Raave melangkah pergi, masuk mobil. Melaju cepat.
Aira masuk ke rumah. Menutup pintu. Ia lupa Bu Wina belum pulang dari desa. Dapurnya bersih. Gadis itu membuka lemari es. Ada sekotak susu. Ia keluarkan, Membukanya lalu meneguknya dengan senang. Membawanya ke ruang TV bersama seloyang Pizza.
Ia sudah menduga, Raave tak akan mau lagi memakannya. Padahal Ia bisa hangatkan di microwave. Rasanya sedikit beda, tapi masih oke untuk mengganjal perut.
Pada akhirnya semua makanan yang ia simpan untuk Raave, ia habiskan seorang diri. Dua loyang Pizza medium, Garlis bread dan pasta porsi kecil. Float Strawberry.
"Aduhhh... Kekenyangan." Aira menepuk perut. Bersandar nyaman di sofa. Mengganti channel TV. Tak ada yang menarik. Akhirnya ia matikan. Menggantinya dengan audio. Playlist musik. Lagu lagu barat lama era 90an.
Sambil membaca novel lama rasa baru. Sudah lama ia beli tapi belum pernah dibaca.
Aira senyum-senyum sendiri. Ceritanya menarik juga.
Zii calling...
"Ya Zii"
"Kamu udah pulang?"
"Udah, gimana?"
"Oh yaudah Ai. Aku ngecek Aja."
"Ya. Makasih ya. Kamu dimana ini?"
"Di rumah Adnan."
"Cieee...cieee.. Yang tambah lengket..kapan jadian? Atau udah jadian?hehe"goda Aira.
Zii terbahak di seberang sana.
"Belum Ai. Aku udah jujur ma Adnan, kalau aku suka sama dia."
"Whaatt?? Benerr itu?"
"He em."
"Terus dia gimana?"
"Ehm. Kaget awalnya kaaan. Terus senyum gitu. Tapi ga bilang apa-apa lagi. Gimana menurutmu?"
"Mungkin dia perlu waktu. Ditunggu aja"
"Yeah. Maybe."
"Kalo kesini, kasih cerita lengkap ya"
"Oke siap Boss!!"
"Hahahahhh.. Ya udah Zii, sana diterusin PDKTnya. Kututup ya" Aira mengakhiri pembicaraan.
Call end
Raave calling...
"Yeah."
"Lagi apa?"
"Lagi baca novel"
"Hm. Udah ga mimisan kan?"
"Ga kok. Gimana lukamu? Udah minum obat? Istirahat Raave"
"Iya, udah. Masih sakit. Tapi ga masalah."jawab Raave.
Hening. Tak ada satupun yang bicara. Raave juga diam. Entah memikirkan apa. Aira fokus pada novel.
"Ya udah, kamu harus banyak istirahat, Raave. Kututup ya" Aira bicara akhirnya.
"Hm. Kamu juga" call end
Ia letakkan ponsel. Fokus pada novel.
*
"Apa yang Anda lakukan??! Bukankah saya kemarin sudah bilang, hentikan!!" Raave berteriak. Pada seorang pria. Mereka duduk di sebuah Private Room, sebuah Hotel.
"Tapi kurang selangkah lagi, Tuan. Percayalah. Hanya sebentar lagi. Ijinkan saya melanjutkan ini. Jika berhasil, bukankah Anda sendiri juga yang akan bangga dan sukses besar.
Sang CEO mendesah dalam dan panjang. Ia usap mukanya kasar. "Baiklah!! Tapi jika kudengar ada kesalahan atau seperti kemarin. Tak ada reaksi. Maka aku akan memaksamu berhenti, suka atau tidak!!"geramnya. Mendekat pada si pria, dengan tatapan tajam.
Si pria mengangguk mantap. Ekspresinya santai. Tak takut sedikitpun. "Siap, My Lord!". Ia tundukkan kepala. Tersenyum.
Raave segera pergi dari sana. Muram. Si pria juga ternyata keluar dari ruangan. Berjalan di belakang Raave. Ia menyamai langkah sang Presdir.
"Sungguh, Mr Raave. Percayalah pada saya!" si pria kembali meyakinkan Raave.
"Hm" balas Raave singkat. Melangkah semakin cepat ke halaman parkir. Masuk ke mobil.
"Jalan, Luke! Aku ada meeting penting setelah ini!"perintahnya tegas.
"Hm."
"Iya, G. Aku di jalan." Ia jawab panggilan dari sekretaris pribadinya.
Luke menyetir dengan kencang.
"Sir. Ini dari Nona Aira" Luke menyerahkan sebuah kotak kecil, tak terlalu kecil. Sedang. Dengan tangan kiri.
Raave tersenyum, menerima kotak. Membukanya. Dua slice Cake mentega dengan Blueberry jam dan cherry. Sebotol kecil lemon segar.
'New taste, new mood' tulisan di note kecil di kotak. Membuatnya semangat lagi.
Raave melahapnya dengan gembira hingga tandas. Juga sebotol kecil lemon. Kombinasi pas. Rasa creamy dari cake mentega, netral dengan lemon yang segar.
Luke menatap sang Tuan dari spion. Tersenyum senang. Tak tahan untuk tak menggodanya. "Mr Raave."
"Hm"
"Baru kali ini, saya lihat Anda begitu senang, menikmati makanan, pemberian seorang gadis"
"Ah tidak juga Luke. Kurasa sama saja. Ups maaf Luke. Aku menghabiskannya"
"Hahaha.. Anda sedang menyangkal perasaan sendiri. Tak masalah Tuan."balas Luke.
Sang Tuan, seketika terdiam. 'Apakah aku menyangkal perasaanku sendiri?'batinnya galau.
"Oh Sir. Tuan dan Nyonya sudah pulang, mereka mencari Anda."beritahu sang sopir.
"Hm. Sudah puas liburan rupanya. Sama kakakku?"
"Tidak, Tuan dan Nyonya saja."
"Hm."
Sang CEO kembali ke kantor. Memimpin beberapa meeting penting. Menurut laporan Staffnya di lapangan, masih ada beberapa kendala pada Robot Assistant. Perlu sedikit perbaikan.
Setelah meeting, Ia segera menuju ke Ruang Riset. Laboraturium pribadi Pranaja Tech. Memeriksa beberapa kendala, yang dikeluhkan para User yang sudah menerapkannya, di kehidupan sehari-hari mereka.
Raave turun tangan langsung, ikut mencoba memperbaiki. Ia yang Lulusan terbaik Nanyang Technological University, Singapore, mengerti betul apa yang harus dilakukan, agar sang Robot tidak nge-lag saat terlalu lama menjalankan fungsinya.
Para Staff dan Ilmuwan di Lab. nya menatapnya kagum.
'Tampan, kaya, cerdas. Sungguh, betapa sempurnanya seorang Raave Pranaja. Gadis mana yang begitu beruntung akan mendapatkan hatinya, suatu hari nanti?' begitulah kira kira pikiran orang-orang itu. Penuh dengan kegalauan. Padahal si lelaki tampan itu sendiri santai dan cuek.
Usai sedikit meeting singkat di Lab. Akhirnya ditemukan solusi untuk masalah yang dianggap Raave sebagai 'Masalah kecil' itu. Namun Ia mengatakan, untuk sekali lagi menguji cobanya esok hari.
Keluar dari Lab dengan keringat membasahi tubuh, Raave mampir sebentar ke toilet. Membasuh mukanya, tangan. Hingga telinga. Lelaki itu tersenyum. Kecupan Aira di sana akan selalu diingatnya.
Lelaki itu segera pulang. Orangtuanya menunggu, kata Luke.
Malam harinya...
Suasana ruang makan Kediaman Pranaja sedikit tegang. Seolah warna Off white yang mendominasi dinding, dengan Raindrop Chandelier LED diatas meja makan, yang biasanya memancarkan nuansa hangat. Tak berarti sama sekali.
Tuan Pranaja menatap tajam sang Putra. "Apa yang kamu lakukan kemarin, Nak? Papa dengar laporan, kamu melarikan diri saat akan bertunangan dengan putri Mr Kim. Benar begitu?"tukasnya. Tak senang.
Baru kali ini, putra kesayangannya membuatnya emosi. Dengan sikapnya. Senakal -nakalnya Raave sebagai seorang lelaki, remaja, anak-anak. Tak pernah membuatnya kecewa sekalipun.
"Papa tak tahu cerita lengkapnya? Siapa yang melapor?"
"Seorang pria. Entah bagaimana bisa menemukan nomor ponsel Papa Nak! Oke. Jelaskan!!"
"Mr Kim... Memaksaku bertunangan dengan putrinya.. Tadinya aku.... "
"Jika kamu tak suka dengan putrinya, tinggal tolak saja, Raave..!" Tuan Pranaja memotong kalimat Raave.
"Pa, dengar dulu penjelasan putramu" Nyonya Pranaja menenangkan suaminya yang emosi.
"Hm, lanjutkan!!"
"Tadinya aku menolak. Aku tidak suka dengan Kylie, putrinya. Kylielah yang suka padaku. Hanya karena aku mau diajak jalan, makan. Itupun aku terpaksa Dad. Aku sungkan dengan Mr Kim"jelas raave panjang kali lebar.
Tuan Pranaja mengangguk. "Hm, lalu?"
"Mr Kim, setengah memaksaku, katanya formalitas saja. Tunangan juga tidak harus menikah kan? Begitu katanya. Lalu aku harus bagaimana, Dad, jika beliau juga membawa bawa nama Ayahku. Biar lebih erat hubungannya, katanya. Jadi,.. Aku terpaksa menerima."
"Dan satu lagi, perlu Dad tahu. Aku tidak melarikan diri. Aku pura-pura pingsan, lalu mereka membawaku ke Klinik. Lalu aku baru lari. Kalau Papa tak percaya, bisa bicara langsung pada Tuan Kim." Raave menatap mata Ayahnya.
Tuan Pranaja lebih tenang. Bernafas lega. "Oh Nak. Kamu membuatku jantungan. Kamu tak memberitahu kami."
"Mom sama Dad kan sedang liburan. Aku tak ingin mengganggu honeymoon kalian. Bukankah begitu, My Daddy?"
Nyonya Pranaja tersipu malu. Tertawa kecil. Mengusap kepala Raave dari seberang meja.
"Jangan menggoda orang tua, Raave. Kamu mau punya adik lagi, Hm?"tukas Tuan Pranaja, pura-pura marah. Namun lalu tergelak.
Sang istri meninju lengannya. "Umurku sudah tidak bisa Pa, untuk memberi Raave adik lagi. Dasar kau ini!!"celetuknya. Geli.
Raave tersenyum misterius lalu mengerling pada orangtuanya. "Hm iya. Mommy betul. Kalau begitu aku atau Rose saja nanti, yang akan memberi kalian cucu, bagaimana, Hm? Daddy ingin menimang seorang bayi nampaknya"
"Husshh Raave, kau ini sembarangan bicara!! Kekasih saja kau belum punya, Rose juga baru pacaran. Kok bisa bisanya...!"
"Aku bisa, Pa. Kalau Rose memang belum bisa!"canda Raave, menahan tawa. "Aku kan lelaki dewasa"
"Raave Pranaja!! Kamu ini, dasar bocah!!" Tuan Pranaja setengah emosi. Walau bukan benar-benar marah. Hanya sedikit merasa gemas dengan sikap putranya.
Raave terbahak-bahak. Aura gelap sebelumnya, sudah berganti menjadi kehangatan, yang biasa ada di ruang makan Kediaman Pranaja itu.
Mereka bertiga melanjutkan acara makan malam. Ruangan dengan jendela kaca besar, serta pemandangan langsung ke kolam renang besar dan sebuah Jacuzzi di sisinya, semakin menambah kesan elegan dan hangat di sana.
Meja makan dengan enam kursi kayu, juga lampu -lampu di sudut, membuatnya terlihat artistik.
Raave menguap lebar usai menghabiskan Jusnya. Menepuk perut, lalu pamit pada Ayah dan Ibunya untuk istirahat di kamar. Dikecupnya sang Ibu, sebelum ia menghilang di balik tembok pemisah ruang makan dan ruang keluarga.
"Pa?" panggil Nyonya Pranaja.
"Hm?"balas sang suami. Masih menikmati Puding mangga. Menoleh sekilas.
"Apa kamu merasakan perbedaan pada anak lelaki kita?"tanya Ibunda Raave itu, senyum senyum sendiri.
Tuan Pranaja menghadapkan tubuhnya pada sang istri yang duduk disampingnya. "Iya juga ya, Mam. Menurutmu?"
"Dia mau cerita, menjelaskan gitu soal tunangan tadi. Tidak lagi puasa bicara, seperti sebelum kita berangkat liburan"timpal Nyonya Pranaja.
"Terus juga berani godain kita, Mam. Iya kan?"tambah suaminya.
"He em. Makanya itu. Bener kan, beda!"
Nyonya Pranaja mengunyah puding mangga. Mengangguk. Tersenyum senang lagi.
Tuan Pranaja ikut mengulas senyum. "Semoga ini awal yang baik, Mam?"
"Maksudnya? Awal apa?"
"Awal, siapa tahu, dia berubah gitu mungkin karena suka pada seseorang. Atau memang berubah baik agar banyak gadis nempel padanya"
"Pa.. Pa.. Raave ga ngapa-ngapain aja, udah banyak sekali gadis yang nempel kok. Terus harus berubah baik gimana lagi??Hm??" Nyonya Pranaja berseloroh. Tergelak.
"Betul juga. Ah. Ya sudah lah. Semoga dia lebih baik ke depannya, Ma"
"Iya, gitu aja Pa. Doain dan support yang terbaik"
Kedua orang terkasih Raave itu tersenyum bersama.
"Oh sudah kau beritahu soal rencana kita padanya?"tanya Nyonya Pranaja lagi.
"Ya belumlah. Ketemu juga baru di meja makan gini lho."jawab sang suami. Mendelik lucu pada wanita terkasihnya. "Besok, pas sarapan aja"
Wanita berparas teduh itu mengacungkan jempol.
**