Lelaki itu masih sedikit tak percaya. Matanya masih tak beralih dari seorang gadis, yang sedang berada di alam mimpi itu. Entah apa mimpinya. Rasanya ingin Ia ikut melihatnya, melalui suatu tekhnologi khusus.
Raave mengulas senyum. Sedih. 'Aku tak tahu perasaan apa ini? Namun.. Apakah bisa kubiarkan dia menguasaiku begitu saja?'batinnya bingung.
Tangannya yang terulur ingin menyentuh Aira, ditariknya lagi. 'Ini tidak benar!!'rutuknya masih dalam hati. Raave berbalik, setengah berlari. Keluar dari kamar sang gadis begitu saja.
Mengabaikan Bu Wina yang membawakannya minuman. Sang asisten hanya bisa melongo. "Mau dibawain minuman kok malah pergi, Mas Raave?"gumamnya.
"Diminum Bu Wina aja? Dia ga akan balik kesini." sahut Aira. Mengagetkan wanita paruh baya itu.
"Lho kok udah bangun aja?" Bu Wina mendekat. Duduk di tepi ranjang, mengusap punggung Aira yang duduk termenung. Pandangannya kosong.
"Mau tak bawain maem?"tawar Bu Wina. Menatap Aira sedih.
Aira menggeleng, "Saya tak tidur lagi, Bu". Ia kembali berbaring, miring membelakangi asistennya.
Bu Wina mengusap lengannya lembut kemudian keluar dari kamar.
"Ya, Raave. Aku tahu, aku tak boleh cemburu padamu. Siapalah aku ini. beraninya cemburu saat kamu bersama relasi perempuanmu." Bulir beningnya runtuh. Ia cengkeram selimut. Kencang. Terisak pelan.
Beberapa hari kemudian
Aira sudah kembali sibuk di BookShop. Tak peduli dengan punggung yang kadang masih berdenyut nyeri. Namun sudah tak sesering sebelumnya. Ia merasa lebih sehat dan kuat. Sepertinya kuat jika kembali sibuk di BookShopnya seperti biasa.
Dua minggu sudah cukup membuatnya bosan, tak melakukan apa apa. Hanya berbaring dan di rumah.
Mr Suri, Sia dan Staffnya yang lain gembira menyambutnya kembali ke BookShop. Luka dan lebam sudah hampir samar tak terlihat, ia tutupi dengan foundation.
Mereka ternyata menyiapkan acara khusus untuk Aira. Sebagai tanda, gadis itu kembali ke Bookshop.
Sebuah acara makan-makan sederhana siang harinya. Disponsori oleh Mr Suri.
Aira terharu. "Kenapa ada acara seperti ini segala? Biasa saja teman teman"ujarnya mengusap mata.
"Mba, tak masalah. Jangan dipikirkan. Maaf kami tak bisa sering jenguk."balas Mr Suri diangguki yang lainnya. Mereka makan siang bersama di aula meeting. Mr Suri memesan Rice Bowl dan es teler segar.
Mr Suri sempat menengok Aira di hari kelima, Ia di Rumah sakit. Bersama semua Staff. Rombongan. Membawakannya sekeranjang buah segar.
"Tak masalah. Terima kasih, Sir. Semuanya!" Aira menundukkan kepala sekilas. Kemudian meneruskan makan siang mengenyangkan bersama orang orang yang menyenangkan.
Seharian Aira sibuk di BookShop. Lelaki yang biasanya rutin menghubunginya, tak terlihat sama sekali, sejak pagi itu. Tak terdengar ponselnya yang berdering tak berhenti lagi. Hening. Juga manusianya. Tak menampakkan diri lagi.
Gadis itu mendesah panjang. 'Ya, aku memang bukan siapa siapa. Seperti ini lebih baik, tak harus kepikiran. Takut dan semacamnya.' pikir Aira. Mengulas senyum.
Hanya ada notifikasi pesan singkat dari Adnan dan Zii. Mengajaknya jalan-jalan akhir pekan. Juga Papanya yang ingin Aira pulang.
Aira menghubungi sang Ayah.
"Halo, Nak"
"Hai, Pa. Sore. Sudah pulang kantor?"sapa Aira.
"Iya barusan pulang. Nak, kamu baik saja kan? Kamu sudah pulih?" Papanya terdengar khawatir.
"Pa, Aira sudah di BookShop. Berarti udah baik 100%, jadi PapaMama ga usah khawatir."balasnya. Riang.
"Syukurlah. Kamu bisa pulang kapan, sayang? kami rindu padamu"
"Iya. Maaf Pa. Ehm, mungkin setelah minggu ini ya. Aira masih ada beberapa meeting dan pertemuan penting di BookShop." Ia melirik kalender di meja kerjanya. Lalu menandai hari minggu. Kurang lebih Seminggu setelah hari ini. Tersenyum senang.
"Oke sayang, Papa akan bilang Mamamu untuk masak spesial" Papanya terdengar senang.
Aira tergelak. "Pa, tak usah sampai begitu. Biasa saja."
"Ah, ini kan biasa sayang."
"Baiklah, Pa. Aira akan siap siap pulang, Papa istirahat ya. Salam cinta buat Mama"tutup Aira.
"Oke, sayang, jaga diri ya."
Call end
Ia masukkan ponsel dalam tas, kemudian membersihkan meja. Lalu keluar dari ruangannya. Turun, berpamitan sekilas pada Staff yang masih memberesi barang. Berjalan cepat ke mobil. Melaju pulang.
Tiba di rumah, Bu Wina menyabutnya dengan aroma masakan yang tercium lezat. Aira segera mencuci tangan, kemudian menghampiri sang asisten yang sedang merebus sesuatu di pan.
"Hai, manis. Tunggu ya, sedikit lagi matang. Mau ma]]ndi dulu?" Bu Wina menyapanya riang.
Aira mengangguk. Segera ke lantai dua. Membersihkan diri. Tadi pagi, ternyata Ia lupa minum obat. Gadis itu mengeluarkan obat dari laci nakas. Meneguknya sekaligus dengan air mineral di dalam botol. Kemudian berjalan ke kamar mandi.
Usai mandi yang segar, Aira turun lagi. Duduk nyaman di sofa ruang TV, tangannya menyambar sebungkus kue sus kering coklat, yang tergeletak begitu saja di meja makan. Melahapnya dengan senang.
Bu Wina meliriknya dari dapur, ikut tersenyum.
Aira mengutak atik ponsel. Notifikasi pesan dari Altan.
'Hai, Ai. Kamu luang? Jika iya, maukah kuajak dinner malam ini?'
Ia memutar bola mata. Tapi lalu punya ide, Aira berjalan menghampiri Bu Wina. "Bu, masak agak banyak ya. Altan katanya mau mampir."ujarnya.
Bu Wina mengangguk, tersenyum.
'Maaf, Al. Aku menyelesaikan stok buku BookShop. Oh mungkin kamu bisa mampir kesini. Bu Wina sedang memasak makan malam'balas Aira.
Hitungan detik balasan datang,
'Siap, Nona Manis..'
Setengah tujuh malam, Mobil Altan menepi. Di tepi depan rumah Aira. Si lelaki mengetuk pintu. Bu Wina yang membukakan. "Masuk Mas"
Altan duduk di ruang tamu. Aira turun dari lantai dua beberapa saat berikutnya. "Hai, Al"sapanya.
"Hai, Ai. Kamu sehat kan?"
"Ya. Kenapa?" balas Aira. Duduk di depan Altan. "Maaf ya, aku punya banyak kerjaan, habis libur panjang kan kemarin"lanjutnya.
"It's okay. Tak masalah. Aira, boleh aku bertanya sesuatu?" Altan memasang wajah serius.
"Ya?"
"Ada hubungan apa, kamu dengan Mr Raave? Jika aku boleh tahu?" Altan menatap dalam sang gadis.
Aira tertawa kecil. "Tidak ada hubungan apa apa. Hanya sebatas dekat sebagai Relasi. Dia customer penting di BookShop."jelas Aira. Lugas.
"I see. Kulihat, Mr Raave sering kemari, juga perlakuannya padamu sungguh berbeda" Altan bicara lagi. Nadanya seperti... Cemburu?
"Ya memang. Ah sama saja perlakuannya. Tak ada yang beda. Kenapa kamu menanyakan ini?"
Altan tertawa kecil. "Hanya ingin tahu saja. Kamu masih belum bisa menerimaku, Ai?"
"Maaf, Al." Aira tersenyum.
"Mba Aira. Makanannya siap!!" Bu Wina berteriak dari dapur.
Aira mengajak Altan masuk ke ruang makan. Mempersilahkannya duduk, dan mulai mEnikmati masakan Bu Wina yang lezat itu.
Sang gadis berbinar. Sup jagung ayam, perkedel kentang, fillet ikan tepung, tUmis jamur sayur.
"Wah. Kelihatannya enak nih Ai!" Altan terlihat gembira.
"Ayo diserbu, Al!"ujar Aira menyemangati. Bu Wina memilih makan di ruang Tv. Sungkan dengan Altan.
Altan selalu saja punya topik pembicaraan. Lelaki itu berbincang seru dengan Aira. Sambil makan. Bercerita soal proyek yang sedang mereka kerjakan. Tak luput sang Boss. Lelaki yang telah mendanai jalannya proyek.
"Mr Raave orangnya sangat perfeksionis, Ai. Dia ingin seuanya sempurna. Cepat dan selesai tepat waktu. Aku sedikit kewalahan menghadapinya, jujur saja. Hehe.. Tapi tak masalah. Jika dia tak begitu, tak mungkin Pranaja Tech bisa terkenal se Indonesia" Altan seolah memuji sang CEO.
Aira hanya tersenyum. Mengangguk. "Ya, Al." balasnya singkat. Menyesap Air jeruknya. Sekilas tatapannya beralih ke luar pintu.
Seorang pria terihat mndar mandir di depan rumahnya. Memakai handsfree. Berpakaian casual. Tshirt dan celana jeans.
Aira tersenyum miring. Melanjutkan obrolannya dengan Altan. Berusaha jadi pendengar yang baik kala lelaki itu bercerita segala hal.
Tepat jam 9malam, sang lelaki pamit pulang. Aira juga lelah, pusing. Bukan karena sakitnya kambuh, namun mendengar ocehan Altan yang seolah tanpa titik koma. Satu jam penuh.
Aira sedikit membantu Bu Wina membersihkan dapur. Sang asisten melarang, akan tetapi, Ia tak tega jika Bu Wina membersihkan perabot kotor sebanyak itu seorang diri. Selama ini hanya mereka berdua saja di rumah.
Usai makan, Aira langsung mencuci piringnya sendiri biasanya. Namun jika sakit, yaa... Semuanya dikerjakan Bu Wina.
Aira naik ke lantai dua. Dapur dan ruang makan sudah bersih. Ia melangkah sambil menyalakan ponsel. Notif pesan dari Altan. Berterima kasih atas makan malam yang menyenangkan. Tak Ia buka. Hanya dibaca lewat jendela notifikasi.
Gadis manis itu menghempaskan diri di ranjangnya. Dengan tangan dan kaki lurus. "Nyamannyaaa..."gumamnya, senang. Merasakan kelembutan dan ademnya selimut juga bed covernya.
Aira bangun, meminum lagi obatnya, kemudian mencuci muka dan berganti pakaian di kamar mandi. Setelah itu menyusup di bawah selimutnya yang adem. Mematikan lampu, menutup mata.
Esoknya...
Pagi sekali, Zii datang ke rumah Aira. Wajahnya begitu khawatir. Keringatnya bercucuran.
Aira yang baru saja keluar dari kamar mandi, kaget. "Zii, ada apa?"tanyanya heran.
"Ai.. Adnan..." Zii bernafas cepat. Terengah.
"Adnan kenapa?"
"Kecelakaan. Sekarang di Rumah Sakit Royal."ujar Zii akhirnya.
Aira tertegunp. Segera bersiap siap. "Ayo kesana, Zii!!" Ditariknya lengan sang sahabat. Melesat turun, menuju mobil. Melaju kencang.
Dalam perjalanan, Aira lihat Zii menangis. Wajahnya begitu sedih. Diusapnya berulang kali matanya.
"Zii, kamu tadi dikabari siapa?"tanya Aira.
"Orang yang nolongin Adnan, Ai."jawab Zii. "Kebetulan, dia habis menghubungiku pagi tadi, jadi mungkin sama orang yang nolong telepon aku balik"lanjutnya.
Aira mengangguk. Memarkir mobil di bawah pohon yang adem, setelah tiba di Ruma sakit. Udaranya mulai panas.
Kedua gadis itu berjalan cepat ke Bagian Informasi, bertanya tentang Adnan.
"Maaf Mba, Atas nama Adnan Putra" Zii berusaha tenang.
"Masih di IGD, Nona. Lurus saja belok kanan." beritahu sang Petugas. Ramah.
Zii dan Aira berterima kasih, lalu setengah berlari menuju IGD. Lampu indikator masih menyala, Adnan masih diperiksa di dalam.
Mereka duduk di ruang tunggu dengan sabar. Harap harap cemas.
Aira menghubungi Mr Suri. Ijin tak BookShop. Sahabatnya kecelakaan.
Dua puluh menit kemudian, Dokter keluar dari IGD. Zii segera menghampiri. "Gimana Adnan, Dok?"
"Tak usah khawatir, hanya luka dan cedera ringan. Tak masalajh. Anda keluarganya?" Dokter menatap Zii. Di balik kacamata tebalnya.
"Saya adiknya Dok"bohongnya.
Dokter mengangguk, tersenyum. Pamit undur diri. Adnan dibawa keluar untuk dipindah ke kamar inap. Zii dan Aira mengikuti.
Sang lelaki masih belum sadarkan diri.
Adnan menempati kamar yang dekat dengan IGD. Petugas medis dengan cekatan dan sabar, memindahkan Adnan dari Brankar ke ranjang Rumah sakit, membenahi infus dan selang nafas, lalu pamit undur diri.
*