'Apa ini?'batinnya, berusaha menahan si nyeri sekuat tenaga. Beruntungnya ia bawa obat. Segera ia tenggak dengan segelas air di depannya.
"Kenapa, Ai?"tanya Raave khawatir.
"Punggungku sedikit nyeri"jawab Aira. Menatap Raave. Sang lelaki beralih duduk di sampingnya, meraih bantal kecil, lalu Ia letakkan di punggung sang gadis. Sebagai sandaran.
"Terima kasih, sudah tak apa-apa kok. Maaf merepotkanmu"ujar Aira, agak sungkan. Ia tahan tangan sang lelaki, yang mengusap-usap punggungnya.
Makanan mereka datang.
Raave memesan makanan rumahan. Nasi Bakar ayam, Sup Sosis, Jus lemon yang segar.
Aira berbinar. "Tumben pesan makanan seperti ini?"tanyanya.
Raave tersenyum maut seperti sebelumnya. "Just eat. You like it, Hm?"jawabnya, singkat. Ia memesan Nasi Bakar seafood, sup sosis, Jus lemon juga.
Kedua sejoli itu mulai melahap makanan masing-masing. Raave masih duduk di samping Aira. Menyantap makanannya dengan cepat, nampaknya kelaparan.
Aira makan perlahan. Punggungnya masih agak kaku jika Ia bergerak maju, mengambil makanan. Jadi hanya bisa duduk tegak. Menyangga piring dengan tangan.
"Masih nyeri? Posisimu kurang nyaman?"tanya Raave, khawatir.
Aira menggeleng. Tersenyum lagi.
Sang lelaki mengusap-usap lagi punggungnya.
"Raave, biasa saja. Jangan seperti itu." Aira meraih tangan Raave, menyingkirkannya perlahan.
"Kamu takut, Hm?"
Aira mengangguk. Menandaskan Sup.
Makanan penutup tiba. Juga beberapa makanan kecil.
Raave menatap sang gadis. Teringat lagi saat Aira menyuapkan Onion Ring ke mulutnya.
Sungguh, Jika boleh jujur, Ia berdebar kencang saat itu.
Padahal hanya menyuapkan makanan saja. Bukankah selama ini, Ia sudah lihai dalam hal mengecup atau mencium seorang gadis? Bahkan yang lebih dari itu. Kenapa jadi berdebar, hanya karena seorang gadis polos seperti Aira, menyuapkan makanan ke mulutnya. Aneh.
Aira hanya menatap makanan di hadapannya. Tanpa berniat melahap salah satu saja. Wajahnya...Agak Pucat.
"Ai..? You okay?" Raave khawatir., merengkuh sang gadis.
"I'm okay"jawab Aira. Ia sendok Gelato Mix Berries di gelas. "Enak..!"komentar Aira. Semangat menyuap bersendok-sendok selanjutnya. Raave sudah pindah di depan gadis itu. Memandanginya lekat.
Aira menyadarinya. Namun sengaja diam saja. Tak peduli. Cuek. Hingga gelatonya tandas, sang lelaki masih saja memperhatikannya dengan seksama.
Gadis itu juga menatap Raave. Sambil bertopang dagu. Menunjuk Gelato yang entah rasa apa, Berwarna biru. French fries tak luput dari mata Aira.
Raave menggeleng. Aira juga menggeleng. Muram.sedang tidak mood menyuapi lelaki itu. Merasakan nyeri yang kian dalam di punggung.
Sang lelaki berinisiatif menyuapi Aira. Ia sendok Gelatonya, lalu menyuapkannya. "Aku kenyang, maaf". Menolak suapan lelaki itu selanjutnya. Berusaha menahan nyeri.
"Pulang yuk"ajak Aira.
"Kamu kenapa, Hm?" Raave kembali duduk di sisi Aira.
"Punggungku, sakit"bisik Aira. Mencengkeram lengan lelaki di sampingnya. Menunduk sekilas.
Raave merengkuh sang gadis. "Ok, kita pulang sekarang.". Ia berdiri. Mendekap erat Aira, sambil melangkah perlahan. Keluar dari Resto. Gio segera membantu. Kaget.
"Nona Aira kenapa, Sir?"tanya Gio, khawatir. Namun lalu takut. Wajah Raave muram. Sangat.
"Antar kami pulang, G. Ke rumah Aira!"perintah Raave tegas, Begitu mereka duduk di mobil. Ia tak lepaskan dekapannya sama sekali.
"Hm, Dok. Kenapa punggung Aira masih sakit? Obat apa yang kau berikan kemarin?? Bukankah aku sudah bilang, beri dia obat terbaik!!"suara Raave sedikit meninggi. Emosi. Ia hubungi Dokter Alan. Dokter yang biasanya menangani sang gadis.
"Hm, aku tak mau tahu. Berikan padaku obatnya!! Sekarang!! Biar Staffku yang mengambilnya kesana!! Tak perlu kau antar. Anak buahmu semuanya lambat!!"lanjutnya lagi. Semakin marah. Ia usap punggung sang gadis lembut.
Sementara Aira memejamkan mata.
Raave membelai pipinya lembut. "G, cepat sedikit!!"tegasnya. Gio mengangguk. Mempercepat laju mobil yang sebenarnya sudah kencang.
Bu Wina sedikit terkejut saat Raave membopong Nona mudanya masuk, lalu naik ke lantai dua. "Mba Aira kenapa, Mas Raave?"
"Punggungnya sakit, Bu. Tolong jaga dia ya."pesan Raave. Dibaringkannya Aira di ranjang, Ia memerintahkan beberapa Staffnya menjaga Aira di rumahnya.
Beberapa menit kemudian, salah satu Staff khusus berlari menghampirinya. Memberikan obat dari Dokter Alan. Raave berpesan pada Asisten Aira itu, untuk meminumkannya pada sang gadis.
Ia kecup bibir Aira sekilas, mengusap kepalanya, sebelum pergi. Kembali ke kantor. Dengan muka yang sangat muram.
**
PRANAJA office
"Sir, bagaimana sebenarnya perasaan Anda pada Nona Aira?"tanya Gio siang itu. Mereka makan siang bersama di kantin kantor.
Tuan mudanya itu tersenyum. Mengangkat bahu. Masih menyembunyikan sesuatu. "Kalau menurutmu bagaimana?"
"Saya rasa, Anda jatuh cinta padanya. Sayang padanya. Karena Anda begitu khawatir saat dia sakit, panik. Lalu perhatian-perhatian kecil lain yang Anda berikan." Gio memaparkan apa yang Ia tahu.
Lagi-lagi sang Lelaki nomor satu di Pranaja Tech itu, mengulas senyum misterius. Kembali pada makanannya. Beberapa waktu belakangan ini, Raave lebih suka makan masakan rumahan. Seperti sekarang, Gado-gado komplit, Perkedel kentang, es jeruk segar.
"Begitu ya? Ehm.. Apa kamu tahu prinsipku, G??"
"Ya, saya paham. Anda tak pernah serius pada gadis manapun. Juga..."
"Aku tak pernah mengungkapkan apa isi hatiku pada gadis-gadis itu. Itu jadi rahasiaku." Raave tersenyum miring.
"Itu juga berlaku untuk Nona Aira?"tanya Gio, menatap dalam, mata hitam sang Tuan. Sesaat, Gio menangkap ekspresi berbeda Raave. Juga binar matanya kala dirinya menyebut nama Aira.
Sang Tuan hanya tersenyum samar, lalu diam. Membisu. Mengambil perkedel kentang yang ketiga. Lalu menghabiskan Gado-gadonya. Nampaknya sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan terakhir yang Gio ajukan.
Benar saja. Usai menandaskan semua makanan di meja tanpa tersisa, Raave mengajak Gio kembali ke kantor. Tanpa ada lagi pembahasan lebih lanjut, mengenai pertanyaan terakhir tadi.
Rumah Aira
"Ai, bilang padaku, kenapa kau masuk rumah sakit beberapa hari lalu?" Zii mencecar Aira dengan nada shock. Adnan menatap Aira tak percaya.
"Sedikit kelelahan. Kenapa kamu panik begitu, Hm?"tanya Aira geli.
"Bohong!!" Zii tak percaya. "Ai.. Please.."
"Oke..oke.. Sebenarnya aku..,"
"Aira menghalangiku dari pukulan balok kayu, Nona Zii." suara semerdu alunan musik terdengar. Disusul sang empu suara, mempesona dengan hanya mengenakan kemeja dan celana.
Adnan dan Zii menoleh kaget. "Mr Raave?"gumam mereka bersama.
Raave tersenyum, mengangguk, merengkuh Aira yang duduk di sofa samping Zii.
Adnan yang duduk di bawah sambil mengudap cemilan favoritnya, sampai melongo, tak berkedip. Menatap lelaki mengagumkan di depannya. Yang lebih menakjubkan lagi, memeluk pinggang sahabat perempuannya erat.
"Hei, kenapa kalian menatapku begitu?"ujar Raave. Tersipu. "Aku memang menawan, guys"ujarnya percaya diri. Mengibaskan kerah bajunya. Padahal dia memakai kemeja kerah shanghai. Memasang ekspresi sok tampan.
Aira memutar bola mata. Zii menutup mulut menahan tawa, Adnan berbalik, juga memutar bola mata, kembali menyaksikan film action . "Jika kamu kesini hanya ingin menyombongkan diri dan mengganggu acara nobar kami, maaf Tuan Pranaja, sebaiknya Anda pergi saja!"tukasnya.
Raave memanyunkan bibir, mencubit dagu Aira. "Kenapa kamu jadi galak, Hm? Punggungmu sudah tak nyeri kan?"
Aira tertawa kecil, geli melihat bibir si lelaki yang maju beberapa senti ke depan. "Tidak. Tidak"
"Apa yang lucu?"
"Bibirmu itu"
Raave berbisik di telinga Aira, "Jika tak ada kedua sahabatmu di sini, sudah kumakan bibirmu daritadi, Nona muda."
Si Nona muda nampak linglung. Tersenyum, "Benarkah itu??" ekspresinya sengaja Ia buat-buat sedikit dramatis.
Raave tergelak. Menepuk pipi Aira lembut.
Hasilnya, Raave ikut nobar bersama Adnan dan teman-teman. Menghabiskan paling banyak cemilan, air, dan menguasai sofa untuknya sendiri. Sementara Aira dan kedua sahabatnya duduk di bawah.
Mereka bertiga tak masalah. Yang penting, acara nobar tetap berlangsung dengan lancar.
Minggu yang cukup berkesan bagi Raave. Nobar bersama Aira. Film yang sudah pernah Ia tonton sebelumnya. Berulang kali. Namun pertama kali untuk Aira dan kawan kawan.
Menjelang akhir Film, Raave memesan beberapa loyang Pizza medium, Garlic bread, Minuman dan Pasta.
Bu Wina pulang sehari ke Desa. Jadi Aira sendirian.
"Hm, bicaralah G!" Raave menjawab panggilan Gio.
Raave tampak muram, setelah mendengar kata-kata Sekretarisnya itu. Menatap Aira sekilas, yang sedang tertawa bersama sahabatnya. Lalu bernafas dalam.
"Hm, ya. Aku kesana"jawabnya akhirnya. Call end.
Lelaki itu duduk lagi di sofa. Mengusap lengan Aira. "Aku ada keperluan mendadak. Tak apa ya kutinggal?"bisiknya.
Aira menoleh. Tampak kecewa. "Penting sekali ya?"
"Hm" Raave mengangguk, tersenyum penuh arti. Ia usap kepala sang gadis. "Jika sudah selesai, aku akan menghubungimu"
"Benar ya?" Aira tersenyum. "Hati-hati, Raave".
Raave berpamitan pada Zii dan Adnan, kemudian melangkah dengan tergesa. Menuju mobilnya.
Aira memperhatikan mobil sang lelaki hingga menghilang. Lalu bergabung kembali bersama para sahabat.
Pesanan Raave datang, kala Film yang mereka tonton telah selesai.
Aira mengulas senyum penuh arti, ketika menerima sekotak besar Pizza. Yang ternyata berisi beberapa Pizza dan makanan lain.
'Mungkin dia pikir, dia juga akan ikut makan, makanya pesan sebanyak ini. Sayangnya, keperluan mendadaknya memaksanya pulang'batin Aira.
Ketiga sahabat itu menikmati pizza dengan gembira. Aira menyimpankan dua loyang Pizza. Juga beberapa makananan lain. Siapa tahu Raave akan datang lagi. Pikirnya. Sudah ia simpan beberapa saja, masih banyak untuk mereka bertiga. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu.
Namun akhirnya gadis itu tak heran, sang CEO tak akan menghabiskan uang hanya dengan memborong Pizza. Bahkan jika membeli Kedainya. Pasti mudah saja baginya. Ia tersenyum. Menikmati setiap potong Pizza keju yang masuk ke mulut.
Film kedua dimulai. Aira, Adnan dan Zii melanjutkan nobar dengan senang.
Sedikit bosan, Aira meraih ponsel, mencoba menghubungi lelaki si pemesan Pizza. Sudah beberapa jam berlalu, sejak Raave pergi.
"Ya, Nona."
"Oh Mr Gio. Raave sibuk?"tanya Aira. Masih menatap Film.
"Oh, Mr Raave. I-iya Nona. Dia sibuk. Jadi dialihkan pada saya"jawab Gio. Tampak terbata dan tegang.
"Saya tutup ya, Nona. Mr Raave harus meeting sebentar lagi. BRAAAKKK.. "tutup Gio.
Samar, terdengar suara barang jatuh. Kemudian seperti seseorang memukul sesuatu. Mendadak, perasaannya tak enak.
Kembali dihubunginya Gio,
"Tuan Gio, apa yang terjadi?"
"Tak ada apa-apa Nona. Mr Raave sedang meeting."
"Aku tahu, Anda bohong Mr Gio. Jadi katakan saja!" Aira menekankan suaranya.
Terdengar suara helaan nafas.
"Anda datang sendiri, Nona. Di Pranaja Tech. Saya tutup" call end
Wait....for the next chap..