!!" Raave berdiri, beranjak dari tempatnya dengan frustasi.
Gio memiringkan bibir. 'Katanya ga jatuh cinta. Tapi mikirin segitunya' gerutunya dalam hati. Bingung dengan sikap Raave.
"G..!! Apa yang menurutmu harus kulakukan? Apa aku jujur saja?"
"Soal?"
"Microchiiipppp... Gioooo..!!" Raave gemas.
"Oh.. Ehm. Terserah Anda saja, Sir. Kenapa Anda ingin ujur?"
"Aku merasa tak tenang. Aku takut... Terjadi apa-apa dengannya."
"Seingat saya, Anda pernah berkata, tak jatuh cinta ataupun punya perasaan padanya. Lalu kenapa sekarang Anda takut sendiri? Tak tenang sendiri?"cecar Gio.
"Ya, aku takut karena sudah bohong padanya."
"Kan justru itu bagus. Dia tak akan tahu apa apa. Bukankah lebih baik begitu saja?"
"Tidak G. Aku takut sesuatu terjadi padanya..." Raave duduk di sofa. Menutup muka dengan kedua tangan.
"Setahu saya, Raave Pranaja tak pernah takut akan apapun!"
Raave mendongak. Menatap lekat sang Sekretaris pribadi. Berdiri, mendekat. Gio juga menatap Tuannya. "Lalu sekarang, takut pada hal seperti ini...??"lanjut Gio. Suaranya penuh penekanan.
Sang Tuan menatapnya tajam. Tapi sejurus kemudian, Ia menepuk pundak sang asisten pribadi. Berbalik. Menunduk. "Entahlah, G!"gumamnya. Muram.
Rumah Aira
Aira memandangi langit lewat jendela yang terbuka. 'Sebentar lagi, hujan deras, pasti'batinnya gembira. Senyumnya terbentuk bersamaan dengan bulir merah dari hidung, mengalir turun.
Ia mengusapnya. Mendesah. Minum obat. Bernafas dalam dan menghembuskannya pelan. Berulang kali. Lebih baik.
"Ai.. !" suara seorang laki-laki. Gadis itu sedikit kaget, menoleh. Adnan datang bersama Zii.
"Hai, kalian!" Ia beranjak.
"Kamu baik aja,Ai? kamu pucat" Zii mengusap Pipinya. Khawatir.
Aira menggeleng. Tersenyum. "Darimana mau kemana, guys?Mendung gelap banget gini?"
"Dari rumah mau kesini. Pengin ngajak jalan sebenarnya, tapi kayaknya kamu butuh istirahat, Ai"jawab Adnan. Menatap lekat gadis di depannya.
"Oh, ayookk! Aku agak bosen juga. Mau kemana kita?" tanyanya semangat, langsung berdiri dan menuju lemari pakaian.
Adnan dan Zii saling pandang."Kamu beneran ga apa, Ai?"
"Iyaa..ayook!" Aira memilih blus rajut dan sweater lalu ke toilet, berganti pakaian.
Hitungan menit, ia sudah manis, dengan rambut yang dicepol dan sandal nyaman.
Adnan dan Zii tersenyum, beranjak dan keluar kamar. Aira menggandeng tangan mereka.
"Justru suasana kayak gini, nih. Enaknya yang panas dan anget kan. Makan dan minum." Adnan berseloroh. Sepertinya menemukan tempat tongkrongan baru yang seru. Khusus di suasana mendung.
Aira berbinar, pamit pada Bu Wina, sambil menuruni tangga. Melangkah cepat bersama sahabatnya keluar. Semangat. Ponsel dan obat, juga dompet tak lupa tersimpan aman di tas selempang kecilnya.
"Kalian ga ngantor?"tanya Aira, dari kursi belakang. Mereka dalam perjalanan. Adnan melaju lumayan kencang.
"Libur, Ai. Istirahat. Badanku kayak mau remuk semua. Hadeeeuuhh..!!"keluh Adnan. Geleng geleng kepala.
Zii tersenyum. Aira mengangguk mengerti.
"Aku ga jadi obat nyamuk kan ini?" Aira setengah menyindir. Zii dan Adnan tergelak serempak.
*