Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 14 - YOU CRYING??

Chapter 14 - YOU CRYING??

"Nona Ai diculik orang suruhan Nona Anne, Sir. Dia disekap sekarang, di gudang kosong."Ucap Gio. Suaranya berat dan dalam.

Raave membeku, jantungnya seolah berhenti, masih diTatapnya Gio dengan tatapan kosong, Lalu tiba-tiba saja Ia Lunglai. ambruk.

"Mr Raave..!!!" Gio terlihat khawatir, memapah sang Tuan duduk di sofa. Namun Raave segera sadar, ia langsung berdiri. "Kita kesana, SEKARANG!!"perintahnya. Wajahnya muram dan emosi. Raave menyambar jaket dan kunci mobil lalu keluar kamar, berlari dengan ,Gio di belakangnya.

"Bagaimana keadaannya sekarang!?"tanya Raave, dalam perjalanan. Wajahnya tegang.

"Menurut Staff di lapangan, Nona Ai dipukul Nona Anne , Sir. Dan..."

"DAN APAA!?!"teriak Raave tak sabar.

"Sakitnya kambuh, membuatnya semakin lemah." Gio bicara dengan hati-hati. Takut membuat sang Tuan semakin emosi.

Raave menunduk, memejamkan mata rapat. Rahangnya mengeras. Tubuhnya gemetar hebat. "Cepat G!! Percepat jalanmu!!"teriak Raave, frustasi.

Gio mengikuti instruksi anak buahnya tentang lokasi gudang.

Begitu tiba disana, sebuah gudang tua. Tak terpakai lagi. Namun masih terawat dan bersih. Raave membanting pintu mobil, segera turun, masuk begitu saja pada sebuah pintu dengan lampu menyala di dalamnya.

"ANNE!! KELUAR KAU!! APA MAUMU??!!"teriak Raave marah. Ia melihat sekeliling. Hening.

"ANNE ADRIANA!!!"panggilnya lagi, kasar.

Beberapa menit berlalu, Seorang perempuan keluar. Dari dalam sebuah ruang tak berpintu. Cantik, mengenakan dress pendek dengan rambut diikat tinggi ke belakang. Ia tersenyum ke arah Raave. Menghampirinya. Namun begitu ia tiba di depannya, lelaki itu menamparnya dengan kasar.

"DIMANA AIRA?!!"tanyanya emosi. Suaranya menggema di gudang yang luas dan kosong itu. Menggelegar.

Si perempuan diam saja, mengusap pipinya. Menatap tak percaya pada Raave. Dengan muka masam, Ia menepuk tangan dua kali. Kemudian Beberapa wanita berpakaian preman, muncul dari arah yang sama dengan Anne tadi, membopong Aira yang tak sadarkan diri.

"Jadi benar ini kekasihmu yang sekarang, Raave? Kau mencampakkanku karena gadis ini?!!"teriak Anne geram.

"Kau tak lagi menemuiku, tak lagi melimpahiku dengan waktumu, hanya karena dia??!!!"lanjutnya semakin memekik emosi. Menunjuk tak suka pada Aira yang tak berdaya.

Raave tak mempedulikan Anne, ia terus memandangi Aira yang penuh luka, Berbaring tak berdaya di lantai. Wajahnya penuh lebam, bibirnya berdarah, juga dari hidung, dahi, tangan, kaki.

Lelaki itu menutup mata, mengepalkan tangan. Menggeram rendah. Nafasnya cepat. "KAU APAKAN AIRA?!!!"pekiknya.

Anne tersenyum, "Hanya sedikit kuberi pelajaran. Agar dia tak macam-macam padaku. Juga agar tak lagi mendekatimu! Tapi apa kau tahu jawabannya??"

Raave menatap benci Anne. Perempuan yang selama ini hanya sekedar dekat, seperti wanitanya yang lain. Sempat juga dikenalkan pada orangtuanya.

"Dia menolak, Raave!! Dia tak mau menjauhimu! Bahkan, apa kau tahu hal mengejutkan apa yang dia katakan padaku??"

Raave bernafas cepat, tubuhnya masih begitu gemetar. Tangannya mengepal sempurna. Mendengarkan celotehan wanita jalang di depannya.

"Dia lebih baik berakhir di tanganku, daripada harus menjauhimu!!! Hahahahh.. Rupanya dia cinta mati padamu, sayang!!" Anne bercerita tanpa titik koma.

Sang CEO mematung mendengar cerita Anne. 'Benarkah seperti itu?'batinnya. Ia tatap Aira yang memejamkan mata. Jantungnya berdebar sangat kencang. Matanya tergenang seperti sungai yang dalam. Hanya perlu mengguncangnya sedikit, maka sungai itu akan meluap. Menumpahkan seluruh air keluar dari tempat semestinya.

"Tak usah mengoceh hal-hal yang tak perlu, Anne!!"teriak Raave.

"Kau tak percaya?? Aku merekamnya. Sungguh. Aku tak menyangka, Raave!!" Anne bertepuk tangan. Tertawa lebar.

Raave menunduk, Berusaha meredam amarah. "GIO!!"

"Yes, Sir!"

"HABISI MEREKA!! TANPA TERSISA!! SURUH STAFF KHUSUSMU MEMBERI PELAJARAN PADA PEREMPUAN DI DEPANKU INI, SEPERTI YANG DIA LAKUKAN PADA AIRA!!!"perintah Raave tegas, lantang. Amarahnya membuncah begitu hebat. Menatap tajam perempuan di depannya.

Seketika, segerombolan besar pria berpakaian serba tertutup mengepung tempat itu, mereka bersenjata. Menghabisi satu persatu anak buah si perempuan. Sedangkan Anne, terlihat bingung.

Raave berlari menghampiri Aira, memangkunya. "Ai, kamu masih sadar?"tanyanya parau.

Sang gadis membuka mata pelan. Membelai pipi Raave, kemudian memejamkan mata lagi. Segera ia angkat Aira menuju mobil. Samar ia mendengar jerit kesakitan Anne, saat Salah satu Staff khususnya menjambak rambut si perempuan jalang.

Rumah Sakit

"Pendarahan internal, karena pukulan benda tumpul di perutnya. Beberapa bekas pukulan juga di dahi, tangan kaki, dan punggung. Sebenarnya dia kenapa, Tuan Raave, hingga separah ini kondisinya?" tanya Dokter prihatin. Ia tatap Raave dalam.

Raave hanya menggeleng, "Dia diculik Dok. Mungkin di pukul, entah apalagi..."jawab Raave sedih. "Tapi bagaimana kondisinya?"

"Kritis" singkat, jelas. Dokter menghela nafas dalam. Menepuk pundak Raave sebelum undur diri. Menyerahkan sesuatu padanya, "Obat ini ditemukan di saku blusnya, Tuan. Anda bawa saja"

Raave terduduk di kursi di depan ICU. Ia tutupi mukanya dengan kedua tangan, mengusap kasar airmata yang luruh tanpa diperintah.

"Apa yang kulakukan hingga Aira harus seperti ini?"bisiknya lirih. "I'm so sorry, Dear"

Esoknya...

Raave tertidur di sofa Ruang Perawatan Intensive. Aira masih kritis. Efek pukulan benda tumpul, ditambah penyakitnya, memperparah keadaan sang gadis. Detak jantungnya belum stabil.

"Ai..!!" suara Adnan menggema. Raave membuka mata. Terkejut melihat Adnan dan Zii. Sahabat Aira itu, menghampiri ranjang. Menggenggam tangannya erat. "Ai, kamu akan baik saja, kan?"lirihnya. Pandangannya beralih pada Raave.

Dengan ekspresi penuh emosi, ia hampiri sang lelaki. Kemudian melayangkan sebuah pukulan hebat di wajah Raave. "Semua ini gara-gara kamu kan?!"teriaknya dengan suara rendah.

Zii hanya bisa diam, saat Adnan membogem Raave dengan kuatnya.

Ia memilih menemani sang sahabat. Yang masih tak sadarkan diri dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Terisak lirih, Zii menggenggam tangan Aira. "Sayang, bangun. Aku temani kamu, Ai. Kamu sahabatku, adikku. Kamu gadis tangguh, Dear."isaknya.

Raave diam, tak melawan. Ia usap darah di sudut bibirnya. "Ayo, pukul aku lagi! Kenapa berhenti?"tantangnya.

Adnan menggeram, melayangkan pukulan hebat lain ke perut Raave. Lelaki itu, oleng. Gio secepat kilat masuk, lalu menghentikan Adnan yang kembali memukul wajah Raave.

"Hentikan, Tuan Adnan. Dengan memukul Mr Raave, tak membuat Nona Aira sadar kan?"ketus Gio. "Jika anda tak mau sabar, saya harap Anda meninggalkan ruangan ini saja, karena Nona Aira masih butuh pemulihan"

"Aku akan menemani Aira. Kalian keluar dulu!!"bentak Adnan emosi.

Raave mengkode Gio agar keluar. Gio sudah akan protes namun Raave meletakkan jari di mulut, memintanya diam. Sambil melangkah pelan, keluar. Dirangkul Gio yang menatap tak suka pada Adnan.

Adnan duduk di sisi ranjang Aira. Zii di sisi lainnya. Mereka berdua diam. Hening. Memandangi sahabat dekat mereka yang tak berdaya. Berulang kali mengusap airmata.

"Kenapa bisa gini, Ai? Aku udah curiga, waktu Raave tanya padaku soal kamu yang mendadak ngilang. Aku juga tahu, Raave punya banyak mantan kekasih yang bisa nekat berbuat apa saja. Aku paham track recordnya, Ai"gumam Adnan sedih. Ia usap matanya yang basah.

Zii mengusap lengan Adnan. "Ya. Yang Aira perlukan sekarang doa dan perhatian kita, Nan. Jangan nyalahin siapa siapa. Aku yakin Raave juga ga tahu hal ini. Karena jika dia tahu, dia ga akan membiarkannya kan?"timpalnya.

Adnan menunduk.

Ruang Tunggu

Gio kembali dibuat melongo. Untuk pertama kalinya, Tuan mudanya menangisi seorang gadis.

"Ai, bangunlah!"bisik Raave pilu. Duduk di kursi, bersandar dengan muka berantakan tak karuan.

"Gio, kau sudah bereskan Anne kan?"

"Sudah ,Sir! Dia dihajar oleh Staff khusus kita hingga babak belur. Mematahkan beberapa tulang, juga membuat wajahnya nampaknya tak lagi cantik seperti sebelumnya"cerita Gio.

"Sebenarnya ada lagi yang aku ingin kamu lakukan, G. Ini adalah harga yang harus dia bayar karena membuat Aira kritis."bisik Raave. Masih penuh emosi. Ia berbisik di telinga Gio. Dengan sang Sekretaris mengangguk mengerti kemudian tersenyum. Bergegas pergi untuk melaksanakan misi.

Raave tersenyum miring. "Kita lihat, siapa yang lebih berkuasa di sini!"gumamnya lirih.

Raave memandang kosong langit langit ruangan tunggu VIP itu.

'Hanya padamu, aku bisa seperti ini. Cuma denganmu, aku merasakan sesaknya cemburu. Dan sekarang, kamu terluka, tubuhmu juga hatimu. Dan aku seolah juga merasakan sakitnya... Aira. Apa yang sudah kamu lakukan padaku?'

'Dulu, saat kita bertemu untuk pertama kalinya, tak ada yang khusus kurasa. Aku menjalani hari dengan biasa saja. Lalu kita bertemu lagi, kala itu, kamu berteduh, di bawah pohon, mobilmu di bengkel. Aku tak sengaja lewat di depanmu. Kurasa, untuk pertama kalinya, aku terpesona padamu, pada rambut basahmu, wajah manismu saat gelisah menunggu hujan reda. Namun itu juga masih biasa saja. Dan saat aku mendengar dari Staff administrasimu, kamu sakit. Tahukah kamu, Aira. Perasaan apa yang kurasa saat itu. Aku begitu takut. Aku datang ke rumahmu, kamu selalu memanggilku Tuan. Kamu gadis yang sopan,Ai.'

'Lalu saat aku mengenalkanmu sebagai kekasih pada Ayah dan Ibu. Aku belum yakin sebenarnya, saat itu. Kamu sedikit emosi setelahnya. Tapi kamu membuka sebuah rahasia, yang jika kamu tahu, mengubahku seterusnya. Kamu sakit. Leukimia. Aira... Aku...'

"Kami pulang ya, nanti kami kesini lagi" Zii keluar bersama Adnan dengan mata sembab. Membuyarkan keriuhan hatinya.

Adnan sudah lebih dulu melangkah. Zii tersenyum pada Raave. Kemudian pamit pergi.

Raave tersenyum tipis, mengangguk. Ia masuk ke kamar Aira, kembali duduk di sisi ranjang. Memandangi sang gadis.

Aira bergerak sedikit. Tangan dan jarinya. Raave yang tahu hal itu, segera menggenggam tangan sang gadis. Tersenyum. Ia belai pipi Aira. "Ai..."

Aira membuka mata, perlahan. Mengerjap, sedikit meringis kesakitan. Ia tatap Raave, ia belai wajahnya. "You crying??" lirihnya. Raave mengusap pipinya yang basah. Memar di pipinya terlihat jelas. Gadis itu juga melihatnya, tatapannya khawatir. "Ini kenapa?"lirihnya, lemas.

"Bukan apa-apa. Istirahatlah."ujar Raave, bulir bening itu tak mau berhenti. Hingga Aira mengusapnya juga. Seolah mengungkapkan isi hati yang sebenarnya.

Ia lepas ventilatornya. Wajahnya pucat dengan beberapa lebam menghiasi dahi, pipi, sudut bibir.

Rasanya Raave tak sanggup melihatnya. Belum di tangan dan kaki. Kata Dokter, di punggung juga ada bekas pukulan hebat. Raave mengusap airmatanya yang turun. Mengalihkan pandangan.

"Jangan nangis, Raave." gumamnya parau. Justru Aira yang bingung. Baru kali ini ia lihat lelaki itu menangis, entah kenapa.

Sang lelaki kembali menciumi tangannya. "Maaf soal Anne, aku sungguh minta maaf."

Aira tersenyum lemah.

*