"Maaf banget ya Ai, aku baru kenal sama Andra. Ga begitu paham sifatnya." Adnan ke rumah Aira. Di Hari berikutnya, gadis itu istirahat sebentar, usai Online meet dengan Mr Suri. Gara-gara itu, mereka tak jadi membeli oleh-oleh bersama. Ya, mungkin lain waktu aaat liburan lagi kesana.
Aira hanya mengangguk, dan tersenyum.
"Dia meminta nomor ponselmu, tapi tak kuberi tahu. Dia ingin minta maaf padamu, Ai."
"Lewat kamu saja, jangan beritahu apa-apa soal aku. Dia terlalu agresif, Nan. Menakutkan."sahut Aira.
Adnan mengangguk, menatap sedih sang sahabat. "Kamu jadi ke rumah PapaMama hari ini?"
"Ya, aku sudah janji pada mereka. Mungkin agak siang nanti. Aku mau istirahat dulu."ujar Aira.
"Oke, aku pulang saja. Kamu hati-hati nanti. Salam buat PapaMama ya"pamit Adnan. Segera berdiri. Melangkah keluar dari rumah Aira, usai mengusap lengan gadis itu sekilas.
"Ya, kamu juga ati-ati"balas Aira.
Setelah Adnan pergi. Aira kembali berbaring di sofa, sambil menonton TV. Bu Wina ke pasar. Jadi dia hanya sendirian.
Raave calling...
"Halo, Raave"
"Hm, kamu di rumah?"
"Ya"
"Jadi ke rumah PapaMama?"
"Jadi, nanti agak siang mungkin."
"Biar Luke mengantarmu"
"Tidak usah. Aku mau bawa mobil sendiri. Aku akan menginap di sana"
"Menginap? Berapa hari?"
"Entah, mungkin dua tiga hari. Kenapa?"
"Tidak kenapa-kenapa"
"Baiklah, aku ingin tidur sebentar. Ku tutup ya. Have a nice day, Raave"tutup Aira.
Call end
Aira memutus sambungan, tanpa menunggu jawaban sang lelaki.
Ketika Bu Wina datang, Aira tertidur pulas di sofa. Tv masih menyala. Obat sang Nona berbaris rapi di atas meja. Asistennya itu tersenyum. Ia matikan TV kemudian menaikkan selimut si Nona. Merapikan obatnya juga.
Beberapa jam kemudian Aira terbangun. Matahari sudah lumayan tinggi. Bu wina sudah membawa turun semua tas dan kopernya. Bu Wina juga akan ikut. Sekalian bertemu saudaranya yang bekerja pada Tuan dan Nyonya Harsena, orangtua Aira.
Semua siap. Beberapa tas sudah di dalam mobil. "Maem dulu yuk." Bu Wina mengusap pipi Aira.
Sang gadis mengangguk tersenyum. Mereka makan bersama. Lalu Aira minum obat. "Bu, jangan bilang kalau saya sakit, sama PapaMama ya"pesan Aira. Ia bersiap. Memakai sweater dan sandal yang nyaman.
"Tapi kenapa, Mba?"
"Pokoknya jangan. Nanti mereka khawatir. Papa kalau terlalu banyak pikiran, lambungnya kambuh."jelasnya lagi.
Bu Wina mengangguk paham. Ia memberesi bekas makan, lalu membersihkan dapur sebentar. Memastikan semua aman. Kemudian mengikuti Aira keluar.
"Obat sudah, ponsel, notebook. Oke!" Ia mengingat lagi. Dinyalakannya mesin. Bu Wina duduk di sampingnya, usai mengunci pintu.
"Berangkat, Bu!!"teriak Aira riang.
Mom calling...
"Ya, Ma"
"Hai sayang. Sudah jalan?"
"Ya, ini baru mau jalan. Tunggu ya Ma"
"Oh ok ok. Hati-hati sayang. Mama tutup" call end
Aira melaju santai. Ia benahi lagi posisi handsfreenya. Menatap lurus dan fokus. Mendengarkan lagu favoritnya. Bu Wina mengajaknya berbincang ringan. Tentang rencana-rencana jika sudah tiba di Semarang, tempat orangtua Aira.
Sebenarnya Aira ingin memakai sopir saja, namun akhirnya ia urungkan niatnya itu. Jika lelah dan ngantuk, ia bisa istirahat nanti. Sekarang banyak Rest Area yang tersedia di jalan jalan besar.
Raave calling...
"Ya"
"Kamu sudah berangkat? Tak memberitahuku?"
"Aku perjalanan, maaf. Aku tak ingin mengganggumu, Raave."
"Mengganggu bagaimana?"
"Kamu sibuk kan, katamu hari ini banyak meeting, pertemuan. Launching. Jadi ya.."
"Kamu tidak menggangguku!! Sampai mana?"
"Kenapa? Aku menuju perbatasan. Baiklah. Teruskan pekerjaanmu. Aku non aktifkan ponselku. Sampai jumpa Raave"tutup Aira. Call end.
Aira bernafas lega. Ia lepas handsfree, lalu memasukkannya ke laci dashboard. Melanjutkan perjalanan yang masih beberapa jam lagi.
Bu Wina terus mengajak Aira ngobrol, sesekali bercanda. Mereka tertawa. "Untung Bu Wina ikut, bisa jadi teman anti ngantuk!"celetuk Aira. Ia mempercepat lajunya. Karena mulai melewati jalan tol.
"Mba, Mas Raave itu suka sama Mba Aira kan?"tanya Bu Wina.
Aira tersenyum. "Ga tahu saya Bu. Saya ga ambil pusing. Mau dia suka itu hak dia. Kami dekat ya sudah. Saya hanya jalani saja."jawabnya.
"Begitu ya. Ga nembak gitu Mba?"
Aira menoleh, "Bu Wina pernah ditembak lelaki ya pasti? Hahahaha.."
"Hahahahah. Ya kan istilahnya dulu gitu. Nembak. Hehe. Kamu mau ga jadi pacarku?" Bu Wina tersenyum. Menirukan gaya lelaki, yang meminta seorang gadis, menjadi kekasihnya.
"Ya, sekarang juga masih itu istilahnya, Bu. Ga, dia ga nembak saya. Ah terserah. Pusing amat."balas Aira.
"Ehm mengambang dong kalo gitu Mba."
Aira tersenyum. "Ternyata Bu Wina mengerti juga ya."
"Saya pernah muda, Nona manis. Lalu Mba Aira diam saja, ga gimana gimana?"
"Hahahahaa.. Saya ga ingin terlalu pusing Bu. Nanti malah ambruk kalau stress. Bu Wina juga yang kerepotan."
"Iya betul. Saya ga kerepotan Mba. Ga masalah. Hanya kasihan sama MBa Aira yang ambruk terus"
"Maka dari itu, Bu. Rileks aja. Santai. Jika memang dia mau sama saya, oke. Jika ketemu yang lebih cantik, berarti bukan jodoh saya. Gitu aja, Bu. Gampang" Aira mengerling.
"Ya, betull sekali!!" Asistennya itu mengacungkan jempol.
Dua jam perjalanan, Aira berhenti di salah satu Rest Area. Mengistirahatkan tubuh. Mengajak Bu Wina makan di Food Court yang tersedia.
Aira tidur sebentar di dalam mobil usai minum obat. Begitu Juga sang asisten.
PRANAJA Office
"Ada apa Mr Raave?"tanya Gio. Raave melonggarkan dasi dengan kasar, sambil mengumpat lirih. Menghempaskan diri di sofanya. Lalu mengambil wine, namun saat akan menuangkannya ke gelas. Raave berhenti. Ia tutup lagi sumbat botol wine. Beralih ke lemari es mini, mengambil air oksigen dingin. Meneguknya dengan semangat.
"Tidak apa apa, G. Hanya sedikit pusing"jawab Raave cuek. Wajahnya suram. Gelap. Sungguh tak bersinar seperti biasanya.
Raave menyandarkan kepala, memejamkan mata. Berusaha tenang. Beberapa saat lagi, Ia masih harus menghadiri pertemuan penting di luar Pranaja Office. Launching Tekhnologi ciptaan terbarunya.
Tok..tok..
"Hm"
"Permisi, Mr Raave. Ada kiriman untuk Anda." salah satu Staffnya masuk. Membawa kotak berukuran Besar. Berwarna navy.
"Apa ini?"tanya Raave. Bingung. Memperhatikan kotak yang terlihat polos saja.
" Katanya untuk Mr Raave. Pengirimnya ada di kartu dalam kotak. Permisi" sang Staff undur diri. Menunduk hormat.
Raave membuka kotak. Ada kotak lagi. Berwarna lebih muda. Ia buka dengan sedikit tak sabar. Sejurus kemudian, Senyumnya mengembang sempurna.
'Hai.. Selamat bekerja. Semangatt..!! Dari gadis muda selingkuhanmu. Ups. Bercanda Boss!' tertulis di sebuah note kecil. Sukses membuat suasana hati Raave membaik.
Cake Mentega ukuran medium,dengan toping cokelat putih, keju. Juga dua Rice Bowl jumbo dengan Chicken katsu, udang bakar dan tumis jagung.
Raave langsung melahap cake. Mengajak Gio juga. Rice bowl Ia suruh Gio simpan di penghangat di pantry kantor. Akan mereka makan usai pertemuan singkat sebentar lagi.
Hanya satu jam pertemuan singkat itu. Raave hanya memotong pita, tanda resmi diluncurkannya sebuah Robot Assistant buatannya. Kemudian berbincang sebentar dengan tamu undangan.
Sang CEO setengah berlari, keluar dari Ballroom Four Square Hotel. Tempat dilangsungkannya Launching. Ia sudah menyerahkannya pada para Direksi. Jadi tak perlu juga berlama-lama di sana. Hanya hadir untuk formalitas.
Ia Memerintahkan Gio melaju kencang. Dan Langsung masuk ke ruangannya, begitu sampai di kantor. Sementara Gio mengambil Rice bowl dari microwave di pantry.
"Silahkan Tuan mudaku yang tampan. Anda sudah tidak sabar kan, ingin menikmati ini??" goda Gio.
Raave tersenyum lebar. Mereka menikmati Rice Bowl dengan gembira.
"G.."
"Ya, Sir?"
"Kau yang menulis kata-kata itu di agendaku?"tanya Raave. Menikmati makanan dengan mata berbinar.
Gio tersenyum. Mengangguk. Menandaskan makanan hingga butir nasi tak tersisa sama sekali.
"What's that mean?"
"Saya rasa Anda bisa memahaminya sendiri, Tuan. Tak perlu saya jelaskan." Gio menatap Raave dalam.
Sang Presdir menyesap air oksigennya lagi. Melanjutkan sisa Cake mentega. Ia mengambilnya bersamaan dengan air oksigen. "Aku sudah paham G. Hanya ingin bertanya saja. Siapa tahu, arti yang kau maksudkan berbeda."
"Tidak beda, Sir. Sama saja"
"Hm."
"Maaf, Sir. Bukan maksud mencampuri perasaan Anda."
"Ehm..tak masalah G. Aku santai. Terima kasih sudah kau ingatkan"
"Ingatkan?"
Raave mengangguk. "Fall in love is more than complicated things, especially with someone that we didn't expect before"
Gio tersenyum malu. Menunduk sekilas.
Raave menepuk pundaknya. Menormalkan ekspresi.
Mobil Aira
"Bu.. Saya agak kenceng ya. Biar cepet sampai" Aira menoleh pada asistennya. Yang langsung diangguki disertai seulas senyum.
Aira melaju kencang. Lagunya berganti. Lebih Up beat. Agar ia tak lemas dan ngantuk. Lebih semangat. Perjalanan 4jam dari Kota Pahlawan menuju Kota Lumpia. Ia sudah tiga jam di jalan. Tinggal sejam lagi. Bersyukur perjalanannya tak berkendala apa apa.
Oleh-oleh yang disiapkannya untuk kedua orang tercinta, telah tertata rapi bersama barang bawaannya yang lain. Aira sedikit menggoyangkan tubuh. Mengikuti alunan lagu. Ekspresi senangnya karena sebentar lagi bertemu Ayah dan Bunda.
Gadis itu semakin kencang bernyanyi menirukan sang Penyanyi. Dengan Bu Wina sebagai Backing Vocal. Mereka sudah tiba di Kota Atlas. Beberapa menit lagi sampai.
Rumah Ayah Ibunya berada di Semarang Utara dekat Stasiun. Agak sedikit masuk namun tak terlalu dalam. Aira membelokkan kemudi. Melaju perlahan, karena banyak polisi tidur.
Kemudian berhenti di depan rumah bergaya Jawa klasik. Pintu dan jendelanya bernuansa bak rumah-rumah kuno jaman Kerajaan. Ayah dan Ibunya mempertahankan desain asli rumah, saat pertama kali ditempati.
Halamannya asri. Penuh tanaman dan pot bunga. Sebagian besar mawar dan melati. Kolam ikan kecil dengan Water Fountain mini.
Aira turun. Bu Wina menurunkan bawaan. Gerbang rumahnya terbuka. Namun pintu depan tertutup. Kawasan rumah orangtuanya ini memang tertutup antar tetangga. Hanya kanan kiri yang dekat saja.
Gadis itu mengunci mobil lewat panel di ponselnya. Kemudian masuk mengendap endap. Menuju pintu. Mengetuk.
"Permisiii... Kiriman paket!!"teriaknya agak lantang. Dengan suara yang dibuat-buat. Terdengar suara langkah kaki berlari. Entah siapa ini. Tapi mendengar langkahnya bukan Ayah atau Ibunya.
Klekk.. Pintu terbuka. "Mba Airaaaa..!!! Mbak Winaaa..!!" teriak Bu Weni kencang. Hampir menangis nampaknya. Aira memeluknya sekilas. Juga Bu Wina.
Ayah dan Ibunya berlari mendekat. "Sayang..!!" Sang ibu menghambur memeluk Aira. Pun Tuan Harsena, Ayahnya.
Mereka semua masuk. Bu Wina mencium tangan Orangtua Aira. "Lho sama Mba Wina, sayang?"tanya Papanya.
"Iya Dad, teman ngobrol, biar ga ngantuk di perjalanan."
Orangtuanya terbelalak. "Kamu bawa mobil sendiri???!!"teriak mereka bersama.
Continued...