'Bagiku, jatuh cinta itu seperti apa, aku tak begitu mengerti. Yang kutahu, saat aku bersama seorang gadis, aku menyukainya. Kecantikan wajahnya, tubuhnya. Yang bisa membuatku senang. Cukup, Sebatas itu saja. Jika gadis itu membuatku bosan, mudah juga, Akhiri semuanya.'
'Lalu, apa ini bisa dibilang jatuh cinta?' Tak bisa bicara dengan Aira, Ia sibuk berbincang dengan suara hatinya. Menemukan arti sebenarnya, perasaannya selama ini. Tapi tampaknya, Ia masih ragu saja. Lucu dan aneh kalau dipikir, Lalu apa yang dilakukannya selama ini? Didasari apa?
Airmata yang biasanya kering, mendadak begitu deras, kala sang gadis terluka, sakit.
Perasaan ingin selalu bicara dengan Aira, mengetahui kesehariannya, kondisinya. Dan... Kecupan kecupan itu? Anehnya ia tak melakukan lebih dari itu, seperti yang biasa Ia lakukan, pada gadis sebelum Aira.
Aira jatuh cinta padanya. Jelas. Membuatnya semakin takjub dan kagum. Karena tak mendesaknya, memberondongnya dengan pertanyaan tak bermutu, seperti saat bersama Kylie dulu.
'Kenapa kamu jatuh cinta padaku, Ai. Lelaki sombong, dingin sepertiku. Kamu bahkan pernah berkata, bahwa kamu senang saat bersamaku. Apa yang membuatmu senang, Aira? Apa yang membuatmu.... Jatuh cinta padaku?'
Raave tertidur, menyimpan harapannya dalam dalam. Harapan agar Aira secepatnya bangun dan tersenyum lagi padanya. Semoga..
Esoknya...
Bu Wina ijin pulang sebentar untuk mandi. Raave bangun, menyipitkan mata. Sinar matahari menyapa perlahan dari celah jendela. Ia tatap gadisnya. Matanya terpejam, nafasnya teratur. Wajahnya masih sedikit pucat.
"Aira, sampai kapan harus kutunggu, kamu bangun?"gumamnya lirih.
Gio masuk perlahan, usai mengetuk pintu. Ia meminta Raave mandi dulu dan sarapan, karena perawat sudah mengantarkan sarapannya. Sekaligus memeriksa kondisi sang gadis.
VVIP Room Rumah sakit, dengan fasilitas paling lengkap. Termasuk makan pagi untuk si penunggu pasien. Juga tempat tidur yang sudah disedikan khusus. Tapi Raave tak menempatinya. Ia memilih tidur dengan posisi duduk di samping ranjang Aira. Sambil terus menggenggam tangannya.
Perawat datang lagi. Ingin membersihkan Dan mengganti pakaian Aira. Raave dan Gio terpaksa keluar dulu. Menunggu di depan kamar. Raave masih begitu muram. "Aku tidak selera makan, G."gumamnya.
"Tapi anda juga harus jaga kesehatan, Sir" Gio tampak khawatir. Wajah Tuannya yang kacau, semakin membuatnya prihatin.
Sang Tuan hanya menggeleng.
Perawat keluar beberapa saat kemudian. Tersenyum sopan pada kedua lelaki yang duduk di depan kamar, sambil melangkah pelan meninggalkan mereka.
Raave dan Gio masuk kembali ke kamar. Menghempaskan diri di samping gadisnya. Aira masih dengan mimpinya. Nyaman dan damai menutup mata. "Ai, kapan kamu bangun..?"gumamnya sendu.
"Permisi... Selamat pagi semua." Dokter Alan masuk. Tersenyum pada Raave, yang hanya dibalas anggukan. Sang Dokter memeriksa Aira.
"Kenapa dia tak bangun juga, Dok?"tanya Raave.
"Sabar, Mr Raave. Pendarahan internal menyebabkan tubuhnya melemah. Tunggu saja, kondisinya sudah mulai stabil, mungkin sebentar lagi." kata Dokter. Langsung pamit undur diri.
"Terima kasih, Dok"ucap Raave. Tangannya masih setia di sana, menggenggam tangan gadisnya. Tatapannya juga bertahan di tempat, tak beralih sedikitpun.
Raave memutuskan mengganti bajunya di kamar mandi, sembari menunggu Aira sadar. Cuci muka, tangan, menggosok gigi. Keluar dalam keadaan segar, Ia menyesap teh hangat yang dibelikan Gio. Juga air oksigen. Tanpa mau makan.
Lelaki tampan berwajah muram. Dibalik wajah memukaunya, ada kesedihan, yang bahkan membuatnya tak mau makan.
Bu Wina kembali. Dia diantar Luke. Siap menunggui Aira lagi. "Mas Raave, istirahat saja, tidur sebentar. Nanti kalau Mba Aira bangun, saya beritahu. Mas Raave juga butuh istirahat, kan."saran sang asisten. Berjalan ke sisi ranjang lainnya. Meletakkan termos air panas kecil. Beberapa cemilan dan teh lemon kesukaan Aira. Di meja.
Makanan kecil menumpuk di meja. Bu Wina membawa dari rumah. Gio juga membelinya beberapa. Tak masalah, siapa tahu, Aira ingin cemilan selama di Rumah sakit.
"Gak apa Bu. Saya ga bisa istirahat, kalau Aira belum sadar."jawab Raave, parau.
Mom calling...
"Ya, Mom"
"Kamu dimana, Nak? Di kantor kok tak ada"
"Aku di Rumah Sakit..."
"Kamu kenapa, sayang??!"potong sang Ibu, khawatir.
"Bukan aku, Aira."
"Aira??" Nyonya Pranaja berusaha mengingat. "Yang kamu kenalkan MamaPapa di Resto waktu itu?"
"Hm"
"Sakitnya kambuh??"
"Panjang ceritanya, Mom."
"Singkat saja."
"Microchipku hancur di tubuhnya"
"Apa??! Raave, apa yang kamu lakukan, Nak??!" Ibunya sedikit berteriak kaget.
"Sudah kubilang, panjang ceritanya."
"Ya sudahlah. Kamu berhutang cerita pada Ibumu ini! Jaga kesehatanmu ya.."tutup Ibundanya.
"Hm. Jaga kesehatan juga, Mom."balas Raave.
"Ya, love you, honey" call end.
Bu Wina memandanginya sendu. Tapi kemudian tersenyum. Duduk di sofa.
*
"Dok, jangan beritahu Aira soal microchip."pinta Raave pada Dokter Alan, pagi berikutnya.
"Ya, Mr Raave. Tenang saja."balas sang Dokter.
"Kenapa Aira tak bangun juga??"gumam sang lelaki, sedih. Menatap lekat pria berbaju serba putih di hadapan nya.
"Ditunggu saja. Beberapa waktu lalu, saat dia tak sengaja minum vitamin. Dia tidur hingga dua hari."
"Baiklah, Dok"pamit Raave. Ia keluar dari ruangan Dokter Alan. Melangkah gontai kembali ke ruangan Aira. Mendorong pintunya perlahan.
Sang gadis menatap lemah ke arahnya. Tersenyum kecil.
"Aira..!" Raave segera menghampiri Aira, yang dipijati oleh Bu Wina. Menghujaninya dengan pelukan, tak lupa kecupan di pipi dahi, bibir paling akhir.
"Dear, kamu sudah bangun..? Bagaimana perasaanmu? Ada yang masih sakit?"cecar Presdir Pranaja Tech itu. Ia belai lembut pipi sang gadis. Memandanginya lekat.
"Perut dan dadaku masih sakit. Itu saja"jawab Aira, lemas. Tangannya menyentuh wajah sang lelaki yang sempurna. Alis tebal, mata hitam legam, rahang tegas proporsional. Parasnya yang seperti lelaki blasteran. Jambang tipisnya agak tebal. "Ga dicukur berapa hari?"canda Aira.
Raave tersenyum, "Aku tak tahu. Aku tidak peduli. Yang penting kamu sadar dulu.", mengusap usap kepala gadisnya dengan penuh kasih.
"Permisiii... "suara seorang lelaki. Bersamaan dengan pintu yang terbuka perlahan.
Mr Suri dan Sia. Membawa sekeranjang besar buah segar. Mendekat pada Aira dan kaget, saat melihat Raave.
"Mr Raave??" Mr Suri, menjabat tangan sang CEO erat.
Sia menunduk hormat, menghampiri Aira. Memeluk erat sang pimpinan. "Mba Aira, udah baikan?"tanya Sia khawatir.
Aira mengangguk dan tersenyum.
Mr Suri sedikit terpana dengan Raave. Sweater rajut turtlenecknya membentuk tubuh sang CEO begitu jelas. Sempurna tanpa cela. Idaman semua wanita. "Anda di sini, Mr Raave?"
"Ya, saya menemani Aira, Mr Suri."balas Raave. Agak bingung juga. Bagaimana jika si Head Manager ini bertanya soal...
"Maaf sebelumnya, Anda dan Mba Aira...?"tanya Mr Suri kepo.
Benar kan, tepat seperti dugaan Raave. Ia hanya bisa memberikan senyuman sebagai jawaban, lalu menggunakan senjata andalan, pengalihan topik. "BookShop baik-baik saja kan, Mr Suri?"
"Oh tentu baik, Sir. Mba Aira sudah menyerahkan semua urusan pada saya. Jika dia tak bisa datang."jawab sang Head Manager. Melirik Sia yang berbincang ringan dengan Aira.
Ia memutuskan bergabung. Menanyakan kondisi pimpinannya, dan menceritakan BookShop. "Semua Staff titip salam untuk Mba Aira. Semoga lekas sehat lagi. Bisa ke BookShop lagi."Mr Suri menyampaikan pesan.
"Terima kasih. Iya sampaikan salamku juga untuk mereka, Sir. Terima kasih sudah mampir kesini."balas sang gadis.
Mr Suri dan Sia segera pamit, karena BookShop sedang ramai, saat mereka tinggal tadi. Pamit juga pada Raave dan Bu Wina.
Raave sempat melirik sekilas, kala Mr Suri meninggalkan kamar dengan senyum senang, sambil berbisik, "Mr Raave dan Mba Aira...?betapa manisnya!"
Raave memutar bola mata. Kembali menggenggam tangan gadisnya. Tersenyum geli.
"Senyum senyum sendiri, ada apa?"tanya Aira kepo.
"Tidak, hanya kelihatannya Mr Suri mengira, aku dan kamu menjalin hubungan, yaaa...begitulah." Raave bicara sambil sedikit menunduk.
"Oh begitu. Mungkin karena kamu di sini, dan tadi kamu bilang kamu menemaniku. Nanti saat aku sembuh, biar kujelaskan padanya,"balas Aira.
«Jelaskan apa?" lelaki itu mendongak.
"Jelaskan bahwa aku dan kamu tak ada hub..."
"Sssshhhhh.... Ga perlu!"potong Raave. Ia menutup mulut sang gadis dengan jarinya. "Biarkan saja, Biar dia mengira sesukanya. Toh, memang begitu kenyatannya, kan?"
"Maksudmu?"
"Biar dia mengira kita ada hubungan atau apalah itu. Karena memang itulah nyatanya"lanjut Raave, suaranya mantap. Dengan mata menatap lekat Aira.
"Raave...?" Aira berkaca kaca. Ia pandangi genggaman erat tangan lelaki itu.
"Ya"
"Aku... Kita ada hubungan?"tanya gadis itu hati-hati. Ia pandangi sang lelaki yang juga menatapnya intens.
Raave mengulas senyum penuh arti, kemudian Ia dekap Aira erat.
Sang gadis terpana sejenak, dengan senyum maut lelaki itu. Namun nampaknya cukup jelas baginya, Bahwa Ia punya arti khusus di hidup Raave. Entah apa. Ia hanya bisa membalas pelukan sang lelaki sama eratnya.
"Aduuuhhh.. Terlalu erat pelukanmu, Raave." Aira merintih pelan, membuat sang lelaki seketika melepaskan dekapan.
"Maaf." Raave tersenyum, lalu mengecup bibir Aira sekilas.
"Bagaimana kabar Ghina. Katanya kemarin kecelakaan?"tanya Gadis itu, ingin mengecek.
"Dia di Rumah sakit. Sudah ada suaminya. Kemarin langsung kuhubungi, kulacak dan akhirnya ketemu."
"Dilacak. Memangnya dia dimana?"
"Ponselnya tak bisa dihubungi. Dikantornya tak ada. Kusuruh bagian IT melacak keberadaannya, dan Staff Gio menjemputnya. Aku hanya memerintah saja. Semua, Gio dan Lei yang urus. Termasuk urusan Rumah sakit."jelas Raave. Ia menawari sang gadis beberapa cemilan favoritnya. Dan lemon tea hangat yang sudah dibuatkan Bu Wina.
"Begitu?"
"Kamu mau makan?"
"Tidak, mulutku terasa tak nyaman." Aira sedikit muram, kedua alisnya bertaut. Tangannya menutupi mulut.
"Ada keripik kesukaanmu. Atau sandwich. Bu Wina membuatnya pagi ini. Isi telur dan keju." Raave mencoba membuat Aira makan sesuatu. Dengan sabar, Ia menyuapi sang gadis makan sedikit sandwich.
"Terima kasih banyak, Raave. Sudah mau sabar menungguiku di sini." Ujarnya memperhatikan sang CEO yang dengan telaten, menyuapinya sedikit demi sedikit potongan sandwich dan membantunya minum.
Raave tersenyum, dibelainya pipi Aira. Satu tangannya menyuapi Aira.
"Kamu juga harus makan, jaga kesehatanmu, Raave. Nanti kayak kemarin, ambruk dua hari" Aira mencoba melucu, namun nyeri di pertunya berdenyut.
"Hm, aku makan sandwich juga ini.." Raave menunjukkan roti isi itu di tangannya yang lain. Melahapnya.
Mereka makan bersama, dengan senang.
"Berapa lama lagi aku di sini. Aku ingin pulang saja, bolehkah, Raave?"tanya Aira. Membulatkan mata. Memandangi lelaki di depannya. Mengusap tangan sang lelaki lembut. Sedikit membujuk.
Continued...