Raave keluar dari kamar mandi. Segar. Bersih. Tampak menawan dengan rambut basah, dan bathrobe yang tidak diikat. Jambangnya baru saja dicukur. Ia melangkah menuju lemari pakaian, memilih Tshirt kesayangannya.
Gio mengekorinya dari sudut mata. "Anda sudah terlihat tampan seperti biasanya, Mr Raave. Tak perlu memoles lagi wajah Anda itu" komentar Gio, melihat Raave bercermin. Menyisir rambutnya juga mengusap wajah.
Raave tersenyum tipis. "Wajahku memang menawan, G. Tapi kenapa ada juga gadis yang tidak mau denganku?"ujarnya. Menyemprotkan parfum ke leher dan dada.
Gio tergelak. "Nona Aira mau dengan Anda kok. Dia hanya takut, Sir. Saya lihat dia menyukai anda sebenarnya."
Raave menatap Gio. "Hei, aku tidak menyebutkan nama, G. Kenapa kau langsung tertuju padanya?"balasnya, heran.
"Memang. Tapi saya benar kan? Jujur saja, Mr Raave" Gio mendesak sang Tuan. Menggodanya.
Sang Tuan hanya tersenyum sekilas. Ia tatap ponselnya, menekan panel speed dial, menghubungi seseorang.
"Ya, Raave"
"Kamu di rumah, kan?"
"Ya, memang mau dimana lagi?"
"Oke" Raave terkekeh.
Call end
"Anda mau ke rumah Nona Aira?"tanya Gio, bersiap pulang.
"Hm. Kau pulanglah"jawab Raave.
Sang lelaki telah siap. Jaket dan kunci mobil, ponsel. Ia melangkah keluar kamar, dengan Gio di belakangnya.
Nyonya dan Tuan Pranaja sedang menginap di rumah saudaranya yang lain. Kedua orangtua Raave itu memang jarang di rumah. Menikmati masa tua dengan berlibur atau mengunjungi rumah rekan dan saudara.
Raave sebenarnya ingin memiliki rumah pribadi, namun Ibundanya melarang. Katanya, Beliau tak ingin jauh dari sang putra karena putrinya sudah jauh. Beliau tak ingin kedua anaknya semua jauh darinya. Paling tidak ada salah satu yang dekat.
Raave masuk ke mobil, melaju lumayan kencang. Luke, sopir pribadinya menawarkan diri mengantar, namun ia menolak.
45 menit ia sudah sampai di rumah sang gadis. Ia sedikit kencang saat sudah setengah perjalanan. Jarak Kediamannya di Bukit Golf Citraland, Surabaya, dengan Kompleks Green Terrace, rumah Aira, normalnya hampir satu jam.
Rumah Aira terbuka. Raave memarkir mobil di halaman depan, keluar dan berjalan pelan menuju pintu. Terdengar suara lelaki. Bukan suara Adnan.
Raave berdiri di ambang pintu. Melihat si Kepala Pemasaran duduk santai di sofa ruang tamu Aira. Aira di hadapannya. Mereka tampak mengobrol santai.
Aira kaget. "Raave..?"
Altan menoleh, semakin kaget. "Mr Raave? Anda di sini?"
"Ya, Tuan Altan, aku di sini. Ada keperluan apa malam begini ke rumah Aira?"tanya Raave ketus.
"Duduk Raave." Aira berdiri, menghampiri sang lelaki, menggandeng tangannya. Berbisik lirih, "Bisa kamu suruh dia pergi? Please!"lirih sekali. Namun sangat jelas di telinga Raave.
Seolah permintaan Aira adalah perintah mutlak untuknya, Raave segera 'Mengusir' si Kepala Pemasaran dengan halus. "Tuan Altan, saya bisa melihat laporan perkembangan untuk proyek kita ini?"tanya Raave. Ia duduk di samping Aira. Menggenggam tangannya.
Altan gugup. Laporan nya belum ia susun. Baru berupa draft di notebooknya. Dengan terbata, ia menjawab "Ba-baik Sir. Besok akan saya la-laporkan pada Anda se-segera. Anda di ka-kantor?"
Raave terkekeh geli, namun sekuat tenaga ditahan. Ia memasang ekspresi serius. "Oke. Oh bisa kamu antarkan ke Rumah 50 di pojok blok ini. Aku di sana besok."
Altan terkesiap. Aira menahan nafas.
"Apa maksudmu, Raave? Rumah 50 itu..."
"Dijual beserta seluruh isinya. Dan Anda membelinya, Sir?" Altan memotong ucapan Aira yang kaget.
Raave mengangguk. Tersenyum miring. Ia lepaskan jaketnya. Dadanya yang bidang, tubuhnya yang atletis, seolah sengaja ia pamerkan di balik balutan Tshirt navy berkerah itu.
Aira sedikit terpana. Dibanding dengan Raave, Altan memang kalah jauh. Sama sama mengenakan Tshirt berkerah. Raave tampak lebih, oh bukan, sangat lebih menawan daripada Altan. Sang CEO menang di segala aspek, wajah tampan, tubuh tinggi, atletis dan tentu saja, dia seorang CEO. Bahkan dengan semua mantan kekasihnya yang terdahulu. Tak ada apa-apanya dibanding lelaki rupawan yang duduk di sebelahnya ini.
Ia seolah termenung. Memikirkan betapa sempurnanya Raave. Ia semakin takut. Ragu. Kepalanya menunduk Refleks. Tangannya yang menggenggam Raave juga refleks mengencang.
Raave yang sedang berusaha membuat Altan pergi, spontan menoleh kepada Aira. Menatapnya khawatir.
"Baiklah, Aira, Mr Raave. Saya permisi kalau begitu. Saya akan memperbaiki laporan, Sir. Karena masih agak acak-acakan." Altan berdiri. Tersenyum sungkan pada Raave, lalu Menatap Aira. mulai melangkah keluar.
"Ati-ati Al"Ujar Aira, tersenyum. Mengawasi Altan, hingga lelaki itu tak tampak lagi.
Raave menatap Aira. Membelai pipi gadis itu, satu tangannya merengkuh Aira. "Kenapa kamu memintaku menyuruhnya pergi, Hm?"
"Dia memintaku lagi untuk jadi kekasihnya, Raave."jawab Aira.
"Lalu apa jawabanmu?"
"Aku tak mau"
"Kenapa?"
"Ya, aku sudah tak ada perasaan apa-apa lagi padanya. Maaf ya, merepotkanmu tadi" Aira tersenyum manis.
Membuat Raave melongo sesaat. "Oh, kenapa kamu di sini? Kamu harus banyak istirahat. By the way, kenapa tadi kamu mencengkeram tanganku?"
Aira memandangi Raave dalam. Menatap mata hitam pekat sang lelaki. Ia masih berada dalam rengkuhannya. Anehnya Ia tak menjauh lagi seperti sebelumnya. Malah seakan menikmati kehangatan tubuh Raave.
"Kamu melamun?"
"Kenapa kamu sekarang banyak bicara, Raave, padahal sebelumnya, jawabanmu tak lebih dari tiga atau empat kata."tanya Aira, kepo.
"Sama saja, kurasa"
"Tidak. Beda. Tadi aku berpikir, betapa sempurnanya dirimu. Aku membandingkanmu dengan Altan. Yah dia memang bukan tandinganmu, Raave"balas Aira lagi.
Raave mengangguk, tersenyum misterius.
"Kenapa kamu membeli Rumah 50?"
"Agar bisa gampang mengawasi proyek."jawab Raave, mengusap tengkuknya. Tersipu.
"Oh, benar juga. Proyek ini pendanaannya full darimu." Aira melangkah ke dalam. Melepaskan rengkuhan Raave yang tak melonggar sedikitpun. Ia mengambil cangkir dan teko, lalu menyeduh green tea.
Aira juga mengambil cake mentega yang kebetulan Ia beli. Online. Ia belum sanggup membawa mobil sendiri. Setelah Ia tata di nampan, ia suguhkan untuk Raave yang duduk bersila di depan TV.
"Kok duduk di bawah?"tanya Aira bingung. Ia ikut duduk di sebelah Raave, dengan menyandarkan punggung di sofa. Sedikit meringis, karena masih nyeri jika membentur sesuatu yang keras.
Raave membantunya agar nyaman duduk. "Tak apa, sesekali. rebahan saja, punggungmu masih nyeri kan?" Ia tatap Aira sedih.
Aira mengangguk pelan. Diminumnya obat dari Rumah Sakit, lalu obatnya sendiri beberapa menit kemudian.
"Bu Wina ga kelihatan?"tanya Raave.
"Di rumah saudaranya. Besok udah pulang mungkin."jawab Aira. Ia bergerak, mencari posisi yang nyaman. Namun tak bisa nyaman juga.
Raave yang memperhatikannya, mundur, bersandar di sofa. Ia tarik perlahan sang gadis, menyandarkannya di tubuh sebelah kanannya. "Lean on me"ujarnya.
Aira menatap Raave. Tersenyum. Menyandarkan kepala juga di sana. Menikmati debaran jantungnya yang kencang.
'Hei.. Tunggu sebentar!!'. Ia juga bisa merasakan debaran kencang lain. 'Raave kah? Pasti! lalu siapa lagi, tidak mungkin Bu Wina, kan?'batinnya.
Lelaki itu menggenggam tangan Aira, perlahan mendekatkan wajah. Meraih bibir sang gadis dengan bibirnya. Mengecupnya mesra.
Gadis yang suka hujan itu membalas kecupan Raave pelan.
Raave mendekapnya erat.
Mendadak, Aira tersentak. Nyeri di punggung dan perutnya berdenyut. Ia kaget, menjauh dari sang lelaki. Meringis, menahan sakit.
"Kamu kenapa, Ai??"tanya Raave khawatir.
Aira tersenyum, menggeleng. "Hanya sedikit nyeri. Aku ke kamar saja ya."
Raave mengangguk. "Kamu istirahatlah. Aku pulang ya." Ia belai pipi Aira.
Aira mengangguk, mengantar Raave hingga ke mobilnya. Memperhatikan mobil lelaki itu, melaju pelan dan berbelok ke rumah 50 di ujung blok.
Gadis itu senyum-senyum sendiri. 'Kamu ingin mengawasi proyek atau mengawasiku Raave, sebenarnya?' batin Aira geli. Masih dengan senyum terulas, Ia masuk ke rumah, mengunci pintu, mematikan lampu-lampu, dan segera naik ke lantai dua.
Berbaring nyaman, usai membersihkan ranjangnya. 'Siapkah aku berada di sisimu, Raave? Bahkan kamu membeli rumah di dekat rumah ini. Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Dariku?' suara hatinya riuh.
Tetap mengiringinya, kala Ia mulai menutup mata. Dengan bibir yang menyunggingkan senyum. Lupa, bahwa beberapa saat yang lalu perut dan punggungnya nyeri tak karuan.
Bukan bagian itu ternyata yang ia ingat, tetapi saat seorang lelaki tampan mengecup bibirnya, mendekapnya. Seakan tak ingin kehilangannya.
Raave calling...
Aira tersentak. Membuka mata, kemudian menekan panel hijau ponselnya,
"Ya, Raave. Kamu belum tidur?"
"Belum. Agak belum terbiasa di kamar baru. Istirahatlah."
"Ya, kamu juga istirahat"
Call end.
Ia simpan lagi ponselnya. Memejamkan mata.
Esoknya...
Aira bukan dibangunkan oleh alarm seperti yang terjadi di pagi-pagi sebelumnya. Namun oleh keriuhan yang entah apa. Terdengar begitu dekat.
Ia bangun dengan enggan. Melirik ponsel, jam 6 pagi. Melangkah pelan ke jendela, menyibak tirai, membuka jendelanya.
Beberapa wanita dan Ibu-Ibu kompleks ternyata. Senam rutin tiap Minggu pagi, di halaman salah satu warga yang luas. Aira pernah ikut beberapa kali, tapi semenjak sakit, ia tak lagi bergabung.
Dan kumpulan wanita-wanita Pesenam ini berteriak tertahan pada seorang pria yang berdiri di depan kantor Altan. Aira bisa melihatnya jelas, karena lantai duanya Ia sengaja buat agak lebih tinggi dari rumah lainnya.
Raave. Si pria rupawan, yang berdiri di sana. Memakai kaos olahraga tanpa lengan, celana pendek, sepatu. Handsfree di telinga. Sebotol air mineral. Ia berbicara dengan Altan yang berwajah bangun tidur.
Kemungkinan besar, Altan lembur di kantor, tidur di sana untuk menyelsaikan laporan yang diminta Raave.
Raave tampak berlari. Ia menaikkan tudung kaosnya. Diiringi teriakan histeris para Pesenam. Wajah mereka penuh dengan binar. Terpesona, terpukau, terpana, dan ter ter lainnya.
Sementara si lelaki mempesona berlari ringan dengan santai. Menuju sebuah rumah, dengan halaman cukup luas dan asri. Satu satunya rumah dengan ukuran lantai duanya yang paling menjulang diantara yang lain.
Raave berhenti, mengatur nafas. Lalu mulai mengetuk pintu.
Aira segera membukanya. Raave dengan senyum manisnya yang pertama kali Ia lihat. Penuh keringat,
namun justru semakin menawan.
"Hai. Kamu baik saja kan, wajahmu pucat?" Raave meneguk habis airnya. Lalu membelai pipi Aira. Menatapnya sendu.
Ia buang botol ke tempat sampah. Mengikuti gadis itu masuk rumah.
Aira menghempaskan diri di sofa ruang TV. Menyandarkan kepala. Pusing dan berputar. Lemas.
Raave duduk di samping Aira. "Are you okay, Ai?"
Sang gadis memejamkan mata rapat. Tak merespon kata kata Raave.
"Aira..!!"
**