Tuan dan Nyonya Harsena sedikit melongo. Baru lima tahun anak gadis mereka merantau dan membangun karirnya sendiri di Kota lain. Sudah membeli rumah dan mobil. Memiliki BookShop yang Bercabang di beberapa daerah.
Sang Papa menatap sekilas kunci mobil Aira. "Nak, masukkan mobilmu ke halaman."
"Mobil Papa?"
"Mobil Papa di dalam, sayang."
Aira mengangguk. Perlahan memarkir mobil dengan lihai di depan garasi yang tertutup.
Sang Papa dan Mama kembali dibuat terkejut. Hingga putrinya sudah keluar dari mobil, mereka masih terlihat kagum. "Sayang, ini benar milikmu sendiri?"tanya Papanya.
Aira manyun. "Papa Pikir, aku menyewanya?"
"Bukan begitu sayang. Hanya saja ini...
"Ya, aku beli second, Pa. Tak sanggup beli yang gress. Tapi ini jualannya temanku. Jadi dipilihkan yang bagus." Aira mengelus SUV hitam mengkilap produksi Benua Eropa itu. Juga logo lingkaran biru putih hitam di atasnya.
Tuan dan Nyonya Harsena mengangguk takjub. Merangkul putri mereka masuk rumah lagi.
"Tell us about your Story, nice girl!"ujar sang Ibu.
"Kamu pulang ga pernah bawa mobil. Biasanya naik Travel atau Bus. Bagaimana kami tak heran, Nak?"
"Maaf, Pa Ma. Aku sudah punya Bebe sebenarnya waktu itu, tapi ga berani nyetir jauh kesini"aku Aira.
"Bebe?"
Aira mengangguk. Menunjuk mobil hitamnya. "Nama mobilku. Hehehe"
Papa dan Mamanya tergelak. Bahkan mobilpun punya nama.
Gadis itu membongkar OLeh-oleh di paperbag. Sementara Bu Wina dan Bu Weni, asisten orangtuanya, sudah di dalam dari tadi.
"Aku bawa oleh-oleh buat Mama sama Papa." Ia keluarkan beberapa bungkus Almond Crispy. Sang Mama ikut membongkar. Sedangkan Ayahnya masih menatap putrinya kagum.
"Ini apa sayang?" Papanya bingung dengan bungkusan panjang berwarna coklat.
"Itu Bandeng Asap, Pa. Kalau di sini kan Bandeng Presto, di sana ada Bandeng Asap."
Sang Ayah mengangguk.
lbunya mengeluarkan sebuah kotak bergambar kue yang tampaknya lezat. "Sayang, Banyak sekali bawaannmu. Uangmu ditabung saja."
"Ma, ga kok. Itu bukan Aira yang beli."balas sang gadis.
"Lalu? Oh kekasihmu Nak? Kamu sudah memiliki kekasih, sayang?"
"Apaaa??!!" Ayahnya berteriak tanpa sadar.
Ibunya sampai kaget, hampir menjatuhkan kotak Cake Mentega yang dibelikan Raave. Lelaki itu memaksa membawakan oleh-oleh lebih banyak, namun Aira menolak dan pura-pura ngambek sedikit. Ia tak ingin berhutang budi apa apa.
Alhasil hanya Cake mentega yang lolos.
"Kamu sudah punya kekasih?"tanya Tuan Harsena, muram. Khawatir lebih tepatnya.
"Ga, Pa. Ga gitu. Mama ini ah. Aku jadi dicemberutin Papa. Itu temenku yang beliin. Kalau lainnya ya aku."jawab Aira.
Sang Papa seolah sedikit keberatan jika Gadis semuda putrinya sudah memiliki kekasih. Ia ingin Aira fokus untuk BookShop. Karena jika sudah punya seorang lelaki di hatinya. Gadis itu akan goyah dan tak fokus lagi. Ayahnya tahu benar sifat sang putri.
Aira bernafas dalam. Untung saja tak mengajak Raave. Tapi sebenarnya ia juga tak berniat mengajak lelaki itu.
Keluarga kecil itu membongkar bawaan Aira. Ia membelikan orangtuanya sepasang baju Batik khas Surabaya. Ada juga kue Spikoe favorit sang Mama.
"Nak. Kamu istirahat dulu saja. Habis nyetir jauh. Capek. Biar Mama dan Bu Wina yang memberesi semua ini. Mama sudah bersihkan kamarmu"ujar Mamanya. Membelai pipi Aira.
Ayahnya mengangguk setuju. "Iya, Nak. Istirahatlah"
Aira tersenyum, kemudian membawa kopernya menuju ke kamar di belakangnya.
Ia segera menghempaskan diri di Bed, usai menutup pintu. Kamarnya tak berubah dari terakhir ditempatinya beberapa waktu lalu. Bed yang sama. Aira tak menggunakan ranjang. Hanya bed yang langsung diletakkan di lantai. Hiasan kamarnya pun masih tertata rapi di tempat yang sama. Karpet bulu favoritnya. Tirai kristal.
Bulir merah luruh dari hidungnya. "Ups" Ia usap dengan tissue di meja nakas. Lalu minum obat. Menghabiskan air oksigen yang dibawanya, kemudian memejamkan mata. Tubuhnya berangsur lemas. "Jangan kambuh, please..!!"lirihnya. Gelap.
Aira membuka mata. Lampu kamar sudah menyala. Pendingin ruangan juga menyala. Ada secarik kertas di sebelahnya. "Mbak Aira. Saya tadi bilang sama Bapak Ibu, Mba Aira kecapean. Pusing. Mba Aira tidur aja. Kirim pesan kalau mau makan atau apa ya"
Asistennya yang baik hati. Merahasiakannya yang tadi sempat pingsan. Mimisan.
Raave calling..
"Are you okay?"
Suara khawatir Raave langsung menyapa telinganya.
"Ya, kenapa Raave?" Aira bingung. Darimana lelaki ini tahu, dia tidak baik-baik saja?
"Tak apa-apa. Perasaanku tak enak. Sudah makan?"
"Sudah sedikit tadi"
"Boleh aku bicara pada orangtuamu?"
Aira terbelalak. "Mau apa???!!!"
"Tidak. Hanya ingin berkena..."
Call end
Ia tulis pesan singkat, untuk Raave.
'Tidak perlu Raave. Untuk apa kamu ingin berkenalan dengan orangtuaku? Percayalah, aku baik-baik saja. Terima kasih. Just message'
Balasan langsung datang.
'Kenapa tidak boleh? Hanya ingin bersilaturahmi dan mengenalmu lebih jauh.'
'Karena Papaku galak. Kalau ia tahu aku dekat denganmu, ia akan banyak pikiran macam macam, lalu sakit. Kumohon.'
'Begitu. Aku tak akan macam-macam denganmu.'
'Please..!!'
'Oke.'
"Aira..?? Nak, kamu sudah bangun sayang. Tadi katanya pusing? Sudah baikan?" Ibunya sedikit berteriak dari luar pintu.
Aira berdiri. Meletakkan ponsel di saku celana. Membuka pintu. "Ya, agak pusing tadi , Ma."jawab Aira.
Nyonya Harsena meraba pipinya. Hangat. "Apa ini?"tanyanya, sedikit membelalakkan mata. Melihat bekas kemerahan di hidung putrinya.
"Oh tadi gatal. Tak garuk malah kemerahan gini, Ma."bohongnya.
Sang Ibu tersenyum. "Kamu mau makan malam bersama kami?"ajaknya.
Aira mengangguk. Tersenyum. Lalu menggandeng ibunya ke ruang makan. Gadis itu berbelok ke dapur. Mencari Bu Wina. Yang ternyata sedang membuat teh. "Mba, udah baikan?"lirihnya. Aira mengangguk. Mencuci muka dan tangan di wastafel. Lalu duduk di ruang makan.
"Aira. Ayah ingin tanya sesuatu? Tapi jawab jujur" Papanya tampak muram. Perasaannya tak bagus.
"Tentu Dad. Apa itu?" Aira mengambil nasi dan lauk. Lalu menuangkan air di gelasnya.
Sang Ayah menatapnya lekat. Ibunya sedikit menunduk dan mengambilkan Aira lauk lagi. Terlihat takut.
Gadis itu masih bingung. Suasana mendadak tegang. Fillet ikan goreng kesukaannya seolah tak menarik lagi. Juga sup jagung dan lainnya.
"Siapa Raave Pranaja?" suara sang Ayah yang sedikit ketus membuyarkan lamunan.
Aira terkesiap. Jantungnya berdbar kencang, takut sang Ayah marah. Tak berani menatap lelaki yang menjadi panutannya itu.
"Dia hanya teman, Dad." Aira berusaha tenang. Mulai menyuapkan nasi ke mulut.
"Kenapa baik hati sekali memberi ini, di dalam kotak cake?? Hanya teman?"lanjut Ayahnya. Mendorong sebuah kotak Tak terlalu panjang, ke depan Aira.
Sesaat gadis itu memandangi si kotak warna Silver. Menebak isinya. Namun tak tertebak. Hingga Ayahnya semuram ini.
Ia beranikan diri membukanya. Nafasnya seolah berhenti.
Jam tangan mewah. Sepasang. Juga Voucher menginap di Hotel Bintang Lima di Semarang, voucher belanja di salah satu Mall besar. Dan Voucher makan di Resto terkenal. 'Oh GOD. Raaave.!!!'gerutunya.
"Temanmu baik sekali Aira. Menghadiahi kami, barang mahal semacam ini. Jangan jangan mobil itu juga darinya???!" Tuan Harsena semakin muram, namun tak marah.
Aira segera mendongak. "Tidak Dad!! Mobil itu kubeli dengan hasil jerih payahku sendiri. Apa Dad tahu, Aira rela hanya makan sekali sehari dulu, saat Aira mengumpulkan uang untuk membelinya.!!"balas Aira, sedikit kencang. Matanya berkaca-kaca.
"Aira. Ayah paham. Kamu seorang gadis. Tentu saja banyak lelaki suka padamu. Kamu cerdas, di usia muda sudah punya bisnis. Ayah yakin, putri Ayah banyak yang naksir."ujar Tuan Harsena, wajahnya sudah sedikit cerah.
"Dia. Lelaki ini, Raave Pranaja. Pasti salah satunya. Sekaya apa dia, hingga menghadiahkan Jam tangan couple ini untuk kami? Ayah tahu sayang, harga jam ini, bahkan gaji Ayah seumur hidup pun tak akan sanggup menandinginya. Dan dia berikan begitu saja untuk kami. Juga voucher ini." sang Ayah berkata lebih lembut.
"Dia seorang CEO"
Tuan dan Nyonya Harsena tersenyum. Kaget. "CEO? Oh Nak. Benarkah itu?"
"Oh please Dad. Dia hanya teman. Just my friend. Dia customer BookShop awalnya. Lalu jadi dekat denganku."
" Ternyata kamu sudah dewasa, Nak. Sebentar lagi juga akan ada lelaki, yang akan mengambilmu dari kami, sayang" balas Tuan Harsena. Mengusap mata. Pun sang istri.
Aira beranjak. Memeluk sang Ayah. "Aku kan masih bisa kesini Dad. Jika kangen dengan Mom and Dad." suaranya gemetar. Sang Ibu juga bergabung. Mereka bertiga berpelukan erat. "Aku sayang Mom And Dad selamanya"
"Kami juga Nak, sayang padamu. Sangat sayang. Jadi.. Kapan.. Kamu akan mengenalkannya pada ka..."
Ponselnya berdering. Raave calling...
"Ya."
"Hai. Kamu sudah makan?"
"Aira sedang makan bersama kami, Nak Raave." suara sang Ayah yang berat, membuat lelaki di seberang sana terdiam.
"Oh. Iya, Sir. Maaf ini Tuan Harsena Lou, Ayah Aira?"tanya Raave. Agak gemetar.
Aira mengaktifkan loud speaker.
"Ya, saya Harsena. Ayah Aira. Ini Raave Pranaja, teman Aira?"
"Benar, Tuan Harsena."
"Terima kasih atas hadiahmu, Nak Raave. Apa kau tidak salah kirim?"
"Sama sekali tidak, Sir. Maaf tadinya saya ingin ikut, namun banyak pekerjaan penting yang tak bisa saya tinggal." ujar Raave.
Aira memutar bola mata.
"Ya, sejujurnya kami ingin bertemu denganmu. Om tak tahu harus membalasmu dengan apa, untuk hadiah sangat mahal ini"
"Santai saja, Sir. Jangan dipikirkan. Semoga Anda berdua suka"
Tuan Harsena tertawa kecil. "Jangan begitu, Nak. Nanti jika kau datang kesini, Kami akan menyambutmu dengan spesial."
"Tidak perlu begitu, Tuan Harsena. Santai saja."
"Ini Aira, Nak."
"Raave?"
"Fiiuuhhh... Ya. Kamu tak bilang ada Ayahmu yang mau bicara, Hm?"ujar Raave, masih sedikit gemetar.
"You shivering, Sir?"
"NOO!! Just nervous!!"
"Hei. Kayak mau bicara sama siapa aja. Ini orangtuaku. Bukan siapa-siapamu juga kan?"
"Heiii..!!"
"Hei apa??! Ya udah aku makan dulu ya Raave" suara Aira dibuat sedikit manja.
Call end.
"Dia formal ya. Pasti orangnya sedikit angkuh"komentar Ayah Aira.
"Bukan sedikit tapi buanyakkk.."balas Aira.
Orangtuanya tergelak. Memandangi putri mereka. "Kamu suka padanya?"tanya sang Ibu.
"Tidak, hanya teman."jawab Aira. Ia menghabiskan sisa fillet ikan tepungnya lalu menyeruput sup dengan wajah puas. Minum segelas air. Kemudian beranjak membawa priring kotor ke bak cuci. Mencucinya.
Tes.. Tes.. Bulir merah itu luruh lagi, di tangannya. Aira panik. Segera ia usap dengan air.
Bu Wina yang datang, segera membantu Aira. Tapi darah terus luruh. Terpaksa Aira berlari dari sana, menuju kamar. Ayah dan Ibunya heran.
"Ai ada apa nak?"
"Biasa Ma, bulanan!!"teriaknya. Bohong. Aira duduk di tepi ranjang. Mengusap darah yang terus keluar, sambil menutup pintu. Ia minum lagi obatnya. Lalu berbaring. Tubuhnya perlahan lemas.
Continued