Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 10 - KEKASIHMU?

Chapter 10 - KEKASIHMU?

Yang dipandangi merasa sedikit jengah. "Ada yang salah? Hingga Anda menatap begitu?"

Raave menggeleng, tanpa berkata apa-apa. Merapikan rambutnya dengan jari lalu melirik jam. "Kita bisa tiba tepat waktu, kan?"tanyanya pada sang sopir.

"Bisa, Tuan"

Mobil berhenti di sebuah Resto besar dan terlihat klasik. Bangunannya tampak seperti gedung di jaman Kolonial. Teduh dan Nyaman dengan banyak tanaman hias di halaman. Raave keluar, Aira mengikuti.

Memasuki Resto dengan desain vintage klasik off white, dengan sedikit sentuhan emas di beberapa bagian. Lampu-lampu gantung antik dengan cahaya kuning.

Raave meraih tangan Aira. Menggenggamnya. Aira yang berjalan santai, kaget bukan main. Ia tarik tangannya. Namun lelaki itu menggenggamnya lagi.

Aira kembali menarik tangannya, tapi dibuat tak bisa berkutik. Pasalnya cengkeraman tangan Raave yang kuat, menahan tangannya agar tak kemana-mana. Mereka berjalan santai. Dengan sang lelaki yang menatap lurus ke depan.

Lelaki itu berhenti di Bagian penerima tamu. Menginformasikan reservasinya pada Sang Staff, yang langsung diangguki dan dipersilahkan mengikutinya.

Mereka tiba di sebuah ruangan khusus yang besar juga. Dengan jendela dan pintu yang tinggi. Aira berdebar-debar. Beberapa foto hitam putih terpajang di dinding. 'Makan siang macam apa ini?'batinnya gusar.

Raave mendorong pintu, tersenyum pada sepasang suami istri berumur 60 tahunan. Duduk di sofa besar yang tampak nyaman. "Ayah, Ibu, Kalian sudah duluan. Rose tak ikut?"

Nafas Aira seperti berhenti. Jantungnya bertalu-talu. 'Hei..! Kenapa Raave memanggilnya Ayah dan IBu? Oh jangan bilang kalau...'

Raave memeluk orangtuanya sekilas. Aira tersenyum dan menunduk hormat pada Nyonya dan Tuan Pranaja. Mencium tangan mereka dengan sikap santun, lalu duduk di samping Raave.

Ruangan luas nan mewah. Beberapa sofa sedang yang mengelilingi sebuah meja besar. Dan sofa kecil lain di sudut ruang. Serta lampu-lampu kristal menggantung indah. Aira terpaku sejenak. Seolah kembali ke masa Penjajahan.

"Jadi Ayah, Ibu. Ini Aira Harsena Lou. Dia pemilik BookShop yang Branchnya tersebar di beberapa kota!" Raave, mengawali pembicaraan. Suaranya mantap. Begitu dalam dan serius.

Aira masih memandang Raave tak percaya, benar-benar tak mengerti. Sedikit sebal, karena si lelaki tak bilang apa-apa sebelumnya. Nyonya dan Tuan Pranaja menatap Aira dalam.

Aira mau tak mau tersenyum manis. Menunduk hormat lagi. Bingung harus bagaimana.

"Wooww. Pemilik BookShop yang di Kompleks Ruko Permata Elite itukah?"tanya Nyonya Pranaja.

Aira mengangguk. "Benar, Nyonya"

Ibunda Raave menganggukan kepala sambil tersenyum. "Jangan panggil Nyonya, Nak. Panggil Tante. Berapa usiamu, Aira?"

"Baiklah, Tante. Saya 22"

Ayah Raave sedikit kaget. "22tahun sudah memiliki BookShop? Sungguh keren. Sama seperti Raave dulu, 22 tahun sudah menjabat sebagai CEO Pranaja Tech"

Aira tersenyum kaku. Linglung. Ingin rasanya lari dari ruangan ini.

Raave manatap Aira. Tersenyum. Bukan sangat tipis seperti sebelumnya. Namun benar-benar tersenyum. Menawan.

"Baiklah, dan Aira ini adalah... Kekasihmu sayang?"tanya Ibunda Raave. Tersenyum manis. Memperhatikan putranya.

Raave menatap Aira yang menggeleng pelan. Wajahnya tegang, ingin menarik tangannya dari genggaman sang lelaki, namun tak mampu.

Lelaki itu tersenyum akhirnya, ia belai pipi Aira mesra. "Iya Mom, dia kekasihku."ujarnya dengan nada merdu biasanya. Kemudian kembali menatap sang Ibu.

Aira membeku. Mulutnya terbuka sedikit. Matanya membulat lucu.

"Bagaimana kalau tunangan dulu, sayang. Atau kau mau langsung menikah saja dengan Aira? Oh tapi tunggu kakakmu dulu."lanjut Nyonya Pranaja. Terlihat gembira. Begitupun Tuan Pranaja.

"Aku ingin langsung menikah saja, Mom. Ya tentu. Aku harus menunggu Rose. Tak mungkin aku melangkahinya"balas Raave.

Nyonya dan Tuan Pranaja tersenyum senang.

Sedangkan Aira seperti ikan yang kehabisan oksigen, memaksa diri untuk tersenyum. Melanjutkan makan siang dengan enggan.

*

"Tolong, beri saya penjelasan dengan ini semua, Mr Raave!"tukas Aira emosi. Ia tatap Raave tajam. Sore itu, di rumah sang gadis. Raave menemuinya usai pulang kantor, masih dengan sikap cuek.

Beberapa hari setelah acara makan siang, Aira seperti kehilangan mood. Ia Tak menjawab panggilannya, melarikan diri saat lelaki itu menghampirinya di BookShop.

Atau pura-pura pergi, ketika Raave ke rumahnya. Benar-benar menghindar dari sang CEO. Dan sore itu, Raave mendadak datang. Ia yang baru pulang dari BookShop, dibuat tak berkutik dengan tatapan tajam sang lelaki.

"Kenapa kamu menghindar?"

"Karena, sejujurnya saya shock. Anda mengakui saya sebagai kekasih, apalagi bilang bahwa mau menikahi saya, Sir. Tanpa bilang apa-apa sebelumnya!!"ketus Aira. Terpaksa sedikit menggunakan nada tinggi pada Raave.

Lelaki itu mengehembuskan nafas dalam, panjang. "Sudah kubilang, panggil namaku, jangan bicara formal. Kamu tak mau denganku? Aku seorang CEO sukses dan kaya raya. Wanita manapun berebut ingin bersamaku."tukasnya.

"Baiklah. Kenapa tak cari wanita lain saja!"

"Karena aku tak mau!"

"Kenapa?"

"Kamu seharusnya senang, kuakui sebagai kekasih"lanjut Raave.

"Saya senang, Sir. Terima kasih, Tapi saya takut" Aira terduduk, dengan mata berkaca-kaca. Ia usap mukanya dengan kedua tangan. Dihembuskannya nafas dalam.

"Saya sakit Mr Raave! Jika Tuan dan Nyonya Pranaja tahu, seperti apa reaksinya?

"Hm?" Raave memicing. Menatap Aira dalam.

"Saya sakit. Apa Anda mengerti apa yang saya bicarakan?! Jangan hanya berdehem saja!"suara Aira meninggi.

Raave tampak bingung. Ia pandangi Aira dengan mata menyipit, linglung. 'Sakit bagaimana? Apa maksudnya sebenarnya?'

"Anda mau bersama saya yang sakit-sakitan ini? Orangtua Anda bersedia memiliki menantu penyakitan?"jelas Aira, sendu. Ia serahkan hasil Lab, yang ia simpan di laci dari Dokter, pada Raave.

Lelaki itu kaget. Saat membuka amplop dan Menatap selembar kertas, dengan catatan jumlah sel darah lengkap. Ia baca dengan teliti. Rahangnya mengeras. Tangannya mencengkeram kertas dengan kencang.

"Jika setelah ini, Anda tak lagi ingin memiliki hubungan kerjasama dengan BookShop, tak masalah. Saya akan menerimanya"tutup Aira. Sedih.

Raave memang tak diberitahu Dokter, saat mengantar Aira ke Rumah Sakit waktu itu. Ia langsung pergi setelah memastikan Aira ditangani Dokter Alan.

"Bagaimana jika kukatakan, aku tetap ingin kamu bersamaku? Kamu masih menolak dan meminta penjelasan?"lanjut Raave

"Anda yakin?! Pikirkan lagi, Mr Raave! Pikirkan orangtua Anda!"ujar Aira, gemetar. Ia menatap Raave dalam.

Dengan masih menggenggam kertas hasil lab, Raave melangkah keluar dari rumah Aira. Perasaannya campur aduk. Ekspresinya tak terlukiskan.

Sementara sang gadis memandanginya sedih. "Maaf Mr Raave."lirihnya.

Seminggu kemudian

Aira makan siang bersama Adnan di kedai favorit mereka. Zii tak bisa ikut karena harus dinas ke luar kota. Jadi Aira dan Adnan yang sering keluar bersama.

"Jadi, bagaimana Raave?"tanya Adnan, menyendok gado-gadonya. Lelaki itu makan dengan lahap.

Aira Mengangkat bahu. Ia tak cerita soal Raave yang mengenalkannya pada Tuan dan Nyonya Pranaja. "Aku ga kontak lagi dengannya."

"Nampaknya dia ada hati padamu, Ai?"

"Ya, itu hak dia. Dia juga tak pernah jujur tentang perasaannya. Jadi aku tak akan ambil pusing."jelas Aira santai.

"Baiklah. Barangkali aku ada kesempatan"

"Apa maksudmu?!" Aira mendelik. Berhenti mengunyah emping melinjo dari gado-gadonya.

Adnan berhenti makan. Ia teguk jus jeruknya kemudian menegakkan tubuh. Ia raih tangan Aira, menatapnya lekat. "Bolehkah aku jujur padamu?"

Gadis itu hanya diam.

"Aku sayang padamu, Ai. aku sudah coba tepis perasaan ini, namun masih saja... Maukah kamu jadi seseorang yang spesial di hatiku, sahabatku yang paling kusayangi dan kucintai?" Adnan menyatakan perasaannya. Serius.

Aira menatap Adnan dalam. "Bisakah aku diberi waktu? Sebenarnya aku hanya menganggapmu sahabatku, Nan. Dan lagi, apa perasaanmu itu, hanya kasihan karena aku sakit?"

Adnan segera menggeleng kasar. "Tidak seperti itu, percayalah!"

"Ya, aku percaya. Tapi beri aku waktu, Nan. Kukira kamu sudah memiliki kekasih."

"Oke, Ai. Kenapa kamu mengira begitu?"

"ya kadang Zii cerita. Katanya kamu suka seorang gadis. Teman dekatmu juga. Makanya kan , aku pikir. Aku ikut seneng, karena kamu punya kekasih."

"Yang dimaksud Zii itu ya kamu. Ai" Adnan tersenyum malu.

"Hahahahh.. Gitu ya. Ternyata..oh..ternyata" Aira terkekeh geli.

Mereka melanjutkan makan siang dengan biasa saja. Setelah sesi romantis berakhir. Aira pamit untuk pulang duluan karena ada pekerjaan di BookShop. Adnan mengerti.

Setelah sahabat perempuannya pergi, ia termenung sendiri. Menghabiskan sisa jus jeruk dalam sekali teguk. Kemudian menyusul pergi, kembali ke kantor.

Tiba di rumah sore itu, Aira segera minum obat dan merebahkan diri di ranjang. Mengatur nafas. Ia berguling. Memandangi ponsel. Mendadak teringat Raave. Ia tak tahu kabar pria itu sekarang. Semenjak kejadian itu, sama sekali tak pernah dihubunginya lagi sang lelaki. Raave juga tak menemuinya, tak menghubunginya sama sekali. Tak memesan buku untuk donasi.

Aira berkaca-kaca. "Ya, aku tahu, orangtuamu tak akan mau memiliki menantu penyakitan sepertiku, Raave. Kamu juga tentu tak ingin berulang kali mengantarku ke Rumah Sakit, atau menungguiku saat aku kambuh. Begini lebih baik, untukmu. Juga untukku."

"Mba Aira. Makan dulu ya. Saya bawa masuk?" Bu Wina mengetuk pintu kamarnya.

"Ya Bu!"jawabnya lantang .mengusap sisa airmata di pipi.

Hatinya entah bagaimana, terasa sakit. Manusia memang tak ada yang sempurna. Dan cinta sejati seperti yang ditulis di novel-novel itu, memang hanya ada di dunia imajinasi.

Aira menyuap nasi dengan masih berlinang airmata. 'Sejak kapan aku jadi cengeng begini?'batinnya resah. Ia lap airmatanya dengan selimut. Melanjutkan makan, minum obat.

'Tidak ada lelaki manapun di dunia ini, yang bersedia bersama gadis pesakitan sepertiku. Menyedihkan sekali. Tapi kenapa, aku baru merasakan sakit hati itu sekarang?'

Adnan calling...

"Apa Nan?"

"Aku tadi sekilas lihat Raave, Ai!"

"Terus kenapa?"tanya Aira cuek.

"Dia bawa mobil sendiri, mungkin mau ke tempatmu. Wajahnya pucat banget"

"Katanya lihat sekilas. Kok tahu wajahnya pucat darimana?"

"Ya kan aku lihat dari depan."

"Ehmm. Terus?"

"Dia udah sampai di situ?"

"Belum, ga tahu juga."

Aira mengusapi hidungnya. Mimisan lagi.

"Nan, aku mau beberes nih, aku tutup dulu ya"

"Ok, ok" call end.

Darahnya tak mau berhenti. Ia pandangi lagi jadwal pengobatan di selembar kertas, yang diberikan Dokter Alan.

'Apakah aku bisa sembuh?'gusarnya dalam hati

Terlintas lagi, waktu itu, ia pulang dari BookShop. Di jalan sekitar kantornya, Ia lihat Raave berjalan bersama seorang perempuan, cantik. Wajahnya tetap sedatar dan sedingin biasanya. Pasti sudah dikenalkannya juga pada orang tuanya. Kekasihnya yang baru.

"Lalu apa yang kamu harapkan, Ai. Kau mulai menyukainya??"gumamnya pelan.

Airmatanya kembali bergulir.

**