Tubuhnya condong pada sang gadis. Tangannya meremas serbet di meja. Rasanya ingin menggenggam tangan si gadis, tapi terlalu takut ditolak.
Aira mengawali jawaban dengan senyum kecil, "Sir, Anda baru bertemu saya beberapa kali. Itu juga jarang. Secepat itu Anda meminta saya?"
Sang lelaki mengangguk mantap. "Aku tahu, Ai. Ini memang terlalu cepat. Tapi kamu bisa percaya sepenuhnya padaku."
"Maaf, Mr Lou. Terkadang perasaan yang cepat datang itu, juga cepat pergi. Easy come, easy go."timpal gadis itu lagi.
"Begitu ya..."
"Iya. Sebelum Anda kecewa dan mengecewakan orang lain. pikirkan lagi perasaan Anda, Sir. Maaf jika saya lancang dan tak sopan mengatakan ini pada Anda. Tapi ya lebih baik begitu." saran Aira, mengatakan dengan kalimat yang sekuat tenaga ia tata, agar terdengar sopan.
Louise memasang senyum lebar. Menggelengkan kepala pelan. "Kamu memang, sungguh, membuatku semakin terpesona, Ai"lirihnya. Entah Aira dengar atau tidak. Gadis itu menandaskan Jus Lemon madunya lalu air mineral. Mengelap mulut, bersandar di sofa.
Aira sedikit kaget. 'Ehm.ponselku dimana ya tadi?'batinnya galau. Ia merogoh tas. Tak ada. 'Berarti aku tak bawa ponsel? Ah pusing amat. Dia bersama Ghina seperti biasanya kan? Mana mungkin peduli padaku'
"Sir, kita pulang?" Aira mengajak sang CEO meninggalkan Resto, yang diangguki sang lelaki.
Lou mengantarkan Aira hingga ke pintu rumah.
"Terima kasih, Sir. Makan malamnya." Aira menunduk sedikit.
Lou mengangguk dengan senyum. Ia belai pipi sang gadis lembut. "Aku pulang ya" Lou pamit dan bergegas menuju mobil.
Aira masuk ke rumah. Bu Wina sedang menonton TV.
"Hai Bu.."sapa Aira, menghempaskan diri di sofa.
"Halo, Nona manis. Gimana dinnernya?"
"Ya begitulah, Bu"jawabnya asal. Ia berbaring, memejamkan mata.
"Tadi dicari, Mas Raave." Bu Wina memberitahunya. "Sama perempuan cantik banget."
Aira bangun. "Perempuannya kayak gimana? Terus Bu Wina bilang saya kemana?"
"Saya bilang, Mba Aira dinner sama teman. Ehm.. Gimana ya... Cantik, Rambutnya keemasan coklat gimana gitu. Cantik pokoknya." Bu Wina nampaknya kesulitan mengingat.
Ghina. Siapa lagi. Untuk apa Raave mengajak Ghina kesini. Mau apa? Mau pamer padanya, kalau mereka serasi bersama? Ya, itu juga semua orang tahu. Lelaki tampan dan gadis cantik. Menikah saja sekalian sana!! Kembali lagi pada cinta pertama!' rutuknya dalam hati.
Aira kembali berbaring, mencoba menghubungi Dokter Alan.
"Dok, please, saya ga bisa tidur belakangan ini. Memangnya Raave siapa? Dia tak punya hak melarang saya minum vitamin dari Anda kan?" Aira sewot pada Dokternya itu.
Terdengar suara helaan nafas. "Oke. Tapi sedikit saja ya Dear. Dan ini rahasia kita berdua"
"Siapp Dok!! Saya kesana sekarang? Atau bagaimana"?"
"Biar diantar Staff Mba Aira. Anda di rumah saja."
"Makasih banyak ya, Dok"
"Sama-sama. Jangan sampai kayak kemarin lagi ya."pesan sang Dokter.
"Oke."call end.
Aira tertawa kecil. Senang.
**
"Mba Aira minum vitamin lagi?" Bu Wina duduk di tepi tempat tidurnya. Aira mengusap muka. Mengucek matanya yang gatal.
"Saya ga bisa tidur beberapa hari ini, Bu"jawab gadis itu. Wajah bangun tidurnya, membuat sang asisten mengulas senyum.
"Mau sarapan dulu? Ini udah jam 9. Oh tadi ponselnya kok bunyi terus Mba, coba dilihat"
"Iya Bu, saya turun nanti." Aira mengecek ponsel. Sesekali memejamkan mata. Rasa kantuk masih berkuasa. Padahal pagi ini Ia bangun sendiri.
Beberapa kali panggilan Raave. Ia hubungi balik.
"Aira?"
"Ya, ada apa meneleponku?"tanya gadis itu datar.
"Kamu baik saja, kan? Tadi malam aku ingin mengajakmu makan sebenarnya. Kata Bu wina kamu Dinner dengan teman?"
"Ya, Dinner dengan Mr Lou. Mengajakku makan bertiga dengan Ghina?"
Hening. Raave diam.
"Kamu dinner bersama Louise?"
"Ya kenapa? Kamu juga tak mungkin cemburu."
"Aira... "
"Raave. Mungkin aku menyerah saja. Kita kembali jadi relasi seperti semula. Seperlunya saja, kamu menghubungiku. Jika ada pesanan saja atau bagaimana."
"Airaaa..!!!! Apa maksudmu??!"
"Aku menyerah Raave, bersamamu. Maaf. Aku mundur. Lagipula aku bukan siapa siapa. Jadi... " kata katanya terhenti. Airmata Aira mulai membasahi pipi. Ia mengambil nafas dalam.
"AIRAAA...!! KAMU BICARA APA, HM???!" Raave menggeram.
"Terserah kamu mau marah, atau apa. Sekali lagi, aku menyerah Raave Pranaja. Maaf. Semoga harimu menyenangkan." call end.
Zii calling...
"Hai, dear. Kamu dirumah apa Bookshop?"
"Di rumah Zii. Kesiangan tadi, hehe.."
"Ehmm.. Adnan ngajak nobar lagi. Di rumahmu atau dimana, Ai?"
"Terserah, aku nurut aja. Di rumahku juga boleh"
"Oke.. Aku bilang Adnan dulu. Nanti aku sms ya, Ai"
"Siip" Aira mengakhiri pembicaraan.
Gadis itu menuju meja makan, duduk di kursi. Mengambil sepotong roti tawar, ia oles mentega lalu ditaburi keju. Aira segera melahapnya bersama segelas susu dingin. Ada sisa perkedel kentang Bu Wina yang digoreng lagi. Ia sambar sekalian. Hanya 5biji, ia habiskan.
"Bu, perkedel saya makan semua!!"teriak Aira.
"Siipppp..!!!"balas sang asisten. Dari kamar mandi.
Aira mengingat lagi kata katanya pada Raave tadi. Matanya tergenang. "Maaf Raave, sepertinya aku tak sanggup terus menerus cemburu, melihatmu bersama perempuan lain."gumamnya lirih. Menunduk. Airmatanya luruh tak karuan. Ia sesenggukan. Pundaknya berguncang.
'Sesak sekali rasanya.' Aira membatin pilu. Ia bernafas sangat dalam. Merebahkan kepala di meja makan. Menghadap ruang Tv. Airmatanya terus luruh.
"Mba Airaaa..." Panggilan Bu Wina terhenti. Menatap seseorang yang datang dengan jari di depan bibir. Memintanya diam. Menganguk.
Sang asisten melangkah pelan ke ruang Tv, menonton acara gosip.
Aira tersentak kaget. Ketika seseorang memeluknya erat. Ia tegakkan kepalanya. Menjauh perlahan. Berdiri. Menghindar dari sang lelaki yang datang.
"Kenapa Anda kesini, Mr Raave??" Aira mengusap wajahnya.
"Aira.. Dengarkan aku dulu.." Raave memandangi Aira sedih. Ekspresinya sungguh berbeda, dengan kesehariannya selama ini.
Sang gadis hanya memasang wajah datar. Tak nampak datar, karena hidungnya memerah, matanya sembab dan ekspresinya sedih. "Apa?"balasnya parau.
"Aku dekat dengan Ghina. Hanya membantunya untuk membuat suaminya cemburu, dia hanya ingin mencari perhatian suaminya, Ai. Mereka sedikit tak akur. Suaminya cemburu dan marah besar melihat kami. Aku bicara padanya perlahan, dia mengerti dan kini mereka sudah akur lagi. Jadi, Aira...." Raave berusaha menjelaskan. Berharap, Aira menerimanya dengan baik.
"Jadi, aku tetap akan menyerah saja. Maaf." Aira menunduk. Airmatanya tumpah lagi.
"Katamu perasaanmu tak akan berubah, Ai..."
"Memang tak berubah, hanya perasaanku kan? Waktu itu kamu tanya hanya perasaanku. Maka, Aku akan memendamnya sendiri. Jauh dalam hati. Perasaan menyakitkan yang tak akan pernah terbalaskan!" sergah Aira.
Raave tercekat. Lelaki itu menahan nafas. Diusapnya wajah tampan kebanggaannya yang basah. Oleh keringat dan airmata.
"Jangan tumpahkan airmatamu untukku, Mr Raave."lanjut Aira. "Dan please tinggalkan aku sendiri!" Aira berjalan pelan. Menuju tangga. Mengusap muka. Ia naik perlahan.
Raave hanya bisa mematung.
Aira mencengkeram pegangan tangga. Ia terbatuk. Setetes darah menodai telapak tangan, yang digunakan untuk menutup mulutnya. Disusul tetes yang lain.
"Airaa..!!" Raave mendekap sang gadis, yang masih kaget dengan beberapa tetes darah di tangannya. Lelaki itu sama kagetnya.
"Tinggalkan aku, Raave..!!" Aira melepaskan diri. Ia mengusap bibirnya yang memerah.
"TAK AKAN PERNAH!!!"teriak Raave. Suaranya serak, gemetar, panik. Nafasnya cepat. Dengan Aira yang aman di dalam dekapannya.
"Aku baik saja, lepaskan aku!" Aira menjauh perlahan. Namun Raave menariknya, langsung membopongnya ke kamar, Ia dorong pintu dengan kaki, lalu membaringkan sang gadis di tempat tidur.
Aira membulatkan mata. Mengamati si lelaki yang dengan telaten menyelimutinya. Mengusap kepalanya dengan penuh kasih, membuatnya menguap lebar.
Raave Menunduk.
"Jangan menyerah, Aira. Jangan mundur. Aku sudah pernah bilang, seseorang yang sudah memasuki wilayah pribadiku, tak akan kubiarkan keluar lagi. Wilayah pribadi itu bisa apa saja. termasuk yang ada di dalam dirimu, tak terlihat dari luar. Hati dan pikiranmu." jelas Raave. Mengelus tangan sang gadis.
"Jangan menyerah saat bersamaku, biarkan aku... Membalasnya... Perasaan yang tak berubah itu. Aku percaya dan aku tak ragu. Jadi kamu boleh berharap apa saja padaku."lanjut Raave, masih menunduk.
Sejurus kemudian sang lelaki menegakkan kepala. Ingin tahu reaksi atas kalimatnya. Tapi ternyata...
"Aira..!!??"panggil Raave panik. Aira memejamkan mata. Botol vitaminnya ada di meja nakas. Juga botol obat. Ia sambar botol vitamin dengan kasar.
"DAMN!!!"umpat Raave. Emosi.
Ia hubungi Dokter Alan. Memarahinya dengan kata-kata kasar bernada ancaman.
"Dok, Anda mau, saya laporkan polisi dengan tuduhan malpraktik??!"
"Mr Raave, Mba Aira sendiri yang meminta vitaminnya. Saya menolak berulang kali. Sumpah!! Saya tak mau memberikannya. Dia memaksa. Katanya beberapa hari ini, tak bisa tidur. Dia bilang, Anda tak berhak melarangnya minum vitamin!"jelas sang Dokter sabar.
Raave menutup sambungan begitu saja. Mengacak rambut dan tengkuknya gusar. Memandangi lagi gadis manis yang pulas di depannya.
"Aira... Apa yang kamu pikirkan??"lirihnya frustasi.
Ponsel berdering... Entah milik siapa. Raave menoleh, bukan miliknya. Ia lirik sekilas screen di ponsel Aira.
Mr Lou calling...
Lagi lagi, lelaki tampan itu mengumpat kasar. Berjalan mondar-mandir di kamar seorang gadis, yang berhasil mengalihkan perhatiannya, sambil berkacak pinggang. Hingga lima menit, dering baru berhenti.
Raave bernafas sangat dalam. Ia lirik lagi ponsel.
New message, Mr Lou
'Ai, kamu mau makan siang bersamaku? Kamu sibuk? Kenapa kamu tak jawab?'
Raave iseng membuka ponsel sang gadis. "Sial!! pakai pola..!!!"gerutunya. Ia mencoba 'A'. Salah. 'Z'. Salah lagi. Dicobanya huruf yang mungkin saja berkaitan. Gagal.
Tangannya sedikit gemetar saat menuliskan huruf 'R' di ponsel. Terbuka. Lelaki itu duduk di sofa. Memegang ponsel sang gadis. Iseng membalas pesan Louise.
'Maaf, Mr Lou. Saya ada acara keluar kota bersama teman.'
Masih Ia tatap lekat ponsel Aira dengan wallpaper foto sang gadis dan dirinya saat di pantai. Raave menunduk. Jantungnya berdebar kencang. Nafasnya tak beraturan. Dipejamkannya mata, bersandar di sofa. Ia buka jas dan dasi, lalu kancing kemeja, sepatu, kaos kaki. Berbaring nyaman di sana.
Sambil mengecek ponselnya sendiri. Semua urusan kantor sudah ditangani Gio. Raave ikut tertidur. Dengan satu tangan di atas kepala.
Bu Wina masuk perlahan. Menyaksikan pemandangan mengharukan. Raave yang menunggui Nona mudanya tidur pulas di sofa. Aira tidur di bednya. Sang asisten meletakkan minuman dan makanan kecil di meja. Lalu keluar dengan mengendap-endap. Menutup pintu.
wait the next...