Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 15 - KAMU BISA BERHARAP PADAKU

Chapter 15 - KAMU BISA BERHARAP PADAKU

Hari ketiga di Rumah sakit. Zii dan Adnan menemaninya hingga agak sore. Dari jam makan siang. Membawakannya berbagai cemilan dan makanan berat kesukaan Aira.

Aira masih terlalu lemah untuk beraktifitas. Walau hanya sekedar bangun dan berjalan ke toilet. Tubuhnya seolah remuk. Beruntungnya, tak ada tulang yang patah.

Namun ia lemas sepanjang hari. Belum lagi, luka di wajahnya. Pedih, jika diusap terlalu keras. Punggung dan perutnya nyeri luar biasa.

Seingatnya waktu itu, anak buah Anne, memukulnya dengan sebuah balok kayu. Di punggung dan perut.

Menamparnya berulang kali. Dan parahnya ia mimisan tak berhenti. Aira berpikir hidupnya akan berakhir saat itu juga. flashback on

Saat itu, Sore saat ia pulang dari BookShop, ada seseorang yang menumpang di mobilnya. Meminta tolong diantarkan ke rumah saudaranya yang juga satu kompeks dengan Aira.

Dan ternyata di tengah jalan, ia dibekap dan dibius. Langsung dibawa ke gudang tempatnya disekap. Sempat diinterogasi juga oleh Anne. Ia sengaja mendramatisir jawabannya. Ingin membuat Anne marah.

Tiga hari disekap, ia hanya membawa satu macam obat, yang tak berguna sama sekali. Tak meringankan mimisan atau lemas di tubuhnya. Paling tidak jika saat itu dia tak lemas, ia akan mencari cara untuk melarikan diri. Sementara ponselnya disita oleh Anne.

Sayangnya harapan tinggalah harapan. Ia dikurung di sebuah ruang penuh potongan kayu. Besar dan kecil. Seperti workshop untuk perajin furnitur. Anak buah Anne mengantarkan makanan setiap pagi dan sore.

Untungnya Staff Raave segera tahu, dan sang lelaki langsung datang menolong. flashback end

"Mikirin apa ,Ai?"tanya Zii. Memandang sedih sang sahabat.

Aira mengubah posisi tidurnya. "Ga mikir apa apa, Zii. Hanya ingin merem aja bawaannya."balasnya lemas.

Adnan dan Zii mengusap lengan Aira bersama. Dengan tatapan sedih. "Oke, tidur aja. Kamu memang harus istirahat total. Bu Wina kemana?"

"Di bawah cari makan tadi" jawab Aira sambil menutup mata.

Beberapa saat, Bu Wina datang. Membawa makanan kecil. "Bu, tungguin ya. Kami mau pulang. balik ke kantor. Besok sini lagi"pamit Zii. Usai mencium pipi Aira, dan berpamitan, kedua sahabat dekat itu, keluar dari kamar.

Aira memejamkan mata rapat. Bu Wina menaikkan selimutnya. Kemudian duduk di sofa besar nan nyaman di sudut dekat jendela. Baru saja ia duduk santai, Bu Wina kembali berdiri.

Raave datang. Langsung menghampiri Aira. Ia belai pipinya. Tersenyum sedih. Aira tidur pulas. Selimutnya menutupi seluruh tubuh. Lelaki itu duduk di sisi ranjang. Ia pakai handsfree menjawab panggilan Gio.

"Hm"

"Tuan Edo dari PT..."

"Tunda jadwalku hari ini."balas Raave

"Bagaimana dengan launching Micro..."

"Kamu tak dengar perintahku, G??"

"Ba-baik, Sir!" call end.

Raave menyimpan handsfree. Sedikit terkejut, tangannya digenggam oleh Aira. Gadis itu masih memejamkan mata.

Ia balas genggaman tangan Aira. Mengusap usap kepalanya. "Sudah bangun?"tanyanya lembut.

Aira mengangguk, masih dengan menutup mata.

Raave tersenyum, "Tidurlah lagi. Kamu harus banyak istirahat"

"Kamu, mau kembali ke kantor?" Aira membuka mata.

"Tidak, bukankah aku di sini."

"Bisakah aku minta tolong?"

"Hm, katakan." Raave membetulkan juntaian rambut yang kacau di wajah Aira. Tersenyum geli.

"Bolehkah aku memintamu menemaniku sebentar? Saat kamu di sini, nyeri di tubuhku seolah lenyap begitu saja"

Aira memejamkan mata, tersenyum tipis. Masih dengan tangannya yang bertaut dengan tangan Raave.

Sang CEO mengulas senyum penuh arti. "Aku akan di sini menemanimu."jawab Raave singkat.

"Terima kasih." Aira tersenyum, lalu kembali memejamkan mata. "Jika aku sudah tidur, kamu bisa pergi."

Raave menatap haru sang gadis. Memandanginya lekat. Menyunggingkan senyum, genggaman Aira mulai longgar. Ia telah pulas, nampaknya. Namun Raave tak melepaskan tangannya. Ia biarkan tetap di sana. Menikmati perasaan yang sama sekali baru baginya. Benar-benar baru.

"I will be here, even though you have been dreaming."lirihnya. Ikut merebahkan kepala, dengan genggaman tangan yang ia lebih eratkan.

Beberapa jam berlalu, Aira membuka mata. Tangannya masih digenggam Raave, sementara lelaki itu nyenyak, dengan kepala rebah di atas tangannya yang lain.

Aira tersenyum. Memandangi wajah lelaki yang tidur itu lekat. Ia tarik tangannya. Tak bisa. Genggaman Raave begitu kuat. Padahal sang lelaki tidur nyenyak.

Akhirnya ia menyerah. Aira bangun. Ia gunakan tangannya yang lain meraih botol airnya di meja nakas. Membukanya dengan satu tangan. Langsung meneguknya hingga tak tersisa.

Ia kembalikan botol, lalu mengambil ponselnya di laci nakas. Beberapa notifikasi pesan. Altan.

'Ai, kudengar kamu di Rumah sakit. Maaf belum bisa menengokmu. Aku masih mengurusi proyek. Cepat sehat ya Ai. Aku masih boleh ke rumahmu, kan?'

Aira terkekeh geli. Altan seolah takut.

'Ya, tentu kamu boleh ke rumahku, Al. Tak apa kamu sibuk. Aku bisa mengerti. Terima kasih, Al' balas Aira.

Kembali mengutak-atik ponsel, Aira lalu meletakkannya di sisi bantal.

"Si lelaki pendek itu lagi?" suara berat Raave membuat Aira hampir melompat kaget.

Raave menggeliat, meregangkan tubuh. Kemudian menopang dagu, menatap Aira dalam. Menunggu jawaban.

"Lelaki pendek?"

"Hm. Kepala Pemasaran yang gayanya petantang petenteng. Sok keren. Sok punya tubuh ideal. Dan mengadi-ngadi ingin kembali jadi kekasihmu?"balas Raave pedas. Ekspresinya sungguh menunjukkan ketidak sukaannya pada sang Kepala Pemasaran.

'Oh GOD. Lelaki ini bicaranya pedas sekali. Menakutkan!'batin Aira.

Aira tersenyum kaku, mengangguk.

"Dia sering mengajakmu keluar?"

"Kami baru bertemu saat proyek dimulai, Raave. Seminggu lalu barangkali."

"Dia sering ke rumahmu?"

"Ya kan kantor Properti ada satu blok denganku, dia melewati rumahku setiap hari. Kadangkala saja"

"Hm. Dia mantan kekasihmu?"

"Ya"

"Kenapa kalian putus?"

"Dia berkata pada semua orang bahwa calon istrinya model papan atas. Yaa.. Begitulah"

Raave semakin terlihat tak suka. "Hm. bukan tipe lelaki sejati, playboy"

"Memangnya kamu tidak playboy?" Aira menatap Raave tajam.

Seketika Raave menegang.

"Anne kekasihmu kan?"

"Kalau soal itu, bisa kujelaskan..."

"Yes, I'm listening, Mr Raave"

"Dia bukan kekasihku, kami hanya sekedar dekat. Aku tak pernah berkata atau menyatakan perasaanku padanya. Karena bagiku, dia hanya seperti wanita-wanita sebelumnya."

Aira mendesah panjang. "Terima kasih kalau begitu"

"Kamu cemburu?"

"Oh, tidak. Sama sekali tidak. Hanya saja kenapa dia sampai berbuat begini, jika dia hanya kau anggap seperti wanitamu yang lain. Berarti dia sangat mencintaimu, kurasa"

"Tapi aku sama sekali tak cinta padanya. Sukapun tidak. Malah sekarang aku benci padanya"

"Kenapa?"

"Karena dia telah melukaimu seperti ini." Raave menunduk. Bernafas dalam. "Apakah kata-kata Anne waktu itu benar?"

"Yang mana?"

"Well, dia bilang bahwa kamu lebih baik berakhir di tangannya, daripada harus menjauhiku." Raave penasaran. Sudah dari semenjak Aira sadar. Ingin bertanya hal yang satu ini.

Aira tersenyum. "Aku hanya memancing emosinya. Sekedar menggodanya. Dan dia memakan umpanku, dia marah besar. Namun jika memang aku harus berakhir di gudang ya, mau bagaimana lagi." jawab Aira santai. Seolah perkara hidup dan mati tidak terlalu penting baginya.

Raave menegang, seketika wajahnya memerah. "Dengar, jika kamu berakhir di gudang itu. Maka aku akan mengakhiri hidup Anne juga disitu. Kamu tak memikirkan bagaimana perasaan orangtuamu, Nona manis?? Hm? Kenapa dengan entengnya kamu bicara begitu?!!"geram Raave. Menangkup wajah gadis di hadapannya. Matanya berkaca kaca.

Aira tersentak kaget. Ia tatap sang lelaki yang terlihat shock itu.

Raave mengerjap, menjaga agar bulir bening yang siap jatuh dari matanya, tidak jadi jatuh.

"Apa yang kuharapkan? Aku sudah babak belur waktu itu. Ditambah lagi mimisan, tubuhku lemas. Sakitku kambuh. Apa lagi yang bisa kuharapkan? Makanya kubuat dia emosi, biar sekalian saja"

"Kamu lupa masih ada aku, Hm?"

"Jujur saja. Aku tak berharap kamu menolongku. Aku sudah benar benar kehilangan harapan. Jika kamu ingin tahu."

Raave menggenggam tangan Aira. "Kamu bisa berharap padaku"

"Apa kamu merasa bersalah dengan semua yang terjadi padaku?"tanya Aira

Raave memandangi Aira dengan heran.

"Maaf, kamu tak perlu merasa bersalah soal ini. Aku juga tak mempermasalahkannya, Raave. Jadi, biasa saja kurasa."

"Apanya yang biasa?"Raave semakin linglung.

"Sikap dan perlakuanmu. Aku tak akan berharap. Kamu masih akan memesan buku di BookShop kan? Dan kita tetap akan jadi relasi juga kan?" Aira tersenyum, menarik tangannya dari genggaman Raave.

"Relasi?" Raave menatap Aira dalam.

"Ya, kamu adalah Customer setia BookShop Raave. Bukankah kita relasi?" Aira menekankan kata relasi lebih dalam.

Raave menundukkan kepala. Lalu kembali mendongak, mengulas senyum. Entah jenis senyum apa.

*

Malam itu, Raave duduk di kursi balkon kamar. Memegang sebotol wine, dan ponsel di tangan yang lain. Berulang kali memandangi ponsel. Namun tak ada notifikasi apapun di sana.

Raave menghela nafas dalam. Ia buka kancing kemejanya.

"Mr Raave..?" Gio menghampirinya. Membawa makan malam.

Raave menoleh sekilas. Lalu kembali menenggak wine. "Aku tidak lapar, G"

"Dari tadi pagi, Anda belum makan, Sir. Hanya minum wine saja"

Raave menatap ponsel lagi. Masih tak ada apa apa.

"Menunggu Nona Aira menghubungi?" Gio menebak.

"Kau memang jenius"balas Raave. Ia berdiri. Membuang botol wine kosong ke tempat sampah. Kemudian membuka kemejanya. Berjalan ke kamar mandi. Menghilang di balik pintu.

Gio menggeleng-gelengkan kepala.

Raave berendam. Melanjutkan lamunannya yang tertunda di balkon tadi. Ia mengusap kepala, ponselnya ia bawa. Ia letakkan di meja kecil khusus di dekat bathtub.

Lelaki itu menyandarkan kepala. Teringat lagi kata-kata Aira saat pulang dari Rumah sakit. Flashback on

Aira menjauh, ketika ia mendekat, membelai pipinya dan berniat mengecup bibirnya. Raave mengantar sang gadis hingga ke kamar. Memastikan ia istirahat. Karena seminggu di Rumah Sakit, tak membuat Aira benar-benar pulih.

"Maaf, Raave." Aira menunduk.

"Kenapa?"

"Aku takut. Jika nanti ada gadis yang menyukaimu lagi, lalu seperti Anne... "jawab Aira gemetar.

"Hei, itu tak akan terjadi" Raave menarik Aira ke pelukannya.

"Kamu merasa bersalah, makanya mendekatiku seperti ini?"tanya Aira. Menatap Raave dalam.

"Tidak sama sekali. Maksudku, bukan karena merasa bersalah."

Aira masih semakin menjauh. "Bisakah kita biasa saja, Raave? Please. Anggap saja memang aku yang bernasib buruk, di tangan Anne. Kamu jangan merasa bersalah." flashback end

Raave menggelamkan diri, kemudian muncul lagi. Ia usap mukanya yang penuh sabun.

Lagi. Menatap ponsel. Kemarin-kemarin, di jam begini, ia menghubungi Aira. Namun jika ia sibuk, maka biasanya Aira yang menghubunginya.

Kali ini, Aira benar benar menganggapnya hanya relasi BookShop. Teman biasa. Bukan apa-apa.

Continued...