"Mba Aira, makan dulu yuk."ajak Bu Wina sore itu. Berteriak dari luar pintu. Aira yang pulang dari BookShop, langsung masuk kamar. Dan tak keluar lagi hingga malam.
"Iya Bu. Saya beres beres nih!"jawab Aira. Bu Wina masuk ke kamar pada akhirnya. Melihat Aira masih membongkar koper dan tas.
Ia sampai di Surabaya sudah siang. Karena berangkat dari Semarang pagi. Gadis itu langsung menuju BookShop. Memimpin meeting sebentar, setelah itu Ia istirahat sebentar di ruangannya. Dan setelah sore, Ia pulang. Dengan kondisi lemas.
Koper dan tasnya belum sempat Ia bongkar.
Gadis itu lalu turun, makan, minum obat. Sambil mengecek ponsel. Raave sama sekali tak ada kabarnya. Aira mendesah panjang. Ia memutuskan tak menghubungi sang CEO.
'Barangkali sudah ada seseorang yang baru yang mengisi hari-harinya.'pikirnya. Tersenyum. Dihabiskannya sisa air mineral. Lau kembali ke kamar.
Gadis itu berbaring nyaman. Istirahat. Matanya terpejam begitu saja. Tidur nyenyak. Sungguh hari yang melelahkan.
Esoknya...
Adnan dan Zii ternyata mampir ke rumahnya. Namun karena Aira masih tidur, Mereka hanya menitipkan sesuatu pada Bu Wina. Karena terburu-buru akan ke kantor.
Sekotak Kue Lapis Surabaya dan cemilan favoritnya.
Aira tersenyum, mengetahui isi kotak dari sang sahabat. Ketika akan bangun, pandangannya kabur. Bu Wina tampak samar. Kamarnya seperti bergoyang. Ia beranjak perlahan, namun terhuyung.
Bu Wina menangkapnya, membaringkannya lagi di ranjang. Bulir merah mengalir dari hidung Aira. Sang gadis sedikit membuka mata. "Obat Bu..!"
Bu Wina segera mengambilkan obat dan segelas air. Aira langsung meminumnya sekaligus. Bernafas dalam dan panjang. Dalam hati, Ia membatin, 'sudah berapa hari ya, aku tak bertemu Raave? Ehmm, oh empat hari ini'
Bu Wina meminta Aira tidur saja, menaikkan selimutnya lalu pamit keluar kamar.
'Kamu sama sekali tak menghubungiku, Raave. Baiklah tak apa. Kuanggap kamu sibuk mungkin, atau bersama seeorang yang lain yang lebih bisa membuatmu senang'batinnya sendu.
Ia pejamkan matanya. Tidur, usai mengusap hidung dengan tissue.
Ponselnya berdering. Aira yang tidur tak mendengarnya sama sekali. Hingga beberapa menit baru berhenti. Akan tetapi, beberapa saat kemudian berdering lagi. Membuat Aira membuka mata dengan masih mengantuk.
"Ya"
Diam. Hening. Tak ada yang bersuara di seberang sana. Aira yang tak terlalu sadar, menunggu sambil menutup mata.
"Halo"ucapnya lagi. 'Siapa ini, sebenarnya?'batinnya. Ia benar benar tak melihat siapa yang menghubunginya. Terlalu lama menunggu, ia matikan sambungan, sekaligus menon aktifkan ponsel. Kembali terlelap. Hari masih pagi, namun ia harus tidur. Istirahat total. Agar Kondisinya tak semakin memburuk.
"Mba Aira tidur Mas." samar didengarnya suara Bu Wina. 'Siapa yang datang? Raave?' seketika Aira berbalik. Membuka mata lebar dan tersenyum. Ia bangun. Tapi...
"Altan..?"gumamnya pelan. Kecewa.
"Aira.. Kamu sakit?"tanyanya. Menghampiri sang gadis. Namun Aira beranjak, lalu mengajak Altan keluar. Turun dan mempersilahkannya duduk di sofa ruang TV.
"Kamu berbaring saja tadi. Aku bisa menemanimu."ujar Altan. Menatapnya.
"Tidak, Al. Tidak sopan. Kita di sini saja. Aku bisa berbaring dimana saja."balas Aira, sedikit ketus. 'Raave. Hanya dia yang boleh ada di kamarku, Al. Bukan lelaki lain.'batinnya gusar. Ups. 'Apa yang kupikirkan?'
Aira menyalakan TV, Bu Wina meletakkan minuman dan makanan kecil di meja. Mempersilahkan sang lelaki.
"Ada apa Al?"tanya Aira cuek.
"Tidak, hanya ingin menjengukmu. Kudengar kamu sakit."
"Dengar dari siapa?"
"Bu Salim. Ga sengaja ketemu kemarin. Beliau katanya melihatmu sangat pucat sore itu"terang Altan. Masih saja tatapannya tak beralih.
Lelaki itu meraih tangan Aira. Hati-hati. Aira menoleh, memandangi lelaki yang duduk di sampingnya. Agak jauh sebenarnya. "Badanmu panas. Kamu sudah minum obat kan?"
Aira mengangguk. 'Dia sebenarnya lumayan tampan. Sayangnya...'
Altan membelai pipi Aira. Mendekat, membiarkan lelaki itu menyatukan bibir mereka. Mengecupnya. Gadis itu diam saja, tak membalas. Refleks menjauh. Mendorong perlahan tubuh Altan, juga melepaskan tangannya.
"Maaf, Ai.."
Aira menyandarkan diri di sofa. Bernafas dalam.
"Aku masih menunggumu. Mungkin saja ada kesempatan."lanjut Altan, ikut menyandarkan diri. Menatap TV.
"Untuk apa menungguku?"
"Aku ingin kamu tahu. Aku paham, bagaimana Mr Raave memperlakukanmu. Aku tahu segalanya, Ai. Maaf sebelumnya, kamu masih ingat saat dia makan malam bersama seorang gadis di Resto?"
Aira menatap Altan. Mengangguk.
"Kebetulan aku juga di sana. Bersama temanku. Aku melihat mereka. Dan mengirimkan gambar mereka padamu. lalu aku melihat lagi mereka beberapa hari kemudian. Dinner di resto lain, mungkin hanya berdua saja. Apa yang kamu harapkan, Ai?"ujar Altan tanpa menatap sang gadis. Hanya bicara apa yang ada di hatinya.
Aira tak terkejut. Tak lagi peduli soal Raave yang Dinner bersama perempuan yang sama berulang kali. 'Berarti itu kekasihnya?'batinnya. Ia menghela nafas panjang.
"Ai, I will love you more than that. Kenapa kita tak mencobanya dulu? Kamu tak tergantikan di hatiku."ujar Altan.
"Kamu akan seperti dulu lagi? Mengadakan konferensi pers, dan mengakui Seorang gadis model papan atas sebagai kekasih dan calon istrimu?" Aira menatap tajam Altan.
"Tidak Aira! Aku tak akan mengulangi kesalahan yang sama."Jawab Altan terdengar menyesal. Ditatapnya sang gadis. Meraih tangannya, meletakkannya di dadanya.
Aira dilanda dilema. 'Apakah aku sebenarnya jatuh cinta pada Raave? Tapi dia juga tak terlalu jelas. Dan kini menghilang. Lalu Altan. Lelaki ini terdengar tulus.'batinnya bingung.
"Aku tak akan memaksamu. Dan satu lagi, jika memang di waktu yang akan datang, kamu ingin selesai denganku. Aku akan terima. Kapan saja."janji Altan.
Aira masih tampak berpikir. Benarkah Raave sudah melupakannya? Dimana dia? Sayangnya Ia tak tahu rumahnya.
"Aira..?" Altan menunggu jawabannya.
Aira memandangi Altan. Mengangguk pelan. Akhirnya. Walau sebenarnya hatinya memberontak tak karuan. Sedih. Bagaimana jika Raave tahu?
Altan tersenyum penuh arti. Memeluknya. "Terima kasih Aira. Aku harus kembali ke kantor, Ai. Kutinggal tak apa ya. Nanti pasti aku akan kesini lagi."janjinya. Berdiri, membelai pipi sang gadis kemudian melangkah keluar, sambil melambai pada Aira.
"CEO Pranaja Tech, Raave Pranaja resmi bertunangan dengan putri KIM Hartono, pemilik KIM Industries, Kylie Hartono. Dijadwalkan besok malam, mereka akan saling memasangkan cincin di Ballroom FourSquare Hotel." Siaran berita TV lokal mengabarkan berita terhangat hari ini.
Aira tercekat. Ia mematung. Airmatanya luruh tak karuan. 'Oh apa ini?' Ia diam. Masih menyaksikan TV yang menampilkan Raave dengan seorang gadis cantik. Semampai. Mereka berdiri berdampingan. Sang lelaki menebar senyum pada semua awak media.
Gadis itu mematikan TV seketika. Airmatanya masih terus deras luruh di pipi. Ia berdiri, kemudian naik ke lantai dua. Dengan langkah gontai dan tangan yang berulang kali mengusap muka.
Dihempaskannya tubuh di ranjang. Kemudian Ia lihat lagi kotak persegi panjang yang ia simpan di laci. Ia keluarkan dari sana.
Segera ia bungkus berlapis dengan kertas daur ulang. Lalu menuliskan sesuatu di secarik kertas kecil,
To. Mr Raave Pranaja
'Maaf, kami tak bisa menerima ini. Jadi saya kembalikan saja. Terima kasih Mr Raave.'
Ia sematkan di atas kotak persegi. Berisi sepasang jam tangan hitam nan elegan. Juga aneka voucher. Orangtuanya menyuruh mengembalikannya. Tak sanggup menerima begitu saja. Ia tuliskan alamat kantor sang CEO. Lalu segera meminta kurir langganannya menjemput kiriman. Tak akan lama. Sang kurir yang ternyata sedang ada di kompleksnya, datang dalam hitungan menit. Langsung mengirimkannya.
'Nanti sore pasti sudah tiba di kantor Raave'tebaknya.
Aira kembali berbaring. Memeluk bantal besarnya. Menangis sejadi-jadinya. Dadanya terasa sesak. 'Rasanya seperti ini ya, jika patah hati'batinnya sedih.
Gadis itu menangis tersedu, menumpahkan semua perasaan yang selama ini terpendam. Secara tak langsung, Ia memang jatuh cinta pada sang CEO. Dan kini, inilah yang terjadi.
Tak sadar, kelelahan menangis, ia tertidur begitu saja. Nyenyak. Pulas.
Beberapa jam kemudian, Aira membuka mata. Matahari sudah tinggi. Sinar menyilaukan menembus jendela kamarnya. Ia bangun, beranjak, kemudian menutup sebagian tirainya. Kembali berbaring dengan terhuyung.
Ponselnya berdering. Ia lirik sekilas.
Raave calling...
"Hm" Aira agak serak.
"Kenapa semua pemberianku kamu kembalikan?"
"Kami tak pantas menerimanya, Mr Raave. Jadi saya kembalikan saja. Terima kasih"
"Kamu bicara formal lagi?"
Aira diam. Merasakan kepala yang berputar dan pusing. Dipejamkannya mata. Mengakhiri pembicaraan dengan menekan panel merah.
"Mba Aira?" Bu Wina masuk, membawa makan siang. Kaget. Ia hampiri Nona Mudanya itu. Usai meletakkan nampan di meja.
"Mba Aira mimisan banyak banget."sergah Bu Wina khawatir.
Aira mengusapi hidung, dengan sapu tangan kecil, beranjak. Lari ke kamar mandi. Membersihkannya. Keluar dengan terhuyung. Bu Wina menangkapnya. Membaringkannya lagi di ranjang. Gadis itu berusaha tetap sadar.
"Saya tak tidur lagi, Bu"ujarnya lemas.
Bu Wina mengangguk, menutupi makan siang Aira di meja dekat sofa. Lalu keluar kamar.
Altan calling...
"Ya, Al. Aku mau tidur ya. Badanku lemes banget"jawab Aira. Langsung mengakhiri pembicaraan. Tanpa menunggu jawaban sang lelaki.
'Ya, maaf jika aku mengganggu istirahatmu. Selamat istirahat Dear' Altan mengirim sebuah pesan singkat.
Aira mematikan ponsel, lalu memejamkan mata lagi. Tidur. Membawa setumpuk perasaan tak menyenangkan di hati.
*
Altan menjemput Aira malam itu. Mereka akan Dinner di sebuah Resto dekat kompleks. Kedai sederhana, dengan masakan rumahan. Ia lebih senang seperti ini. Daripada harus di Resto mewah yang memandang penampilan.
"Pesan Apa, Ai?"tanya Altan. Menelisik lembar menu di kedai yang didominasi warna hitam itu. Dengan berbagai macam hiasan Hanging light dan kristal berkilau.
Aira juga menelusuri menu. Bingung. "Ehm, apa yang enak ya? Kamu udah sering kesini kan, Al?"
"Ga juga. Ehm, Nasi goreng Seafoodnya enak. Tapi kalau lagi ga pengin nasi, bisa Potato Schotel dan ayam."
"Yang seger?"
"Sup Iga?"
"Nah ya, itu deh Al. Sama Potato Schotel tadi.
Minumnya apa?"
"Ehmm.. Soda atau Juice? Iced tea?"
"Ice tea."
"Strawberry. Apple, Passion fruit."
"Strawberry deh."
"Aku apa ya?" Altan masih bingung.
Aira tertawa kecil. "Kamu pesan beda menu ya. Jadi nanti bisa saling icip. Hehe"sarannya.
Altan tersenyum. "Oke."
Ia menuju Order Corner dan memesan di sana. Kembali dengan membawa Onion Ring yang tadi sudah lebih dulu dipesan Altan.
Aira sedikit kaget. Onion Ring??
Makanan yang mengingatkannya kala makan siang bersama sang CEO. Hatinya mencelos.
To Be Continued...