Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 17 - OBAT

Chapter 17 - OBAT

Mom calling...

"Hai, Ma.."

"Nak, sayang. Kamu baik saja kan?" Nyonya Harsena menghubungi putrinya. Suaranya khawatir.

"Iya, Ma. Mama dan Papa sehat kan? Lagi apa, Ma?"tanya Aira. Ia perhatikan lagi luka di dahinya. Juga di sudut bibir.

"Kami sehat , Nak. Aira, tempo hari Mama dengar kabar, kamu masuk Rumah Sakit. Sempat kritis. Benarkah?"

"Ya, Ma. Tapi sekarang Ai baik saja. Mama Papa tak perlu khawatir."

"Apa maksudmu, Mama tak perlu khawatir. Kami ini orangtuamu. Tentu khawatir, sayang."

"Maaf Ma. Ya, Ai baik baik saja sekarang. Papa di kantor Ma?"

"Tidak, masih ada tamu. Mama tidak sabar ingin bicara denganmu, kemarin kemarin Mama ada sedikit job, jadi agak sibuk, sayang" Ibunya terdengar masih khawtir.

"Oh begitu. Mama jangan kelelahan ya. Menulis artikel Ma?"

"Hehe, iya sayang. Baiklah. Mama tutup ya. Nanti Biar Papamu video call sendiri"balas sang Mama.

"Oke, Mom. I love you"

"I love you, honey" tutup Ibunya. Call end.

Aira meletakkan ponsel. Ia masih di tempatnya semula. Di depan cermin. Di meja rias. Tak bisa disebut meja rias sebenarnya. Karena tak ada apa-apa di sana. Hanya parfum, lipstick dan compact. Juga lotion.

Perban di dahinya ia coba lepas. Lukanya sudah kering. Memar di pipi, dekat mata, dahi belum hilang. Sedikit luka di sudut bibir. Semuanya masih berjejak. Oh bagaimana jadinya jika Ayahnya video call, bisa bisa jantungan melihat wajahnya kacau begini.

Aira membuang perban bekas. Kemudian melangkah ke jendela. Mendung sangat gelap. Ia tersenyum lebar. Pagi hari yang mendung. Sungguh suasana yang... Ehmm.. Romantis sebenarnya. Jika bersama seseorang.

Gadis itu keluar dari kamar, turun akhirnya. Bu Wina sudah selesai menyiapkan sarapan. Aromanya seperti familiar.

"Bu, masak apa?"tanya Aira. MEndekati sang asisten yang masih membersihkan sesuatu di dapur.

"Hai cantik. Masak bubur ayam. Sama soto. Sarapan ya."balas Bu Wina.

Aira tersenyum. Duduk di kursi ruang makan. "Ayo, Bu sarapan!"ajaknya. Sang asisten segera bergabung di meja. Menikmati sarapan pagi yang nikmat dan lezat.

Selesai sarapan, Aira mandi, lalu bersiap. Ia akan check up ke rumah sakit.

Raave calling...

"Halo"

"Hai, lagi apa?"

"Mau check up. Kamu di kantor?"

"Hm. Check up dengan siapa?"

"Sendiri kan."

"Kamu bawa mobil sendiri??"

"Ya. Lha gimana?"

"Biar Luke yang mengantarmu. Tunggu"

"Tapi Raave..."

Call end

Aira mendesah panjang. Menyimpan ponsel di dalam tas. Memakai sweaternya, sandal, lalu keluar kamar. Bergegas turun. Bu Wina menawarkan diri menemani, namun Aira mengatakan tak apa, jika Ia sendiri.

"Ya udah, nanti saya buatin makan siang yang enak buat Nona manisku!"ujar Bu Wina. Mengerling lucu.

Aira tergelak. "Makasih banget ya Bu."

Beberapa saat kemudian, sebuah MPV yang ia kenal betul berhenti di depan rumahnya. Seorang lelaki berpakaian formal keluar, tampak bicara lewat handsfree. "Saya sampai di rumah Nona Aira, Sir! Oke siap"gumamnya, yang bisa terdengar oleh Aira.

"Pagi, Mr Luke"sapa Aira ramah. Tersenyum. Menjabat tangan sang sopir. Ia baru bertemu dengan Luke hari ini. Sebelumnya hanya mendengar namanya saja, ketika Raave cerita.

Si sopir menunduk hormat. "Pagi, Nona. Anda siap?Mr Raave meminta saya menjaga Anda selama check up." Luke berkata dengan santun.

"Santai saja Mr Luke. Jangan formal begitu. Hehe. Saya siap, terima kasih"jawab Aira.

Luke tersenyum. Membukakan pintu mobil untuk sang Nona. Aira masuk, duduk dengan nyaman, memasang seatbelt, sementara Luke sudah siap di balik kemudi.

"Mr Raave sibuk, Tuan Luke?"tanya Aira, dalam perjalanan.

"Nona, panggil saja nama saya. Jangan pakai Tuan."

"Saya menghormati Anda, Tuan Luke" balas Aira lagi.

Luke tertawa kecil. "Nona Aira, saya hanya sopir. Panggil saja saya Luke." Luke mengingatkan lagi.

"Baiklah, Luke."

Luke menatap dalam sang Nona, lewat spion. tersenyum.

Mereka sampai di Rumah sakit. Air keluar, sedangkan Luke mengantarnya hingga ke pintu masuk Rumah Sakit. Lelaki berusia 50tahun itu duduk di ruang tunggu dekat Bagian Informasi. Memasang handsfree. Menjawab panggilan Tuan Besarnya.

"Saya menunggu Nona Aira, Sir. Dia naik ke lantai dua."lapornya.

"Apa? Lei? Oh tadi ada di belakang saya. Dia di parkiran saya lihat tadi."jawabnya lagi. Kemudian mengakhiri pembicaraan dan mematikan handsfree.

Luke geleng-geleng kepala. Ia baca tabloid yang tersedia di meja ruang tunggu, sambil membatin tak percaya.

'Hanya mengantarkan seorang gadis ini, Mr Raave sampai memerintahkan Lei, Kepala Staff khusus mengikuti mobilnya. Sungguh sangat berharga Nona Aira baginya. Oh mungkin ia tak ingin terjadi penculikan lagi seperti sebelumnya.'batin Luke kagum.

Ruang Dokter

"Sudah lumayan pulih kan, Mba Aira?"tanya Dokter Alan.

"Ya Dok. Tapi punggung kadang nyeri. Sama perut.

"Iya, obat yang kami berikan saat Anda di rawat di sini memang agak keras. Jadi agak berpengaruh pada lambung. Namun tak masalah. Aman dijamin. Sudah melalui prosedur Quality control ketat."jelas sang Dokter. Kembali menuliskan resep. Dokter Alan sedikit ragu, menatap Aira.

Aira tersenyum sungkan. "Bisa tidak Dok, obat saya sedikit saja. Hehe"

Dokter Alan tergelak. "Bosan ya minum obat?"

Aira ikut tertawa kecil.

Usai menerima resep, Ia berpamitan, segera meninggalkan ruangan Dokter dan memeriksa lagi si resep. Di ruang tunggu bawah. Aira membandingkan dengan resep sebelumnya. Yang ternyata ia simpan dan kumpulkan jadi satu.

Berbeda sama sekali dengan yang sebelumnya. Juga saat pertama kali. Setiap resep berbeda. Ia sedikit ragu menebusnya, namun jika tidak ditebus, obatnya sudah habis. Tersisa hanya 3butir.

Akhirnya dengan memantapkan hati, ia melangkah ke Bagian Pharmacy. Menebus si resep. Gadis itu duduk santai, menunggu resep yang sedang disiapkan oleh para petugas. Ia hubungi Adnan.

"Hai, Ai. Gimana kondisimu, sudah baik kan?" Adnan terdengar senang.

"Iya aku baik, Nan. Bisa aku minta tolong?"Aira sedikit memelankan suaranya.

"Apa itu? Kayaknya serius"

"Aku kirim beberapa catatan ya. Kamu bagian Pharmacy kan? Aku minta tolong cek secara detail obat-obat yang aku kirim padamu."

"Oh oke oke. Siap. Aku tunggu"

"Makasih banget Nan"

"Sama sama, Ai"

Call end.

Aira mengambil gambar catatan resepnya beberapa. Nama nama obat untuk proses penyembuhannya. Kemudian ia segera kirimkan pada Adnan. Lewat chat biasanya.

"Biar dicek Staffku ya Ai. Tunggu aja. Nanti aku kabari"tulis Adnan di sebuah pesan singkat.

"Makasih Nan, oke"balas Aira.

Obatnya siap. Namanya telah dipangil. Aira maju, menerima obatnya dalam sebuah paperbag kecil khusus lalu menyelesaikan pembayaran.

Ia segera menghampiri Luke yang duduk tak jauh dari bagian Pharmacy.

"Saya selesai, Luke." Aira tersenyum, sambil menenteng paperbag.

Luke mengangguk, melipat surat kabar yang dibacanya, kemudian berjalan di belakang Aira menuju mobil.

Lei yang melihat dari kejauhan, mengawasi dengan seksama. Saat mobil sang sopir mulai melaju perlahan, meninggalkan halaman parkir Rumah sakit. "Kami pulang, Sir!"lapornya.

Luke melaju santai. Dengan Lei di belakangnya. Aira berulang kali melirik ponsel, menunggu kabar dari sahabatnya. Namun belum ada notifikasi apa-apa.

Hingga tiba di rumah tiga puluh menit kemudian, Adnan belum juga membalas pesan Aira.

Gadis itu mampir sebentar membeli Brown Sugar Coffee favoritnya. Ia juga membelikan Luke, Mojito lemon. Katanya Luke tak terlalu suka kopi, lebih suka air soda dingin. Jarak Rumah Sakit Royal dengan rumahnya hanya dua puluh menit sebenarnya.

Usai mengucapkan terima kasih, Luke pamit.

Aira masuk ke rumah. Memberikan Boba Cokelat Drink kesukaan Bu Wina. Yang disambut tawa girang wanita paruh baya itu. Ia duduk di sofa, menikmati minuman dengan cup besar itu santai. Meletakkan tas. Dan kembali mengecek ponsel.

Adnan membalas pesannya lewat aplikasi chat hijau.

"Aira, kami tak bisa mengaksesnya. Ini obat khusus, Ai. Diamankan dengan beberapa password dan kode khusus. Maaf sebelumnya."tulis Adnan.

"Hanya yang bersangkutan yang bisa membukanya"lanjut Adnan.

Aira menghubungi sang sahabat. "Apa maksudmu? Yang bersangkutan siapa?"

"Yang memiliki ijin edar obat ini. Tak bisa kami akses. Tak ada keterangan sama sekali."jawab Adnan.

"Begitu ya? Terima kasih, Nan"Tutup Aira. Call end

'Obat khusus??'batinnya. 'Ah siapa peduli, selama aku baik saja dan yang penting sakitku tertangani. Itu sudah cukup.' pikirnya pada akhirnya.

"Gimana tadi, check upnya?"tanya Bu Wina.

"Dikasih obat lagi, Bu."jawab Aira. Meneguk air oksigen yang dibawakan asistennya.

PRANAJA Tech.

Raave memasang handsfree. Mendengarkan seseorang bicara di seberang sana. Ia bersedekap. Mata hitamnya lurus ke jendela. Menikmati hijaunya Padang Golf yang membentang indah. Yang terlihat segar jika dipandang dari jendela ruangannya seperti ini.

"Sir...?"

"Oh, iya. Hm, bagaimana?"

"Anda tidak mendengarkan saya?"

"Aku dengar. Ehm... Hentikan saja. Stop it.. Now!"ujar Raave. Tegas. Ia usap bibirnya perlahan.

"Apa maksud Anda,Sir??!" si lelaki di seberang sana terkejut.

"Ya, hentikan saja. Cukup..." Raave mendesah dalam.

"Ada beberapa yang belum kita ujikan , Sir!"

"Aku tahu. Hentikan!"

Call end.

Raave menatap lagi pemandangan di jendela. Memasukkan tangannya di saku celana. Menunduk sejenak. Dan membawa setetes bulir bening, saat ia kembali mendongak. 'Ada apa denganku, sebenarnya? Ini aneh!' racaunya dalam hati. Heran dengan perasaannya sendiri. Tak percaya.

Lelaki itu melonggarkan dasi. Berbalik, duduk di kursinya.

Tok..tok..

Gio masuk, melangkah perlahan. Membawa sebuah kotak. Senyumnya sungguh lebar sekali. Ia tatap Tuannya dengan sedemikian rupa.

"G, kamu kurang tidur? Atau kurang bunga tujuh rupa??" Raave terkekeh. Melihat Sekretaris pribadinya berwajah aneh saat masuk ruangannya.

Gio seolah tak peduli. Ia sampai di depan Raave. Meletakkan kotak. Dengan mata berkedip beberapa kali. Senyumnya tak hilang.

"G!! Jangan konyol!!" Raave tak sabar.

Akhirnya Gio terbahak bahak, memegangi perut. "Itu ada bingkisan untuk Anda, Sir!"ujar Gio, cengengesan.

"Hm. Dari siapa ini? Sepertinya ini kesukaanku" komentar Raave. Senang. Mulai membuka kotak.

Gio mendekat, berbisik di telinga Raave. "Dari Nona Aira, Mr Raaaaave"suaranya dibuat buat sedemikian rupa.

Raave tersenyum. Memotong cake dengan perasaan yang lebih membuncah dari beberapa detik yang lalu. Ia gunakan piring kertas yang sudah tersedia di dalam kotak.

'Enjoy the cake. Have a nice day.' note kecil tertempel di atas kotak bagian dalam. Raave kembali tersenyum. Rasanya gurih seperti kesukaannya.

Beberapa waktu sebelum Aira diculik, Raave sempat bertanya soal Cake Mentega yang gurih. Aira dengan senang hati menjelaskan.

Raave mengajak Gio juga. Mereka makan dengan riang. Terutama sang lelaki CEO. Bukan hanya riang, hatinya hangat. Oleh Cake Mentega...

**