"Mr Raave, bisakah saya mengajak anda Dinner besok? Ya agar hubungan kita semakin solid." Mr Kim, koleganya dari Jakarta .
Raave tersenyum. Mengangguk. Kembali meneruskan langkah, keluar, mengantar sang partner menuju mobilnya.
Lelaki itu menunduk hormat kala mobil Mr Kim perlahan melaju dengan sang pria melambai padanya.
Mr Kim, kolega penting sekaligus juga teman sang Ayah. Raave begitu menghormatinya. Setelah mobil sang kolega tak terlihat, Ia kembali ke ruangannya. Dengan wajah datar. Menerka nerka suatu hal. Yang sangat ia yakini besok akan terjadi.
"Sir, are you okay?" Gio bertanya heran.
Raave hanya mengangguk. Tersenyum sekilas. Ia melangkah cepat menuju ruangan, dan langsung menghempaskan diri di sofa nyaman. Melepas kasar dasi dan meneguk air mineral. Bernafas dalam.
"Anda butuh sesuatu, Mr Raave?" Gio Kembali bertanya.
Raave menggeleng. Tatapannya kosong.
Dinner Night
Suit berwarna burgundy gelap. Inner hitam. Rambut agak dibiarkan sedikit berantakan. Sang CEO siap menuju Dinner malam ini. Sebelumnya ia sempat menghubungi Aira. Gadis itu sedang berbincang dengan Zii.
Gio mengangguk padanya. Membukakan pintu mobil. Raave berangkat dengan sedikit enggan. Entah kenapa suasana hatinya berantakan saat hari mulai gelap tadi.
Di perjalanan, ia hanya diam. Walau Gio mengoceh tak karuan. Memberitahukan jadwalnya esok hari. Lelaki itu menatap keluar jendela. Dan wajahnya semakin muram saat mobil sudah memasuki pelataran Hotel Shang ri-La. Koleganya menginap di Hotel mewah ini, selama di Kota Pahlawan.
Raave keluar, berjalan santai dengan Gio di sampingnya. Berusaha menormalkan ekspresi suram. Sang sekretaris yang memperhatikan sedari tadi semakin linglung.
Mereka sampai di Resto, khusus kuliner Asia dan Western. Mr Kim menggemari Western Food. Jadi Raave menuruti kemauan pria paruh baya itu.
Raave duduk tenang. Ia memilih sofa warna marun dekat jendela. Berbincang singkat dengan Gio. Sebelum akhirnya Mr Kim datang, Gio mundur. Duduk di kursi yang lain.
Sang kolega datang bersama beberapa asisten pribadinya dan... Sang putri, Kylie. Gadis tinggi semampai, cantik, berkulit putih bersih. 24tahun. 'Setahun lebih tua dari Aira'pikir Raave.
Fresh graduated. Lulusan Nanyang Technological University, Singapore. Langsung menjadi Direktur di Perusahaan sang Ayah.
Raave tersenyum miring, 'Aira baru 22, dan dia sudah memiliki BookShop di beberapa kota.' batinnya membandingkan. Ia berdiri, menjabat tangan Mr Kim. Juga Kylie. Tersenyum biasa saja. Seperlunya. Raave sudah pernah bertemu gadis itu sebelumnya. Dalam sebuah acara dinner bersama orangtuanya kala itu. Berkenalan singkat.
"Raave, kau tampak semakin menawan saja dari terakhir kali kulihat." komentar Kylie. Menatap sang lelaki.
Mr Kim tertawa kecil. "Kenapa? Dia lelaki jelaslah menawan, kamu perempuan juga cantik."timpal Ayahnya.
Hidangan pembuka datang. Raave duduk berhadapan dengan Kylie. Sedangkan Mr Kim di samping putrinya. Sofa besar yang mereka tempati lumayan nyaman, jadi Raave agak bersandar. Sedikit lelah sebenarnya.
Mr Kim membicarakan kemungkinan kerja sama kembali antara KIM Industries dan Pranaja Tech. Raave menyetujui saja usulan usulan yang diajukan sang pria. Sejujurnya ia ingin cepat pergi.
Kylie tak mengalihkan sedikitpun tatapan mata darinya. Dari hidangan pembuka, hingga hidangan penutup. Raave berusaha biasa saja.
Mr Kim pamit ke toilet usai menandaskan dessert. Meninggalkan Raave sendiri bersama Kylie.
"Raave, aku tertarik padamu. Kau tampan sekali." Kylie to the point. Jujur.
Raave tersenyum tipis. "Apa yang membuatmu tertarik, Nona Kylie?"
"Daridulu kau selalu memanggilku Nona. Bisakah biasa saja?"protes gadis itu.
"Hm. Kamu putri Mr Kim. Aku menghormatimu"jawb Raave, sedikit menirukan kalimat Aira. Ketika ia menyuruhnya berhenti memanggilnya Tuan. Lelaki itu tersenyum tanpa sadar.
Kylie tertawa kecil. "Tak apa, panggil aku Kylie. Dan satu lagi. Tatap aku ketika aku bicara denganmu. Daritadi kau seolah tak mau menatapku!"
"Itu hakku, mau menatapmu atau tidak, Nona Kylie."
Kylie mendesah pelan, lalu mengulurkan tangan, meraih tangan Raave, menggenggamnya erat. Sang lelaki yang kaget, segera menarik tangannya. "Apa yang kau lakukan, Nona Kylie??"tukasnya.
Sang gadis sedikit kaget. Kembali menarik tangan sang lelaki tampan. Raave menghindar. Menaikkan sebelah alisnya.
Mr Kim datang. Kembali duduk, dan tersenyum pada Raave. "Maaf lama"
"Its oke Sir" Raave mengelap mulut. Menghabiskan sisa Strawberry Sparklingnya kemudian menatap Mr Kim.
"Anda di sini berapa hari, Mr Kim?"tanya Raave. Basa basi.
"Ehm. Entahlah. Terserah dia saja, katanya ingin berbelanja di Mall dulu Raave. Hahaha" Mr Kim berseloroh, melirik putrinya. Mengusap lengan Kylie perlahan.
"Ehm, dan aku ingin jalan-jalan dengan Raave, Dad."tambah Kylie.
Ayahnya tertawa kecil lagi, "Ya itu urusan kalian, anak muda. Ayah tak ingin ikut ikutan." entah kenapa sang pria menatap Raave dalam.
Raave hanya tersenyum tipis, sangat tipis.
Usai berbincang sebentar, Mereka sepakat untuk mengakhiri Dinner malam itu. Mr Kim memeluk Raave sekilas sebelum pergi. Kylie juga memeluknya, namun begitu erat. Dengan Terpaksa, Raave mendorongnya. Yang dibalas senyum jahil sang gadis.
Raave geleng-geleng kepala. Lalu segera pergi dari sana.
Gio yang duduk di Bar, berdiri. Usai ia tandaskan mojitonya. Menghampiri sang Tuan, yang melonggarkan dasi sambil berjalan.
"Kita pulang,Tuan?"tanya Gio.
"Hm"jawab Raave singkat.
Kedua lelaki itu melangkah cepat ke parkiran, masuk mobil dan segera melaju kencang.
"Sir, Anda kenapa sebenarnya. Dari tadi sore saya perhatikan muram saja. Oh dari kemarin malah. Ada masalah?"tanya Gio, disela fokusnya mengemudi.
Raave yang duduk di sampingnya, mendesah pelan. "Kylie, G."
"Kenapa?"
"Dia itu gadis yang agresif. Aku.. Ah entah kenapa. Sekarang jika aku bertemu seorang gadis, biasa saja begitu. Tak seperti dulu."
"Dulu bagaimana, sekarang bagaimana"
"Dulu aku selalu semangat, ingin melihat bagaimana wajahnya. Sesuaikah dengan tipeku. Jika ya, langsung kudekati. Sekarang? Menatap saja aku malas bukan main."
"Tapi jika gadis itu Nona Aira?" Gio mengerling nakal.
Raave tergelak. "Aku tak bisa jawab, G! Aku sedang meyakinkan hatiku sendiri. Apakah tadi dia menghubungiku?"
Gio tergelak. "Apakah pertanyaan barusan tak cukup meyakinkan? Kalau saya sih yakin, Sir."
"Giiooo!!" Raave tersipu malu.
Gio memperhatikan semburat merah samar di pipi sang Tuan. Mengusap nya.
"Pipi anda merah Sir. Itu masih tak cukup??"
"Tadi dia menghubungi tidak??"
"Ya"
"Kau jawab aku kemana??" Raave mendekat, mencengkeram lengan sang Sekretaris.
"Saya jawab Anda bertemu relasi"balas Gio tersenyum.
"Laki-laki dan perempuan"lanjut Gio.
"Dia sudah tak takut tampaknya G." Raave duduk tegak.
"Bagus jika begitu. Oh maaf, Sir. Apakah anda merasa bersalah soal penculikan itu, lalu anda jadi mendekati Nona Ai?"tanya Gio kepo.
"Tidak. Aku dekat dengannya bukan karena merasa bersalah. Sama sekali tidak, G!"
Aira calling...
"Ya" jawab Raave tanpa menunggu dering kedua.
"Kamu sudah pulang Raave?"tanya Aira.
Raave tersenyum. "Hm, aku perjalanan. Kamu dirumah kan?"
"Iya. Ada Adnan dan Zii. Biasa, nobar."
"Hm."
"Aku mengganggumu, maaf kututup saja. Hati-hati di jalan ya" tutup Aira.
"Hei..." call end
Raave tersenyum. Lagi. Terus mengulas senyum hingga sampai di rumah.
Gio pamit pulang, usai memasukkan mobil. Raave langsung naik ke kamarnya di lantai dua. Orangtuanya belum datang. Sebenarnya ingin di rumah 50 saja, jika orangtuanya pergi seperti sekarang. Namun ia tak betah jika tak di kamarnya sendiri. Alhasil. Ia hanya sesekali ke rumah itu. Meminta salah satu Staff tinggal di sana, menjaga Aira dan bersih bersih juga.
Raave ganti baju, kaos oblong dan celana pendek nyaman. Ia merebahkan diri di ranjangnya yang lebar. Menyalakan pendingin ruangan kemudian memejamkan mata. Benar benar lelah.
Kylie calling...
Raave tersentak. Ia buka mata lebar. Melirik ponsel. "Hah..!!"gerutunya.
"Hm."
"Malam, tampan. Sudah tidur?"
"Iya, ngantuk. Aku lelah!"ketusnya.
Call end.
Ia non aktifkan ponselnya, kembali memejamkan mata. Tidur. Nyenyak.
Esoknya...
Raave mengerjap. Kamarnya terang. Jendelanya akan terbuka otomatis di pagi hari. Lelaki itu bangun, beranjak dari ranjang. Meraih ponsel. Mengaktifkannya lagi.
Beberapa panggilan tak terjawab dari Kylie. Raave memutar bola mata. Dan... Aira..? Segera ia hubungi gadis itu.
"Halo"
"Ada apa? Kamu menghubungiku tadi?"tanya Raave. Berjalan ke kamar mandi.
"Oh tidak. Maaf mengganggu pagi-pagi. Tutup saja, kamu akan ke kantor kan?" Aira mengakhiri pembicaraan.
Call end.
Raave tersenyum. Ia kirim pesan singkat untuk sang gadis.
'Jika malu bicara di telepon. Lewat pesan saja'tulisnya. Ia letakkan ponsel di lemari kecil tempat handuk. Kemudian lelaki itu membersihkan diri.
Usai mandi, Ia tengok lagi ponsel.
'Tidak. Hanya ingin sedikit minta tolong tadi. Tapi sudah kok' balas Aira
'Apa? Dan sudah bagaimana?'
'Minta tolong antar ke Dokter, sudah diantar Altan tadi'balas Aira lagi.
Gerakan Raave yang tadi cekatan, berhenti seketika. Ia langsung menghubungi Aira.
"Kamu kenapa?"
"Tak apa apa, Raave. Hanya pusing. Padahal habis minum obat."jawab Aira, sedikit takut.
Raave terdiam. Hening.
"Lalu ?"
"Aku dikasih obat baru, udah aku minum juga ini barusan"
"Masih pusing?"
"Tidak. Tapi... Raave..."
"Ai..??!"
Aira diam.
"Aira!!" Raave berteriak panik. Ia lempar ponselnya. Bergegas memakai pakaian apa saja, dan melesat keluar kamar. Melaju kencang menuju rumah seorang gadis yang entah kenapa. Membuatnya panik luar biasa.
Jarak rumahnya dan rumah Aira yang lumayan, membuatnya berulang kali mengumpat sepanjang perjalanan. Tak sabar ingin segera sampai. Ia tak pedulikan panggilan Gio yang bertubi tubi ke ponselnya.
Fokus menyetir. Melaju secepat mungkin.
"Come on!!!"teriaknya frustasi, saat ada truk besar dan panjang berbelok. Ia membunyikan klakson emosi. Beberapa pasang mata yang menatap heran padanya, tak ia pedulikan.
Akhirnya sampai hanya dalam 30 menit, Raave berlari, saat Bu Wina mempersilahkannya ke kamar Aira.
Aira tidur, ketika ia masuk. Berbaring nyaman dengan selimut menutupi leher. Wajahnya pucat.
Raave terengah. Ia duduk di tepi ranjang, membelai lembut pipi Aira. Kepalanya. Lengannya.
Tatapannya teralihkan oleh ponsel sang gadis yang menyala.
Sebuah foto, bukan. Beberapa. Raave bersama Kylie malam tadi. Saat gadis itu memegang tangan dan memeluknya. Juga kala mereka ngobrol berdua.
Raave terkesiap. Menatap Aira.
Bulir bening luruh dari sudut mata Aira. Namun gadis itu terlelap. Pulas.
"Raave, bolehkah aku cemburu?" Aira bergumam lirih. Masih dalam tidur pulasnya.
Raave mematung. Mengatur nafas yang mendadak sesak.
Continued...