Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 47 - COLLAPSE

Chapter 47 - COLLAPSE

"Makan dulu aja yuk!" Bu Wina menyodorkan sepiring nasi hangat, dengan ayam suwir bumbu kecap, sayur pokcoy dan perkedel tahu. Tanpa ada rasa pedas.

Aira menurut. Makan dengan perlahan. Sesekali, Menyesap jus jeruknya. Bersandar lagi. Cake mentega Ia taruh di kulkas. Terlalu manis. Louise tak paham tentunya jika yang Ia makan, cake mentega yang ori.

Bu Wina duduk di sisinya. Memijati tangan, kepala dan pundak. Lengan. Merasa rileks, gadis itu tertidur.

"Mba Aira tidur, mas Raave." samar suara Bu Wina mampir di telinga Aira. Ia masih bisa dengar suara di sekitar, walau sayup.

"Di ruang Tv. Iya ga ke BookShop."lanjutnya. Terdengar lagi suara orang berlari.

Hitungan detik, Usapan usapan itu mendarat di kepala, pipi dan lengannya. "Dia demam, Bu?"suara Raave sedikit meninggi. Ia balikkan tubuhnya yang berbaring miring.

Aira membuka mata. Tersenyum lemah, pada lelaki yang mendekapnya. Bangun. "Hai, kamu kesini?"sapanya lemas.

"Kamu sakit?!" Raave meraup wajah Aira, mengelus pipinya.

"Ga, cuma lemes... Uhuuukkk.. Uhuuukkk" Gadis itu, batuk. Beranjak, berlari ke toilet. Menutup pintu dan muntah di wastafel. "Apa?!!"gumamnya lirih. Darah mengalir di bak wastafel. Hanya cairan merah itu. Ia muntah lagi, kembali, hanya darah yang keluar.

Ia bercermin. Wajahnya memucat perlahan, airmatanya menyeruak jatuh, gadis itu bernafas cepat.

"Airaa... Buka pintunya!!!"teriak Raave dari luar. Gagang pintu bergerak. Aira hanya memandanginya. Ia bersandar di dinding. Usai membersihkan darah di bak wastafel, juga mulutnya.

"Aira..!!!" teriakan Raave terus menggema.

Kleekkk...

Pintu terbuka. Sang gadis keluar. Dekapan erat menyambutnya. "Kamu baik-baik saja, kan??"tanya sang lelaki, gemetar.

Aira menjauh perlahan, mengangguk, berusaha mengulas senyum. Diusapnya mulut perlahan. Sekuat tenaga, menyembunyikan kondisinya dari sang lelaki. Tapi tampaknya....

Sang bulir merah memilih menampakkan diri. Mengalir pelan dari ujung mulut. Gadis itu menunduk, mengusapnya dengan kaos.

Sayangnya Raave lebih dulu melihat. Nafasnya tertahan. Tenggorkannya tercekat. Dengan mata tergenang, Ia dongakkan wajah sang gadis. Airmatanya mau tak mau luruh, melihat gadisnya pucat, dengan darah mengalir pelan dari mulut. Shock melumpuhkan seluruh inderanya selama beberapa detik.

Aira lunglai. Kesadarannya menurun drastis. Raave sigap menangkapnya. "Airaa...!"rintihnya pilu. Ia dekap Aira yang semakin tak berdaya. Mengangkatnya menuju mobil. Beruntungnya, Ia bersama Luke.

"Rumah sakit, Luke!! Cepat!!!"perintahnya emosional. Ia pangku sang gadis. Sambil terus membelai pipinya. Mengusap darah yang masih berjejak di sana.

Luke terlihat khawatir. Sedikit melirik sang Tuan yang berderai airmata, sedih. "Nona Aira kenapa, Sir?"tanya Luke hati hati.

"Dia.. Pendarahan Luke."suara Raave parau. Gemetar. Ia peluk Aira semakin erat. Penuh perasaan. "Bisa kau lebih cepat lagi?!!!"

Luke ngebut, kencang.

Tiba di Rumah sakit, Sejumlah petugas medis telah siap dengan Brankar. Raave meminta Luke menghubungi Rumah sakit. Agar tak harus menunggu.

ICU, Ruang khusus dimana Aira mendapatkan perawatan menyeluruh. Sementara Raave menunggu di depan ruangan itu. Penuh harap, gadisnya baik baik saja.

Gio menghubunginya,

"Sir..?"

"Hm? Batalkan seluruh jadwalku hari ini!"perintahnya. Berusaha bersuara normal.

"Anda baik saja. Ya, akan saya batalkan. Ada apa, Mr Raave?"

"Aira di Rumah sakit."

"Iya, Sir. Baiklah"tutup Gio. Call end.

Menunggu memang tak mengenakkan. Beberapa saat, Dokter keluar, mengajak Raave ke ruangannya. Bukan Dokter Alan yang menangani Aira.

"Ada apa, Dok? Aira baik baik saja, kan?"

Sang Dokter, mengeluarkan sesuatu dari kantong. "Kami melakukan rontgen, pada Nona Aira. Menemukan ini, hancur lebur di dalam, menyebabkan pendarahan internal. Melukai pencernaannya."jelasnya, sedih.

Menyerahkan sebuah Microchip yang sudah tak berbentuk. Hanya berupa Serpihan.

Raave menegang. Memandangi serpihan benda, di tangannya yang gemetar hebat. Pandangannya kosong sesaat. Kepalanya berputar.

"Beruntungnya langsung kami keluarkan lewat prosedur bedah kecil. Jika tidak segera dikeluarkan,... Saya tak tahu apa yang akan terjadi..."lanjut sang Dokter.

Dokter mengusap muka gusar. "Hanya itu yang ingin saya sampaikan, Tuan. Nona Aira menderita kanker darah, stadium dua. Ini di bawah penanganan Dokter Alan, benar?"

Raave mengangguk. "Aira akan baik baik saja, kan Dok?"tanyanya, sedih.

"Saya rasa, seharusnya tak ada masalah. Tapi, Masih harus saya pantau terus, bersama Dokter Alan."balas Sang Dokter.

"Baiklah, Dok. Terima kasih" Raave ijin undur diri, usai menjabat tangan sang Dokter.

Ia keluar dari ruangan Dokter, melangkah gontai ke ruangan tempat Aira dirawat. Masuk perlahan, Sang gadis belum sadar. Ia menghempaskan diri di sofa. Kembali menatap microchip yang digenggamnya. Logo Pranaja Tech telah pudar di sana.

Raave menunduk. Memasukkan microchip ke saku jas. Kemudian beralih memandangi Aira yang berbaring di ranjang. Ia usap mata basahnya kasar. Lalu dihubunginya Gio.

"Ya, Mr Raave?"

"Kamu dimana, G?"

"Di kantor, ada apa, Sir?"

"Jadwalkan meeting dengan para Staff Lab. Riset. Aku akan kesana sebentar lagi" titah sang Presdir, tegas.

"Baik, Mr Raave!" call end.

Raave menghampiri Aira. Lelaki itu sudah meminta Luke menjemput Bu Wina, agar menemani sang Nona.

"Ai, aku ke kantor sebentar. Ada hal sangat penting yang harus kuselesaikan."pamit Raave. Ia usap kepala dan pipi sang gadis yang masih menutup mata. Memberinya kecupan manis di bibir.

"Mba Aira..!" Bu Wina masuk, berjalan perlahan menghampiri Nonanya.

"Tolong jaga ya Bu, saya ke kantor sebentar"pamit Raave.

Sang asisten mengangguk. Sedih.

Raave mengecup kening Aira kemudian berlalu dengan wajah gelap. Tangannya mengepal sempurna di dalam saku jas.

Pranaja Office

Raave masuk, membanting pintu Aula meeting dengan kasar. Semua Staff Divisi Riset dan Pengembangan, menunduk takut. Termasuk sang Kepala Divisi, Sean.

"Saya ingin tanya pada kalian, apa kalian tahu benda ini??!" Ia keluarkan serpihan Microchip dari saku jasnya. Bicara to the point. Diletakkannya di atas meja. Masih sedikit ada noda merah darah.

Beberapa orang kaget, sisanya berwajah suram.

"I-ini microchip pendeteksi penyakit yang Anda..."

"Benar sekali!!! Apa kamu tahu, aku menemukan ini dimana??!"

Semua orang takut, tak berani menjawab. Wajah angker sang CEO kala marah besar seperti sekarang, membuat mereka seolah akan dieksekusi di tempat. Gio menahan nafas. Menatap sang serpihan.

"Ini ditemukan Dokter di tubuh seorang gadis, yang kalian jadikan uji coba, beberapa waktu lalu, di Rumah sakit besar. Microchip ini hancur di dalam tubuhnya. Membuatnya mengalami pendarahan internal hebat...." kalimat Raave terhenti, matanya tergenang. Wajahnya memerah.

"Maaf, Mr Raave. Anda sendiri yang approve saat kami mengajukan proposal waktu itu...."

"Ya, tapi bukankah sudah kuperintahkan, untuk mengeluarkannya dari tubuh gadis itu , setelah alat itu sudah berhasil menjalankan fungsinya..!!!!" suara Raave kembali menggelegar. Memotong kalimat bantahan salah seorang Staff. Membuat semua orang terlonjak ngeri.

"LALU KENAPA, KALIAN TAK MELAKSANAKAN PERINTAHKU, HAHH!!!" pekik Raave, marah. Digebraknya meja panjang kayu itu dengan kekuatan penuh. Hingga gelas air di sana jatuh, dan menimbulkan bunyi 'pyarr' gaduh. Ia bernafas cepat. Jantungnya seolah ingin melompat dari tempatnya.

Beberapa orang terisak lirih. Sebagian besar wanita. Yang pria, menunduk. Tak berani menegakkan tubuh. Sang CEO marah besar.

Gio mendekati sang Tuan. "Sir, tenangkan diri Anda." Ia usap punggung Tuannya perlahan.

Raave mengusap matanya kasar. Menunduk. Emosinya memuncak. Tak mampu ia bayangkan, jika alat itu masih ada di tubuh Aira.

"Mr Raave, itu sepenuhnya kesalahan saya. Waktu saya terlalu fokus, meneliti reaksi Microchip di tubuh gadis itu. Dan setelah berfungsi dengan sempurna, saya terlalu senang, dan malah mengabaikan perintah Anda. Saya sungguh mohon maaf, Mr Raave." Sean, menunduk. Matanya basah. Sang Kepala Divisi menangis. Mengakui kelalaiannya. Terdengar sangat menyesal.

Raave menatapnya tajam. Semakin emosi, namun berusaha ditahannya agar tak meledak lagi, " Tuan Sean. Anda bekerja di sini sudah berapa tahun?"

"Sepuluh tahun, Sir!"jawabnya takut.

"Itu lebih lama dari saya menjabat CEO di sini. Berarti Anda lebih mengerti perusahaan ini daripada saya. Benar begitu?"

"Ah, tidak Sir. Saya juga terus belajar. Saya terima apapun keputusan Anda." Sean bicara sambil menunduk.

"Tatap lawan bicaramu, Mr Sean!!"

Sean mendongak seketika. Menatap sang Presdir yang bermuka horor. Bagai rumah tak berpenghuni sekian puluh tahun.

"Aku tak akan memecatmu, Mr Sean. Mengingat pengabdianmu, pada Pranaja Tech selama ini. Tapi perbuatanmu sungguh membuatku marah, dan aku hampir tak bisa menahannya. Hukuman apa yang pantas untukmu?" Raave bicara lebih tenang, dengan ekspresi masih suram.

"Kau kurumahkan saja, dua bulan. Tapi selama itu, kau harus tetap absen dan bekerja dari rumah. Gajimu bulan ini kupotong 75%. Selama dirumahkan, kau hanya akan menerima gaji pokok. Tanpa tunjangan yang biasa kamu Dapatkan. Kau paham?"ujar Raave.

"Terima kasih, Mr Raave. Saya sangat berhutang budi pada Anda." Sean berulang kali menunduk hormat pada sang pimpinan.

Raave langsung berdiri, tak merespon sang Kepala Riset. Ia berjalan keluar dari ruang meeting, menuju ruangannya. Diikuti Gio yang setengah berlari.

Lelaki itu menghempaskan diri di sofa. Mukanya ditekuk. Ia sandarkan kepala, memejamkan mata. Bernafas sangat dalam.

"Sir..." Gio menyerahkan sebotol air oksigen dingin, yang langsung dihabiskan sang Tuan.

"Mr Raave. Sebenarnya ada apa, Sir?" Gio duduk di samping Raave yang tampak begitu sedih.

"Microchip Implan pendeteksi penyakit, yang kuujikan pada Aira dulu, hancur di tubuhnya, G!"jelas Raave lemas. "Kau sudah dengar tadi. Dia lupa mengeluarkannya."

Raave kembali berdiri. Melangkah lagi. "Aku ke Rumah sakit, G!"pamitnya muram. Gio hanya bisa memandangi Tuannya dengan sedih.

Rumah Sakit

Bu Wina memijati lengan dan kaki Aira. Gadis itu masih belum membuka mata. Wajahnya masih sepucat sebelumnya. "Mba, Bangun dong.."rintihnya, pilu.

Sudah hampir gelap dan Aira tak menunjukkan tanda akan bangun.

Tok.. Tok..

Pintu didorong pelan, Raave muncul. Membawakan setangkai mawar segar. Berwarna pink. Ia masukkan ke vas mini di meja nakas, kamar inap Rumah sakit yang bagai kamar hotel itu. Vas yang lebih besar telah terisi dengan berbagai macam bunga.

Gio menyusul, membawakan Bu Wina makan malam. Juga beberapa makanan dan susu, jus. Jika mungkin saja, Aira membutuhkannya.

Raave duduk di sisi ranjang Aira. Genggamannya erat, tatapannya tak beralih, kecupan lembut mendarat di tangan mulus itu. Disertai bulir bening sang lelaki yang jatuh setetes.

'Tak bisa kuungkapkan apa yang kurasakan saat ini, padamu, Ai. My dear. Benarkah kata Gio, jatuh cinta pada seseorang yang kita tak duga sebelumnya itu rumit?' suara hatinya riuh, gaduh.

stay tune... !