"Ya, ini lho, makan bakso pedes goreng. Wahhhh... Beneran kayak setan nih pedesnya, adoooohhhh..." Aira membuka nutup mulut, sambil mengibaskan tangan di depan mulut.
Terdengar suara orang tertawa. "Kamu ini setahuku, ga suka pedes kan?"
"Suka sekarang. Wow.. Segeeerr.. " gadis itu masih kepedasan. "Raave kututup ya, aku mau minum."
"Gak! Aku temani kamu. Jangan ditutup!"
Aira berdiri, melangkah ke dapur, mengambil susu dingin yang tinggal setengah kotak. Ia teguk perlahan, namun tak menghabiskannya. Ponselnya masih menyala.
"Uhh. Akhirnya." Aira menuang lemon tea lalu meminumnya juga.
Hening. Terdengar suara Raave mengiyakan Lei dan Gio yang pamit pulang.
"Udah pada pulang ya?" Aira menonton lagi.
"Hm."
"Mba Aira, ada tamu!" Bu Wina memberitahunya.
"Siapa Bu?"
"Ga tahu, laki-laki. Cakep kayak Mas Raave."terang Bu Wina lagi. Aira berdiri. Melangkah, untuk melihat siapa gerangan tamu yang cakep ini. Ponselnya masih menyala.
"Mr Lou?"sapanya kaget.
"Hai, Aira." balas Louise. Ia berdiri diambang pintu. Memberikan senyum terbaiknya.
Aira mematung. Dilihatnya Raave masih belum mematikan sambungan telepon mereka.
"Silahkan duduk dulu, Sir" Aira mempersilahkan Louise, kemudian melangkah ke dalam, bicara pada Raave.
"Raave...?"
"Hm. Aku sudah tahu. Kututup saja" call end.
'Apakah dia marah?'batinnya. Aira berjalan ke ruang tamu. Menemui sang lelaki.
Bu Wina meletakkan nampan berisi lemon tea hangat dan makanan kecil di meja.
"Ada apa, Mr Lou?" Aira duduk, berseberangan dengan si lelaki.
"Tidak, hanya ingin melihatmu saja. Aku sibuk sekali beberapa hari ini, jadi tak sempat menghubungimu."jelas Louise. Ekspresi sendu terlukis di wajahnya.
"Tak masalah Sir. Saya juga sibuk beberapa waktu ini."
Louise tampak sedikit heran. "Ai, sedang ada tamu lain?" Ia mendengarkan back sound film yang ditonton kedua sahabat Aira.
"Oh, sahabat saya. Kami sedang nobar(nonton bareng). Kegiatan rutin kami, sekaligus kumpul kumpul."terang Aira.
Louise mengulas senyum. "Pantas saja. Maaf jika aku mengganggu, Ai"
"Tak masalah, Sir. Silahkan diminum, Mr Lou."
"Bisakah kamu tak bicara formal padaku, Ai? Seolah-olah aku ini atasanmu. Kita ini partner kan, teman"
"Saya agak sungkan jika harus memanggil nama Anda, Mr Lou. Usia Anda jauh diatas saya."
"Apa kamu panggil aku kak saja, atau mas atau apalah terserah. Asal jangan Sir, Tuan atau semacamnya!" Louise menyesap lemon tea. Lalu mengambil sepotong cake mentega. Memasukkannya ke mulut. Mengunyah dan merasakannya. "Ai, cake ini enak juga."komentarnya.
"Iya, Sir. Saya lumayan sering membelinya."
"Kamu menyukainya?"tanya Lou. "Apa nama cake ini? Nanti jika aku sedang jalan-jalan, kubelikan untukmu"
"Tak perlu, Mr Lou, merepotkan Anda. Itu cake mentega." jawab Aira. 'Dan itu kesukaan Raave juga.'batinnya. Tanpa sadar tersenyum.
"Oh, ok. Cake mentega. Tak apa, Ai. By the way, bolehkah besok aku mengajakmu makan siang? Ada Kedai dengan masakan rumahan yang terkenal, di sekitar kompleks tempat tinggalku."ajak Louise. Wajahnya penuh pengharapan.
"Besok saya kabari, Mr Lou. Karena besok ada beberapa meeting di Bookshop." Aira tak berani langsung mengiyakan.
Louise mengangguk mengerti.
Setelah berbincang sebentar, Sang lelaki segera pamit pulang. Lemon teanya Ia habiskan hingga tetes terakhir. Cake 3slice aman di dalam perutnya. Lumayan kenyang juga. Sebenarnya tujuan awal Ia datang, ingin mengajak sang gadis makan malam bersama. Tapi rencananya gagal total.
Aira mengantarkan Louise ke mobilnya, lalu bergabung lagi dengan Zii Adnan. Filmnya sudah sampai di pertengahan. Ia sedikit ketinggalan.
"Siapa Ai?"tanya Adnan, mengunyah bakso pedas.
"Mr Louise. Pelanggan BookShop."balas Aira. Menyamankan duduknya. Bersandar di pundak Zii, yang serius mengamati adegan kejar kejaran sang tokoh utama, dengan si hantu yang ternyata bukan hantu, tapi pembunuh sadis dan pshyco.
Aira mendesah panjang. Bernafas dalam.
**
"Raave...?" Aira menyela pertautan bibir mesra mereka. Kamar sang gadis menjadi saksi, betapa dalam, sang lelaki mengecup setiap inci wajah gadis di pelukannya.
"Hm?" Raave yang sedang mencecap begitu intens bibir sang gadis, menatap heran.
"Apakah terpikir olehmu, melakukan lebih dari ini, padaku?"tanya Aira, to the point. Dekapan sang lelaki masih hangat menyelimuti tubuhnya. Juga nafas Raave yang berhembus wangi di pipinya.
Lelaki itu refleks menegakkan tubuh. Tatapannya lekat pada Aira. "Ya. Aku sangat ingin melakukannya.. Tapi.."
"Tapi...?"
"Aku menahannya sekuat tenaga, Ai... " Raave mendesah panjang. Membelai sekilas pipi sang gadis.
"Kenapa?"
"Aku ingin... Menjagamu.."balas lelaki itu, menunduk. Tangannya yang kekar melingkar di pinggang Aira. Sedikit gemetar.
Gadis itu memeluknya erat.
"Aku bisa saja. Sangat mudah, membuatmu datang padaku, kita melakukannya. Tapi aku tak mau Ai.."gumam sang lelaki lagi. Sendu.
"Anehnya, aku sendiri juga tak tahu, kenapa!"lanjutnya.
"Terima kasih Raave." Aira membenamkan kepalanya di leher sang CEO. Menghirup dalam, aroma Sandalwood segar di sana.
"Aku boleh tanya?" Raave mengelus lembut kepala gadis itu.
"Hm?"
"Kamu... Sudah pernah tidur bersama seseorang, sebelumnya?" lelaki itu bertanya dengan hati-hati.
Aira melepaskan diri. Memandang wajah tampan nan mempesona di hadapannya, kemudian, menggeleng. "Aku belum pernah sekalipun, tidur bersama seorang lelaki."
Raave sedikit kaget. Namun, segera, senyumnya terulas dalam.
Aira melangkah perlahan ke pintu, disusul si lelaki tampan yang merangkul pinggangnya, sambil menutup pintu.
Bu Wina baru pulang dari pasar. Berbinar saat melihat Raave bersama Aira di ruang TV. Duduk bersebelahan di sofa. Tangan berototnya tak lepas dari pundak sang Nona.
Aira menoleh, karena mendengar auara langkah kaki. "Bu Wina udah pulang."gumamnya.
Minggu kelabu. Suara air berjatuhan, perlahan terdengar. Deras. Aira tersenyum lebar. Menyandarkan kepala di pundak Raave. Sementara lelaki itu memainkan ponsel dengan satu tangan, tangannya yang lain mengusap-usap kepala gadisnya.
"Apa, G??" dijawabnya panggilan Gio.
"Dicari Miss Ghina, Sir!"jawab Gio lantang.
Aira mendengarnya. Refleks menegakkan tubuh. Duduk sendiri. Raave menariknya merapat lagi.
"Bilang saja aku sibuk!"sergah lelaki itu, tampak muram.
"Miss Ghina terluka Sir!! Habis kecelakaan sepertinya. Katanya suaminya tak bisa dihubungi. Kebetulan lokasinya dekat dengan Rumah Anda!!" Gio menjelaskan kondisi sebenarnya.
Aira menjauh perlahan. Menatap layar Tv 49inchnya dengan muka masam.
Raave kaget, langsung berdiri. "Hm, aku kesana! Suruh asisten merawat lukanya dulu. Panggil Dokter!"perintahnya. Call end.
Sang lelaki memandangi Aira dengan sendu, takut akan bicara, "Ai..."
"Ya, pergilah. Dia membutuhkanmu..!"potong Aira. Mendongak, tersenyum pada sang lelaki, yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Aku jan..."
"Tak perlu berjanji apa-apa. Aku juga tak akan berharap apa-apa!"lanjut Aira, memotong lagi ucapan Raave. senyum itu masih di sana. Dibibirnya.
Raave menunduk sekilas. Mengusap muka gusar. Wajahnya sesuram mendung Minggu itu. Dengan lembut, ia belai pipi sang gadis, lalu melesat keluar.
Aira mengusap bulir bening di sudut mata, yang berhasil ditahannya. Berteriak pada Bu Wina. "Bu, Masak pedes lagi ya!!"
"Okeee!!!"sahutan terdengar dari dapur. Aroma menyengat cabe yang ditumis, menyusul kemudian. Aira yang menghirupnya, berulang kali bersin. Ia melangkah ke dapur.
"Wooowww... Apa ini, Bu?"tanyanya. Melihat penggorengan berwarna merah menakutkan.
"Telur balado level Raja setan, Tumis Wortel buncis, Daaaannnn... " Bu Wina menggantung kalimatnya.
"Hm?"
"Sambal teri kacang level Raja Iblis...!"lanjut sang asisten. Terkikik geli.
Aira tergelak. "Wah teri kacang bisa untuk lauk berhari-hari tuh!"celetuknya.
Bu Wina mengangguk, sambil menata makanan di meja makan. Kemudian mengajak sang Nona makan siang. "Lho, mas Raave..?"
"Pulang! Dah yuk, makan. Laper nih!!" Aira sudah memegang piring berisi nasi. Ia ambil telur, tumis dan teri, mulai melahapnya senang. Pun dengan sang asisten.
"Waaahhhhh... Panaaassss, Buuuu... " Ia buka mulutnya. Kepedasan. Sebotol air dingin tandas. Walau begitu, ia menambah lagi. Ia tertawa sendiri, Bu Wina tak kalah kepedasan juga. Mereka menikmati pedas yang menyenangkan, di siang yang hujan.
Next day
Aira membuka mata, dengan kepala terasa sangat berat. Ia bangun. menggigil. Kembali berbaring. Merapatkan selimut. Tubuhnya gemetaran. "Aduh.. Kenapa ini??"gumamnya lirih.
Wajah diusapnya kasar. Kaget. "Hei, ..!" darah. Di tangannya. Dirabanya hidung, basah. Kemudian ia usap dengan tissue. Tak berhenti juga. Menahan diri untuk tak ambruk, gadis itu berjalan pelan ke wastafel. Bercermin. Wajahnya pucat, hidungnya penuh darah. Segera ia bersihkan.
Berbaring lagi di tempat tidurnya yang nyaman. 'Apa karena aku minum vitamin, semalam?'batinnya. 'Tapi hanya setengah!' Ia bangun lagi, duduk.
"Mbaa... Susu dan ro... Mba Airaa..!!" Kalimat Bu Wina berhenti, berganti dengan teriakan panik.
Nona kesayangannya duduk gemetaran di tepi ranjang. Dengan hidung memerah. Bekas mimisan. Aira menoleh. Obat sudah sukses diminumnya dengan segelas air.
"Tak panggilin Dokter ya?"
"Ga usah, Saya minum obat gak apa apa, Bu."balas Aira. Melahap roti yang dibawakan sang asisten. Kemudian berbaring lagi. "Saya tidur ya, Bu."
Bu Wina mengangguk, mengusap kepala sang Nona. Lalu keluar dari ruangan.
Rasa dingin dan panas yang menggelung di tubuhnya, masih menguasai. Hingga jendelanya terpaksa Ia tutup lagi. Namun tirai tetap terbuka. Angin sejuk yang berhembus, semakin membuatnya gemetaran.
Satu jam kemudian Ia minum vitamin. Satu tablet utuh. Menaikkan selimut. 'Apakah Raave merawat Ghina di rumahnya? Sudah sembuhkah dia?' batinnya. 'Oh, Mr Lou mengajakku makan tempo hari. Tapi tak jadi kukabari. Ah peduli amat' lanjutnya lagi. Dalam hati.
Akhirnya sang gadis memejamkan mata rapat. Terbuai dalam mimpi. Tak ingat apa-apa lagi. Juga tak merasakan apapun di sekitarnya. Begitu nyenyak, pulas, damai dan nyaman.
Beberapa jam kemudian, terdengar suara sang asisten, "Mba... Bangun makan dulu yuk, udah siang ini!"panggil Bu Wina khawatir. Ia usap usap lengan Aira yang masih nampak nyenyak.
Aira membuka mata pelan. Mengerjap. Sinar matahari masuk ke kamarnya. Menyilaukan mata. "Ya, Bu."jawabnya lemas. Ia bangun dibantu sang asisten. Lalu beranjak dari tempat tidur.
"Ga makan di sini aja?"
"Turun aja, Bu. Udah mendingan kok saya"jawab Aira. Gadis itu dirangkul sang asisten turun ke bawah. Bu Wina naik lagi, mengambil makanan yang sebenarnya telah ia bawakan untuk sang Nona.
Aira duduk bersandar di sofa. Ada kotak cake di meja dekat TV.
Bu wina mengambilnya, menyerahkannya pada Aira. "Dari Mr Lou. Tadi orangnya kesini. Mau lihat Mba Aira di kamar, saya ga bolehin."jelas sang asisten.
Aira hanya mengangguk. Membuka kotak. Cake mentega ukuran kecil. Diameter 15cm. Ia ambil pisau, memotong lalu melahapnya. Kaget. "Manis banget!!"
Stay tune..