Altan menyuapkan Onion ring padanya.
"Proyekmu sudah selesai, Al?"tanya Aira. Kembali mengudap sang bawang goreng tepung.
"Sebentar lagi. Kurang finishing."jawabnya. "Kudengar,...oh tak usah kubicarakan. Nanti merusak suasana!" lanjutnya
"Apa?"
"Tidak jadi."
Makan malam datang.
Aira yang memang lapar, tak sabar menyendok si kentang Schotel. Ia suap ke mulutnya dan berbinar. "Enak, Al. Coba deh."
Altan menyendok makanan Aira. Tersenyum. "Aku ga terlalu suka, Ai. Ada susunya. Iya emang enak. Mau nasi gorengku?"
"Boleh"
Saat Aira akan menyendok. Altan melarangnya. "Buka mulutmu, biar kusuapi."
Aira menurut. Mengunyah udang, cumi dan ayam dalam potongan kecil dengan senang.
Ia kembali pada makanannya. Menghabiskannya, juga Sup iga. "Kamu suka iga?"tanya Aira. Ia menawari lelaki di depannya.
"Boleh."jawabnya. Altan menyendok sup beserta sepotong daging iga. Senang. "Enak, Ai. Kalo sini lagi, pesen ini aja"
Aira tertawa kecil. Pun Altan. Mereka melanjutkan Dinner yang menyenangkan. Canda tawa ringan. Altan, lelaki yang tak terlalu romantis. Sedikit kaku sebenarnya. Aira mengimbanginya dengan bersikap sedikit lembut.
Hingga satu jam lebih sedikit. Mereka akhirnya pulang. Altan pulang ke rumahnya, usai mengantar Aira. Hanya berjarak beberapa Blok. Di daerah yang sama.
Gadis itu melirik ponsel. Jam 9tepat. Ia masuk rumah lalu mengunci pintunya. Sudah gelap. Bu Wina pasti sudah tidur. Hanya lampu dapur. Aira mencuci tangan dan muka sebentar di wastafel dekat dapur, lalu naik ke lantai dua, dengan sebotol besar air mineral di tangan.
Ia melangkah santai. Saat akan meraih gagang pintu kamar...
Ia ditarik seseorang. Langsung memeluknya, erat. Gelap. Jadi Ia tak bisa melihat siapa. Namun dari aromanya.... Sandalwood.
"Mr Raave???"gumamnya lirih. Sang lelaki menatapnya dalam. Di Kegelapan, ia masih bisa melihat mata hitam pekat itu. Aira menjauh dengan cepat, membuat si lelaki kaget.
Gadis itu membuka pintu kamar. Masuk. Menyalakan lampu. Diikuti Raave.
"Ada apa, Sir?"tanya Aira. Ia berbalik badan menghadap sang lelaki. Membuka lagi pintu yang tadi ditutup Raave. Membiarkannya terbuka.
Raave hanya menatapnya dalam. Kembali ingin memeluknya, namun Aira mundur perlahan. "Kenapa Anda kesini. Sembunyi di kegelapan seperti itu tadi?"
Sang CEO masih diam. Membeku. Dengan tatapan dalam pada Aira. Wajahnya sedikit kacau. Jambangnya belum dicukur. Dan pakaiannya? Suit lengkap dengan bunga kecil di dada. Sekilas, Aira mencium aroma wine pekat.
"Mr Raave..!!" Aira sedikit berteriak, kala lelaki itu kembali akan merengkuhnya. Ia berjalan menjauh.
Raave menghela nafas. Dengan sekali gerakan cepat, ia tarik sang gadis ke pelukannya. Memeluknya sangat erat. "Aku melarikan diri dari acara pertunanganku sendiri!"kata-katanya seolah hilang. Suaranya serak.
Aira terbelalak. Ia memberontak ingin melepaskan diri, namun kalah dengan tenaga sang lelaki. Jadi sia-sia saja. Malah pelukannya semakin erat.
Gadis itu diam. Airmatanya luruh perlahan. Tangannya tetap tegak di samping tubuh. Tak membalas lelaki yang memeluknya.
Raave yang menyadarinya, perlahan melepaskan Aira.
Gadis itu masih berdiri tegak. Airmatanya ia usap kasar. "Sebaiknya Anda tak di sini. Mr Raave. Jangan permalukan diri Anda sendiri dengan melarikan diri." suaranya bergetar. Menahan sekuat tenaga, bulir bening yang sudah akan jatuh lagi.
Raave menatap Aira dengan pandangan sedih. "Aku....."
"Mr Raave. Bisa Anda tinggalkan kamar saya sekarang.. Jika Anda tak keberatan?"
"Aku keberatan!!"teriak Raave.
Aira menunduk pasrah. Mengusap wajah. Duduk di tepi ranjang. Menenggak obatnya. Kepalanya mulai berputar.
Raave menghampiri. Bersimpuh di depannya. "Bisakah aku....?"
"Tidak!!"potong Aira. "Saya tak mau diculik lagi, dihajar lagi, kritis lagi. Sakit dan semacamnya... !!"lanjutnya. Dengan suara lantang.
"Hei.. Ai.." Raave membelai pipi Aira. Namun gadis itu menyingkirkannya. "Kamu marah padaku?"
"Tidak, Sir. Saya hanya sadar diri. Siapa saya ini. Jadi saya mohon. Anda jangan membuat saya dalam masalah lagi." Aira berucap, semakin lama, kalimatnya semakin sendu. Airmatanya runtuh.
Raave menunduk sedih. Ia berdiri. Berjalan mundur, Hingga ke pintu. Lalu mendongak menatap gadis yang masih duduk di tepi ranjang. "Aku akan menunggu, hingga kamu tak marah padaku."ujarnya pelan. Kemudian menghilang di kegelapan.
Aira semakin terisak. Ia berbaring miring. Memeluk guling. "Kenapa kamu kembali lagi, Raave?? Aku sudah hampir bisa melupakanmu. Bagaimana jika setelah kamu kembali, aku berharap lagi?"gumamnya.
Ia benamkan kepalanya dalam di bantal. Seolah membagi kesedihannya. Menyalurkan perasaan tak terlukiskan, yang tak menyenangkan.
Mendadak, Samar, Aira mendengar keributan. Ia usap wajahnya lalu melihat lewat jendela. Beberapa mobil MPV hitam berhenti di depan rumahnya. Lalu Raave berbincang dengan salah satu pria. Berpakaian formal. Terlihat sedikit tegang.
Aira memutuskan turun. Melihat apa yang terjadi. Ia berlari. Membuka pintu, tercekat. Seorang pria lain membawa sebuah balok kayu. Mengarahkannya pada sang CEO. Raave juga melihatnya.
Dengan cekatan, Ia peluk sang lelaki. Menghalanginya dari terjangan si balok.
DUUUKKK..!!
Gadis itu tersentak. Lagi-lagi punggungnya.. Nyeri luar biasa menghantam. Ia bernafas cepat. Raave memeluknya Dengan wajah tak percaya. Matanya tergenang.
Sementara beberapa mobil lain datang. Dengan Gio yang keluar pertama kali.
Para pria pengendara MPV membubarkan diri, pergi. Terlihat takut dengan orang-orang Raave yang banyak mengepung mereka.
"Aii..??"panggil Raave. Ia menepuk pelan pipi Aira yang memejamkan mata. "AIRAA!!!"teriaknya.
Gio mendekati Raave. "Tuan..?"
Raave dengan cepat membopong sang gadis. Masuk mobil lalu memerintahkan Gio melaju secepatnya. Ke Rumah sakit.
Rumah Sakit
Aira membuka mata. Ia berbaring miring. Mengerjap beberapa saat, silau oleh sinar matahari yang menembus masuk. Wajah Raave yang pertama kali dilihatnya. Lelaki itu tidur, dengan tangannya menggenggam tangan Aira. Pakaiannya masih sama seperti semalam. Suit lengkap dengan bunga yang entah kemana. Lenyap.
"Nona Aira, Anda sudah sadar?" Gio menyapanya, tersenyum senang.
Raave yang sedikit kaget, lalu membuka mata.
Gio mundur.
"Ai.. Kamu sudah bangun?"tanya Raave. Suara merdunya untuk sesaat, membuat Aira berbunga-bunga.
Suara yang telah sekian lama dirinduinya. Gadis itu tersenyum. "Kamu baik saja, kan? Pria-pria itu ingin melukaimu?" Aira menatap Raave sedih.
Raave tersenyum. Menunduk sekilas dan mendongak lagi dengan pipi yang basah. Mata merah dan wajah sedih, paling suram yang pernah Aira lihat.
"Ditanya, malah nangis"celetuk Aira. Mengusap pipi sang lelaki.
CEO Pranaja Tech itu mengusap tangan Aira di pipinya. "Ya. Maaf membuatmu terluka lagi..." suara paraunya mengalun.
Aira hanya membalasnya dengan senyuman.
Tok.. tok.
"Permisiii.." Perawat datang, memeriksa punggungnya. Menyentuh memar gelap di sana.
Aira kaget. Sedikit meringis. Sang perawat mengusapnya lembut. Lalu entah mengoleskan apa, karena beberapa detik kemudian terasa dingin. Mungkin salep penghilang rasa nyeri.
"Mba Aira pusing?"
Aira menggeleng. Tersenyum pada perawat yang tampak manis dengan mata bulatnya.
"Masih nyeri dimana lagi? Selain punggung?"
"Ga ada, kak. Nyerinya di dalam. Ga kelihatan"celetuk Aira.
Si perawat tertawa kecil." Baiklah. Saya tinggal dulu ya. Nanti saya datang lagi mengantar obat"
"Makasih kak"
"Apa yang masih nyeri Ai? Kamu tak bilang pada perawat?"tanya Raave
"Tak kelihatan nyerinya. Soalnya tersembunyi di dalam. Jauh dari permukaan"jawab Aira.
"Biar kuminta Dokter memeriksa" Raave tampak panik. Berdiri, sudah akan bicara pada Gio. Gio terlihat gemas.
"Dokter ga akan bisa nyembuhin."sahut Aira.
"Bilang padaku, di bagian mana nyerinya, paling tidak, biar kuminta Dokter memeriksa."
"Di hati"jawab Aira singkat. "Silahkan, jika Barangkali Dokter bisa menyembuhkan sakit hatiku ini"
Raave tersenyum. Kembali duduk. Geleng-geleng kepala. Membelai pipi Aira. Ekspresinya sedih. "Kalau itu serahkan padaku. Hanya aku yang bisa menyembuhkannya. Benar begitu?"
"Terlalu percaya diri!!"
"Tapi benar kan?" Raave mengerling. Mengusap kepala Aira. Gio ijin keluar.
"Kenapa kamu ke rumahku semalam?"tanya Aira.
Raave mematung, namun lalu bisa menguasai diri. "Karena aku ingin menemuimu."
"Kenapa? Kamu sudah resmi tunangan, kan?"
"Belum. Aku pura pura pingsan. Dan sakit, lalu lari"
"Kenapa? Kasihan Nona Kylie."
Raave membisu.
"Aku sudah menerima ajakan Altan untuk menjadi kekasihnya lagi."ujar Aira. Membuat Raave membelalakkan mata. Emosi.
"Apa???! Kamu bersamanya??!" Raave menatap Aira tak percaya.
"Iya, kenapa?"
"Kamu pernah bilang padaku, kamu tak punya perasaan apa-apa lagi padanya!!"
"Iya memang. Aku hanya ingin menghargainya. Lagipula saat itu aku sudah menonton acara TV, yang memberitakan pertunanganmu dengan Nona Kylie. Jadi..."
Raave menangkup wajah Aira, menatap matanya dalam. "Maaf"
"Kenapa minta maaf? Itu hakmu kan. Aku senang saat bersamamu, Raave. Namun yaa.. Aku sadar diri, jadi ya sudah."lanjut gadis manis itu. "Kamu tak perlu merasa bersalah."
"Kamu senang saat bersamaku?"tanya Raave.
"Ya, kenapa?"
"Apa yang membuatmu senang?"
"Entahlah, senang saja. Mungkin karena kamu tampan. Ups.hehe"
Raave tersenyum. "Hanya karena aku tampan?"
"Tidak kurasa."
"Aira... Kamu... Jatuh cinta padaku?" Raave menatap sang gadis dalam. Mengeratkan genggamannya.
Aira menatap Raave. Tanpa ada ekspresi kaget. Biasa saja. Sebenarnya sudah diduga sebelumnya. Ia bernafas dalam. "Apa jatuh cinta itu dilarang?"
Sang CEO tertawa kecil. "Sama sekali tidak. Aku bertanya, kenapa tak kamu jawab, Hm?"
"Apa jawabanku penting untukmu?"
"Aira, jawab saja"
"Kenapa kamu begitu ingin tahu, Raave?" Aira berusaha mengulur jawaban agar tak perlu jujur, 'Iya, aku jatuh cinta padamu'
"Entahlah, hanya ingin tahu?"
"Apa yang akan kamu lakukan jika sudah tahu, dan tak sesuai harapanmu?"
"Kamu tahu harapanku?"
"Tentu saja, terlihat di wajahmu"
Raave tergelak. "Aku tak akan melakukan apa-apa. Hanya sedih, kecewa. Dan.. Ehmm.. Mungkin bunuh diri.." Raave menggoda Aira.
Aira terbahak. "Aku tak percaya, kamu melakukannya. Seorang Raave yang angkuh bunuh diri, hanya karena itu. Sungguh keajaiban."
"Kamu tak percaya aku bisa melakukannya?"
Aira menggeleng.
Dengan gerakan cepat, sang lelaki kembali mendekatkan wajahnya. Menyatukan bibirnya dengan bibir Aira. Mengecupnya dalam.
Tapi Aira mendorongnya menjauh. Perlahan. Ia tak membalas ciuman Raave.
"Ai..?" Raave heran.
"Terakhir kamu menciumku, lalu kamu menghilang selama beberapa waktu. Aku ini hanya pelampiasanmu??"
"Lagipula, bukankah seharusnya Nona Kylie lah yang berhak atas ciumanmu itu, Mr Raave?"lanjut Aira.
"Aira.. Aku tak bertunangan dengannya..!!!" Raave sedikit berteriak. "Dan satu lagi, kamu bukan pelampiasanku! Tidak, Ai!"
Aira hanya menatap sendu sang lelaki. Merasakan nyeri di punggungnya datang lagi. Perawat belum tiba. Ngilu rasanya. Dan seperti diremas dengan sangat kencang. Ia bergerak pelan. Punggung dan hati sama-sama nyeri. Punggungnya bisa diobati. Hatinya???
Wait for the next..