"Hai, Ai. Lagi ga sibuk kan?" Altan datang sore itu. Aira baru saja selesai mandi, usai pulang dari BookShop.
"Ada apa, Al?"
"Boleh aku ajak kamu ngopi sore?"Altan terlihat semangat.
Aira tampak berpikir. Sejujurnya, tubuhnya lemas. Dan jika tadi Altan tak datang, ia akan tidur sebentar. "Ehm..."
"Pliss, Ai" Altan memohon.
"Ok"jawabnya akhirnya.
Altan membukakan pintu mobilnya untuk sang gadis. Aira hanya memakai tshirt dan rok pendek. Ia tutupi dengan sweater kesayangannya.
Sang lelaki tidak segera masuk mobil. Ia diam, bernafas dalam. Masih dengan pintu mobil terbuka dengan sang gadis di hadapannya, Altan meraih tangan Aira.
"Ai.. "
"Ya.."
"Aku masih sayang padamu, maukah kamu kembali jadi kekasihku?" pinta Altan dengan tatapan penuh cinta.
Aira sedikit terkejut dengan ucapan Altan. Ternyata mungkin selama ini, masih dipendamnya perasaan itu. Aira sudah akan membuka mulut,
Tetapi...
"EHEMMM...!!!" suara deheman yang lantang dan berat.
Refleks, ALtan dan Aira menoleh ke arah sumber suara. Aira keluar dari mobil. Kaget.
Raave bersandar di MPVnya. Begitu menawan, memakai Tshirt yang begitu memperlihatkan dada bidangnya. Dilipatnya tangan di depan dada. Mata hitamnya tertutup kacamata. Namun tak ada sedikitpun senyum di wajahnya yang rupawan.
Ia berjalan pelan menghampiri Altan.
"Sir, Anda di sini?"tanya Altan menunduk hormat.
Aira mulai lemas lagi. 'Sial!! Kenapa di saat begini!'umpatnya dalam hati. Raave semakin mendekat.
"Hm"balas lelaki itu singkat. Ia berhenti di depan Altan dan Aira yang mulai tampak pucat.
Gadis itu mencengkeram pintu mobil Altan dengan kencang. Mengatur nafas.
Raave melepas kacamata hitamnya dengan kasar. Menatap dalam sang gadis. Sejurus kemudian, tangannya terulur, menangkap Aira yang lunglai begitu saja, Memejamkan mata.
"Aira..!!"teriak kedua lelaki itu bersama.
Rumah sakit
Aroma Rumah Sakit menguar tajam. Memaksa Aira membuka mata. Bu Wina merebahkan kepala di sisi ranjangnya. Gadis itu mengerjap. Menyesuaikan cahaya di sekeliling. Ia sedikit bergerak.
Bu Wina bangun. Mengusap lengan sang Nona. "Mba. Sudah bangun?"
Aira mengangguk. "Saya di Rumah sakit lagi, Bu?"
"Iya, diantar Mas Raave tadi. Ini orangnya lagi bicara dengan Dokter."jels Bu Wina.
Sang gadis menyamankan posisi berbaringnya.
"Saya cari minum sebentar ya Mba"pamit Bu Wina, yang diangguki Aira. Ia kembali memejamkan mata. Berusaha tidur. Ia bertanya tanya kemana perginya Altan.
Pastilah sudah diusir Raave dengan tidak hormat. Mengingat sebelumnya, tatapannya begitu tajam pada sang Kepala Pemasaran.
Usapan lembut di kepalanya, membuat Aira terpaksa membuka mata, menoleh. Raave tersenyum padanya. Sungguh senyum manis yang pernah Aira lihat.
"Masih pusing?"tanya Raave, suara selembut beledunya kembali mengalun. Aira menggeleng pelan. Menatap sang lelaki yang duduk di kursi samping ranjang.
Raave meraih tangan gadis itu perlahan, menggenggamnya. Dengan tangan bebas lain mengutak-atik ponsel. Wajahnya begitu serius.
Aira sedikit kaget. Sudah akan menarik kembali tangannya, namun genggaman erat Raave membuatnya mengurungkan niat. Ia masih memandangi sang lelaki, dalam.
Akhirnya, Ia kembali memejamkan mata. Tidur, agar kondisinya secepatnya pulih, jadi tak perlu berlama lama di Rumah sakit.
Raave membelai pipinya. Lalu melepaskan genggaman. Bisa Aira rasakan walau matanya terpejam. Dan hening. Mungkin Raave keluar dari kamarnya.
Berganti suara seorang wanita. Bukan Bu Wina.
"Jadi Dia...?"gumamnya pelan. Kemudian terdengar suara heels yang semakin menjauh.
Hening lagi.
Aira membuka mata. Tak ada siapa siapa. Ia malah jadi tak bisa istirahat. Terlalu banyak suara, sebelumnya. Suara riuh di kepalanya.
Gadis itu mencoba tidur lagi dan berhasil. Ia pulas. Nyenyak.
*
Aira menenggak obatnya satu per satu. Ia masih saja lemas, dan ingin pingsan, walau sudah keluar dari rumah sakit. Hanya sehari semalam ia di tempat yang beraroma khas itu. Ia ijin pulang pada Dokter, agar istirahat di rumah saja.
Sudah tiga hari lalu, namun masih terasa lemas tubuhnya. Aira tetap ke BookShop. Hanya sampai makan siang. Semua Staffnya sampai khawtir. Menyuruhnya pulang saja. Sampai sampai ada yang menawarkan diri mengantarnya. Namun Aira bilang ia baik saja, dan Setelah makan siang ia akan pulang.
Altan tak pernah lagi ke rumahnya, hanya beberapa kali menelepon. Menanyakan keadaannya.
Raave...?
Lelaki itu setiap waktu menghubungi Aira. Namun tak ke rumahnya. Hanya sekedar menghubungi dan mengirim pesan singkat.
Raave calling...
"Ya"
"Kamu di rumah?"
"Ya"
"Tadi ke BookShop?"
"Ya"
"Kenapa?"
"Tak apa apa"
Aira terbatuk pelan. "Uhhuuukkk..."
"You okay?"
"Yes" diusapnya bulir merah dari hidung. Dan....
"Mba Aira..!!!"teriakan Bu Wina yang masuk ke kamarnya, yang didengarnya terakhir kali. Juga teriakan lelaki di seberang sana. Sebelum pandangannya gelap.
Aira seolah bermimpi. Raave memeluknya, erat, kemudian mengecup bibirnya dalam.
Ia buka mata lebar. Bernafas cepat. Didekapnya bantal besar kesayangannya lebih erat. Aira berbaring miring. Lalu berniat memejamkan mata lagi, namun...
Lengannya dielus perlahan. Membuatnya menoleh. Gadis itu kaget. Raave menatapnya khawatir. Walau tanpa kata kata, ekspresi muram lelaki itu sudah cukup menjelaskan.
Entah bagaimana, Seketika Aira bangun, lalu menghambur memeluk lelaki di hadapannya. Erat. Merasakan hangat dan nyamannya tubuh sang lelaki.
Raave yang tak menduga, akan dipeluk sang gadis, hanya bisa shock di tempatnya duduk. Ekspresi khawatirnya berganti ulasan senyum penuh arti. Dengan tanpa ragu, ia balas pelukan Aira. Mengusap lembut punggung sang gadis.
Selama beberapa detik, Aira langsung menjauh. Sadar dan kaget. Ia lepaskan pelukannya. "Maaf, Sir. Saya... Terlalu lancang memeluk Anda."gumamnya pelan.
Raave bisa mendengarnya jelas. Tersenyum. "Kamu pikir, memelukku perbuatan lancang, Hm?" Ia belai pipi sang gadis, sedikit membuat Aira mendongak agar menatapnya.
"Panggil aku dengan namaku. Jangan bicara formal lagi."
Aira mengangguk. Tersenyum. Ia pandangi wajah Raave yang agak kacau. Seketika ia khawatir. "Raave..?"
"Hm?"
"Kamu.. Baik saja?"tanyanya agak ragu.
"Ya, kenapa?"
"Kenapa.. Lingkaran hitam di bawah matamu gelap sekali?" Aira mulai menyesuaikan diri, dengan kalimat non formalnya. Ia beranikan diri membelai pipi sang lelaki.Tangannya gemetaran tak karuan. 'Memalukan'batinnya.
Raave kembali dibuat shock. Aira membelai wajahnya. Ia menunduk sekilas. Menatapnya lagi, "Hanya kurang tidur beberapa minggu ini."jawabnya singkat. Namun seolah menutupi sesuatu.
Tangan Aira masih ada di wajah Raave. Sampai pada luka kecil dan lebam di sudut bibir dan pipi di sisi kanan. "Ini kenapa??"tanya Aira lagi.
Raave meraih tangan Aira di wajahnya, mengusapnya pelan. "Hanya kecelakaan kecil beberapa hari lalu." Ia pejamkan matanya. Menikmati belaian tangan Aira.
Perlahan Raave mendekat, ia buka matanya, lalu ia elus lembut pipi Aira yang mulus. Dan mendaratkan bibir sexynya di atas bibir sang gadis. Mengecupnya perlahan. Tangannya mendekap Aira lebih rapat.
Aira hanya menerima setiap perlakuan Raave yang manis itu padanya. Membalas kecupannya. Meresapinya. Rasanya nyeri di tubuhnya lenyap begitu saja. Oh, apakah Ia benar-benar jatuh cinta pada lelaki ini?
Raave tersentak, menjauh. "Sorry, aku.."
"Jangan minta maaf, Raave. Kamu tak salah apa-apa"potong Aira. Tersenyum senang. Ia tatap Raave dalam.
Sang lelaki juga memandangi gadis di hadapannya. Dengan tatapan terkejut, shock(lagi). 'Dia kelihatan senang'ujarnya dalam hati. Tapi mata hitam Raave tak bisa bohong, bahwa Ia juga... Senang.
*
'Kenapa Aira tak bisa dihubungi?'batin Raave linglung. 'Di BookShop tak ada, pun di rumahnya' lelaki itu galau sendiri. Ia acak rambutnya. Duduk di sofa, dengan ponsel di tangan. Dicengkeram. Semenjak dari Rumahnya sore itu, Aira tak menjawab panggilannya. Di rumah tak ada, juga BookShop. Dan ketika ia iseng bertanya pada Adnan, lelaki itu juga tak tahu.
"Tuan, tak ada tanda-tanda Nona Ai dimanapun. Saya sudah kerahkan Staff khusus kita. Di seluruh kota ini. Mobilnya di rumah, Sir. Kemungkinan ia pergi dengan temannya"
Raave semakin muram. "Tidak! Adnan tak tahu. Zii juga tak mengerti, malah ikut khawatir. Terus cari, G! Aku tak mau tahu!!"perintahnya, emosi, yang diangguki oleh sang Sekretaris pribadi.
"Dimana kamu, Dear?"bisiknya lirih. Raave memijat pelipis, dengan tangan yang lain berada di pinggang.
Gio tersentak, dia berdiri di depan pintu, sudah akan mentupnya. Terkejut setengah mati, sang Tuan bermonolog dan menyebut 'Dear'? Pada si Nona yang sedang dicari keberadaannya. Ia bisa mendengar, walau Raave hanya berbisik lirih. Senyumnya mengembang, "Anda sudah menemukan belahan hati rupanya, Tuan angkuh nan dingin."gumamnya lirih. Lalu menutup pintu.
Beberapa hari kemudian
Raave gusar dan selalu marah-marah. Di rumah atau di kantor. Seperti Singa lapar. Ia sempat bicara pada sang gadis lewat telepon, Dari pengakuannya, Aira menjalani beberapa terapi di luar kota. Namun setelah itu, tak bisa lagi dihubungi.
Nyonya Pranaja geleng-geleng kepala. Wanita berusia setengah abad lebih itu bertanya iseng pada Gio. "Kenapa Tuanmu seperti singa lapar? Hm?"
"Saya kurang tahu, M'am. Mungkin karena Nona Ai belum diketahui keberadaannya hingga kini."cerita Gio.
Nyonya Pranaja tampak berpikir. "Aira maksudmu?"
Gio mengangguk. Menatap heran pada Nyonya Besar, yang seolah tak mengerti kisah asmara putranya sendiri.
"Jadi dia benar-benar mencintai gadis itu?" Ibunda Raave dan Rose itu melipat tangan di dada, seakan berpikir.
Gio mengerutkan alis. Mengangkat bahu pada akhirnya.
"Lalu Anne?? Kadang aku tak paham dengan kelakuan putraku sendiri!"keluh sang Nyonya, Mendesah pelan, berjalan pergi sambil memegangi kepala.
Gio melotot, kaget. "GIOO!!"panggilan Raave terdengar menggelegar, mengerikan. Ia segera lari ke atas, ke kamar sang Tuan. Mendorong pintu dengan kasar, mendapati botol wine yang tak terhitung jumlahnya. Bertebaran, Sedangkan sang lelaki berdiri tegak di balkon kamar, memandang kosong jalanan di bawah sana.
"Yes, Mr Raave...Anda butuh apa?"tanya Gio prihatin. Terengah.
Ia letakkan gelas wine sembarangan. Lalu terduduk di lantai dengan bersandar di pagar balkon. Mengusap wajahnya dengan kasar. Terlihat kacau. Nafasnya cepat.
"Hm, bicaralah!" Gio menjawab salah satu Staff khusus yang menghubunginya.
Seketika Gio terbelalak saat mendengar keterangan sang Staff. Wajahnya memerah. Raave yang berjalan menghampirinya dengan wajah menyedihkan, penasaran.
"Oke, aku ke sana bersama Tuan. Jaga dan pantau terus!"pesan Gio tegas. Mematikan sambungan.
"Apa? Mereka membawa berita menyenangkan apa, G??"tanya Raave, memegangi lengan Gio erat sambil tersenyum. Berharap sebuah berita baik tentang Aira.
Gio menatap lekat sang Tuan. Ekspresinya tak tampak senang. "Mr Raave..."
Wait..wait... For the next