"Zii, kamu udah di Rumah sakit?"tanya Aira. Sedikit kaget sebenarnya. Sebelumnya, sahabatnya itu berjanji akan menghampiri ke Rumah jika akan ke Rumah sakit. Namun ternyata dia sudah berangkat dulu. Untungnya Aira segera tahu, lewat foto yang dipajang Zii di halaman Sosmed miliknya.
Aira mendengus. Ia masuk mobil, tak lupa paperbag berisi puding mutiara kesukaan Adnan. Menyalakan mesin dan mulai melaju. Santai. Gadis itu menyalakan playlistnya.
Lagu lagu romantis yang hits di tahun '90an. Masih begitu enak didengar. Tiba-tiba saja teringat seorang lelaki yang hampir saja, Hampir. Mencuri hatinya. Atau malah aslinya sudah tercuri, tapi Aira saja yang terlalu bodoh?
'Kamu baik saja kan, Raave?' tanyanya dalam hati. Tak mungkin dijawab juga. Karena hanya di dalam hati. 'Tentu kamu akan selalu baik baik saja. Ada banyak Staffmu yang menjaga setiap waktu. Gio yang melayani semua kebutuhanmu. Bagaimana bisa tidak baik-baik saja?' Aira ribut sendiri di dalam hati.
Wajahnya sayu. Ditambah lagu sedih yang mengalun, menambah semakin emosional. Sentimental. Dan apalah itu.
Bangunan Rumah Sakit Royal yang menjulang sudah terlihat di kejauhan. Aira mempercepat laju mobil. Agar segera sampai.
Ia parkir di tempat favoritnya. Di bawah pohon. Aira keluar. Melangkah santai sambil memasang earset. Melanjutkan lagu lagu sentimentalnya.
Pintu masuk Rumah sakit sedang dibersihkan, jadi gadis itu berjalan hati hati dan meminta ijin pada Petugas Kebersihan.
Sampai di kamar Adnan, Zii telah duduk nyaman di kursi sebelah ranjang sang lelaki. Dan... Menggenggam tangannya. 'Oh GOD. Zii suka Adnan?'batin Aira menerka-nerka.
"Permisiii..!"sapanya. Zii dan Adnan menoleh. Tersenyum. Zii segera melepaskan tangan Adnan. Si lelaki tampak heran.
"Kenapa tanganmu kamu lepas, Hm? Gak apa apa kan? Aku ini.. "celoteh Aira. Menatap Zii. Tersenyum.
Zii tersipu malu. "Ga kok Ai. Hehe" gadis itu membantah yang terjadi sebelumnya.
Aira meletakkan paperbag di meja nakas. Duduk di sisi lain kursi di samping ranjang. "Gimana, udah baikan?"tanyanya. Ia tatap Adnan yang memandanginya linglung.
"Kenapa Nan?" Aira tampak heran.
"Aku sudah baik, Ai. Hanya luka kecil kan?"jawab Adnan akhirnya.
Aira tersenyum. "Syukurlah."
Adnan menatap Zii. Zii mengangguk.
"Kalian ini kenapa? Ada yang ingin kamu katakan, Zii?" Aira memperhatikan Zii yang daritadi seolah tegang.
Adnan mengusap lengan Aira. "Aku udah cerita padamu kan, soal aku kecelakaan?"
"Hm, lalu?"
"Kamu tidak dikabari, Ai?" Adnan terlihat sangat heran. Alis tebalnya bertaut.
"Apa maksudmu?"
"Aku bertabrakan dengan sebuah mobil saat itu. Aku memang hanya cedera luka kecil. Tak ada yang salah. Karena kami jatuh disebabkan ada mobil yang rem blong dan seperti kecelakaan beruntun."
"Ya?"
"Mobil yang bertabrakan denganku terguling. Kudengar, orang di MPV itu luka parah."lanjut Adnan hati-hati.
Aira mulai sedikit mengerti. Jantungnya berdebar kencang. "Bisa kau langsung saja?"
"Raave, orang di dalam MPV. Dia tak mengabarimu??" Adnan akhirnya buka suara juga.
Aira membeku, 'Raave? Oh tidak mungkin!'teriaknya dalam hati. Ia tatap Adnan dengan airmata yang siap jatuh. "Dia dimana, Nan?" suara Aira bergetar.
"Semua korban, di sini. Ai. Aku juga tak tahu dia di sebelah ma... Airaa!!"
Sang gadis sudah berlari kencang. Keluar kamar. Adnan dan Zii menghela nafas panjang.
Ia bertanya ke Bagian Informasi. "Kak, atas nama Raave Pranaja?"
"VVIP Crown Room. Lantai tiga, Kak."jawab Petugas ramah. Aira berterima kasih. Berjalan cepat menuju lift.
Tiba di lantai tiga, gadis itu segera bisa melihat ruangan yang dicari. Crown VVIP. Hanya berjalan sedikit. Jantungnya seolah mau lepas dari tempatnya.
Gio yang sedang duduk di depan kamar, terkejut. Berdiri. "Nona Aira??"
Aira berhenti di depan Gio. "Kenapa Anda tak mengabari saya, Mr Gio?" ujarnya sedih. Ia usap matanya. "Bagaimana kondisinya?"
"Belum sadar Nona. Sudah hampir dua hari ini. Cedera dalamnya cukup parah. Kemarin sempat sadar, entah bagaimana, pingsan lagi. Mr Raave melarang saya memberitahu Anda."
"Kenapa?"
"Saya tak terlalu paham. Silahkan masuk, Nona" Gio mempersilahkan gadis itu.
"Kenapa Anda di sini, Tuan Gio?"
"Tak apa, Nona."
Aira mendorong pintu kamar perlahan. Raave berbaring di ranjang. Memakai selang nafas, dan entah selang apa lagi. Wajah tampannya pucat. Ia duduk di sisi ranjang. Menunduk.
"Raave..?" panggilnya pelan. Sang lelaki hanya diam. Belum sadarkan diri. "Kenapa kamu tak memberitahuku? Ya aku tahu, aku tak penting bagimu, namun setidaknya aku bisa menjengukmu, saat kamu sakit begini. Maaf aku tak membawa cake mentega. Besok jika aku kesini lagi, akan kubawakan." Aira mengusap pipinya. Berusaha tidak menangis, namun airmatanya tak bisa diajak kompromi.
Aira memandangi Raave yang masih betah memejamkan mata. Ia ingin menyentuh wajah menawan itu, namun ditahannya. Jadi Ia hanya menatap si lelaki dengan dalam. Sambil menunggu Raave sadar.
Gio mengintip dari kaca pintu. Mengusap muka.
Aira merebahkan kepala. Di atas tangannya yang dilipat. Untungnya ia bawa obat. Lekas ia minum obat dengan sebotol air, kemudian merebahkan lagi kepalanya. Menutup mata.
Gadis itu terbangun, kaget. Usapan di kepalanya begitu lembut dan menenangkan. Ia mendongak. Menatap sang lelaki yang tersenyum lemah padanya. Tangannya masih mengusap kepala Aira. Namun lalu meraih tangan gadis itu, menggenggamnya.
"Kamu di sini?" bisik Raave lirih.
Aira mengangguk. Menarik perlahan tangannya dari genggaman Raave.
"Kenapa?" Raave menatap heran.
"Tak apa apa. Hanya sedikit takut sa...."
"Jangan takut. Memangnya kamu takut kenapa? Ada yang menculikmu lagi seperti Anne?" Raave bangun. Meringis. Ia naikkan kepala ranjangnya agar ia bisa bersandar.
"Tidak"
Raave masih terus mencoba meraih tangan Aira, namun gadis itu menghindar.
"Lalu??"
Aira tersenyum, "Tidak usah kukatakan. Biarlah jadi rahasiaku sendiri. Kamu harus istirahat." Ia berdiri. Namun tangannya ditarik sang lelaki, kencang hingga ia mendarat di atas dada Raave. Wajah mereka begitu dekat.
"Katakan padaku"bisik Raave.
"Tenagamu kuat sekali, padahal sedang sakit" Aira beranjak, tapi tangan Raave menahan.
"Jangan mengalihkan topik"bisiknya lagi.
Aira menatap lekat sang lelaki. "Yakin mau mendengarnya?"
Raave mengangguk mantap.
"Karena aku takut jatuh cinta padamu, Mr Raave Pranaja." bisik Aira akhirnya. Ia segera beranjak. Kembali duduk di tepi ranjang.
Raave mematung. Ia pandangi gadis di hadapannya. "Kenapa kamu takut jatuh cinta padaku?" suaranya bergetar. Atau apa hanya perasaan Aira saja.
"Apa semua jawabanku ini penting untukmu, Raave?"
"Tentu saja."
Aira mendesah panjang. "Apa yang kamu inginkan dariku sebenarnya?"
"RAAAVEE...!!!" suara lumayan memekakkan telinga terdengar. Dari pintu yang didorong kasar. Seorang perempuan. Berjalan cepat menghampiri Raave.
Refleks Aira berdiri. Ia mengenal wajah ini. Perempuan yang sama seperti foto yang terkirim di ponselnya.
"Kylie?"gumam Raave kaget. Si perempuan langsung mengecup bibir Raave begitu saja. Walau sekilas, namun cukup membuat Aira tersentak. Perlahan ia berjalan mundur.
Sang perempuan membelai wajah Raave, sedemikian rupa. Mengusap kepalanya. Lalu duduk di sisi ranjang dengan tangan yang saling bertaut mesra.
Aira keluar dari kamar Raave. Berpamitan pada Gio, yang menatapnya muram. Dan berjalan santai menuju lift. Turun ke bawah. Ia akan kembali ke kamar Adnan. Aira menghubungi Zii,
"Ya, Ai?"
"Kamu masih di Rumah sakit kan?"
"Iya."
"ok"call end.
Ia segera ke kamar Adnan. Sedikit berlari.
"Gimana kondisinya, Ai?"tanya Adnan kepo.
"Tadi pas aku kesana, belum sadar. TapI ya akhirnya sadar. Udah ga masalah.cederanya emang parah, tapi kata Dokter ga mengkhawatirkan"jawab Aira.
Zii menyodorkan sebotol jus buah kesukaan Aira. Tersenyum geli, melihat sahabatnya yang satu ini ngos ngosan.
"Thanks banget. Haus!!" Aira segera meneguk si jus. "Seger!!"
"Kamu baik saja, kan Ai?"tanya Zii khawatir.
"Iya, kenapa?"
"Wajahmu kok berangsur-angsur pucat gitu" Zii semakin khawatir. Ia mendekati Aira. Membelai wajahnya. "Ya Allah, Ai. Badanmu panas banget!!"teriaknya.
Aira tersenyum kaku. "Aku ga ngrasain apa-apa Zii"
Adnan memandangi Aira khawatir. "Dokter Alan di sini kan, Ai?"tanya Adnan.
Aira mengangguk. Baru terasa. Tubuhnya lemas. Beberapa tetes darah, lolos dari hidungnya. Ia usap dengan sapu tangan. 'Padahal tadi habis minum obat'
Gadis itu duduk di sofa di kamar Adnan. Zii memijati tangannya, sementara Aira memejamkan mata. 'Jangan kambuh..!!'harapnya dalam hati. 'Untung saja, aku sudah keluar dari kamar Raave' Ia tersenyum tipis.
Aira mencoba tidur, ia teguk habis jus buahnya. Zii berada di sampingnya. Aira tertidur sebentar. Namun ampuh membuatnya segar lagi. Hanya lima belas menit.
Ia langsung pamit pulang pada Zii dan Adnan. Mereka memandangi gadis itu khawatir.
Aira melangkah perlahan keluar dari Rumah sakit. Menuju halaman parkir. Ia masuk mobil. Sebelum menyalakan mesin. Ia buka ponsel, memesan cake mentega original via online. Dikirimkannya ke kamar Raave.
Setelah beres, gadis itu mulai menyalakan mesin, lalu melaju kencang. Ia ingin tidur di rumah.
Dalam perjalanan, tak henti diusapnya Bulir bening yang berjatuhan tak karuan. "Takut jatuh cinta padamu?? Bahkan aku sudah jatuh cinta padamu, Raave. Sungguh menggelikan"gumamnya pelan.
Tiba di rumah, Aira segera naik ke lantai dua. Bu Wina yang melirik dari dapur, menyusulnya.
"Mba, Mba Aira ga apa apa?"tanyanya dari luar kamar.
"Ga apa Bu, buka aja pintunya. Saya lemes. Pengin tidur."jawab Aira, suaranya agak serak.
Bu Wina masuk. Meraba keningnya. "Anget banget. Tak bikinin apa? Teh anget?"
Aira mengangguk. Tersenyum. "Makasih Bu." Ia ambil obatnya. Dari dalam tas. Juga paperbag. Ia minum bersamaan dengan sebotol air mineral yang selalu ia siapkan di kamar.
Kemudian gadis itu berbaring nyaman. Bu Wina datang dengan seteko kecil teh dan cemilan kesukaannya.
"Makasih, Bu. Saya tak tidur ya"ujar Aira. Memeluk bantal besar.
Bu Wina mengangguk, tersenyum. Meninggalkan kamar Aira. Menutup pintu, setelah sebelumnya ia tutup jendela kamar Nonanya. Mendung gelap di sore yang hangat.
Aira tersentak. Entah berapa jam Ia tertidur. Suara hujan disertai petir yang bersahutan, yang pertama kali mampir di telinganya. Ia lihat sekeliling. Gelap. Gadis itu meraih ponsel. 9malam. "Oh berapa jam aku tidur, tadi?"
Beberapa notifikasi di ponselnya. Panggilan tak terjawab, pesan. Adnan, Zii. Mereka hanya kirim pesan. Lalu... Raave?? 10kali panggilan tak terjawab. 5pesan.
Ia buka,
'Kamu di rumah?' pesan 1
'Kamu dimana? Kenapa tak menjawab?'pesan 2
'Aira...?'pesan 3
'Ai...?'pesan 4
'kamu baik saja, kan?'pesan 5
Aira meletakkan ponsel, meringis. Perutnya nyeri. Ia terbatuk pelan. Ditutupinya dengan tangan. Tercekat. "Darah?!!"pekiknya tak percaya.
*