"Jika kamu sudah stabil, Ai. Kondisimu masih butuh pantauan Dokter."jawab Raave sabar. Mengusap kepala Aira.
"Kenapa? Apa aku terlalu banyak makan pedas? Sakitku?"
"Ya, karena kamu terlalu banyak makan pedas. Lain kali diulangi lagi ya..."goda Raave. Mencubit dagu Aira gemas.
"Tapi kenapa aku pendarahan Raave? Sakitku sudah parah?"
"Tidak. Lambungmu terlalu sensitif. Jangan sering minum vitamin itu juga." Bohong Raave , menutupi perihal microchip.
"Bukan karena sakitku yang parah?"
"Sakitmu, kata Dokter Alan, menunjukkan perkembangan lumayan baik, kamu rajin minum obat. Jadi tak ada masalah."lanjut Raave.
Aira sedikit murung. Bingung. Agak merasa aneh, hanya karena makanan pedas, Ia mengalami pendarahan. Tak sadar entah berapa lama. 'Apakah ada sesuatu yang Ia tak tahu?yang disembunyikan Raave darinya?'batinnya gusar.
"Kenapa, apa yang kamu pikirkan?"tanya Raave, dengan suara merdunya. Menyingkirkan juntaian rambut kecil di depan mata Aira. Menyelipkannya di belakang telinga. Merapikan rambut sang gadis.
Gadis manis itu hanya membalas dengan senyum dan gelengan.
*
Bedrest 4hari di Rumah sakit, cukup membuat Aira kebosanan. Ia merasa sudah pulih dan bisa melanjutkan istirahat di rumahnya sendiri, namun Dokter tak mengijinkan. Sang gadis harus dipantau kondisinya selama beberapa hari lagi, katanya, saat Ia berkata ingin pulang.
Akhirnya hari kelima, Ia memaksa pulang. Membujuk Dokter Alan, agar membolehkannya istirahat di rumah saja. Berjanji rutin check up dan minum obat. Juga tak lagi minum vitamin ungu. Sang Dokter yang kalah, mengijinkan juga gadis itu pulang.
Aira bersorak. Dalam hati. Malu juga, mengangkat tangan sambil tertawa di depan sang Dokter.
Bu Wina selalu di sampingnya, menyiapkan segala keperluan.
Begitu tiba di rumah, Ia berusaha istirahat. Tiduran di depan TV sambil dipijati Bu Wina. Asistennya itu menyarankan, jika Aira ingin dipijat seluruh tubuh, Bu Wina memiliki seorang kenalan yang pintar memijat.
Aira berbinar, langsung setuju. Hari itu juga, meminta sang pemijat datang. Seorang wanita berusia sekitar 60an keatas. Wajahnya sungguh manis, teduh. Aira memandanginya tanpa berkedip. Bu Windu namanya.
Gadis itu dipijat di kamarnya. Ibu pemijat sedikit kewalahan, "Mba Aira, Badannya masih kenceng semua ya. Saya raba, kok sepertinya ada sakit berat?"komentar sang Ibu pemijat.
Aira mengangguk dan tersenyum. Menikmati tubuhnya yang perlahan rileks kala tangan hangat Bu Windu, sang pemijat, menekan lembut punggungnya. Seolah tubuhnya kembali ringan. Aliran darah lancar. Ia bagai terbang ke awan, saking ringannya. Kepalanya tak luput dipijat lembut.
Terlalu nyaman dan rileks, Aira tertidur. Pulas.
Begitu membuka mata, tubuhnya terasa lebih bugar dan tak nyeri. Ia bersyukur dalam hati. "Bu, besok kalo saya capek, panggil Bu Windu aja, ya. Hehe. Mijatnya enak!"komentar Aira. Membenahi bajunya. Sementara sang pemijat sudah lebih dulu pergi, masih banyak yang mengantri.
Berangsur-angsur kondisinya pulih. Walau harus check up rutin. Selama seminggu penuh. Karena Ia minta pulang, sebelum waktunya.
Beberapa Hari kemudian
Raave lebih sering menemui Aira, setelah gadis itu kembali sehat. Ia datang sendiri, kadang bersama sopirnya. Ia juga lebih sering mengajak sang gadis Dinner dan makan siang bersama, walau tetap saja, Sikap cueknya tak bisa hilang.
Tak banyak bicara. Justru Aira lah yang sering bercerita apa saja pada lelaki itu. Ia tak lagi ambil pusing dengan sikap dingin sang lelaki.
Mereka sama-sama sibuk. Raave dengan project barunya, Aira dengan BookShop. Walau sibuk, mereka selalu Saling menghubungi. Sekadar bertanya dimana dan dengan siapa. Sedang apa.
Itu sudah cukup menghangatkan hati Aira. Sesekali, Ia diam-diam datang ke kantor Raave, membawakan Cake Mentega favoritnya dan Mojito dingin.
Siang yang sedikit mendung itu, Aira makan siang bersama Adnan dan salah satu relasinya. Menurut cerita sang sahabat, relasinya ini mencari sebuah Toko Buku, untuk lokasi iklan yang akan dijadikan latarnya. Adnan menyarankan memakai BookShop Aira.
Mereka berdiskusi bertiga di sebuah Resto mewah, atas ajakan sang relasi Adnan. Karena dekat dengan kantor. Aira hanya mengiyakan saja.
Adnan menanyakan kesehatan sahabatnya itu, karena ia jarang menemuinya beberapa waktu belakangan ini.
"Aku sehat aja, Alhamdulillah. Ga masalah, Nan. Kamu juga sibuk."ujar gadis itu, santai.
Adnan tersenyum.
"Mba Aira ini tinggal dimana?"tanya Ben, relasi Adnan.
"Di Green Terrace Mr Ben."
"Wah, lumayan dekat dengan Apartemen Saya di Kertajaya kan ya, panggil saja Ben, Mba Aira" Ben menatap dalam sang gadis.
'Dekat?'batin Aira. "30 menit Sir, dari Green terrace" Ia meralat, tersenyum. Menyesap Mint Sparklingnya.
Obrolan mereka bertiga berlanjut. Aira pamit ke toilet sebentar. Ingin membenahi rambutnya, yang sudah agak berantakan. Di dalam toilet, ia bertemu dengan beberapa perempuan. Sama-sama mencuci tangan.
"Hei, aku bertemu pria sangat tampan tadi. Sayangnya dia masuk ke Private Room sama pria lainnya."celetuk seorang wanita muda pada temannya.
"Yang benar?! Bagaimana dia?"sang teman berbinar.
"Menawan sekali, dia pakai kacamata hitam, Eksekutif muda sepertinya, Gayanya cool. Tubuhnya bagus. Saat kusapa dia. Bahkan menoleh saja tidak."terang si wanita pertama, sambil membayangkan rupa sang lelaki.
Aira hanya senyum senyum sendiri. Ia jadi penasaran, setampan apa si lelaki, hingga membuat perempuan ini heboh bukan main. Usai mencuci tangan dan membenahi rambut juga riasan, gadis itu keluar.
Melangkah pelan, namun Aira seperti mendengar seseorang mendesis kepadanya. Ia berhenti, melihat sekeliling. Tak ada siapapun. Saat ia akan berjalan lagi, tangannya mendadak ditarik seseorang. Dan mirisnya, dari toilet pria.
Raave..!!"bisiknya kaget.
"Kamu ngapain kesini?"tanya Raave berbisik, dengan tatapan curiga. Ia menghimpit tubuh Aira agar tak bisa kemana-mana. Di Dalam salah satu toilet.
"Makan siang ma.."
"Relasi? Periklanan. Meminta BookShopmu sebagai latar belakang lokasi?! Hm?"
"Darimana kamu tahu?!"bisik Aira.
"Aku tahu segalanya. Mata dan telingaku ada dimana-mana. Dia tampan, Hm?"
"Tidak. Biasa saja. Lebih tampan lelaki yang menculikku di toilet pria!"
Raave bernafas Panjang. Menatap Aira dalam. Lalu mendaratkan ciuman lembut di bibir sang gadis. Membelai pipinya dengan mesra. Menariknya erat ke pelukannya. Memperdalam kecupannya.
Gadis itu bisa merasakan betapa kencang, debar jantung lelaki yang memeluknya. Ia belai wajah Raave. "Bagaimana aku keluar, Raave, dasar pria usil!"
Raave terkikik geli. Melepaskan genggamannya pada Aira, kemudian mengawasi kondisi toilet. Setelah memastikan sepi, ia menarik Aira keluar dari sana. Secepat kilat.
Ia kembali bergabung dengan para pria Relasinya, Sedangkan Aira melangkah pergi. Sambil membenahi blusnya yang sedikit kusut, Melanjutkan acaranya bersama Adnan dan Ben. Hanya beberapa menit, Aira seperti merasa ada sesuatu yang aneh.
Ia lihat sekeliling, ada sekumpulan pria duduk di meja paling besar yang ditata secara dadakan. Di tengah ruangan. Sangat cepat, hingga dalam beberapa menit, rombongan itu sudah duduk mengitari meja bundar kaca besar. Dengan beberapa masakan lezat yang telah dipersiapkan.
Aira geleng-geleng kepala. Tersenyum manis. Raave, lelaki yang berhasil mengalihkan perhatiannya, duduk di kursi yang tepat menghadap ke mejanya. Matanya menatap siaga. Mengawasi.
Saat gadis itu menatapnya balik, sang lelaki hanya bersandar, sambil menggoyangkan gelas wine. Masih menatapnya dalam. Mengangguk sesekali, merespon pria yang bicara di sebelahnya.
"Mr Raave... !"panggil Gio, Sekretaris pribadinya. Heran.
Raave membisu, tetap memandang gadis yang menjadi fokusnya.
"Mr Raave!!"teriak Gio di telinganya.
"Hm?" Raave mengangguk. "Aku tahu. Aku tidak tuli, G. Untuk project ini, aku akan ikut turun tangan sendiri juga jika itu dperlukan. Bukankah begitu, Mr Rey?"ujar Raave, tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari gadis pujaannya.
Gio tersenyum lega. Sang Tuan tetap fokus.
Aira terkekeh. Demi mengawasinya, tempat diskusi mendadak diubah ke tengah ruangan seperti ini. Raave sungguh posesif. Ben yang tak sengaja menyentuh tangannya, saat mengambilkan serbet Aira yang jatuh, membuat wajah Raave tegang.
"Ehheemmm..." lelaki itu berdehem dengan kencang. Para relasinya kaget, menatapnya heran. Ia hanya tersenyum samar pada mereka, namun masih memandang intens ke arah Aira.
Usai acara diskusi dengan Ben dan Adnan selesai, Aira menjabat tangan Ben, memeluk Adnan sekilas, sebelum dua lelaki itu pergi.
Ia tatap Raave. Lelaki itu masih sibuk berbincang dengan rekannya. Timbul niat isengnya, "Giliranku, Raave!" Aira masih duduk di tempatnya. Menatap Raave dalam.
Sang lelaki sadar sedang ditatap, mau tak mau memandang orang, yang sudah dengan iseng menatapnya.
Aira mengedipkan sebelah mata, menggigit bibirnya. Dengan gaya dramatis.
Raave mematung, tak berkutik. Lalu tersenyum. Ia mengusap perlahan bibirnya. Menatap Aira.
Gadis itu akhirnya berdiri, melangkah anggun, setelah sebelumnya mengerling pada lelakinya. Gadis itu tersenyum puas, berhasil menggoda Raave. Ia berjalan santai, menuju pintu keluar Resto.
Tanpa diduga, Raave menariknya lagi, ke ruangan di dekat mereka. Ia raih bibir Aira dengan menggebu. Dalam. Tangannya mendekap sang gadis erat. "Jangan coba menggodaku, atau kamu akan rasakan akibatnya,Hm?"lirihnya, lalu melanjutkan kecupan mautnya.
"Kamu tadi sudah menciumku, Raave. Apa masih kurang?"sela Aira. Nafasnya terengah.
"Hm, siapa yang menggodaku dulu?"jawab Raave. Yang hanya dibalas tawa kecil oleh sang gadis.
Aira celingak-celinguk usai Raave puas mengecupnya. Ia melihat perempuan yang tadi mengobrol dengan heboh. Sengaja ia keluar dengan menggenggam tangan Raave.
Sang lelaki yang digandeng hanya bisa tersenyum malu. Sang perempuan melongo. Aira tersenyum puas. Ia tahu mereka membicarakan lelakinya. Jadi ia sengaja pamer.
Raave kembali pada relasinya, setelah mengecup kening Aira.
Gadis itu melangkah santai meninggalkan resto, masuk mobil, mulai menyalakan mesin, memutar kemudi, lalu melaju pelan.
Sepintas, melihat seorang perempuan yang duduk di balik kemudi, dari mobil yang berpapasan dengannya. Ia mengenalnya. Aira berhenti, menepi. Kembali mencari tahu si perempuan yang parkir dengan asal, lalu keluar dengan membanting pintu.
"Apa??! Anne?!" Aira memekik tertahan. Menutup mulut, untungnya Ia di dalam mobil. Berusaha percaya dengan apa yang diihatnya, Aira bertahan di tempatnya. Di luar Resto. Di depan gerbang, namun masih bisa melihat kondisi di halaman Resto.
Terlihat para pria relasi Raave keluar dari Resto satu persatu. Dengan senyum mengiringi langkah mereka. Juga wajah yang tampak puas.
Raave keluar paling akhir. Dengan si perempuan, Anne mengekorinya. Mereka terlihat beradu mulut. Sebelum akhirnya Raave memakai kacamata hitam, sambil berjalan cepat ke mobil.
To be continued...