Aira berdiri, sambil masih menggenggam ponsel. Melangkah naik ke kamarnya. Menyambar tas dan sweater. Lalu berlari turun lagi.
"Aku harus ke kantor Raave guys. Kalian di sini ya. Nanti kalau mau pulang, titipkan kuncinya pada Satpam di depan!"pesan Aira. Ia langsung berlari keluar. Tanpa menunggu jawaban kedua sahabatnya. Masuk mobil. Melaju sangat cepat.
"Sebenatnya apa yang terjadi??"gumamnya lirih. Jantungnya berdebar kencang. "Semoga Raave benar-benar meeting. Hei tunggu dulu. Hari minggu, Pranaja Tech tutup!!" Aira menambah kecepatan mobilnya. Secepatnya ingin sampai di kantor lelaki yang membuatnya jatuh cinta itu.
Di halaman parkir Pranaja Office hanya ada MPV Raave, beberapa mobil sedan berwarna silver dan putih. Aira memarkir SUV nya di bawah pohon.
Ia keluar dari mobil, menerobos masuk kantor Luas nan mewah itu. Berlari sambil mengikuti suara-suara yang membuatnya curiga. Aira bingung. Melihat kanan dan kiri. Sepi. Tak ada orang satupun, hanya petugas keamanan, berjaga di depan.
Ia harus kemana. gadis itu mendongak, mendengarkan dengan cermat. Lalu mengangguk. Nampaknya sudah tahu, darimana arah sumber suara.
BRAAKK..!! lagi-lagi suara seperti membanting sesuatu. Lalu diikuti Suara DUKK keras.
'Tak mungkin Pranaja Tech sedang merenovasi salah satu ruangannya'pikirnya. Aira naik, suaranya semakin jelas. Ia dengarkan satu persatu pintu di sana. Tak ada.
Ia naik lagi satu lantai. Mendengarkan lagi. Masih tak ada. Naik lagi. Mendengarkan, begitu hingga sampai di lantai ketujuh, di depan pintu hitam. Gadis itu terengah, nafasnya cepat. Suaranya memekakkan telinga. Ia amati si ruangan.
Label President Director terukir di sana.
Masih mendengarkan, Aira ingin tahu. Sebenarnya ada urusan apa di hari minggu, ada suara seperti barusan di ruangan Raave.
"Raave, kamu masih mau bersama Nona Kylie??!!!"teriak seorang pria.
"Tidak!! Untuk apa?? Aku sudah minta maaf pada Mr Kim. Lalu kenapa, kini kamu yang malah membuat masalah denganku, Mike?" suara Raave berbicara. Sedikit terengah.
"kArena aku tak terima, kau bersikap begitu pada Kylie!!"
"Oh tak terima. Kau suka padanya??"
"Jaga bicaramu, Raave!!!"
"Aku benar kan? Jika memang suka, katakan saja. Asal kau tahu, dari awal aku tak mau bertunangan dengan Kylie. Tapi Mr Kim setengah memaksaku. Jadi jangan salahkan aku jika melarikan diri."
PLAAAKKK...!!!
Aira tersentak.
"Cukup Raave. Aku sudah menghajarmu, namun kau masih kuat berdiri. Harus kuapakan lagi, Hm?" gumam pria tadi.
"Berani kau menyentuhku lagi, kupastikan kau pulang, hanya tinggal nama, Mike!! Lepaskan aku!!"
"Tidak akan!!! Sebelum aku melihatmu terkapar di depan mataku, Raave Pranaja!!"teriak si pria.
Aira menutup mulut. Shock. 'Jadi tadi Raave dihajar??'batinnya gundah. 'Dan apa yang akan dilakukan oleh pria ini lagi?'
Ia mendengar Raave tertawa kecil.
'Apa yang akan terjadi?'batinnya.
Ia mengintip dari lubang kecil di pintu. Sangat kecil namun cukup untuk Aira tahu.
Gadis itu menutup mulut, kembali shock. Raave diikat. Tshirtnya penuh darah. Wajahnya penuh luka. Si pria memegang sebuah benda, berjalan mendekat. Ke arah Raave.
'Oh tidak!! Apa yang harus kulakukan, untuk mencegah si pria melukai Raave?'Aira berpikir keras. Sangat keras. Matanya masih mengintip. Akhirnya...
Ia gedor pintu dengan sangat keras. Ia mengintip lagi, si pria tampak sedikit kget. Tapi kembali mendekati Raave. Ia gedor lagi dengan membabi buta. Agar menurunkan fokus si pria.
Ia bertanya-tanya dalam hati, kemana Staff khusus Raave yang banyak itu?
Aira mengintip lagi, si lelaki mendekati pintu, masih memegang sebuah... Belati yang terlihat tajam.
Kleeekkk...
Pintu terbuka. Si pria melongok keluar. Dengan gerakan cepat, Aira menendang tangan si pria yang kaget. Belati terlempar. Raave berusaha melepaskan diri.
Aira berusaha meraih belati. lalu Mengacungkannya pada si pria. "Lepaskan Raave!!!"teriaknya. Si pria yang benar-benar kaget dan tak menyangka, melongo. Namun lalu, Ia tersenyum miring. Merogoh saku, tapi ekspresinya berubah heran. Seolah bingung, karena tak menemukan apa-apa di sana.
Aira berteriak lagi. "LEPASKAN RAAVE!!! SEKARANG!!!"
"Oh Raave, gadis ini sungguh berani! Dia pasti sangat mencintaimu, hingga mau menolongmu kesini!"celoteh si pria.
Raave sudah berhasil membebaskan diri, Gio juga ternyata diikat di ruangan yang sama. Ia rogoh saku celananya, mengambil senjata dari sana.
Si pria mengambil kesempatan Aira yang sedikit lengah, merebut belati, lalu berbalik mengancam sang gadis. Namun, Raave mengacungkan senjata di kepala lelaki itu.
"Berani kau lukai dia, peluru ini akan menembus kepalamu, Mike!! LEPASKAN!!!"geram Raave dengan suara menakutkan. Wajahnya begitu suram.
Mike tak melepaskan Aira. malah tertawa. "Apa karena gadis ini, Raave, kau melarikan diri?"
Gadis itu diam-diam bergerak. Mengambil sesuatu dari dalam tas selempangnya. Diarahkannya pada lelaki yang mendekap lehernya begitu kencang. Menusukkannya di tangan yang membawa belati.
"Aduuhh.!!!!"si lelaki berteriak kesakitan. Berlutut. Belati terjatuh entah dimana. Aira melepaskan diri. Segera menjauh. Raave langsung merengkuhnya erat.
Beberapa menit kemudian,Staff khusus Raave tiba. Mengepung ruangan itu, menahan Mike di tempatnya, juga anak buahnya yang berkumpul di ruangan.
Beruntung saat Aira datang, tak satupun anak buahnya yang di luar. Jika ada penjaga di luar. Ia tak akan bisa berbuat seperti tadi.
Polisi datang segera. Membawa Mike dengan tangan berlubang, beserta anak buahnya.
Raave segera mendapat perawatan di Rumah sakit. Sementara Gio tak terluka sama sekali. Ia hanya diikat.
Rumah Sakit
"Nona, Anda berani sekali tadi."komentar Gio. Menatap Aira kagum. Mereka berada di depan IGD. Menunggui Raave yang sedang diperiksa dan diobati.
Aira hanya mengulas senyum kecil. "Sebenarnya siapa pria tadi, Tuan G?"
"Dia Staff khusus Mr Kim. Tak terima Mr Raave melarikan diri saat pertunangannya dengan Kylie. Padahal yang bersangkutan, sudah tak mempermasalahkan."
"Ehm. Begitu? Lalu kenapa dengan mudahnya Raave dipukuli, disekap di ruangannya sendiri?"tanya Aira lagi.
Gio menghela nafas dalam. "Mike mengancam akan mendatangi rumah Anda, Nona. Yang malam-malam tempo hari itu, orang-orang Mike juga. Sebagai gantinya, Mr Raave disekap di ruangannya sendiri. Dihajar hingga lumayan babak belur. Tapi percayalah. Tuanku lelaki yang kuat. Ia akan cepat pulih"ujar Gio menjelaskan.
Aira mengangguk, tersenyum pahit.
Dokter keluar beberapa menit kemudian. Mengatakan bahwa kondisi Raave baik. Hanya luka ringan di wajah dan tangan saja.
Aira dan Gio berpandangan. Bernafas lega. Gio berterima kasih pada Dokter, kemudian bersama Aira melangkah masuk ke IGD, namun....
Pintu terbuka, Raave berjalan pelan keluar dari Instalasi Gawat Darurat itu. Ia usap pipinya. Meringis. "Aaww...!!". Dahinya dibalut perban, ada memar gelap di pipi, sudut bibir.
Luka kecil di tangan kiri, namun nampaknya tak begitu serius.
Gio dan Aira melongo. "Hei Tuan. Anda ini kok sudah keluar??" Gio mendelik bingung.
Perawat berlari di belakang Raave. Menuntunnya kembali masuk. Namun sang lelaki menolak dengan halus. Si Perawat tetap menariknya.
Raave memasang senyum maut. Membuat si Perawat kehilangan fokus. "Saya sudah baik-baik saja, Nona Perawat. Jadi saya akan pulang saja. Istirahat di rumah. Hm?" suara merdunya mengalun manis.
Aira terkekeh geli. Jurus andalan. Si Nona Perawat sedikit terhuyung. Sambil tersenyum, Ia mengangguk dan menyerahkan selembar catatan resep obat.
"Terima kasih Nona... Ehm?" Raave melirik Id card sang perawat. "Oh Nona Wanda. Terima kasih." Raave masih tersenyum maut. Sedikit menundukkan kepala. Pamit pada si perawat.
Raave berjalan menjauh dari IGD sambil menggandeng tangan Aira. Ia melangkah cepat. Menyerahkan resep obat pada Gio. Langkahnya yang lebar, membuat Aira harus sedikit berlari. Sementara Gio sudah berlari kecil. Di belakang mereka.
Lelaki itu masuk ke mobilnya. Diikuti Aira. Lalu memeluk sang gadis, begitu Aira duduk di sisinya.
"Apa kamu tahu, betapa bahaya jika kamu berbuat seperti itu tadi, Hm??!" Raave menggeram rendah. Ia pegangi kepala sang gadis, mendekatkannya padanya.
"Aku..."
"Cukup, Aira..!! Dia bisa melukaimu tiba-tiba!! Dengan belati itu, belum lagi senjata di kantongnya. Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan tadi???!!"
"Maaf, aku hanya ingin menolongmu..." Aira menjawab dengan gemetar. Takut.
Gio masuk mobil, ngos ngosan. Menaruh sebuah paperbag kecil di dashboard. Dan mulai mengemudikan mobil.
Raave menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri. "Aku tak bisa bayangkan, kalau dia berhasil melukaimu, atau..." kalimatnya terhenti.
"Aku lebih sedih lagi, jika aku hanya berdiri di luar tanpa melakukan apa-apa. Dan justru kamulah yang terluka."potong Aira. Menatap lurus ke depan. Dengan mata tergenang.
Sang lelaki memandanginya penuh haru. Lalu menariknya ke dekapannya yang hangat. Ia usap kepala Aira. "Mengertilah, aku tak ingin kamu terluka lagi"bisiknya lirih.
"Aku mengerti. Tapi kamu jangan buat dirimu sendiri, terluka juga."
"Tak masalah, jika memang harus begitu"balas Raave, semakin erat memeluknya.
"Oh aku bertanya tanya, kenapa kamu tiba-tiba ada di kantor, Ai. Siapa yang memberitahumu?" Raave bicara dengan lantang. Melirik Gio di depan.
Gio menoleh, mendelik lucu. Mengacungkan jari.
"Mr G. Jika ada sesuatu terjadi pada Aira tadi, maka aku tak akan memaafkanmu. Apa kau mengerti??"sergah Raave. Berpura pura menakuti Gio.
Aira tergelak. Tes... Tes... Ia menunduk, kaget. Serrrr... "Ups!!"lirihnya. Darah membasahi sweaternya. Banyak. Semakin ia menunduk, semakin mengalir deras. Jadi gadis itu bersandar. Menengadahkan kepala. Beruntung ia membawa tissue. Ia usap hidungnya.
Raave yang masih bicara dengan Gio, tak tahu.
"Nona Aira..??" Gio melirik lewat spion. Khawatir.
Raave menoleh, "Aira... Kamu mimisan?" Ia tatap sweater sang gadis yang bernoda merah dimana mana. Shock.
"Gak apa, bentar lagi juga berhenti."balas Aira tenang. Ia merogoh tas, mengeluarkan obat dan sebotol air. Meminum obatnya bersamaan. Tersenyum pada Raave.
Lubang Hidungnya ia ganjal dengan gumpalan tissue. Lalu mencoba menunduk. Bulir merah itu nampaknya sudah tak lagi mengalir. Ia lepas gumpalan tissue dari hidungnya.
Raave hanya memandangi sang gadis dengan sedih. Kembali memeluknya sangat erat.
Tiba di rumah Aira, seorang petugas keamanan mengantar kunci rumahnya. Aira berterima kasih.
"Istirahatlah, Ai. Aku pulang ya. Biar mobilmu diambil Staffku nanti"ujar Raave, sebelum mereka berpisah.
Raave mengantarnya hingga ke depan pintu. Namun Aira masih memegangi tangan sang lelaki. Seolah tak ingin si lelaki pergi. Raave tersenyum. Membelai pipinya. Berbisik lirih, "Terima kasih, sudah menolongku tadi."
Aira tersipu. Mengangguk. "Kamu tak ingin makan pizza pesananmu dulu?"
Raave tergelak. Menggeleng. "Buat kamu saja. Kamu harus banyak makan dan banyak istirahat. Nanti kuhubungi"
Aira melepaskan tangan sang lelaki. "Baiklah, hati hati, kamu juga harus istirahat"balas Aira.
Be Continued....