Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 11 - ISTIRAHAT (LAGI)

Chapter 11 - ISTIRAHAT (LAGI)

Langit Surabaya cerah pagi ini. Awan putih yang berarak pelan mengikuti hembusan angin. Dilatar belakangi birunya cakrawala nan segar.

Aira bersiap, jadwal pengobatannya yang pertama. Entah akan seperti apa.

Saat mengecek pertama kali, stadium awal beberapa minggu lalu. Kini ketika cek lagi.

" Jaga kesehatan dan jangan stress ya Mba Aira. Saya rasa,dimulai dengan terapi ringan dulu. Saya akan berikan beberapa obat yang bisa dikonsumsi. Setelah obat habis, anda bisa konsul dengan saya lagi. Oke?"saran Dokter. Mengambil beberapa botol obat, dari kotak khusus.

Aira tercengang, sebegitu banyaknya. Dan harus ia telan semua?? 'Oh My GOD' tapi demi kesehatannya, ia akan patuh dan tetap semangat.

Usai menerima beberapa obat yang semuanya berukuran besar, dan berterima kasih, Aira keluar dari ruang Dokter.

la berjalan pelan, santai. Sembari melihat-lihat kondisi Rumah sakit. Di tangannya, paperbag berisi obat khusus dari Dokter Alan.

Beberapa menit berjalan, Ia sedikit terengah. Melangkah menyusuri koridor, turun, dan akhirnya menggunakan lift langsung menuju basement. Tempat parkir mobilnya.

Ia masuk mobil, melaju lumayan kencang. Tubuhnya lemas lagi. Ingin secepatnya tiba di rumah. Aira sampai lebih cepat. Hari masih lumayan pagi. Ia keluar dari mobil, limbung. Berpegangan pada seseorang yang tak ia lihat dengan jelas. Namun...

BRUUKK..!!

"Ai, kamu gak apa-apa kan? Aira?" Adnan tampak khawatir, duduk di kursi di sisi ranjangnya.

Aira mengangguk, masih dengan mata terpejam. Ia sudah berbaring di ranjangnya. Menghela nafas dalam. 'Kenapa aku serapuh ini?!'gusarnya dalam hati.

"Kamu kok di sini, Nan?"tanya gadis itu, serak.

"Aku hanya ingin menengokmu, Ai. Sebentar. Setelah ini aku kembali ke kantor."

"Ya. Aku ingin tidur. Kamu bisa kembali ke kantor. Makasih banget ya"ucap Aira. Memejamkan mata. Usai minum obat. Gadis itu langsung tertidur. Benar-benar nyenyak. Tak sadar dengan apa yang terjadi.

Tak mengetahui, ada seseorang datang ke kamarnya, mengecup keningnya sekilas. Menggenggam tangannya. Menemaninya tidur.

Kediaman Pranaja

Kertas Lab Aira masih ada di gengaman Raave. Ia duduk di tepi ranjang. Membolak baliknya, mengkonfirmasinya pada Dokter yang bersangkutan, dan Dokter membenarkan semua informasi darinya.

Raave shock. Selama sepersekian detik, otaknya blank. Ia simpan si kertas di laci nakas.

"Gio, bagaimana dia?"tanya Raave.

"Dia ke rumah sakit Sir, menurut orang di lapangan. Dia Kemo ringan pagi itu, tapi pulangnya pingsan di halaman. Ada seorang lelaki yang menolongnya."lapor Gio.

Raave bernafas dalam. Ia memang menugaskan beberapa Staff khususnya, menjaga Aira. Dan melaporkan semuanya padanya.

"Sir, kenapa anda tak ke rumahnya? Menemuinya langsung, ini kan hari Minggu."

Raave terdiam, mematung. Wajahnya terlihat sangat muram. Tapi kemudian berdiri, Ia berjalan ke toilet lalu bercermin. Wajahnya kacau. Jambang tipisnya tak lagi tipis, mulai menebal. Ia cuci mukanya. Bergegas keluar dari kamar,

"Raave..?" suara ibunya.

Raave berbalik, menghadap sang ibu lalu menghambur memeluknya. Dengan wajah yang memerah.

"Ada apa, hingga kamu sampai seperti ini? Apa yang terjadi, sayang? Ibu perhatikan, beberapa minggu ini, kau selalu mengurung diri di kamar setelah pulang kantor. Kau boleh cerita pada Ibu."

Raave menatap Ibunya. Wanita berwajah manis, yang selalu bisa menenangkan hatinya di saat seperti ini. Raave mengajak sang Ibu duduk di sofa dekat kamarnya.

"Ibu mendengarkan Nak"

"Dia sakit Mom" Raave to the point.

Nyonya Pranaja sedikit kaget. "Sakit? siapa Raave?"

"Aira"

"Aira? Yang kamu kenalkan pada kami itu, di Resto?" Nyonya Pranaja mengingat.

Raave mengangguk , kepalanya tertunduk.

"Sakit apa dia?"

"Leukimia. Apa Ibu masih mau menerimanya sebagai menantu?"

Nyonya Pranaja tersenyum manis, "Kamu mencintainya?"

Raave tidak mengangguk tak juga menggeleng. Ia hanya menatap sang Ibu dalam.

"Jika kau begitu mencintainya, maka Ibu hanya bisa mendoakan dan mensupportmu sayang. Sakit itu bisa disembuhkan..."

Raave tersenyum,

"Tapi.."

"Jika kamu hanya sekedar menganggapnya sebagai hiburanmu dan seseorang yang yaaa... Sekadar formalitas agar bisa kamu kenalkan pada kami. Jangan menyakiti hatinya, Nak"

Raave menegang. Ia pandangi Ibunya yang mengulas senyum misterius. "Mom..."

"Raave, Ibu sudah paham. Ekspresi Aira saat itu, caranya menatapmu. Dan berusaha melepaskan diri dari genggamanmu. Dia Hanya sebagai formalitas kan?"

Raave terdiam, seribu bahasa. Tak berani menatap mata jernih Ibundanya. Menunduk.

"Raave...?"

"Ya, Mom. Dia bukan kelasihku. Hanya relasi yang bekerja sama dengan Pranaja Tech. Yaaa.. Aku sering memesan buku di BookShop. Donasi rutin setiap minggu"aku Raave jujur. Akhirnya. Tak berdaya jika sudah berhadapan dengan perempuan yang sudah berjuang melahirkannya itu.

"Hm, I see. Jujur saja Ibu kaget saat kamu bilang dia kekasihmu. Dia marah setelah itu?"

Raave mengangguk.

"Lalu apa yang ingin kamu lakukan selanjutnya?"

"Entahlah Mom, aku masih belum yakin"

Nyonya Pranaja mendesah panjang, kemudian berdiri. "Yakinkan dulu". Pesannya sebelum melangkah meninggalkan sang putra.

Raave menghela nafas dalam, kembali ke kamar. Gio sudah pulang beberapa saat lalu.

Lelaki itu pergi ke arah balkon kamar, setelah sebelumnya menuangkan wine ke dalam gelas. Membuka tirai, pintu dan berdiri di sana. Diam. Menatap kosong pemandangan pagi menjelang siang dengan angin sepoi yang berhembus. Menyesap pelan minumannya. Bersamaan pikiran yang mengembara kemana mana. Khususnya tentang seorang gadis bernama Aira.

Ia pakai handsfree, seseorang menghubunginya,

"Mr Raave."

"Hm, bagaimana?"

"Tidak sesuai harapan, Sir. Tak perlu saya jelaskan, Anda sudah mengerti kan?"balas lelaki di seberang sana. Nada suaranya terdengar kecewa.

"Apa maksudmu?"

"Tak ada kemajuan. Jadi seolah seperti stuck begitu. Tak ada efeknya. Malah nampaknya menimbulkan efek lainnya"

"Misalnya?"

"Saya akan kirim detailnya lewat email Anda, Sir!"

"Hm, baiklah. Terus laporkan." Raave menimpali.

"Baik, Sir"

Call end.

Raave menghembuskan nafas panjang. Mengusap mukanya. Kembali menyesap wine dan memandang lurus ke depan. Ke hamparan lapangan luas nan hijau, jauh di sana.

Sambil menunggu email yang sudah dijanjikan.

Beberapa detik, ponsel pintarnya berbunyi kliing.. Pelan. Notif email. Ia buka segera. Menelusurinya, membacanya dengan teliti. Sambil memijat ringan pelipisnya, gelisah.

Sejurus kemudian, wajahnya tegang, muram.

Gelap.

*

Rumah Aira, Jam 19.00

"Mba, dicari Mba Zii."beritahu Bu Wina, ia meletakkan susu dan buah di meja nakas sang Nona, kemudian keluar dari kamar.

Zii yang semula berjalan di belakang asisten Aira itu, menghampiri sahabatnya yang berbaring nyaman, di ranjang. Selimutnya menutupi seluruh tubuh.

"You okay, dear?"tanya Zii. Membelai pipi Aira. "Kubawain kesukaanmu nih. Fillet goreng tepung. Aku masak sendiri lho, Ai. Sama Green tea float" Zii membongkar paperbag bawaannya.

Menaruh lunch box yang masih hangat dan cup Green tea di meja kecil di dekat ranjang.

Aira terseyum senang. "Makasih ya ,Zii. Wah tumben masak sendiri" balas Aira, suaranya serak. Hampir hilang. Ia berdehem pelan.

"Iya. Mama masak, aku bantuin, hehe. Kebetulan aku ambil libur hari ini, capek Ai. Habis dinas kemarin."celoteh Zii.

Aira bangun, bersandar di tumpukan bantal. Wajahnya pucat. Tersenyum, "Iya, istirahat, Zii."

Zii mengusap usap lengannya. Menatapnya sedih. "Kamu ambruk lagi"

"Hehe, mungkin kecapekan. Habis ninjau Branch Jakarta. Beberapa hari. Langsung tepar. Padahal aku juga minum obat. Kaya ga mempan gitu, Zii. Obatnya"jelas Aira.

"Lho, belum selesai?"

"Iya, kurang di area yang jauh. Jakarta, Jogja. Mampir ke tempat orangtuaku juga di Semarang."balas Aira.

"Kamu memang berarti ga boleh terlalu forsir tenaga."

"Iya mungkin."

"Tapi setelah itu udah periksa?"

"Udah. Dikasih obat lagi kan. Cuma kok ya sama aja. Akhirnya aku hubungi Dokter, minta ganti yang sebelumnya."

Zii berkaca kaca. "Ai, istirahat ya. Kuharap kamu cepet sehat. Aku ga mau kehilangan kamu, dear"

Aira tersenyum haru. "Heii.. Aku akan selalu jadi sahabatmu, Zii. Bersamamu. Jangan melow gitu ah. Yuk dimakan bareng aja ini. Fillet crispy masakanmu. Pasti enak nih!!" Aira memeluk sahabatnya sekilas. Mengusap bulir bening di pipi Zii.

Gadis itu meraih dan membuka lunch box. "Hm.. Wanginya...!" Aira berbinar. Mencomot sepotong kecil fillet crispy, segera memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya dengan senang. "Waahh.. Zii pinter masak nih. Enak banget..!!" komentar Aira yang berapi api, membuat Zii mengulas senyum.

Mereka makan bersama. Juga buah yang dibawakan Bu Wina. Aira yang masih menyimpan beberapa camilan di laci nakasnya, ikut disikat habis.

Bu Wina membawakan lagi minuman untuk tamu sang Nona. Seteko kecil Teh lemon dingin dan beberapa slice cake potong. Blueberry, Strawberry, keju, kacang. Bermacam macam.

Zii yang gantian berbinar. Ia paling hobi makan cake potng aneka macam seperti ini.

Aira sesikit heran. "Bu Wina beli cake?"tanyanya. Seingatnya ia tak membelinya. Karena sudah dua hari ini terkapar di kamar.

"Ada lelaki yang nganter ini Mba. Pakai jas lengkap gitu, kacamata hitam. Dia bilang katanya dari Mr Raave"cerita sang asisten. Kemudian melanglah keluar kamar.

Sang Nona mengangguk mengerti. Zii yang sedang mengunyah cake berhenti. Ia tatap sahabatnya. "Kamu kayak termenung gitu, kenapa dear? Kalian gimana akhirnya?" Zii melanjutkan kunyahannya.

"Aku bilang aku sakit. Dan ya setelah itu dia tak lagi menghubungiku hingga sekarang. Hanya mengirim cake ini"jelas Aira.

"Dia tak menerima kalau kamu sakit, Ai??!" Zii mulai emosi.

"Ga gitu. Dia membawaku bertemu orang tuanya, Zii. Mengakuiku sebagai kekasihnya dan bilang akan menikahiku. Tapi Aku terlalu takut. Mereka keluarga terhormat. Pemilik Perusahaan IT terbesar di Indonesia. Apa aku pantas yang seperti ini, menjadi seseorang yang mendampingi Raave, Zii.?" Aira berkaca kaca.

"Siapa yang nentuin kamu pantas atau ga. Kalau dia benar sayang kamu, pastinya akan..."

"Ga , Zii. Aku yang mundur saja."potong Aira. Mengusap mukanya yang basah.

Zii segera memeluknya. Erat. Ikut menangis. "Ya, apapun pilihanmu, aku selalu doain kamu, dear. Agar kamu bahagia. Semangat ya sayang"hibur Zii sengan suara bergetar.

Aira semakin terisak. Di pelukan sang sahabat.

"Kamu suka padanya, Ai?"tanya Zii pada akhirnya.

Aira melepaskan pelukan Zii. Menatap sahabatnya. Dalam. "Entahlah, aku tak yakin. Aku tak mau berpikir terlalu jauh. Aku mau fokus sembuh aja, Zii."balasnya.

Zii mengusap airmatanya. Tersenyum senang. "Ya, bener!! Semangat!!"teriaknya lumayan kencang. Mengepalkan tangan ke atas. Lalu meraih tangan Aira, ikut membawanya ke atas.

"SEMANGATT!!" pekik Aira. Setelahnya, kedua sahabat itu kembali berpelukan erat.

**