Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 9 - TERIMA KASIH, (Mr) RAAVE!

Chapter 9 - TERIMA KASIH, (Mr) RAAVE!

"Jangan bingung Ai, nikmati saja Perhatian darinya, kamu akan mengerti sendiri nanti"ujar Adnan, berdiri. "Aku pulang saja ya. Kamu harus banyak istirahat"

Aira mengangguk. Mengantarkan sang sahabat sampai ke pintu. Lalu ia lanjutkan tidurnya yang tertunda. Semua urusan BookShop, sudah ia serahkan sepenuhnya pada Head Manager di masing -masing Branch. Gadis itu terlelap. Nyenyak.

*

PRANAJA TOWER

Hari itu ramai. Heboh. Siang yang terik, semakin panas, Bukan karena ada insiden, atau konferensi pers. Namun karena sebuah Hot News. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya. Efeknya sungguh membuat tercengang seluruh penghuni gedung berlantai 30 itu.

"Apa itu benar?"

"Oh benarkah itu?! Sungguh suatu keaajaiban!!"

"Apa?!mengejutkan sekali!!"

Berbagai komentar terlontar dari mulut semua Staff, Direksi sampai Petugas keamanan.

"Dimana kau melihat Tuan Pranaja junior? Mungkin bukan dia, tapi orang lain yang mirip?!"seorang Staff Personalia, seolah tak percaya.

"Aku benar melihatnya, dia bawa mobil sendiri. Berpakaian kasual. Seperti akan pergi berkencan!"jawab Staff lain yang menjadi saksi mata.

"Ah mungkin hanya ingin kumpul makan dengan temannya!"sergah temannya.

"Tidak mungkin, paling tidak dia membawa sopir. Aku tahu pasti."jawab si saksi mata yang paham betul kebiasaan Pewaris Perusahaan IT terbesar itu.

Ya, Tuan besar mereka, Raave Pranaja. Putra Rick Pranaja. Sang pemilik Pranaja Tech. CEO masa depan, yang digadang-gadang akan mampu membesarkan nama Perusahaan. Dan itu sudah menjadi kenyataan. Raave yang menggantikan sang Ayah di usianya yang baru 22tahun hingga kini sudah 29tahun sudah membuat berbagai dobrakan besar di Perusahaan.

Pranaja Tech semakin maju, terkenal seantero Negeri. Di bawah pimpinan dan kendali Seorang pemuda dingin dan angkuh, Raave Pranaja. Sang Ayah yang bangga, berencana membangunkan lagi Perusahaan untuk sang Putra, namun Raave menolak. Ia akan membangunnya sendiri nanti, dengan usaha dan keringatnya sendiri. Sungguh putra yang benar-benar bisa diandalkan juga dibanggakan.

Berkat semakin maju pesatnya Pranaja Tech, banyak juga gadis yang juga CEO dari Perusahaan Besar relasi Ayah atau Ibunya mendekati. Bukan hanya karena ia seorang CEO jenius nan cerdas, namun karena ketampanannya, juga kesempurnaan tubuhnya yang seolah tanpa cela. Seakan bukan menjadi rahasia, bahwa tubuh atletis itu adalah hasil kegemarannya berolah raga, dan latihan yang cukup berat selama beberapa waktu.

Sayangnya Raave tak menggubris mereka semua. Hanya ia pandang sekilas, kemudian akan ia tinggal pergi. Tak bicara satu patah kata pun, saat mereka bertemu secara pribadi. Dinner, makan siang. Raave hanya mau bersama gadis yang sesuai tipenya. bukan asal sembarang gadis cantik.

Para gadis cantik bak bidadari saja tak ia gubris. Lalu yang seperti apa tipenya? Sang ibu yang bingung, hanya bisa pasrah.

Kediaman Pranaja

"Tuan. Anda harus makan. Nanti anda sakit"bujuk sang Asisten pribadi, Gio. Tuan besarnya hanya berbaring saja, entah memikirkan apa. Malam itu. Di hari berikutnya, Usai ia keluar rumah dengan nekat membawa mobil sendiri, berpakaian yang sebenarnya membuatnya nyaman. Tak disangka, tindakannya itu membuat seluruh kantor Pranaja Tech heboh tak karuan.

Raave hanya diam. Memandang kosong ponsel. Memutarnya berulang kali. Seolah menunggu seseorang.

Gio menatap Tuannya bingung, sepiring Mashed Potato dengan Salad dan Salmon panggang favorit sang Tuan, tak mengundang seleranya sama sekali.

Ponsel berdering...

"Halo" ekspresi sang Tuan berubah, kala mengetahui nama yang muncul di layar ponsel pintarnya.

"Aku di rumah. Hm. Tak apa"

Gio mendengarkan dengan seksama, dan seketika mata hitamnya membulat. Suara seorang perempuan di seberang sana.

"Kamu masih demam?"

"Aku sudah bilang, jangan panggil aku Tuan!!"sergah Raave. Nada suaranya sebal, tapi wajahnya mengulas senyum tipis. Sangat tipis.

"Hm, istirahatlah.."

Call end.

Raave menatap Gio. Ekspresinya sudah berubah sama sekali, tak seperti sebelumnya. "Mana makananku? Aku lapar!"

Gio segera menyerahkan piring lebar itu. Seolah terbangun dari lamunan. Ia tata sedemikian rupa di meja dekat sofa, bersama Jus Apel dan sebotol besar air mineral dingin. Raave duduk dan mulai makan. Lagi-lagi tersenyum sangat tipis.

"Anda dicari Tuan dan Nyonya besar, Mr Raave."ujar Gio.

"Hm, aku akan turun setelah ini"Kata Raave cuek. Gio mengangguk.

Selesai makan, Gio membawa piring dan alat lain ke bawah. Sedangkan Raave membersihkan diri di toilet. Mencuci muka. Ia tak ingin orangtuanya melihat wajahnya yang muram. Karena pasti pertanyaannya akan macam-macam.

Raave turun, mendapati Ayah dan Ibunya duduk santai di ruang keluarga yang luas dan minimalis itu. Hanya lemari kaca besar berisi aneka hiasan keramik dari zaman kuno. Juga sebuah TV LED dan Home Theatre. Seukuran lemari pakaian. Sofa besar dan meja kaca.

"Hai sayang. Kamu sudah makan kan?"tanya Nyonya Pranaja.

Raave mengangguk. Duduk di sebelah ibunya.

"Ayah ingin bicara Nak"ujar sang Ayah.

"Hm."

"Hanya ingin tahu bagaimana perkembangan Peru..."

"Ayah juga tahu, bahkan sudah melihat laporan bulanan dua hari lalu."potong Raave, Ia bersedekap. Menatap siaran TV yang menayangkan acara gosip.

Tuan Pranaja tertawa kecil. "Kau ini memang harus bicara langsung ya, Nak. Jangan terlalu serius menggarap Perusahaan. Ayah dan Ibumu sudah semakin tua, bukan semakin muda. Jadi Ayah harap...."

Raave berdiri. Mulai melangkah, Sudah paham kemana arah Pembicaraan kali ini.

"Raave, dengarkan Ayah dulu! Kau selalu menghindar jika Ayah ajak bicara soal ini"

Raave berhenti. Berbalik. Menatap Ayahnya datar.

Sang Ayah paham, anak lelakinya tak pernah ingin diatur, Soal menemukan calon pendamping hidup.

"Nak, Ayah dan Ibu tak memaksamu harus segera menikah. Ini jaman modern. Ayah berusaha mengerti. Paling tidak ajaklah kesini, kenalkan pada keluargamu. Kakak perempuanmu sudah gatal ingin memiliki seorang teman yang bisa diajak ke Mall katanya"jelas Tuan Pranaja, menghampiri Raave lalu menepuk pundaknya.

Raave masih diam. Lalu mengangguk. Samar. "Dimana Rose?" ia menanyakan sang kakak.

"Dia mengurusi bisnisnya sayang, masih terus berkeliling Indonesia. Sangat sibuk."jelas Ibunya.

Raave mengangguk. "Aku ke atas. Yah, Bu. Masih banyak email dari Relasiku yang belum kubalas"pamitnya. Menghindar lebih tepatnya.

"Ya sayang"jawab Ibunya lembut. Sementara Tuan Pranaja memandanginya sambil tersenyum.

"Kurasa dia sudah bertemu dengannya. Mam"ujarnya pada Nyonya Pranaja.

"Apa maksudmu, Pap?"

"Dia mengangguk saat aku bilang begitu tadi. Berarti dia punya seseorang. Syukurlah jika begitu. Semua sahabatku yang memiliki anak perempuan, mengajukan diri untuk bisa berkenalan dengan Raave. Kalau begini kan, aku bisa bilang Bahwa Raave sudah punya kekasih"Tuan Pranaja bercerita. Riang.

"Benar itu kekasihnya? Mungkin hanya teman dekat"bantah sang istri.

"Terserah! Yang penting punya seorang perempuan di dekatnya" Tuan Pranaja terlihat senang. "Lagipula aku juga tak menentukan harus bagaimana. Yang pasti bisa menerima Raave apa adanya sifatnya yang seperti itu, itu sudah cukup bagiku"lanjutnya.

Raave mengulas senyum, Lega. diam-diam ia masih berada di balik tembok di dekat ruang keluarga.

*

Aira kembali sibuk di BookShop, hanya sampai setelah makan siang. Kondisinya belum terlalu bagus. Namun jika ia terlalu lama tiDuran di kamar, ia akan semakin sakit.

Gadis itu mengecek laporan Head Manager. Laporan Penjualan Bulanan lalu stok buku yang lambat pergerakannya.

"Saya coba memberikan diskon khusus, Mba Ai, tapi tetap saja. Anda ada ide?"tanya Mr Suri.

Aira tampak berpikir. "Ehmm.. Ohh saya punya ide Tuan Suri. Bagaimana jika kita donasikan pada orang-orang di pedalaman?"

"Itu ide bagus Mba. Tapi tak Apa-apa?"

"Tentu saja tak masalah. Bukankah ada Mr Raave yang bisa menyalurkannya? Kumpulkan saja dan sesuaikan stoknya. Saya akan hubungi orangnya."perintah Aira.

Mr Suri berbinar, mengangguk senang dan segera pamit keluar dari ruangan Aira.

Ia sedikit ragu sebenarnya ingin menghubungi Raave. Namun dengan jantung yang ia tahan agar tak berdebar, akhirnya ia hubungi juga.

"Hm"

"Pagi, Mr Raave. Anda sibuk?"

"Ada apa?"

"Ok, langsung saja. Saya ada beberapa buku yang bisa di donasikan kepada mereka yang membutuhkan. Saya rasa, Anda mungkin bisa membantu saya, Sir. Jika tak keberatan juga tidak sibuk tentunya"jelas Aira panjang lebar.

"Bisakah kamu tidak bicara terlalu formal padaku?"

"Saya menghormati Anda, Sir"

"Ya, tapi tak perlu seperti itu. Panggil saja namaku."

"Oh.. Baiklah kalau begitu... Raave" Aira ragu-ragu saat menyebutkan nama sang CEO.

"Hm. Kita bertemu, sekalian Makan siang nanti jam setengah dua belas"

Aira tercekat. Kaget. Diam. Mematung.

"Ya, Sir. Eh maaf, Raave. Dimana?"

Call end.

Aira melongo. 'Dimana makan siangnyaaaa? Oh GOD!! ada lelaki seperti ini ya ternyata!'gerutunya sebal. Mematikan telepon begitu saja.

Gadis itu kembali pada notebook, melihat data buku yang akan di donasikan. Matanya menelusuri setiap informasi detail sang buku. Lalu mengelompokkannya yang sekiranya sudah tak begitu bagus kondisinya. Tentunya hanya buku dengan keadaan baik yang akan didonasikan.

Adnan calling...

"Ya"

"Ai, makan siang yuk!"

"Maaf, aku ada janji dengan Tuan Raave"

"Dia lagi. Oke kalau begitu"

"Maaf ya, Nan"

"Tak masalah, Ai. Baiklah. Sudah dulu ya"

"Oke" call end

Aira menyelesaikan dengan cepat, mengecek database buku donasi. Sesekali membaca sinopsis si buku. Banyak juga yang menarik. Psikologi umum, Motivasi harian, buku religi, memasak, kerajinan tangan. Novel juga lumayan banyak.

Ia tersenyum. Usai menyelesaikan pekerjaannya, beberapa jam kemudian. Ia hubungi Mr Suri untuk mengecek email karena sudah ia kirimkan pada Head Managernya itu.

Tok.. Tok..

"Ya"

Sia, Staffnya masuk. "Mba, Anda sudah ditunggu Mr Raave. Di luar."ucapnya tersenyum.

Aira lagi-lagi kaget. Iseng, ia melirik jendela. Melihat ke bawah. Raave tampak duduk di kursi belakang. Sambil melihat berkali-kali ke arah pintu.

Ia segera bergegas. Takut si CEO menunggu terlalu lama. Disambarnya tas juga ponsel. Lalu setengah berlari ke bawah.

Tak sadar masih memakai kacamata bacanya. Wajahnya tampak berbeda. Gadis manis itu menghampiri mobil Raave di parkiran. Sang Sopir membukakan pintu untuknya, di sebelah Raave.

"Terima kasih"ujar Aira sopan.

Ia masuk, duduk di sebelah Raave yang melepas kacamata hitamnya. Menatap Aira dalam. Tersenyum sekilas, sedikit terpana nampaknya. Dengan Wajah berkacamata gadis di hadapannya.

Aira menyapanya ramah, "Siang, Mr Raave. Saya belum berterima kasih, soal Rumah sakit.. "

"Tak usah dipikirkan. Tak perlu berterima kasih juga."

"Tapi.."

Raave mendelik pada Aira, gadis itu seketika diam. Menunduk, merasa tak enak hati. "Terima kasih"Gumamnya pelan.

"Sama-sama"balas Raave, pelan juga, masih memandanginya.

Wait for the next.....