"Kamu pernah??"tanya Raave, tanpa beralih dari mata gadis di depannya.
"Tentu saja"jawab Aira misterius. Memainkan ponsel. Membaca pesan dari Zii.
Raave tersenyum, menunduk sekilas.
Makanan penutup mereka datang.
Raave tidak terlalu semangat menyantap Mango Pudingnya. Lebih senang menatap Aira, yang sedikit demi sedikit menyendok Vanilla & Berries Ice cream. Gadis itu mendongak sedikit.
"Kamu tak makan pudingmu?"tanya Aira heran. Berhenti menyendok ice cream.
Raave menggeleng. Mendorong gelas puding ke depan sang gadis. "For you"
Aira semakin menatap heran. Kemudian Ia menyendok ice cream dan menyuapkannya pada Raave. "Open your mouth, my Majesty"
Raave tertawa kecil. Membuka mulutnya. Merasakan sesendok penuh ice cream meleleh manis di lidah.
Aira menyendok puding juga, menjadikannya satu dengan ice cream. Lalu menyuapi Raave lagi.
Lelaki itu menurut, apapun perkataan Aira. "Hm.. It's good" komentarnya. Senang dengan perpaduan puding mangga dan ice cream Berri. Jadilah puding dan ice cream habis oleh mereka berdua.
Raave juga memesan Onion Ring, Chicken Spicy Bites.
"Raave, kamu pesan banyak sekali." Aira seolah tak sanggup lagi dengan makanan ringan di hadapannya.
"Kamu harus banyak makan, untuk pemulihan"jawab lelaki itu, mengambil Chicken Bites dan menyuapkannya ke mulut Aira. "Hm, habiskan. Aku sudah kenyang!"
"Heii..!!"
"Habiskan..!!" Raave sedikit mendelik.
Aira mendengus. Ia mencomot Onion Ring dengan enggan. Namun sejurus kemudian matanya berbinar misterius. Ia gigit Onion ring, lalu berdiri, duduk di samping Raave. Memajukan mulutnya. Sambil bergumam tak jelas.
"Aira?" Raave bingung, sebenarnya mengerti, tapi terlalu malu.
Aira terus bersuara tak jelas. Raave terpaksa menurut. Menggigit Onion ring di mulut sang gadis. Namun tak habis. Hanya segigit kecil.
Gadis itu melihat kiri dan kanan. Sepi, para pengunjung sudah pulang. Hanya ada satu dua orang, di sudut. Jauh dari tempat mereka.
Ia mendekat. Mendorong Onion ring ke mulut sang lelaki, lalu mengecup bibirnya sekilas.
Raave yang kaget, mematung. Ia segera menengok kanan kiri.
"Tenang saja. Aku sudah cek tadi."sahut Aira, santai.
Raave diam. Menatap dalam gadis di depannya. Tak protes, tak marah, malah senyumnya terulas begitu cerah. Aira tak melihatnya, karena gadis itu sibuk menghabiskan si Onion ring dan Chicken bites yang pedas. Bibirnya yang sudah kemerahan, semakin merona. Membuat Raave hilang fokus.
'Sialan!! Kenapa tadi aku pesan ayam pedas segala!'umpatnya dalam hati. Tergoda oleh bibir merona gadis di hadapannya. Ia tetap berekspresi biasa. Tersenyum dan memperhatikan Aira menandaskan semua makanan di meja.
Gadis itu juga menghabiskan air mineral. Sisa minum obat sebelumnya.
"Kita pulang?" Raave bersedekap.
"Yes. Please. Oh aku kekenyangan."Celetuk gadis itu, menepuk pelan perutnya. "By the way. Terima kasih ya Raave"
"You are welcome" Raave tersenyum, berdiri, mengkode Aira untuk berdiri juga. Mereka berjalan cepat, keluar dari Resto. Raave menyamai langkah sang gadis. Beberapa orang menatap ke arah mereka.
Pria tampan, rapi, terhormat. Berjalan dengan seorang gadis berpakaian tak jelas. Aira sadar mereka menatapnya agak sinis. Raave yang rapi, dan Aira yang hanya bercelana pendek.
Raave meraih tangan Aira. Menggenggamnya. "Cuek saja!"gumamnya, dengan mata menatap lurus ke depan.
Samar Aira mendengar. "Oh tampan sekali. Apa itu selingkuhannya. Seorang gadis muda? Kalau begitu, aku juga mau, Tuan tampan!"
'Yang benar saja!! Selingkuhan??!' batin Aira emosi.
Begitu Tuannya masuk mobil. Luke segera menyalakan mesin, melaju santai. Aira menatap Raave. Lelaki itu tak melepaskan tangannya. "Aku bukan selingkuhanmu kan, Raave?" tanyanya hati-hati.
Raave menoleh kaget. "Apa??"
"Apa aku tampak seperti selingkuhanmu, dengan pakaian seperti ini?" Aira menatap sang lelaki.
"Tentu saja tidak. Siapa yang bilang??"
"Perempuan di Resto tadi. Maaf ya Raave. Lain kali, aku akan memakai baju yang lebih sopan." Aira menunduk sekilas. Menutup paha mulusnya dengan cardigan.
"Hei.. Tak perlu begitu. Cuek saja. Jangan dipikirkan" Raave mengusap pelan kepalanya.
"Tuan Luke"
"Ya, Nona."
"Apa aku tampak seperti gadis muda selingkuhan Raave?"tanya Aira lantang. Raave memandanginya sambil terkekeh.
"Tidak, Nona"
"Jujur saja, Tuan Luke"
"Saya jujur, Nona. Anda tak seperti itu" Luke sedikit menoleh ke belakang, tersenyum.
Raave merengkuh pinggang Aira. "Heii.. Kenapa kamu pikirkan hingga sedetail ini. Mereka Tak tahu siapa kamu. Nanti jika mereka masih bicara begitu lagi, akan kusumpal mulut mereka"
"Dengan apa?"
"Ehmm. Apa ya..?" Raave tampak berpikir.
Luke tertawa kecil di depan.
"Dengan uang, biar mereka tutup mulut selamanya"jawab Raave lagi. Candaannya terasa garing.
Aira tidak tertawa, hanya mengulas senyum.
Sampai di rumah. Aira berterima kasih pada Luke dan Raave, sebelum keluar dari mobil. Sang lelaki membelai pipinya sekilas.
Hingga mobil Raave sudah melaju meninggalkannya, Aira masih memandanginya. Tersenyum.
Ia Masuk ke rumah. Disambut Bu Wina yang sedikit histeris, senang.
"Hei, biasa aja kali Bu, heboh amat!"celetuk Aira. Duduk di sofa. Bersandar. Melepas cardigan. Tas dan sepatu.
"Gimana tadi? Makan apa Nonaku sayang?"
"Steak salmon & kentang Bu. Kekenyangan nih. Tapi kalo ada cemilan kayaknya masih muat. Bu Wina tadi masak apa?"
"Wah, Steak Salmon. Kapan-kapan tak bikinin sendiri ya. Pasti lebih enak dari yang di resto resto. Hehehehehh.."
"Tadi masak asem-asem daging, sayang. Sama perkedel tahu. Mau maem lagi mungkin? Bu Wina juga bikin jagung keju. Mau?"
Aira berbinar. "Mau!!" ia segera berdiri. Mengambil jagung rebus pipil di dalam pan, lalu menaburinya dengan susu kental manis sedikit dan keju parut di kulkas. Ia mengambil semangkuk besar. Mengajak sang asisten menikmatinya bersama. Sambil nonton Tv.
Sekilas ia teringat lagi, kala menyuapkan Onion ring dari mulutnya ke mulut Raave. Aira mengulas senyum lebar. Menyendok jagung dengan jantung berdebar.
*
"Raave, apa kamu cinta padaku?"tanya seorang gadis pada lelaki itu. Mereka Dinner di sebuah Resto mewah malam itu.
Sang lelaki mendongak. Menatap si gadis dengan pandangan yang seolah mengatakan, 'Love?? You talking about love with me??'. Ia tersenyum miring. "Itu penting?"
Sang gadis tak menyentuh makanannya sama sekali. Ia terus menatap dalam lelaki di hadapannya yang telah menghabiskan separuh porsi Pasta Tuna.
"Tentu saja penting. Kau mencintaiku atau tidak? Selama ini, kamu dekat denganku, kita pergi bersama, Dinner, makan siang..."
"Apakah jika begitu, bisa diartikan yang kau sebut, 'Cinta' tadi?"balas Raave. Cuek, masih dengan pastanya yang hampir habis.
"Oh, come on Honey. Aku sayang padamu, semua perlakuanmu ini membuatku....
"Aku memperlakukanmu bagaimana, Kylie? Biasa saja kurasa. Makan siang, Dinner bukankah itu biasa. Jalan. Apa yang kau harapkan?" Raave telah menandaskan semua makanannya. Sesekali menyesap Kiwi juice.
"Saat kamu kukenalkan pada teman-teman, kamu juga tak protes atau marah saat aku bilang kau kekasihku. Padahal sekalipun kau tak pernah menyatakan perasaanmu!"tukas Kylie, si gadis.
"Aku hanya ingin membuatmu senang. Kau senang kan?"
Kylie terdiam. Ya, benar sekali. Dia sangat senang. Dekat dengan lelaki yang sempat menolaknya ketika Dinner bersama sang Ayah.
Namun Kylie yang tak menyerah, membuat Raave akhirnya bersedia diajak gadis itu jalan-jalan. Makan, dikenalkan pada teman-temannya. Dan sekarang. Sang gadis menuntut dan meminta kejelasan hubungan mereka.
"Inilah aku, Kylie. Jika kau menerimaku, bagus. Namun jika tidak, kuharap kau menemukan pria, yang sesuai dengan apa yang kau mau. Tak masalah bagiku." Raave mengelap mulutnya, menghabiskan sisa Juice kiwi dan air mineral. Lalu bersedekap.
"Kau makan atau tidak? Jika tidak. Kita pulang, aku masih banyak Virtual Meet malam ini." Lelaki itu menatap Kylie yang dengan cepat melahap Spaghettinya.
"Sir, Anda darimana?" tanya Gio. Raave tiba di rumah, dan langsung menghempaskan diri di ranjang. Memandangi langit-langit kamar. Lampu tidurnya, Yang bisa berubah warna, hanya dengan menekan panel khusus di ponsel pintarnya.
"Dinner with Kylie"jawab Raave cuek.
Gio mengangguk. Wajahnya muram.
"Ada apa, G?"
"Tak ada apa-apa. Lima menit lagi Online Meet dimulai. Anda siap?" Gio menata meja. Dengan notebook yang sudah menyala.
Raave bangun, beranjak dari ranjang. Duduk di sofa, dengan notebook di hadapannya. Memulai pertemuan rutin di malam hari dengan beberapa partner dari luar negeri.
"Kamu kelihatan lelah, Tuan Raave"komentar Mr Bernard, partnernya, daei Kanada. Dengan aksen Bahasa Indonesia yang aneh.
"I'm just fine, Sir. Thanks."jawab Raave. Tersenyum sopan. Ia mengkode Gio mengambilkan cermin. Menyuruhnya meletakkan di sisi notebook.
Raave langsung bercermin. 'Pantas saja. Wajah kacau begini.' Akhirnya Ia ijin ke toilet sebentar. Mencuci muka dan tangan. Lalu kembali ke Online Meet.
Membahas tekhnologi baru yang akan mereka kerjakan bersama. Yang ide awalnya tentu saja, Raave Pranaja. Sang CEO cerdas yang selalu menciptakan terobosan baru.
Ia bercermin sekilas. Wajahnya sudah bersih. 'Menawan seperti biasanya.' pikirnya.
"Nah, begitu kan ganteng."celetuk si partner tadi. Dengan aksen lucu. Raave tergelak.
"Tuan Raave. Ini di luar pembicaraan pekerjaan. Saya ingin tanya, wajahmu tampan, kamu sudah punya pacar??"tanya Mr Bernard.
Raave tertawa kecil. Menggaruk kepala. Bingung menjawab apa.
Semua partnernya ikut tersenyum. "Come on Raave.. Don't be shy with us!!"celetuk Mrs Abigail, partner dari Jerman.
"Ok.. Ok guys. Yes, saya punya. Seseorang yang dekat dengan saya, Sir"jawab Raave malu.
"Pacarmu??"sahut Mr Bernard lagi, kepo.
Raave tersenyum malu. Ia salah tingkah. Berulang kali mengusap tengkuk. Tertawa kecil.
"Ternyata, seorang Raave yang cerdas dan dingin bisa tersipu malu juga."komentar Mrs Andy. Bahasa Indonesianya sudah sangat fasih.
Mereka semua tertawa. "Dia pacarmu, Raave?" Mr Bernard mencecar Raave agar mengakuinya. Namun bukan Raave namanya, jika dengan mudah bicara menyangkut yang namanya cinta, kekasih dan sejenisnya.
"Saya dekat saja, Sir. Please. Can we back to the meeting??" Raave masih tersipu.
Lagi-lagi semua partnernya yang 10 orang itu tergelak. Geli dengan tingkah Raave yang malu, mengakui seseorang dengan sebutan kekasih. Juga wajah sang CEO yang sedikit merona.
Sementara Gio yang duduk di sofa yang lain, memandang Tuannya dengan senyum samar. Menghela nafas dalam. Wajahnya tampak datar saja. Ia membuka agenda. Menuliskan sesuatu di sana,
Love is easy. You can find it everywhere, everytime, on everyone. But When you fall in love, especially with someone you didn't expect before, you will no longer call it easy. Love is easy but fall in love is more than complicated.
**