Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 41 - "COFFEE MAKE ME HAPPY"

Chapter 41 - "COFFEE MAKE ME HAPPY"

"Ya"

"Selamat malam, Nona Aira Harsena."Suara seorang pria. Berat dan dalam.

"Selamat malam, maaf dengan siapa saya bicara?"

"Oh, Saya Louise. Yang memesan buku anak-anak tempo hari, Nona Aira. Mungkin Anda masih ingat?"jawab si pria.

"Mr Louise, Presdir LOU Technology?" Aira mengingat dan beruntungnya ingat.

"Benar. Maaf mengganggu Waktu Anda Nona."

"Tak masalah, Sir. Ada apa Anda tumben sekali menghubungi saya? Biasanya hanya lewat asisten atau Mr Lewis."balas Aira.

"Iya, hanya ingin menyapa Anda, Nona."

"Panggil saja saya Aira, Sir. Jangan pakai Nona"

"Tak apa-apakah?"

"Tentu. Atau panggil saya, Ai."

"Ai... Artinya cinta dalam bahasa Mandarin."celetuk Louise.

"Hehe.. Anda tidak sibuk?"

"Sedang tak sibuk. Kalau begitu, kamu juga panggil saja aku, Lou"

"Baik, Mr Lou."

"Tak usah pakai Sir, Aira"

"Saya sangat menghormati Anda, Sir"

"Ya, terserah kamu saja. Besok kamu di BookShop kan? Aku kebetulan akan ke daerah Kompleks Ruko Elite permata. Bisakah aku mampir sebentar, Aira?"

"Tentu, Sir."

"Baiklah, sudah malam, aku tutup ya. Selamat istirahat, Ai"tutup Louise.

"Selamat malam, Mr Lou" call end.

Raave calling...

Aira memutar bola mata. "Ya"

"Lama sekali! siapa yang menghubungimu, Ai??!" Raave sewot.

"Relasi BookShop."jawab Aira singkat

"Siapa??!"

"Kenapa kamu sewot begitu?"

Raave diam. Tak menjawab. Tak berkata apa apa.

"Raave..?"

"Hm?"

"kenapa diam. Kutup saja kalau begitu"

"Maaf. Aku.. Tak apa. Maaf tadi, bukan maksudku untuk.." terdengar helaan nafas dalam.

"Ya. Kamu belum tidur?"

"Belum. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Deadline besok pagi."

"Oh, aku mengganggumu? Kamu mau bekerja?"

"Tidak sama sekali."

"Ada acara apa, hingga kamu membawa pekerjaan ke rumah?"

"Ada kompetisi kecil besok. Ya, hanya formalitas saja sebenarnya ikut. Tapi aku harus menampilkan yang terbaik, kan?"

"Tentu saja. Tapi aku percaya, kamu pasti selalu yang terbaik, Raave" Aira menyemangati.

"Terima kasih, Ai. Oh siapa yang tadi meneleponmu?"

"Masih tanya lagi? Astagaaa..!"

Raave tergelak. "Aku kepo, Ai. Zii atau Adnan?"

"Mr Lou"

"Louise?!!?" suaranya meninggi.

"Ya. Kenapa?"

"Untuk apa dia meneleponmu malam begini??"

"Hanya menyapa. Kamu kenal dia?"

"Hanya menyapa??? Ya, aku kenal!"

"Ya, menyapa, katanya. Ada yang salah?"

"Kamu bertanya?"

"Tidak, aku diam saja."

Aira diam akhirnya. Membiarkan Raave menyelesaikan pekerjaan.

"Aira..?"

"Hm?"

"Kamu lelah?"

"Tidak"

"Kalau lelah tutup saja, istirahatlah."

"Tak apa-apa?"

"Hm"

"Baiklah. Kamu jangan kelelahan juga ya, Raave. Selamat malam."

"Hm" call end

Aira mendesah panjang sekali. Ia mengingat wajah Mr Louise. "Dulu pernah ke BookShop sekali. Ah sudah agak lama. Bebarengan saat Raave juga ke BookShop."gumamnya.

Esoknya...

Aira duduk tenang di ruangannya, mengecek beberapa email yang tak sempat terbaca. Mr Louise mengiriminya pesan beberapa kali.

"Selamat pagi, Aira Harsena. Kita ketemu lagi ya" sapa seorang pria. Suaranya yang berat dan dalam, memenuhi ruangan Aira yang lumayan luas.

Aira berdiri, menyambut pria berusia 31tahun itu. Tersenyum, Ia jabat tangan sang pria ramah. "Mr Louise, Anda pagi sekali kesini."

"Ya, tapi aku tak lama. Aku akan mengikuti kompetisi penting."jawab Louise tenang.

Louise Askara , pria tampan berkulit kuning langsat, dengan tinggi 172cm. Potongan rambut rapi, dengan jambang samar yang sangat tipis tumbuh di dagunya. Mata abu-abu tuanya menambah pesona sang pria.

"Duduk, Sir." Aira meminta OB mengantarkan teh dan kopi ke ruangannya.

Louise duduk di sofa. Tatapannya begitu dalam, pada sang gadis pemilik BookShop yang Ia kunjungi pagi ini. Skinny jeans yang menampilkan bentuk kakinya. Stiletto. Blus yang feminin namun.. Seksi dengan bagian dada terlihat sedikit, dibalik transparannya kain shiffon berwarna biru langitnya.

Lelaki itu mengusap tengkuk. Terpukau. Rambut Aira yang sedikit dibuat curly.

"Sir, you okay?" Aira menggeser teh dan kopi yang masih mengepul ke depan Louise. Sang OB sangat cekatan membawakannya. "Anda suka teh atau kopi? Saya tak terlalu paham, dengan kebiasaan Anda."

Louise tersenyum penuh arti. Mengambil cangkir kopi. Menyeruputnya perlahan, "Coffee make me happy, Aira."

"Yeah. Saya setuju, Sir."

"Kamu juga penyuka kopi??"

"Cappuccino, latte atau machiato. Kalau kopi hitam tak terlalu suka."jawab Aira luas.

Mata abu-abu sang Presdir tak beralih sedikitpun, dari wajah Aira yang manis. Bibirnya yang berwarna Rose lembut. Tanpa sadar, Ia menggigit bibir. Sedikit memijat dahinya.

Gadis itu memperhatikan sang pria. "Sir, Anda yakin baik saja?"tanyanya khawatir.

"Yeah, kamu khawatir sekali, Ai."

"Karena Anda tampak tidak baik-baik saja, sepertinya."balas Aira.

'Ya, aku berdebar bertemu denganmu, pagi ini. Kamu tampak sangat berbeda, dari pertama kali kita bertemu dulu, Sayang!!'batinnya risau.

Louise melirik jam. Berdiri. "Aira. Aku pamit ya. Terima kasih. Kuharap lain waktu, aku bisa mengajakmu Dinner." Ia mengerling, memberikan senyum terbaiknya untuk sang gadis. Kemudian melangkah perlahan keluar ruangan.

Aira mengantarnya hingga ke bawah, ke sedan silvernya yang mengkilap. Ia balas senyuman Louise dengan lambaian tangan.

Gadis itu masih berdiri di sana. Namun dengan arah yang berbeda. Ia menghadap ke BookShop. Bangunan modern minimalis dengan dominasi warna monokrom. Hitam, putih, abu abu. Bibirnya membentuk senyum puas sekaligus haru. Hasil kerja kerasnya selama ini.

Ia kembali masuk, langsung menuju ruangan. Sia entah dimana, mungkin sibuk menata buku atau melayani pelanggan, yang tampak berkerumun di Bagian Psychology.

Aira mendorong pintu ruangannya, masuk dan kaget. Setangkai mawar merah segar di meja. Ia memegang bunga itu, menghirup aromanya. Segar.

Tak ada identitas si pengirim. Tapi dari aroma yang samar, Aira sangat tahu. Siapa lelaki sang pengirim bunga untuknya. Senyumnya mengembang. Matanya berbinar secerah cuaca pagi ini.

*

Lou Technology Office

"Mr Lou, ada tamu untuk Anda, Sir?" Sekretarisnya, Lewis, memberitahukan, sambil membuka kembali agenda sang Presdir.

"Siapa?"

"Nona Rein dari Media Group."

"Ck! Mau apa?"

"Tidak bicara apa-apa Sir. Beliau hanya ingin bertemu saja, katanya"

Louise berdiri. Membenahi jas dan jam tangannya, kemudian keluar dari ruangan dengan membanting pintu. Ia turun dari lantai tiga. Menuju Lobby. Dengan seorang perempuan cantik sudah menunggunya di sana. Duduk tenang, menyilangkan kaki, majalah di tangan. Ekspresi sendu.

"Ada apa, Rein?!"tanyanya, sedikit ketus. Duduk di seberang sang perempuan tanpa memandang wajahnya.

"Kamu mau memaafkanku kan, Lou? Kenapa kamu duduk jauh sekali?"

"Apakah kamu masih butuh maafku, setelah kamu tidur dengan lelaki lain, Nona Rein yang terhormat?"geram Louise, emosi. Ia bernafas dalam, bicara lagi. "Aku memaafkanmu, aku juga sudah mengakhiri semua ikatanku denganmu, jadi kamu bebas sekarang"

Si perempuan mengalirkan bulir bening yang deras dari sudut mata. Merusak tatanan make upnya yang sudah cantik. Maskaranya meleleh, segera ia usap dengan tissue. Bekas airmata berjejak di pipinya yang mulus.

"Sungguh tak ada kesempatan kedua?"tanya Rein gemetar. Suaranya seolah ditelan kesedihan. Memilukan.

"Maaf. Rein. Semoga kamu menemukan lelaki yang lebih baik. Terima kasih atas semuanya selama ini." tutup Louise. Masih dengan wajah datarnya. Ia berdiri. Lewis langsung menghampiri.

"Ada email untuk anda Tuan"lapor Lewis.

"Dari?"

"Nona Aira. Sebenarnya membalas email Anda tempo hari. Dia sakit, jadi tak bisa membalas."lanjut sang Sekretaris.

Louise mengulas senyum lebar. Melangkah cepat menuju ruangannya. Meninggalkan seorang perempuan, yang masih meratapi nasib karena kesalahannya sendiri. Ia tenggak teh yang sudah dingin sekaligus, kemudian pergi menghentakkan kaki dari kantor mewah itu.

Louise duduk di sofa ruangannya, mendekatkan ponsel ke telinga.

"Ya, Mr Lou" suara halus Aira menyapanya. Ia berdebar lagi.

"Ya, Ai. Kamu baik saja kan?"

"Iya saya baik saja. Ada apa , Sir?"

"Tak apa, soal email yang kamu kirim padaku..."

"Oh maaf, iya beberapa hari lalu saya sakit dan tak bisa membalas email Anda. Maaf Sir"

"Kamu sakit apa, Ai?" wajahnya tampak muram.

"Hanya kelelahan, Sir. Terima kasih."

"Jaga kesehatanmu, Aira. Jangan sampai kelelahan."ujar sang lelaki. Kedua alisnya bertaut.

"Iya, Sir. Terima kasih perhatian Anda."

"Tak masalah Aira. Sama-sama. Apapun untukmu. Oke. Kukira aku pasti mengganggumu. Kututup ya.. Have a nice day.."tutup Louise. Ia letakkan ponsel di meja. Memandanginya. Tersenyum lebar.

"Sir, you okay?"tanya Lewis heran.

"Hm iya. Aku baik saja. Setelah ini apa, Lew?"tanyanya. Pandangannya entah kemana. Melanglang buana. Hingga ucapan Lewis tak didengarnya sama sekali. Hanya bagai gumaman tak jelas. 'Aira. I'm fall to you...' suara hatinya meyakinkannya. 'Tapi hanya bertemu dua kali dengannya, tak mungkin aku semudah ini jatuh cinta..!!' bantahnya.

"MR LOUISE...!!"panggil Lewis sedikit lantang.

Louise gelagapan. "Maaf, Lew. Aku tak fokus. Jadi..?"

"Apa yang Anda pikirkan, Tuan??" Lewis berkutat serius dengan notebooknya. Louise diam.

"Nona Aira..?? Dia kan?" Lewis menyeringai, merasa tebakannya nampaknya benar. Ia tatap sang Tuan.

"Kau tahu??!!" pekik Louise tertahan.

"Saya tahu, Anda bertemu dengannya pagi itu, layaknya pangeran menemukan sang putri. Sangat terlihat di wajah Anda, Sir"jawab Lewis.

Louise tergelak. "Ya. Memang benar. Dia membuatku tak fokus, Lew. Bayangkan saja. Pertama kali aku bertemu dengannya, dia terlihat agak pucat, tak seperti kemarin. Sangat berbeda. Aku... Terpesona Lew.."

"Nona Rein?"

"Aku tak lagi memikirkannya. Dia mengkhianatiku, lalu pikirmu, aku harus bagaimana?"

"Ya. Memang tak menyenangkan. Dan semudah ini, Anda jatuh pada Nona Aira?"

"Entahlah, Lew. Akan kupikirkan lagi" Louise kembali fokus. Berdiskusi dengan Lewis soal proyek baru mereka. Kerjasama dengan Pranaja Tech.

*

Raave calling...

"Hm"jawab Aira datar.

"Ai, kamu sibuk?" suara sang lelaki terdengar riang.

"Tidak, kenapa?"

"Makan siang , nanti kujemput. Heii... Ghee, biarkan aku bicara... Hahaha.."ujar Raave. Ia tergelak.

Aira diam. Seribu bahasa. 'Dia bersama Ghina.'rutuknya dalam hati.

"Aira..?"

"Hm"

"Kamu mau kan?"

"Maaf aku makan sendiri saja. Aku mau pulang saja nanti. Baiklah."call end.

Aira menunduk. Mematikan ponsel. Bernafas cepat. Jantungnya berdetak kencang. Ditahannya sekuat tenaga, airmata yang akan mengalir. Kemudian Ia rebahkan kepala di atas lipatan tangannya.

"Rasanya aku tak sanggup jika begini terus. Haruskah aku menyerah saja?"lirihnya. Airmatanya lolos.

Gadis itu menghubungi Dokter Alan. Meminta vitamin ungu. Sang Dokter tak berani memberikan. Efeknya di kemudian hari belum diketahui pasti, Alasannya. Aira menyerah. Mengakhiri pembicaraannya dengan sang Dokter.

Ia berdiri,akhirnya, dengan enggan, berjalan mendekat ke pintu. Berniat turun, menghibur diri di bawah.

Sang gadis membuka pintu. Tersentak kaget, Louise berdiri di sana. Di depan pintunya, tampak mempesona. Ia terpana sesaat.

To be continued...