Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 34 - TIDUR

Chapter 34 - TIDUR

Pruedence Construction

Prue melangkah keluar dari ruangan. Ia berjalan santai menghampiri ruangan Zii, sang Manager. Mengetuk pintu, lalu masuk usai mendengar jawban dari dalam.

"Miss Prue..?" Zii berdiri.

"Duduklah, Zii. Kenapa berdiri segala."ujar Prue, menyamankan diri di sofa.

Zii duduk lagi. "Ada apa, Miss Prue?"

"Hm. Aku ingin tahu tentang sahabatmu, yang kemarin kamu ajak makan" Prue tersenyum manis pada Zii.

"Aira??"

"Ehm. Iya. Itu namanya. Bagaimana dia Zii? maksudku, Hubunganmu dengannya, dia orangnya bagaimana?"

"Dia sahabat SMP, Miss. Kami kebetulan bertemu di kota ini. Jadi malah dekat lagi. Dia sedikit pendiam, tapi menyenangkan. Kalau sudah kenal ya. Nyambung"jelas Zii apa adanya. Secara garis besar.

"Bekerja dimana dia? Berarti aslinya dia sama sepertimu dan Adnan? Dari Kota Atlas?"

"Iya, betul Miss. Dia memiliki BookShop.."

"BookShop? Di kompleks ruko elite permata??" Prue sedikit tercengang.

Zii mengangguk, tersenyum.

"Oh. Berapa usianya. Pasti di bawahmu? Maaf Zii, bukan maksudku.."

"Iya Miss. Tak masalah. Dia setahun di bawah saya. Saya ini jalan 24"

"Oh so cool. Jauh sekali denganku. Aku sudah 30. Sudah tua sekali ya, Zii. Mom and Dad mendesakku untuk mencari suami. Mereka tak tahu, bagaimana susahnya menemukan yang sesuai" Prue berkeluh kesah.

Zii tertawa kecil. "Saya tak percaya, gadis secantik Miss Prue, susah menemukan yang sesuai." goda Zii.

"Kau tak percaya?? Tapi memang begitu kenyataannya. Semua lelaki yang kutemui tak ada yang tulus denganku. Hanya terpesona oleh keindahan fisik"

"Tak ada yang benar-benar tulus menyayangiku. Tapi.."

Zii mendengarkan cerita sang CEO dengan seksama. "Tapi...?"

"Sejak ketemu Raave. Nampaknya dia tak tertarik sama sekali dengan fisik. Dia tak pernah menatapku jika bicara. Bicara juga seperlunya. Tak memanggil nama. Dengan kalimat singkat."

Prue masih terus mengoceh. Zii punya firasat tak bagus.

"Dia sungguh sombong awalnya, kupikir, Zii. Namun setelah berbincang dengannya agak lama, aku mulai tertarik padanya."

Zii menelan saliva. 'Benar kan?' firasatnya tepat. Pimpinannya itu berbinar, saat menceritakan lelaki yang dekat dengan sahabatnya. Lelaki yang beberapa hari lalu nobar bersamanya dan begitu perhatian pada Aira.

"Zii...?"

"Oh. Iya, Miss Prue. Maaf malah ngelamun. Jadi.. Anda.. ?"

"Hm, aku tertarik pada Raave Pranaja. Kurasa jatuh cinta lebih tepatnya. Baiklah Zii. Aku akan ke ruanganku, menghubunginya." Prue langsung melesat keluar, tanpa mempedulikan balasan Zii. Membawa perasaan senang tak terhingga.

Sementara sahabat Aira itu termenung di kursi. Menatap kosong notebook, yang awalnya membuatnya sibuk.

Rumah Aira, Sorenya..

"Kamu ga cemburu gitu?" Zii sewot sendiri. Ia bercerita soal Boss perempuannya, yang ternyata suka pada Raave.

"Aku cemburu, Zii. Lalu aku harus gimana?" Aira memandang Zii bingung. " "Hei, Raave..!! Jangan jalan sama perempuan lain!!" Aku harus berteriak begitu padanya??"

"Ya. Jika memang diperlukan!"jawab Zii.

Aira tersenyum. Menggeleng. Melipat tangan di depan dada, bersandar, sambil menonton TV. "Dari awal aku sudah berniat tak berharap apa-apa Zii , padanya. Terserah saja. Aku juga akan bebas jalan dengan siapa saja. Begitu"

Zii menatap Aira sendu. "Ya, aku selalu mendoakanmu yang terbaik. Namun kan ga gini juga caranya"

"Ga apa Zii. Aku ga ingin stress. Sakitku kumat nanti. Dan itu merepotkan" jelas Aira.

Zii memeluk sahabatnya. "Aku percaya, kamu perempuan kuat."

Aira tersenyum. "Makasih ya Zii"

Zii hanya sebentar di rumah sahabatnya itu. Ia akan jalan dengan Adnan. Jadi segera pamit pergi.

Setelah Zii pergi, Aira naik ke kamarnya. Bu Wina masih menonton TV. "Mba Aira pusing lagi?"

"Ga, Bu. Pengin istirahat aja"jawab Aira.

Bu Wina tersenyum, tapi sedikit merasa tak enak di hati.

Aira duduk di tepi bed. Menenggak lagi vitaminnya. Ampuh membuatnya baik saja. Juga bisa diandalkan, jika ada kalanya ia sedang stress seperti sekarang.

Hari baru saja gelap. Aira sengaja makan setelah pulang dari BookShop tadi. Agar ia bisa minum obat. Dan lalu bisa minum vitamin. Ia sudah makan banyak tadi, jadi Bu Wina tak menawarinya lagi. Hanya melihatnya sekilas.

Aira sudah sampai di mimpinya. Jadi tak merasakan apapun sama sekali. Ia sudah beberapa kali minum. Memang, lalu tidurnya seperti tak normal. Lama dan kadang tak masuk akal. Tapi tubuhnya tak ada masalah. Tak lemas, tak pusing, tak mimisan. Jadi gadis itu senang. Bisa tidur lama.

Mimpinya berlanjut. Tentang orangtuanya. Jalan-jalan bersama mereka. Makan, juga menghabiskan waktu bersama.

Tapi, Ia merasa tubuhnya diguncang begitu keras. Juga dipanggil begitu lantang. Ia tak peduli. Mungkin efek vitamin. Namun saat guncangan itu tak berhenti, Ia buka matanya juga. Mengerjap. Kaget setengah mati.

Kamarnya sudah terang. Ia bangun perlahan.

Raave, Bu Wina, Zii, Adnan. Semuanya berkumpul. Raave lah yang mengguncang tubuhnya. Wajahnya basah, memerah, dan tampak sangat sedih. Padahal jasnya telah rapi. Wangi. Rambutnya juga jadi berantakan.

"Aira..!!" Raave memeluknya erat. Zii mengusap kepalanya. Berkaca kaca. Pun Adnan dan Bu Wina.

"Hei ada apa? Tidur kok malah dibangunin"

"Kamu tidur kayak... Ah Ai. Kamu sebenarnya kenapa?" Zii terlihat panik.

Raave membelai wajah Aira. "Kamu minum obat tidur, Hm?"tanyanya. Suaranya parau. Nafasnya tak beraturan. Lelaki itu benar-benar tampak shock.

"Ga. Aku hanya minum vitamin. Memang kenapa sih. Ini jam berapa? Kalian ini ganggu orang tidur aja!!" gerutu Aira. Ia pandangi jam dinding. Menahan nafas.

Jam 10??

"Apa kamu tahu, betapa paniknya aku??"geram Raave. "Aku sudah menggerakkan tubuhmu berulang kali. Mengguncangnya keras. Kata Bu Wina kamu tidur. Tapi kamu ga bangun, Nafasmu pelan banget. Nadimu.. Aku ga bisa merasakannya...!!!" Raave berteriak frustasi.

"Kamu pikir, aku harus gimana??!"lanjutnya. "Dokter, semua ga ada yang bisa dihubungi!!!" Ia acak rambutnya, matanya memerah.

"Aira mengusap muka. Maaf, bikin kalian semua panik. Aku nyenyak banget tidur. Nyaman rasanya." Ia regangkan tubuh, menggeliat.

Ia dekati Raave, beberapa saat kemudian. Memeluknya, usai mengantar Zii dan Adnan keluar dari kamarnya. Tergesa akan berangkat ke kantor.

"Maaf. Raave."

"Vitamin apa yang kamu minum?"tanya Raave. Berdiri di tepi jendela, dengan kedua tangan di dalam saku celana, memandang lurus kedepan. Sudah lebih tenang.

"Ini dari Dokter Alan." Aira menyerahkan botol pada sang lelaki.

"Jadi ini alasannya, ketika aku setiap malam kesini, kamu sudah tidur. Bangun jam berapa, tidur jam berapa?"

"Ya, kira-kira aku tidur 12 jam-an. kayak orang kena Syndrom tidur gitu."jawab Aira. Ia mencuci muka di wastafel.

"Tapi tubuhmu bereaksi ga?"

"Ga, baik-baik saja. Ga tahu kalau nanti"balas Aira.

Masih Ia tatap Raave. "Kamu mau berdiri saja di situ? Ga kekantor?"

Raave berbalik, menuju wastafel. Mencuci muka. Merapikan rambut dengan jari. Lalu menyemprot parfumnya lagi. Sudah wngi , kurang wangi.

Dalam sekejap, Raave Pranaja sudah rapi lagi. "Aku ke kantor ya. Obat ini kusita. Jangan diminum."Lelaki itu menyimpan vitamin di saku jas. Sambil mendekat pada Aira. Memeluknya. Jantungnya yang sangat kencang berdetak masih bisa Aira rasakan.

Raave melepaskan sang gadis, membelai pipinya, lalu melangkah keluar kamar dengan setengah berlari.

Aira membuka laci nakas. "Untung udah nyimpen dulu, hehe" ujarnya puas. Memandangi beberapa butir tablet lumayan besar, berwarna ungu.

Ia turun. Bu Wina menyambutnya, memapahnya duduk di sofa. "Bu, saya bisa jalan sendiri" Aira terkekeh geli.

"Gimana ceritanya itu tadi, Hm?" Aira duduk di sofa. Meminta penjelasan.

"Awalnya, saya kan pagi masuk ke kamar, nganter sarapan. Soalnya Mba Aira ga tuRun, udah jam 7. Tak kira ga enak badan. Pas MBa Aira saya bangunin, ga bangun. Sampai satu jam, saya guncang, Mba Aira ga bangun. Saya telepon Mas Raave. Mba Zii sama mas Adnan kebetulan mampir tadi itu."jelas sang asisten, sedih.

"Saya takut MBa. Saya ga mau Mba Aira kenapa kenapa. Mas Raave langsung kesini. Panik. Dia juga bangunin Mba Aira, tapi ga bisa. Telepon Dokter, katanya ga aktif semua., semakin panik."lanjutnya.

Aira tersenyum, menatap asistennya. "Saya tidur, Bu. Ini, efek obat mungkin. Saya minum cuma malam aja. Tadi kalau Raave ga kenceng guncang saya, saya ga akan bangun, mungkin. Sekarang malah pusing." Aira bersandar di sofa. Memejamkan mata. Mengatur nafas.

Samar mendengar suara beberapa orang pria. Berbincang. Seperti seolah melapor pada Raave. "Ya, Sir. Nona Aira duduk di sofa. Sama asistennya"

Bu Wina menyerahkan segelas susu hangat pada Aira. Roti mentega dan telur rebus. "Makan dulu. Biar ga kosong perutnya."

Aira mengangguk, mulai makan. Ditandaskannya dengan segera. "Saya tak mandi ya Bu."pamitnya melangkah ke tangga. Namun...

Aira memegang perut, berlari ke toilet. Memuntahkan semua yang Ia makan. Tubuhnya berangsur lemas. Pusing, berputar. "Gini nih. Kalo dibangunin mendadak."lirihnya. Keluar dari toilet, gadis itu berjongkok. Memegangi kepala. Takut ambruk.

"Mba..??" Bu Wina mendekatinya. Kaget. Mengusap bulir merah di hidung sang Nona.

"Bu.." Aira mencengkeram lengan sang asisten. Darah dari hidung berjatuhan. Bu Wina panik. Para pria penjaga Aira nampaknya mengerti, segera menolong Bu Wina. Mengangkat Aira ke mobil mereka. Bergegas ke Rumah Sakit. Sementara yang lainnya menghubungi sang Tuan besar.

Tiba di Rumah sakit, Aira segera mendapat pertolongan.

Raave datang secepat kilat. Bersama Gio di sisinya.

"Bu, dia kenapa?"tanya Raave panik.

"Pingsan, mimisan. Lemes"jawab Bu Wina sedih.

Lelaki itu mengusap muka. Duduk dengan tidak tenang. Gio mengusap punggung sang Tuan. Menenangkan.

Dokter segera keluar. "Tak apa, hanya terlalu banyak minum obat tidur. Mungkin bisa dikurangi. Jangan diminum setiap hari"

Raave mengangguk, berterima kasih. Masuk ke IGD. Aira sudah sadar. Gadis itu langsung menghambur memeluknya. Erat. Bulir beningnya runtuh. Namun nyeri di tubuhnya seolah hilang, dengan memeluk lelaki tampan ini.

"Jangan pergi..Jika kamu tak keberatan."lirih gadis itu.

Raave mematung. Menahan nafas. Mengeratkan pelukan. Tak bicara apa-apa. Hanya diam. Memejamkan mata. Mengecup sekilas kepala gadis di dekapannya. Bernafas sangat dalam. Berusaha mengartikan sesuatu di dalam dirinya.

Yang Muncul dengan lembut ke permukaan. Setelah sebelumnya, dihantam pusaran yang seolah menenggelamkan. Sang lelaki bingung. Tak juga bisa menemukan arti sebenarnya.

Aira melepaskan pelukan. Menjauh. "Mau kembali ke kantor?"tanyanya.

Raave menggeleng. Menghadiahkan senyum paling manis yang Ia punya. Masih tanpa kata-kata.

Sang gadis tersenyum samar, kemudian... Kembali memeluknya. Lebih erat lagi. "Terima kasih"lirihnya.

*