"Terima kasih, Dok"ucap Aira. Dokter Alan menyerahkan resep pada Aira. Gadis itu melihat sekilas, namun lalu melipatnya dan menyimpannya di tas.
"Mba Aira masih sering lemas? Pingsan atau keluhan lain?"tanya sang Dokter. Ia memeriksa tekanan darah Aira. Si perawat membantu.
"Ehmm, ga terlalu, Dok."jawab Aira. Tersenyum. Bersamaan Dokter selesai memeriksanya.
"Tekanan darah di bawah normal, Mba Aira. Sering ngerasa pengin pingsan?"
"Iya, Dok. Tapi ga sampai pingsan juga sih."
Dokter Alan mengangguk. "Resepnya sudah saya perbarui. Obat sebelumnya ga diteruskan gak apa-apa Mba. Langsung yang resep baru ini saja"pesan Dokter berkulit putih itu.
Aira mengangguk, mengulas senyum sopan. Berterima kasih, kemudian pamit karena sudah selesai.
Bisa Aira rasakan tatapan Sang Dokter mengekorinya, saat ia keluar ruangan.
Dalam perjalanan pulang dari Dokter, Aira mampir ke Apotek besar. Menebus resep. Lebih sedikit dari sebelumnya. Jumlah dan harganya.
Aira menunggu selama setengah jam. Sebelum akhirnya mendapatkan obat-obatnya. Dengan senyum lega, ia melenggang keluar dari Apotek. Berjalan cepat ke mobil. Melaju kencang.
Pranaja Tower
"Kau lama sekali, G?!"tukas Raave tak sabar. Ia meminta Sekretaris pribadinya mengambil Cake mentega di Bake Shop.
"Antri Boss!!"balas Gio. Menyerahkan kotak cake.
Raave segera membukanya. Ia duduk santai di sofa di jam makan siang.
"Anda hanya makan cake, Sir?"tanya Gio.
Raave mengangguk. Sedikit kaget. Melihat beberapa slice kecil Cake mentega lain di kotak yang sama. "Kenapa cakenya jadi punya anak begini, G?" Raave terkekeh geli. Memandangi Cake mentega besar dengan potongan cake mentega lain yang kecil-kecil di sisinya. Seperti Ibu dan Anak-anaknya.
Gio tergelak. Menatap si Cake. "Tadi ketemu Nona Aira di Bake Shop. Terus katanya Anda harus coba yang slice kecil itu, Tuan."jelas Gio.
Sang Tuan muda sedikit tersentak begitu Gio menyebutkan nama Aira. Namun tak ditampakkannya. "Hm, begitu ya. Akan kucoba." Raave meletakkan potongan cake di piring kecil, mulai memotong dan melahapnya.
Gio pamit keluar. Hanya dijawab deheman oleh Tuannya.
Raave membulatkan mata begitu menghabiskan slice cake mentega ori dari Aira. Senyumnya terulas. Tampak puas dan senang. Dengan gerakan cepat, ia habiskan empat slice cake mentega lainnya. Semakin tersenyum lebar. "Perfect!!"lirihnya. Mengusap mulut.
Gio masuk, dan seketika senyum hilang dari wajahnya. Berganti ekspresi datar seperti biasa. Ia potong cake mentega yang masih utuh. Pesanan awalnya. Menawari Gio.
"Kau mau?"
Gio mengangguk. Lalu bergabung duduk di sisi Raave. Ikut menikmati cake mentega. "Manis. Agak kemanisan ya ,Sir"komentar Gio.
"Hm. Kau bagikan saja pada Staff atau Direktur. Nampaknya aku sudah cukup"ujar Raave. Berdiri, sambil meneguk Mojito dingin yang diambilnya dari kulkas mini di ruangannya itu.
Gio mendelik heran. "Ta-tapi Sir"
"Kau tak mendengarku?perlu diulangi??"ujar Raave, menatap Gio tajam.
"Ba-baik, Sir." Gio berdiri, berjalan keluar sambil membawa kotak cake yang hanya berkurang tiga potong. Dua potong oleh Raave, sepotong besar olehnya. Heran dengan sikap sang Tuan. Tidak pernah sekalipun, Tuan mudanya ini membagi cake favoritnya pada Staff.
"Pusing amat, bosen kali."gumam Gio. Menyerahkan si cake pada salah satu Staff, dan berpesan untuk membagikannya.
Si Staff berbinar menerima cake dari Gio.
"Dari siapa Tuan Gio?"tanyanya kepo.
"Dari Presdir."jawab Gio singkat.
Sang Staff menatap Gio heran. "Bener ini buat kami, Tuan?"
"Ya, makan saja. Tuan Presdir bosan. Jadi menyuruhku membagikannya pada kalian" Gio berbalik kembali ke ruangan Raave. Diiringi suara riuh di belakangnya.
Kembali ke ruangan orang nomor satu di Pranaja Tech itu, ia mendapati sang Tuan berdiri dekat jendela. Tangannya bersedekap. Tatapannya lurus ke depan. Handsfreenya berkelap-kelip, nampaknya sedang tersambung dengan seseorang.
"Hm. Begitu. Okay. Ya terima kasih" Raave bergumam. Sedetik kemudian kelap-kelip itu lenyap. Ia tatap Gio.
"G, bisa aku minta tolong?" Raave berjalan ke mejanya. Membuka laci bawah, membawa keluar isinya lalu menyerahkannya pada Gio.
"Yes, Sir. Apa ini?" Gio membolak balikkan kotak persegi panjang putih di tangannya.
"Kau tak perlu tahu. Antarkan saja ke alamat yang tertulis di pojok kiri atas itu. Kau sedang tak sibuk kan?" Raave duduk di samping Gio. "Itu dokumen penting dari Kepala Riset Pranaja Tech."
Gio langsung berdiri. "Oke Sir. Laksanakan!!" ia dekap kotak di lipatan lengan. Sementara tangan lainnya posisi hormat.
Raave tersenyum tipis. Ia pandangi Sekretaris dan asisten pribadinya itu hingga menghilang di balik pintu. Ia Bersandar, menghembuskan nafas panjang. "Cake apa tadi namanya?"lirihnya. Sangat lirih.
Rumah Aira
Air bersantai di kamar sambil menikmati keripik sayur. Ia membaca salah satu koleksi novelnya. Duduk di samping jendela yang terbuka. Dengan angin sejuk yang menerpanya sedemikian rupa.
Siang menjelang sore. Cerah. Gadis itu langsung pulang usai dari tempat Dokter Alan.
Papanya sempat menghubunginya, saat dalam perjalanan. Namun Aira berkata akan menghubungi balik sang Ayah. Setelah sampai di rumah.
Aira memang tinggal sendiri, bersama Bu Wina, asistennya yang setia. Di rumah dua lantai minimalis. Dengan tiga kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga atau ruang TV, dapur, dua kamar mandi.
Taman lumayan luas di bagian belakang rumah, juga garasi kecil. Rumah hasil jerih payahnya sendiri, selama tinggal jauh dari orangtuanya.
Tak terasa sudah hampir lima tahun. Sejak ia lulus Sekolah Menengah Atas, memutuskan merantau ke Kota yang saat ini ia tinggali, kemudian bekerja keras membangun BookShop.
Orangtuanya menawarkan untuk membiayainya kuliah lagi, namun Aira sama sekali tak tertarik. Di pikirannya, kuliah bisa dilakukan kapan saja. Di usia berapapun. Cita-cita terbesarnya saat itu, ia bisa membangun sebuah Toko Buku miliknya sendiri.
Gadis berhidung sedang itu, berusaha keras siang dan malam, merintis impiannya. Dari hanya berjualan buku Online, lalu berkembang sedikit, bisa membuka kios kecil dengan uang pinjaman salah satu kenalannya yang baik hati. Hingga perlahan tapi pasti, tumbuh jadi Toko Buku yang awalnya hanya ada di Kota S, tempatnya tinggal. Menjadi berkembang pesat di kota-kota besar lainnya.
Ia tak akan pernah lupa bagaimana lelahnya, saat beberapa malam tak tidur demi melayani pelanggan, yang memesan buku dalam jumlah tak sedikit. Donasi untuk korban bencana alam.
Ia juga akan selalu ingat kebaikan hati sang kenalan, yang dengan percaya meminjaminya uang, untuk menyewa kios kecil di dekat Sekolah saat itu.
Sayang, ketika ia menghubunginya dan mampir ke rumah sang lelaki baik hati ini, Ibunya mengatakan bahwa Brian, si lelaki, telah berpulang. Kecelakaan tunggal kala pulang dari kantor.
Aira shock. Tak bisa membalas kebaikan hati si lelaki. Akhirnya ia hanya bisa rutin mengunjungi makam sang lelaki berusia setahun lebih tua darinya itu, setiap bulan.
Membawa seikat besar bunga mawar segar dan sebentuk doa agar tenang di sana. Juga selalu mengirimkan makanan atau keperluan dapur untuk Ibu Brian yang single parent.
Hingga beberapa bulan setelah kepergian Brian, Sang Ibu yang mungkin terlalu larut dalam kesedihan kehilangan putra semata wayangnya, menyusul. Airalah yang awalnya menemukan sang wanita. Pagi itu, saat tak ada seorangpun yang membukakaan pintu, kala ia mengetuk sampai lima belas menit.
Ketika mencoba memberanikan diri membuka pintu, ternyata tak dikunci. Aira masuk memanggil Ibu Brian, mencari ke seluruh penjuru rumah. Kemudian menemukannya di kamar. Berbaring, seolah tidur, dengan senyum tipis di wajahnya. Tapi tubuhnya sudah dingin.
Saat itu juga, Aira segera mengurus pemakamannya. Tepat di sisi Brian, sang putra. Karena tak memiliki saudara dekat. Ditambah lagi, Aira tak punya waktu mengurusi keluarganya. Flashback end
Aira segera menghubungi sang Ayah begitu tiba di rumah. Berbincang ringan. Video call, agar saling bisa memandangi wajah teduh Papa dan Mamanya. Sekaligus Melepas rindu.
"Kalau luang, main ya sayang. Kami kangen kamu." Nyonya Harsena, Mamanya memohon dengan wajah memelas.
"Tentu, Ma. Maaf Aira jarang pulang"balas Aira. Matanya berkca-kaca. Sebelum ia semakin hanyut dan mengalirkan lebih banyak lagi bulir bening, ia sudahi percakapannya dengan Ayah Ibunya. Ia tutup dengan kecupan manis untuk kedua orang yang begitu ia sayangi itu.
Mr Raave calling...
"Ya Tuan"jawab Aira.
"Hm. Di rumah?"tanya Raave singkat.
"Saya? Ya, saya di rumah. Ada apa Mr Raave?"
"Hm, ya sudah"tutup lelaki itu. Call end.
"Heiii..!! Yang benar saja!!"ujar Aira gemas. Kelakuan si lelaki jambang tipis ini kadang membuatnya bingung. Heran. Mengelus dada.
Aira geleng-geleng kepala. Kemudian meneruskan bacaannya yang sudah sampai di bab 25.
Mr Raave calling...
Aira melirik ponsel. "Mau apa lagi si CEO ini??"lirihnya.
"Ya, Sir" Aira berusaha berbicara normal. Sebenarnya bingung dan sebal.
"Oh. Salah tekan. Sorry"jawab sang lelaki. Call end.
Dengan mulut manyun beberapa centi, Ia lempar ponsel ke ranjang. Mengumpat lirih. "Lelaki ga ada obat!!"
Aira kembali fokus menghayati isi cerita novel. Seorang perempuan yang jatuh cinta pada seorang pria sombong dan kejam.
Gadis itu senyum senyum sendiri, kala membaca puisi cinta sang perempuan untuk lelakinya. Begitu dalam dan bermakna.
Ponselnya berdering lagi. Aira meliriknya sekilas. "Siapa itu?" ia melihat jam dinding. Jam tiga sore.
Akhirnya dengan rasa malas luar biasa Aira beranjak, meraih ponsel. Melihat screen.
Mr Raave calling...
"Walah, orang ini lagi!! Ga mau jawab!!"umpat Aira sebal. Ia letakkan ponsel. Lalu duduk manis lagi di dekat jendela. Melanjutkan membaca puisi cinta yang indah.
Ponselnya terus berdering tanpa henti. Hingga Sepuluh menit.
Dengan menghentakkan kaki, Ia raih ponsel, menjawab panggilan Raave.
"Ya, Sir"
"Sibuk?"
"Oh maaf saya di bawah, tadi, ponsel saya di atas."bohong Aira. Terkekeh.
Hening. Tak ada jawaban dari lelaki jambang di seberang sana. Aira ikut diam. Malas bicara lagi.
"Hm. Di bawah?"
"Ya, Tuan. Jadi ada apa, Mr Raave?"
"Tidak ada apa-apa."Call end.
'What the hell??' Aira bicara dengan hanya menggunakan bahasa bibir. Ia hembuskan nafas pelan.
Moodnya untuk meresapi si puisi cinta menguap sudah. Ia tutup novel, usai menandai halamannya. Lalu disimpan kembali di rak bukunya di sudut ruang. Ia turun, Bu Wina sedang menonton TV. Menoleh, saat Aira menuruni tangga.
"Hai cantik. Makan?"sapa sang asisten.
"Masak apa, Bu?"
"Kesukaanmu!" Bu Wina tersenyum lebar.
Aira memekik senang. "Asyikkk!! Mari makan!!"
Seketika suasanana hatinya kembali baik. Berkat Sup Jagung dan Fillet Ikan goreng tepung kesukaannya.
**