"Kenapa kamu menghalangiku malam tadi, Hm?" Raave mengusap-usap tangan Aira.
"Aku tak ingin kamu terluka"jaWab Aira singkat. Ia pandangi Raave. Tersenyum. " Dan please, jangan tanya lagi kenapa? Aku yakin kamu sudah tahu jawabannya."lanjutnya.
Raave mendesah panjang. "Jadi benar?"
"Apanya?"
"You... Fall to me"
"Aku jatuh cinta pada Altan, Bukan padamu,. Hahaha" Aira menggoda Raave, yang memasang wajah suram dan gelap. Tak ada senyum sama sekali. Lelaki itu menjauh, masih dengan menatap Aira. Ia buka jasnya, kemeja. Digulungnya lengan dan membuka dua kancing teratas kemejanya.
Raave mendekat. Rahangnya menegang. Dengan suara berat dan dalam, ia berbisik pada gadis di depannya. "Abaikan dia"
"Lalu"
"Bersamaku!"
Aira melongo. "Bersamamu? Nona Kylie?"tukasnya.
"Tak perlu kamu pikirkan"
"Tak perlu dipikirkan, katamu???! Ya, lalu tahu tahu aku diculik lagi, disekap, dihajar lagi. Lebih kejam lagi, dan aku pulang ke rumah orangtuaku, hanya tinggal nama!"geram Aira. Matanya berkaca-kaca.
Raave membeku. Ditatapnya sang gadis sedih. Ia menunduk, sekilas, mengusap kepala Aira. Turun ke pipinya. Mengusap bulir bening yang mengalir di sana.
"Aku tak akan biarkan itu terjadi" balas Raave, terdengar sedih.
*
Aira kembali pada aktifitasnya, Zii dan Adnan tak tahu, ia sempat di Rumah Sakit selama dua hari. Akibat pukulan balok kayu berkekuatan maksimal, dari seorang pria yang marah.
Ia bersyukur tak menimbulkan luka atau cedera dalam serius, namun memar yang berjejak di punggungnya, entah bisa hilang atau tidak. Agak lebar dan tak akan cantik, jika Ia pakai gaun berpotongan punggung terbuka.
Kenapa jadi memikirkan gaun segala?
Di hari ketiga, Ia pulang, diantar sang CEO sendiri, menggunakan MPV yang sempat rusak akibat kecelakaan. Bukan Raave namanya, jika tak bisa mengembalikannya menjadi seperti baru lagi. Ia begitu sayang pada sang MPV.
Aira istirahat sehari di rumah dan hari berikutnya, Ia sudah bergabung lagi bersama Mr Suri dan para Staff.
Altan masih juga ke rumahnya, walau sepertinya tahu, sang CEO tampan kembali dekat dengan Aira.
Altan calling...
"Ya ,Al"
"Ai, nanti makan siang bareng bisa?"tanya sang Kepala Pemasaran.
"Boleh Al. Jemput ya"balas Aira.
"Oke, tunggu ya"tutup sang lelaki. Call end.
Gadis dengan tinggi 168cm itu, kembali memilah buku-buku lama di rak buku ruangannya. Membersihkannya sebelum masuk box besar. Donasi rutin setiap bulan.
Raave calling...
Aira melirik ponsel di meja. Lalu segera menjawab pangilan.
"Ya"
"Donasi rutin biasanya. Untuk Panti Jompo."tegas Raave. "Diambil Gio setelah makan siang."
"Oke, Raave.. Kamu..."
Call end
'Apa?? Setelah makan siang?? Berarti kusiapkan sekarang saja.'batinnya. Segera keluar dari ruangan, bergegas memberitahu Mr Suri.
"Okee.. Siaapp Mba."jawab sang Head Manager senang. "Diambil kapan?"
"Habis makan siang"
Mr Suri bergerak cepat menyiapkan buku-buku, setelah Aira menginfokan detail pesanan Raave. Gadis itu membantu menata buku dan membungkusnya.
"Tumben ,Mba?"
"Ga tahu,Sir. Biasanya ngambilnya besok gitu. Ya kan?"
Aira menghela nafas, tangannya sibuk memegangi box. Staffnya melapisinya dengan plastik khusus.
Mr Suri melirik jam. "Baru jam sebelas, Mba. Santai"
Aira tersenyum masam.
Tepat jam makan siang, pesanan CEO Pranaja Tech itu siap. Aira bernafas lega. "Nanti diambil Mr Gio, Sir" beritahunya pada Mr Suri.
Sang lelaki mengacungkan jempolnya
Aira kembali ke ruangan. Duduk di sofa sebentar. Mengatur nafas, minum air oksigen. Lalu bersiap siap. Ia rapikan rambutnya dan blus. Kemudian melangkah menuju pintu. Membukanya....
"Mau kemana??" Raave menatap tajam sang gadis.
Gio berdiri di belakangnya. "Marah"ucapnya dalam bahasa bibir. Menunjuk Raave, sambil memejamkan mata, takut.
Raave berjalan maju, Aira melangkah mundur. "Kamu mau kemana, Hm??"
"Makan siang dengan Altan."
"Pesananku sudah siap?"
"Sudah. Tinggal diambil. Tadi katanya setelah ma..."
"Waktunya dimajukan!!"potong Raave. "Altan ada sedikit customer yang ingin melihat lihat Cluster baru. Jadi mungkin, tak jadi makan siang denganmu"lanjut Raave.
Altan calling...
Aira tersentak.
"Ya"
"Maaf Ai, Makan siang ditunda ya. Aku ada customer nih! Ga apa kan?"ujar Altan. Ngos ngosan.
Aira tersenyum miring. "Oke, gak apa Al. Sukses ya. Jaga kesehatan" Aira menatap Raave. Saat mengucapkan 'Jaga kesehatan' dan membuat suaranya selembut mungkin.
"Oke, kamu juga ya Ai"tutup Altan. Call end
Raave tampak sangat muram. Gio menepuk dahi. Lalu membentur-benturkan kepala di pintu yang terbuka.
Aira menyimpan ponselnya. Berbalik. Meletakkan tas di meja. Dan memberitahu Gio bahwa pesanannya ada di sudut ruangan.
Gio segera mengambil sebuah box besar dibantu Staaf khusus, mengangkatnya keluar ruangan.
Sedangkan sang Presdir masih berdiri tegak dengan tangan dilipat di dada, mata berkilat marah dan wajah yang angker.
Aira hanya memandanginya geli. "Kamu tak duduk? Tidak lelah hanya berdiri saja?" Aira membuka pembicaraan.
Raave duduk di sofa, dengan sedikit menghentak. Masih ditatapnya Aira, dalam. Tangannya masih dalam posisi semula.
"Kenapa wajahmu suram begitu?" tanya Aira. Ia berdiri, melangkah, duduk di sebelah Raave. Menyilangkan kaki dengan tubuh menghadap sang lelaki.
Raave sedikit terpana. Entah apa yang membuatnya begitu, Aira hanya berdandan seperti biasanya. Hanya menambahkan lipstick dengan warna agak berani.
Gadis itu membelai wajah Raave. Turun ke lehernya. Mendekat, perlahan.
Raave menahan nafas.
Aira semakin dekat, Lalu berbisik, "Kamu cemburu?". Dipandanginya Raave lekat, dari dekat. Ia melirik pintu ruangan, bernafas lega. Sudah ditutup Gio tadi.
Sang lelaki hanya diam membisu.
Aira meraih tangan Raave, Lalu menciuminya beberapa kali. Setelah itu Ia menjatuhkan diri di pelukan sang CEO. Erat.
Raave terpaku. Sikap sang gadis benar-benar menguapkan amarahnya. Hilang, lenyap. Berganti rasa yang Ia tak bisa artikan dengan jelas. Bisa ia rasakan debar kencang gadis di pelukannya itu. Juga tubuhnya yang sedikit gemetar. Ia mengulas senyum. Wajah muramnya kembali cerah. Suasana hatinya membaik.
Tangan Raave terulur, membalas pelukan sang gadis, yang mungkin saja memang menunggunya. Ia kembali tersenyum lebar.
"I let it fall, to you... My heart"gumam Aira lirih. Semakin mengeratkan pelukannya. Tersenyum, memejamkan mata. Entah Raave mendengarnya atau tidak, Ia tak peduli.
Beberapa saat, Aira langsung menjauh. Melepaskan pelukannya. Berdiri tegak. Menatap sang lelaki yang sepertinya, tak ingin pelukannya dilepaskan begitu saja. Karena ekspresinya kaget, dengan kedua alis tebalnya bertaut tak senang.
"Ini kantor, Sir." Aira kembali ke kursinya. "Jadi?"
Raave berdiri, menghampiri sang gadis dengan bibir membentuk senyum, yang membuat sang CEO semakin mempesona.
'Apakah kamu juga tersenyum begitu pada semua gadis itu, Raave? Atau hanya padaku saja??' harapnya dalam hati. Ia tersenyum kecil sambil menunduk sekilas. Lalu menatapnya lagi.
Senyum itu masih di sana. Tak hilang sedikitpun, malah semakin menawan saja. 'OH somebody please help me..!! I can't breath!'rutuknya dalam hati.
"Eheemmm..!" Raave berdehem. Membuyarkan lamunan Aira.
"Maaf, jadi?" Aira segera bisa menguasai diri, Walau jantung ingin berhenti.
"Have a lunch with me,... Please" ujar Raave dengan suara merdunya.
'Hei, please, siapa yang bisa menolak ajakan lelaki tampan ini??'batinnya lagi. "Jangan memandangku begitu, Raave?"tukas Aira.
Raave tertawa kecil. "Memangnya kenapa?"
Aira berdiri, mendekat lagi. pada sang lelaki. "Membuatku jadi lupa bernafas"bisiknya, lalu mengecup daun telinga Raave sekilas. "Oke. Let's have lunch. Aku sudah lapar!"
Raave tersentak. Ia terpaku beberapa detik. Diusapnya tengkuknya. Bulu kuduknya meremang. Seolah ada aliran listrik kecil mengalir di tubuhnya. Lelaki itu geleng-geleng kepala. Tersenyum lebar, kemudian mengikuti Aira yang sudah sampai di luar ruangan.
Ia raih tangan sang gadis, menggenggamnya, sambil memakai kembali kacamata hitam. Berjalan cepat keluar dari BookShop.
Dalam perjalanan, Gio senyum senyum sendiri. Menatap Raave yang berbincang dengan Aira. Tanpa melepaskan genggaman tangan, tubuhnya yang selalu condong pada gadis itu. Tawanya yang lepas, ekspresinya yang menarik.
"Hei, G. Kamu kenapa, Hm? Kurang bunga tujuh rupa lagi?"tanya Raave.
Aira melongo. "Kurang bunga tujuh rupa??"
Gio semakin tergelak.
"Iya. Dia ini kalau tampak aneh begini biasanya kurang bunga tujuh rupa."jelas Raave menahan tawa.
Aira terkekeh geli. "Mr Gio, saya punya simpanan bunga, tapi hanya lima rupa. Apakah masih bisa?"sambung Aira.
Raave dan Gio terbahak bahak, hingga memegangi perut.
"Bisa, Nona. Tiga rupa pun masih memenuhi syarat. Kopi teh juga ada kan?"
"Ada Sir. Lilin juga? Jajanan pasar? Telur ayam?" Aira nyelonong kemana mana.
"Apa yang kamu bicarakan, Ai? Kamu juga tahu hal semacam itu??"ujar Raave disela tawanya.
Aira tergelak. "Tidak, hanya sedikit. Dulu sekali,. Papa dan Mama sering mendatangi orang-orang pintar semacam itu"cerita sang gadis.
Raave mengangguk. Gio tersenyum. Masih menatap lekat lewat spion, kelakuan Raave yang berbeda saat bersama Aira.
"Ehmm. Nona Kylie... "
"Tak perlu risau. Aku sudah menjelaskan semua pada keluarganya kemarin. Ya minta maaf juga, pada Ayahnya. Dan aku sudah memerintahkan beberapa Staff menjagamu 24jam"jelas Raave.
"Dia pasti kecewa, Raave"
"Siapa?"
"Nona Kylie, Ayahnya"
"Ah biasa saja. Merekalah yang sebenarnya agak memaksaku bertunangan. Aku sudah menolak tapi ya... Itulah akibatnya jika memaksaku" Raave menatap Aira. Membelai pipinya.
"Jadi kamu tak perlu memikirkannya lagi. Staffku siap melaporkan dan membantumu jika ada masalah. Jika Misalnya, Kylie nekat seperti Anne."
Aira mengangguk. "Terima kasih, Raave" Ia tersenyum.
Sang lelaki mengangguk, membalas senyuman Aira.
Mereka tiba di sebuah Resto mewah.
'Kenapa selalu di tempat seperti ini? Bisakah biasa saja?'batin Aira. Ia keluar dari mobil dengan sedikit manyun. Raave agaknya menyadari hal itu.
"Kamu ga akan dianggap Selingkuhanku lagi, tenang saja"ucapnya percaya diri, menggandeng Aira masuk.
Gio menunggu di bagian depan resto. Memesan makanannya sendiri, sedangkan Raave sedikit ke dalam. Dekat dengan taman hijau nan asri. Resto baru. Menawarkan pemandangan outdoor yang memukau. Seolah seperti makan di tengah-tengah hutan yang hijau dan indah.
"Mr Raave.." sambut seorang lelaki, rambutnya memutih sebagian. menunduk hormat. Mempersilahkan sang CEO
"Hm." Raave mengangguk.
'Kenapa lelaki ini, kalau makan siang tidak bisa yang biasa saja?'Batin Aira galau.
Aira duduk di sofa besar yang nyaman, dengan beberapa bantal kecil. Satu-satunya sofa besar di sana. Angin semilir membelai tangannya, Dari samping. Yang merupakan bentangan rerumputan luas, dengan beberapa kolam pasir. Seperti Padang Golf.
Raave menatapnya dari seberang tempat duduk. "Kamu suka?"
Aira hanya tersenyum tipis. Mendadak punggungnya tak nyaman, berangsur berdenyut nyeri.
To Be Continued.....