Setidaknya ia menumbuk 3/4 tablet kemarin. Ia lupa. Dan habis tak bersisa. Larut dalam air di tumbler, yang telah ia teguk habis.
Aira yang bingung, memberesi tasnya. Memasukkannya ke lemari lalu mandi. Secepat kilat. Kemudian ia turun sambil menghubungi Dokter Alan.
"Ya, Mba Aira."
"Dok, saya ga sengaja minum vitamin label ungu itu entah 3 atau 4 tablet sekaligus. Apakah berbahaya??" Aira to the point.
"APAAA..??! Mba Aira, obatnya sudah dikembalikan pada saya oleh Mr Raave. Kenapa anda masih bisa minum..??" Dokter Alan berteriak dari seberang sana.
"Well, saya menyimpannya sendiri beberapa. Jadi ya begitu kira kira..."
"Mba Aira, bisa anda datang ke rumah sakit?"
"Entahlah Dok, saya takut ping... " kepalanya mulai berputar hebat. "Dok, kepala saya ga karuan. Bisa tolong kesini sa..." pandangannya kabur. Disertai rasa kantuk luar biasa.
"Mba Airaaa...!!"
Call end.
Aira lunglai begitu saja. Teriakan Bu Wina yang terakhir kali ia dengar. Gelap. Tak dirasakannya sama sekali.
Rumah sakit
Aira tampak mengkhawatirkan. Wajahnya pucat. Nafasnya sangat pelan, detak jantungnya lemah. Ia berada di Ruang Perawatan Intensif. Dengan ventilator dan alat lain di tubuhnya. Bu Wina menunggui sambil merebahkan kepala.
Adnan dan Zii langsung datang. Memandang khawatir pada sahabat mereka. "Bu, Aira kenapa? Pucat banget?" Zii bertanya dengan panik.
"Dia ga sengaja minum vitamin Mba. Jadi pingsan dan malah gini."jawab Bu Wina sedih.
"Ai.. Kamu kenapa sebenarnya..?" Adnan membelai pipi sang gadis. Dilihatnya alat pendeteksi detak jantung. Hanya gelombang-gelombang kecil berulang.
Zii terisak pelan. Menggenggam tangan Aira.
Dokter Alan datang, memeriksa Aira. Tersenyum tipis.
"Gimana Dokter?"tanya Adnan.
"Jangan khawatir. Dia tak apa-apa, sudah saya beri penetral. hanya memang menunggu untuk dia bisa bangun."jelas Dokter. Langsung Pamit undur diri.
Zii duduk disamping Aira.
Ponsel sahabatnya itu berdering,
Raave calling...
Zii membiarkannya saja. Ia tak berminat menjawab panggilan lelaki itu. "Ai,..bangun..!" Diguncangnya tubuh sahabatnya dengan lumayan kencang. Disertai isak tertahan.
Adnan mengusap bahu Zii perlahan. "Aira gadis kuat, dia pasti bangun. Kita harus sabar."
Zii mengangguk. Mengusap airmata. Menunggu dengan sabar. Dengan harapan yang membuncah, sahabatnya bisa selekasnya bangun. Sadar kembali. Berkumpul lagi dengannya. Makan atau ngopi bersama.
"Ai.. Banguunn.. Aku janji, nanti kalau kamu udah bangun, akan kubelikan apa saja makanan yang kamu mau. Kita wisata kuliner sepuasnya. Banguunn.. Airaaa.." Zii kembali menguncang pelan tubuh sahabatnya.
Adnan berkaca-kaca.
Kedua sejoli itu menemani sang sahabat hingga menjelang gelap. Sayangnya, sang gadis belum sadar juga. Akhirnya mereka memutuskan pulang. Dan kembali lagi esoknya. Bu Wina mengantarkan mereka hingga ke pintu.
Asisten setia Aira itu menghampiri sang Nona. Berbisik lirih. "Mba, saya ke kantin sebentar ya. Nanti saya balik lagi.". Bu Wina segera berlalu. Dan berpesan pada perawat, yang memang kebetulan akan memeriksa sang gadis. Akan membeli makan sebentar.
Ketika Bu Wina kembali, beberapa saat kemudian, perawat sudah pergi. Mungkin hanya mengganti infus. Karena terlihat baru.
"Mba Aira.. Bangun Mba..." Bu Wina berkaca-kaca. Mengusap usap kepala sang Nona. Lengannya. Hingga malam semakin dalam. Sang asisten terlelap sendiri.
Barangkali Aira sudah bermimpi indah, dalam tidurnya yang lumayan panjang. Entah sampai kapan.
*
Kediaman Pranaja
Gio menunggui Raave yang tiba-tiba saja ambruk. Sudah dua hari ini, Tuannya itu tak sadarkan diri. Saat Dokter Alan menghubunginya kemarin, terpaksa ia yang menjawab.
Menceritakan kondisi seorang gadis, yang tak sengaja meminum vitamin beberapa tablet sekaligus. Aira.
Gio hanya bisa semakin tertunduk sedih. Ia bilang pada Dokter, bahwa Raave mendadak ambruk dan belum sadar.
Sang Dokterpun segera datang memeriksa. Dan tak menemukan masalah serius apapun. Hanya stress berlebihan. Meresepkan beberapa pil khusus untuk Raave, lalu pamit pergi.
Ghina sempat datang melihat kondisi sang lelaki, hanya sebentar. Kemudian pergi lagi.
"Kenapa waktunya bersamaan, Tuan. Anda tak sadar. Dan Nona Aira...juga.." Gio bergumam lirih. Mengguncang pelan tubuh sangTuan.
"Bisakah Anda bangun,Mr Raave?? Saya ingin membawa Nona Aira kesini, namun dia sendiri juga belum sadar. Ah coba kuhubungi.."
Calling Nona Aira...
Nada tunggu ketiga, panggilannya dijawab. "Ya." suara lemas Aira menggema di telinga Gio.
"Anda sudah sadar, Nona. Syukurlah."jawab Gio, tersenyum senang.
"Aku baru saja sadar, Tuan Gio. Ada apa?" Balas Aira parau.
"Apa?? Anda baru sadar?? Berarti dua hari penuh anda tak bangun, Nona??"
"Iya, sebenarnya ada apa, Tuan?"
"Tidak, Nona. Anu... "
"Raave kenapa?"
"Dia tak sadar juga sudah dua hari ini" kata kata Gio meluncur begitu saja.
Terdengar oleh Gio helaan nafas dalam. "Baiklah, suruh staffmu menjemputku di Rumah Sakit. Aku kesana"balas Aira, suaranya masih terdengar lemas.
"Tapi, Nona, Anda masih..."
"Terserah! kau mau Tuanmu sadar atau tidak?!"
"Ba-baik, Nona!!" Gio langsung meminta Luke, menjemput sang gadis di Rumah sakit. Ia tersenyum senang. Berharap Aira juga baik saja.
Rumah sakit
"Dok, saya boeh pulang sekarang? Saya istirahat di rumah saja." Aira ijin pada Dokter Alan, saat sang Dokter memeriksanya.
"Ingin menjenguk, Mr Raave kan?"jawab sang Dokter, tersenyum.
Aira mengulas senyum samar.
"Baiklah, Mba Aira. Tapi besok check up ya. Jangan kelelahan. Anda harus Banyak istirahat!"pesan sang Dokter. Mengusap lengannya sekilas kemudian pamit karena Luke sudah datang. Secepat kilat.
"Mari Nona Aira." Luke tampak muram.
Bu Wina membantu sang Nona berjalan pelan. Aira sudah berganti baju. Semula, Luke membawakannya kursi roda. Namun ditolak oleh gadis itu. Ia masih kuat berjalan pelan.
Sopir pribadi Raave itu menyamai langkah sang gadis dengan sabar. Keluar dari Rumah sakit.
"Raave kenapa, Luke?"tanya Aira.
"Entahlah Nona. Dia tiba-tiba ambruk kemarin saat di kantor. Kata Tuan Gio, terlihat pucat dan malah tak sadar saat perjalanan pulang."jelas Luke.
Aira mengangguk. "Mungkin kelelahan"
"Tidak mungkin Nona, sesibuk apapun dia, selelah apapun tidak sampai begitu"bantah Luke. Jelas ia paham sifat sang Tuan muda.
Akhirnya mereka sampai di halaman parkir. Aira masuk perlahan disusul Bu Wina. Gadis itu langsung menyandarkan diri. Kepalanya masih berat.
Luke mulai melaju. Sedikit kencang.
Aira memejamkan mata. Bu Wina mengusap usap punggungnya. "Saya tak pulang dulu aja ya Mba. Nyiapin apa gitu? Mba Aira kuat sendiri ke rumah Mas Raave kan?" Asistennya itu menyarankan.
Aira mengangguk. Lalu bilang pada Luke untuk mampir ke rumahnya dulu.
"Ya, Nona" Luke menambah kecepatan.
"Ya, Mr Gio? Saya otw, Tuan Raave sudah sadar?" Luke menjawab panggilan Gio.
"Oh belum? Mungkin memang menunggu Nona Aira. Oke baiklah."
Mereka tiba di rumah Aira beberapa menit kemudian. Bu Wina turun, berpamitan dan Luke segera tancap gas lagi.
Aira membawa obatnya dan sebotol air. Masih bersandar lemah, di jok mobil Raave yang nyaman.
"Anda tidur saja Nona, jika masih pusing."saran Luke. Ia menatap Aira sendu dari spion.
"Ya, Tuan Luke. Saya tidur sebentar ya" Aira mulai memejamkan mata lagi. Nyaman rasanya. Nampaknya Luke melaju kencang.
Seolah seperti mimpi. Aira mendengar Luke memanggilnya berulang kali. Gadis itu membuka mata. "Nona, sudah sampai."ujar Luke, membukakan pintu.
Ada seorang Asisten perempuan yang membantunya turun. Lalu menggandeng tangannya, berjalan pelan. "Oh, Nona, badan Anda hangat, Anda demam?" Si asisten meraba kening Aira. Sedikit kaget.
"Nona Aira baru sadar, Ser."Jelas Luke.
Sesaat Aira kaget. Rumah ini..? 'Jadi ini rumah Raave?'batinnya. Rumah mewah nan besar, berlantai tiga, bergaya modern minimalis dengan warna serba putih. Dengan beberapa penjaga di pintu depan dan samping. Luke berhenti, langsung di depan pintu masuk utama.
Aira melangkah masuk. Sepi. Ruang tamunya luas. Lega, dengan interior yang berkesan elegan. Sang asisten terus membimbingnya masuk ke dalam. Lalu menggunakan lift. Naik ke lantai dua. Luke terus bersama mereka.
Aira menyandarkan kepala di pundak asisten Raave. "Maaf Mba Sera, saya sedikit pusing"keluhnya, kala mereka di dalam lift.
"Tak masalah Nona. Bersandarlah."balas sang asisten sabar. Ia usap punggung sang gadis. Tersenyum.
Tiba di lantai dua. Sera, sang asisten, berjalan pelan hingga ke depan sebuah pintu berwarna hitam. Ia berhenti, mengetuknya, yang langsung dibuka oleh Gio.
"Oh Nona Aira. Anda datang juga." Gio tersenyum lega. Meminta Sera membantu Aira duduk. Lalu menyuruhnya keluar dulu. Standby di depan pintu.
Aira duduk di kursi di sisi ranjang Raave. Ranjang king size yang nampak nyaman. Juga kamar yang begitu luas dan mewah. 'Pantas saja, Ia tak betah tinggal di rumah 50'batin Aira geli.
Ia tatap wajah Raave yang pucat. Dengan mata masih terpejam rapat. "Raave..."panggilnya lirih. Ia letakkan tangannya di atas tangan sang lelaki. Memeganginya.
Aira menunduk. Merasakan pusing di kepala. lalu mendongak lagi. "Tuan Gio, saya rebahan sebentar ya. Pusing." keluh sang gadis. Merebahkan kepalanya, di atas tangan. Mengatur nafas.
"Iya Nona. Saya keluar ya. Jika butuh sesuatu panggil saja." Gio pamit keluar.
"Ya" jawab Aira lemas. Ia pejamkan mata. Rasa kantuk itu datang lagi. Sang gadis tertidur.
Namun sedikit sebal, kala seseorang mengusap kepalanya. Memaksanya membuka mata. Padahal ia baru terlelap sebentar.
"Aira... " Suara merdu sang lelaki yang ditungguinya mengalun. Aira mendongak, menoleh. Menatap sang pemilik suara yang tersenyum padanya. Tapi langsung berubah menjadi ekspresi khawatir.
"Kamu sakit, Ai??"tanya Raave, kaget. Ia bangun perlahan, membelai pipi sang gadis. Wajah Aira masih pucat. "Oh badanmu panas, Aira.."
"Kamu kenapa Raave?" Aira menggeleng perlahan. "Aku baik saja. Jangan khawatir." suaranya yang terdengar lemas dan parau, membuat Raave semakin shock.
"Gio..!!"panggilnya lumayan kencang. Ia dekap sang gadis dengan erat. Matanya tergenang.
Gio masuk.
"Aira kenapa sebenarnya? Panggilkan Dokter!!" Raave panik.
"Sssshhhh.. Ga perlu! Aku sudah diperiksa Dokter Alan tadi. Aku hanya ingin melihat kondisimu, Raave. Kata Tuan Gio, kamu tak sadar dua hari, ambruk." Aira menguatkan diri.
Raave memandanginya sedih. Ia usap kepala gadis itu. "Kamu kesini hanya untuk itu?"
Aira mengangguk. Sesekali memejamkan mata, menahan pusing.
" Aku harus seperti ini, agar kamu mau menemuiku?" Raave membelai wajah gadis di hadapannya. Mendekapnya lagi. "Kamu sudah ga marah lagi kan, padaku?"
"Ya.. Raave.." Aira memejamkan mata. Entah ini apa. Mengantuk atau pingsan. Ia tak paham. Mungkin mengantuk. Ia lunglai begitu saja. Di pelukan sang lelaki.
"AIRAAA..!! GIO, AIRA KENAPA??!!" Raave shock. Ia baringkan Aira di sebelahnya, lalu menyelimutinya.
Gio menunduk.
"G..!!!"
"Nona Aira baru bangun, Sir. Dua hari tak sadarkan diri, di Rumah sakit. Ia tak sengaja minum vitamin beberapa tablet sekaligus. Lalu, langsung tidur panjang."jelas Gio.
Raave tercekat.
Continued