Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 8 - 'LEKASLAH SEHAT'

Chapter 8 - 'LEKASLAH SEHAT'

Malam itu, pulang dari BookShop, Aira langsung terkapar di ranjang. Bu Wina sampai berlari menyusulnya, karena melihat wajah sang gadis yang pucat. 'Jangan lagi, kumohon.. Jangan sekarang.'gerutunya dalam hati. Aira memejamkan mata rapat. Kepalanya berputar. Kelelahan meninjau Branch.

"Mba Aira!!"teriak Bu Wina khawatir. Mendapati sang gadis bergulung di tempat tidur, pucat pasi.

Aira membuka mata, tersenyum samar.

"Kita ke dokter ya, Mba?"

"Ga usah Bu, saya masih kuat"

Mr Raave calling...

Aira menatap layar ponsel. Tersenyum tipis, namun membiarkannya saja. Berhenti. Sedetik kemudian,

Mr Raave calling...

Masih ia biarkan saja. Berhenti lagi. Lima menit kemudian,

Mr Raave calling...

"Halo" suara Aira parau, lemas. Nyeri itu masih begitu menguasai. Membuyarkan kesadarannya. Membuatnya ingin pingsan.

"Kamu sakit??!"tanya pria itu, seolah tahu kondisinya.

"Tidak, Sir. Saya bangun tidur"jawab Aira, bohong. Ia tak ingin merepotkan sang CEO, yang pasti akan langsung datang menemuinya.

"Benarkah??"

"Sir...."

Call end.

'Ah bagaimana ini?! Jika nyeri ini tak menghilang hingga Mr Raave datang, maka aku benar-benar berbohong.'batinnya resah.

Bu Wina berkata akan menelepon Dokter, namun belum juga kembali.

Akhirnya Aira turun. Asistennya itu tak terlihat dimanapun. 'Pasti langsung ke rumah Dokter'batinnya galau. Rumah Dokter yang jaraknya dekat dari rumah Aira. Sekilas ia amati pantulan dirinya di cermin ruang TV. "Oh, sial! Wajahku pucat sekali!"rutuknya.

Kesadarannya malah semakin menurun. Aira terduduk di sofa. Berusaha bernafas normal. Mempertahankan kesadarannya. Ia bersandar, memandangi pintu yang terbuka dengan kasar.

Bu Wina masuk dengan seorang Dokter, berlari ke arahnya, Namun...

Seorang lelaki juga berjalan cepat berada di belakang Dokter, menghampirinya. Menatapnya panik, shock. Sementara Pandangannya semakin kabur. Gelap.

Rumah Sakit

Aira mengerjap, beberapa kali. Merasakan seluruh tubuhnya nyeri. Ia buka lebih lebar matanya. Kamar yang begitu luas. Terlihat mewah. Dengan beberapa peralatan medis. Salah satunya ventilator yang ia gunakan. Ia lepas alat itu. Memandang sekeliling. Tak ada siapa-siapa.

Beberapa menit kemudian, seorang perawat datang. Bersama Bu Wina. Wanita paruh baya itu kelihatan khawatir. "Mba Aira!"panggilnya dengan suara gemetar. Menggenggam tangannya erat.

Aira tersenyum, "Bu, siapa yang bawa saya kesini?"tanyanya lemas. Ia pasang lagi ventilator.

"Mas yang ganteng itu. Dia tak bicara apa-apa. Hanya langsung mengangkat Mba Aira. Membawa ke mobil. Wajahnya seperti marah, saya takut bertanya. Ngeri."jelas Bu Wina. Gelisah.

"Mba Aira, jangan banyak gerak dulu ya. Istirahat total." kata si perawat, tersenyum ramah. Mengecek infus juga mengusap lengan Aira lembut.

Ketika perawat akan pergi, Aira menahan tangannya. "Kak, siapa yang bawa saya kesini tadi?"tanyanya lagi, memastikan.

Perawat wanita berambut cokelat itu tersenyum, "Seorang lelaki tampan, terlihat panik dan khawatir. Meminta kami menyediakan obat dan pelayanan terbaik untuk Mba Aira. Dia pergi, karena ada janji dengan klien penting."

Cukup puas dengan jawaban perawat dan Asistennya, yang nampaknya, memang hanya mengarah pada satu orang sama. Lelaki yang sama. Raave Pranaja.

Perawat undur diri. Gadis itu memejamkan mata lagi. Pengaruh obat tidur, membuatnya kembali terlelap. Pulas, sementara Bu Wina berbaring di sofa.

Beberapa jam ia terlelap, ia tak ingat. Ada seseorang yang menggenggam tangannya. Erat. Tangan besar yang hangat, kuat. Menenangkan. Lalu wajahnya dibelai lembut. Entah bermimpi atau tidak, Aira tak bisa membedakan. Ia terlalu lemas untuk membuka mata.

'Apakah sama dengan lelaki yang mengantarnya ke Rumah sakit ini?'batinnya. Tak tahu apa harus senang, takut atau terharu.

*

Tiga hari di Rumah sakit, cukup membuat Aira beristirahat. Istirahat total. Hanya Bu Wina yang setia menungguinya.

Beberapa hari sebelumnya, Zii, Adnan juga menemani. Adnan seharian menungguinya dan sedikit kaget, saat Aira dirawat di VVIP Room Rumah Sakit Besar di kota mereka itu. Ia bercerita bahwa harus menunda meeting penting karena menunggui Aira.

Zii datang agak siang, langsung memeluk teman setianya itu erat. Khawatir. Membelai pipi Aira. "Kamu ambruk terus akhir-akhir ini, Ai? Apa yang bisa kubantu?"

Aira tersenyum. "Ga kok Zii. Aku gak apa-apa."

Tok..tok.. Seorang perawat masuk. Tersenyum ramah pada semua penghuni kamar. Ia membawa sebuah Parcel lumayan besar dengan berbagai macam isi, cemilan, buah, susu dan cokelat, diletakkannya di meja dekat sofa.

Ada setangkai mawar merah segar yang dibawa si perawat juga, langsung ia serahkan pada Aira.

"Mba Aira. Dari Mr Raave. Oh iya nanti jika Anda sudah boleh pulang, beliau berpesan, Anda harus menunggu jemputan Dari Staffnya. Jadi anda tak boleh pulang sendiri"jelas si perawat. Kemudian undur diri, usai Aira berterima kasih.

Aira tertegun. Namun lalu tersenyum.

Adnan dan Zii saling pandang. "Mr Raave?" mereka menatap Aira.

Ia intip kartu yang terselip di tengah mawar. Membacanya dengan tangan gemetar.

'Lekaslah sehat!'

Raave. P

Aira menghembuskan nafas panjang. Mengulas senyum, yang hanya dia sendiri yang tahu artinya. Sementara Adnan dan Zii menatapnya bingung.Flashback end

Aira dijemput Staff khusus Raave. Bu Wina sudah pulang lebih dulu. Mempersiapkan segala sesuatu untuk sang Nona.

"Terima kasih, Sir. Sampaikan salam saya pada Mr Raave"ucap Aira saat tiba di rumahnya. Salah satu Staff Raave mengantarnya hingga sampai depan pintu.

"Sama-sama Nona. Saya pamit" Si Staff berlalu pergi.

Aira masuk ke rumah, disambut Bu Wina dengan senyum lebarnya. "istirahat ya Mba." mengambil parcel yang masih ada di tangan Aira.

Aira mengangguk, berjalan ke kamarnya. Sambil terus memikirkan, 'Berarti Raave tahu penyakitku?'batinnya gusar. Ia lirik jam, empat sore. Jam pulang kantor. Dihubunginya lelaki itu.

Nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif...

Aira mendengus. Melemparkan ponselnya ke ranjang. Berdiri, melangkah menuju kamar mandi. Mengisi bathtub, Lalu berendam air hangat. Tubuhnya yang lemah beberapa hari ini memang merepotkan. Ia Harus terus istirahat.

Ia pandangi sedikit memar di lengan bagian dalam. Meringis saat ia tekan memarnya. "Hah.. Seluruh tubuhku sakit" gadis itu menyandarkan kepala dengan nyaman. Menikmati sensasi berendam air hangat dengan essential oil favoritnya. Rockrose.

Puas berendam, ia segera berpakaian lalu bercermin. Wajahnya masih tampak pucat. Tubuhnya sedikit kurus namun tetap ideal dipandang.

Ia berbaring di ranjang, meraih ponsel. Mengutak atiknya. Beberapa panggilan tak terjawab dari Adnan, Zii. Dan.. Raave. Tiga kali dari Raave. Aira menghubungi Raave balik.

"Kemana tadi?"

"Saya mandi, Sir. Maaf. Oh soal Rumah Sakit, apakah...?"

"Fokus saja untuk sehat"

Dalam hati, Aira menggerutu. 'Bisakah lelaki ini sedikit bersikap lembut kepadanya? Aku tak mengerti dengan semua ini.'

"Masih disana?"

"Maaf Sir. Tutup saja jika saya mengganggu Anda."potong Aira, sedikit sebal.

"Tidak, tapi istirahatlah"balas sang lelaki.

Call end

Aira cuek, tak peduli, Ia berusaha tidur. Bu Wina mengantarkan makanan, beberapa saat kemudian. Ia bangunkan Aira yang tidur pulas.

"Mba, makan dulu. Nanti tidur lagi"ujar Bu Wina, wajahnya sendu. Khawatir dengan kondisi sang Nona yang sudah dilayaninya, selama beberapa tahun ini.

Aira membuka mata, "Ya Bu. Makasih." gadis itu makan akhirnya, setelah dibujuk beberapa kali.

"Hai Ai!"sapa Adnan tiba-tiba. Ia berdiri di depan pintu kamar Aira, membawa beberapa cemilan favorit sahabatnya. Juga minuman ringan yang biasa gadis itu beli.

Aira menoleh, kaget. "Hai, Nan"

Adnan melangkah masuk, lalu duduk di tepi ranjang sang gadis. Bu Wina masih menyuapi Nonanya makan. "Manja banget, disuapin Bu Wina segala!"celetuk lelaki itu. Terkekeh.

Aira hanya tersenyum.

"Ga masalah Mas, yang penting dia mau makan, tadi susah makannya"jawab Bu Wina. Menandaskan suapan terakhir pada Aira.

"Makasih ya Bu."Aira mengusap lengan asistennya.

Bu Wina mengangguk, tersenyum. "Udah istirahat, badannya masih anget nih"ujarnya, usai mengusap tangan Aira. Ia memberesi bekas makan gadis itu kemudian melangkah keluar kamar. Namun di depan pintu, wanita itu mematung..

Aira yang melihatnya heran, "Bu?"

Seorang lelaki masuk, melangkah pelan dan berdiri tegang saat Melihat Adnan. "Mr Raave?" Aira kaget. Sedikit terpana. Bukan sedikit, banyak.

Raave tampak menawan dengan TShirt yang pas di tubuhnya, ditutupi kemeja dan jaket yang Aira yakin harganya tak mahal. Melainkan sangat mahal. Rambutnya sedikit berantakan. Pertama kalinya ia lihat sang pria dalam balutan pakaian kasual. Karena biasanya mengenakan setelan jas lengkap dengan rambut rapi, sepatu formal.

Si lelaki tak menampakkan senyum atau anggukan, apalagi deheman seperti biasanya. Hanya diam membeku, sambil terus menatap Adnan.

"Anda ini....?"tanyanya. Suaranya berat. Menatap tajam Adnan.

Adnan berdiri, mengulurkan tangan. "Saya Adnan, Sir. Sahabat Aira"

Raave menyambut uluran tangan Adnan. "Oh, sahabat?" ekspresinya tegang. Aira ikut tegang. Takut sebenarnya.

"Sebaiknya aku pergi saja!" Raave sudah akan berbalik, namun Aira secepatnya bangun. Menahan pusing di kepala, juga nyeri di seluruh tubuh.

Raave sudah berjalan cepat keluar dari kamarnya. Aira menyusul, menarik jaket sang lelaki. "Sir, maaf. Saya..."

Raave berbalik, memandang Aira dalam. "Jangan lagi panggil aku Sir atau apalah itu, setelah ini. Aku tak suka. Biasa saja." untuk pertama kalinya, Tuan angkuh nan dingin ini bicara beberapa kalimat.

Aira mengangguk, seperti terhipnotis. Raave mendekat, berbisik pelan. "Dan aku juga tak suka, jika ada lelaki lain dekat denganmu, apalagi masuk ke kamarmu seperti itu!"ketusnya, dengan suara tak semanis biasanya.

Sang gadis hanya bisa melongo. 'Apakah dia cemburu?'batinnya.

Raave berbalik, segera pergi.

Aira menyusul lagi. Menarik lagi jaketnya. "Sir..."

Namun sang lelaki seolah tak mempedulikan Aira. Ia meneruskan langkahnya, tanpa menoleh lagi. Masuk ke mobil, yang ternyata ia kemudikan sendiri, melaju kencang.

Aira memandanginya sendu, bingung, campur aduk.

Ia kembali masuk rumah. Adnan sudah duduk di ruang TV. "Dia cemburu. Dia suka padamu, Ai?"tanya Adnan, enteng.

Gadis itu mengangkat bahu, duduk di sebelah Adnan, sedikit agak jauh. Menyandarkan kepala dengan nyaman, di sofa. Masih saja Raave, dengan sikapnya yang aneh menguasai benaknya.

"Kurasa dia menyukaimu, tapi tak ingin mengakuinya."

"Apa maksudmu?" Aira mendelik pada Adnan.

"Dia tipe orang yang angkuh, tak semudah itu mengungkapkan perasaan. Hanya bisa memberimu sedikit perhatian." Adnan berasumsi.

"Kenapa seolah kamu sangat memahami Raave. Aku saja dibuat bingung karenanya."gerutu sahabat perempuannya.

To be continued....