"Mba Aira, nampaknya Mr Raave sudah jadi relasi tetap kita. Customer Khusus. VIP istilahnya."ujar Mr Suri siang itu. Tersenyum bahagia. Ia berbincang dengan Aira di ruangannya. Usai menyiapkan pesanan Buku yang entah ke berapa Raave dan makan siang.
Sudah lebih dari tiga minggu. Raave memintanya menyiapkan buku buku untuk donasi hanya lewat email. Dengan kata kata yang sama. Hanya diubah hari dan target pembaca saja. Mungkin copy paste yang sebelumnya. Sungguh praktis sekali. Dan kemudian akan diambil oleh Sekretaris pribadi sang CEO, keesokan harinya.
Tuan Gio Saputra. Sekilas Aira sempat berkenalan. Lelaki berpostur lumayan gempal dan besar. Berkulit bersih dan berambut agak keriting. Staff Raave yang setia selama tujuh tahun terakhir.
"Iya bisa dibilang begitu, Sir."timpal Aira sekenanya. Tersenyum. Ia tak terlalu berfikir jauh.
Urusan pembayaran, Raave langsung secara online transfer ke rekening khusus BookShop, begitu ia selesai mengirim email. Aira tahu, karena laporan transfer yang masuk, catatan waktunya hanya selisih beberapa menit dengan email.
Sebagai ucapan terima kasih atas kepercayaan Raave, awalnya Aira ingin mengiriminya beberapa bingkisan. Makanan, atau parcel. Namun setelah dipikir ulang, akhirnya ia urungkan niatnya itu. Mengerti lelaki dingin macam Raave tak tertarik dengan bingkisan atau parcel. Gantinya ia memberikan potongan harga. Yang Lumayan.
Aira akan menginfokannya sebelum Raave transfer.
Mr Suri pamit untuk kembali ke ruangannya.
Aira kembali menatap serius layar 14 inchi di depannya. Yang menampilkan beberapa informasi Buku-buku baru yang nampaknya menarik.
Entah bagaimana, mendadak ia ingat sang CEO yang mampir ke rumahnya, beberapa waktu lalu, membawa sekeranjang buah. Gadis itu tersenyum sendiri. Tapi tak ambil pusing kemudian.
Ia kembali fokus memeriksa buku-buku baru. Sambil minum obat. Pagi tadi, ia melupakannya. Jadi Aira pikir, sekalian minum di siang hari saja usai makan siang. Seporsi Nasi Padang dengan telur mata sapi, membuatnya kenyang dan senang. Tentu saja, setelah ia mengecek pesanan Raave bersama Mr Suri.
'Mungkin diambil besok pagi oleh Tuan Gio seperti biasanya.'batin Aira. Mengusap pelan perutnya. Terasa kembung dan agak begah. Ia minum air oksigen. Lanjut menekuri notebook hingga jam pulang tiba.
Sore harinya, sang gadis pulang ke rumah dengan harapan, langsung menuju kamar dan berbaring nyaman di ranjang.
Bu Wina tersenyum, menawarkan beberapa keripik kentang kesukaannya. Namun Aira menggeleng pelan. "Tolong bawain teh anget aja ya Bu. Makasih"pesan Aira sebelum naik ke lantai dua.
"Oke Boss!"
Aira mandi, sesampainya di kamar, lalu berganti kaos oblong dan celana panjang nyaman yang adem bahannya.
Teh hangat yang masih mengepulkan asap, sudah tersedia di meja dekat sofa bersama beberapa Pai buah dan keripik kentangnya. Mungkin diantar Bu Wina saat ia mandi.
Ia duduk santai di sofa sambil menyesap teh. Hingga tak bersisa. Segar rasanya. Hangat. Perutnya ikut nyaman.
Kemudian Aira berbaring di ranjang. Aroma bantal dan selimut membuatnya rileks. Wangi sabun dan sedikit Rockrose. Ia pejamkan mata. Lalu nyenyak begitu saja. Pulas.
"Mba.. Mba Aira..!"suara Bu Wina yang agak kencang membangunkannya. Ia mengerjap pelan. Melirik jendela. Sudah gelap.
"Mba Aira pingsan?"tanya Bu Wina khawatir.
Aira menggeleng. "Ngga Bu. Ketiduran mungkin. Hehe. Jam berapa ini, Bu?"
"Udah malam Mba. Jam sembilan. Saya khawatir tadi, Mba Aira pulang dari BookShop kok ga keluar keluar kamar."jelas sang Asisten.
Gadis itu kaget. Berapa jam ia tidur? Dari jam lima sore usai minum obat, hingga jam sembilan??
"Ya udah kalau gitu. Mba Aira istirahat. Saya tinggal ke bawah ya." pamit Bu Wina. Berdiri dan melangkah keluar kamar.
Aira mengangguk. Mengusap muka, lalu berbalik badan. Membuka laci meja nakasnya. Beberapa botol obatnya dalam satu kantong kain khusus. Ia keluarkan lalu ia perhatikan satu per satu. Tak lupa obat yang selalu dibawanya ke BookShop.
"Kok kayaknya beda ya. Hmm, apa Dokter Alan kasih obat beda lagi? Aku gampang tidur sekarang."gumamnya pelan. Dokter Alan, Dokter Spesialis yang menanganinya.
"Ah, pusing pusing amat! Yang penting aku baik-baik saja"bisiknya lagi. Ia beresi obat lalu menyimpannya lagi di laci nakas. Kembali berbaring. Tidur.
Esoknya...
"Heii.. Aku kesiangan!!!"teriak Aira. Ia melompat dari ranjang. Melirik jam, delapan lebih lima belas menit. Bergegas menuju kamar mandi, lalu mandi super kilat.
Aira segera bersiap. Sebelumnya sambil melirik ponsel, beruntungnya tak ada siapa siapa yang menghubungi. Ia sedikit takut jika Sekretaris Raave datang pagi untuk mengambil Buku pesanannya.
Gadis itu sedikit santai. Ia hubungi Mr Suri.
"Ya, Mba Aira. Tumben jam segini, jenengan belum datang. Mba Aira baik saja kan?"
"Ya Sir. Saya kesiangan. Mr Raave sudah mengambil pesanannya?"tanya Aira sedikit panik.
"Oh sudah. Tadi beliau sendiri, yang ambil. Pagi sekali. Saya kan punya kunci ruangan Anda beruntungnya. Jadi langsung bisa saya ambil."cerita sang Head Manager.
Aira bernafas lega. "Maaf ya Mr Suri. Terima kasih"
"Tak masalah. Mba. Tadi nampaknya Mr Raave mencari Anda. Ya tidak bertanya langsung. Tapi dari caranya mengedarkan pandangan di seluruh ruangan, saya paham."
Aira tersenyum. "Begitu ya. Hehe. Ya Mr Suri. Terima kasih."
"Sama-sama Mba" tutup Mr Suri. Call end
Aira duduk di ranjang. Masih memegangi ponsel.
Mr Raave calling...
"Ya, Mr Raave"jawab Aira.
"Kamu libur hari ini?"
"Maaf Sir. Saya tadi kesiangan" Aira berdehem. Menormalkan suaranya yang sedikit serak.
"Hm."
Bu Wina masuk ke kamarnya. Mengusap kepala dan lengan sang Nona. "Badannya kok anget, Mba?"
Aira mendelik pada Asistennya.
"Kamu sakit?!" nada suara Raave meninggi.
"Tidak Tuan. Saya...."
Call end
Bu Wina memandang Aira heran. "Kenapa Mba?"
"Gak apa apa, Bu. Bu Wina ada apa?"
"Ga, saya tadi bikin bubur ayam. Mba Aira mau? Buat sarapan. Masih anget. Istirahat di rumah aja ya. Badannya anget. Nanti kalau dipaksa malah ambruk."
Aira menghembuskan nafas pelan. Mengangguk. Bu Wina tersenyum. Keluar dari dari kamarnya.
Gadis itu melepas lagi blus dan celana kantornya. Duduk bersandar di sofa. Ia hubungi lagi Mr Suri. Mengatakan bahwa Ia tak enak badan. Sang Head Manager tak mempermasalahkannya. Tentu saja, Aira pemilik BookShop, bebas mau ke BookShop atau tidak.
Bu Wina masuk, membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam komplit dan susu hangat. Yang segera ditandaskan sang gadis. Setelah itu ia minum obat.
"Makasih ya Bu."ujar Aira. Tersenyum senang.
Bu Wina mengangguk, mengulas senyum haru lalu mengusap lengan Aira. "Istirahat ya". Sambil melangkah pelan, keluar.
Aira masih duduk bersandar di sofa. Matanya terpejam begitu saja, beberapa saat kemudian. Tubuhnya menghangat.
Ketika ia bangun beberapa jam kemudian. Gadis itu sudah berada di atas ranjang, dengan selimut menghampar di atas tubuhnya. Aira bangun, beranjak. Mengerjap. Ia melangkah ke toilet.
Bersamaan, Bu Wina masuk ke kamarnya. "Mba Aira udah bangun?"
"Bu, siapa yang mindahin saya tadi?"tanya Aira usai dari toilet.
"Oh. Mas ganteng itu. Saya ga berani bicara apa-apa. Wajahnya nyeremin MBa. Jadi ya saya biarin dia ngangkat Mba Aira. Setelah itu dia pergi."cerita sang asisten. Alisnya bertaut. Seolah benar benar takut.
'Raave. Berarti dia kesini tadi.' batin Aira. Padahal sebenarnya ia tidak sakit. Hanya mungkin sedikit demam. Dan lelaki itu langsung menemuinya.
"Mba Aira kecapekan ya akhir-akhir ini? Habis minum obat langsung tidur. Tidurnya juga lama. Ga seperti biasanya." Bu Wina tampak khawatir.
"Ya Bu. Mungkin obat tidurnya ini. Saya tak coba bilang Dokter Alan." Aira kembali menelusuri obat miliknya. Ia segera beranjak. Berpakaian rapi lalu menghubungi sang Dokter. Membuat janji temu.
"Saya pergi ke Dokter ya, Bu"pamit Aira. Bu Wina mengangguk.
Aira masuk ke mobil, melaju santai. Toh, badannya juga tak ada masalah. Hanya sedikit lemas. Ia lirik jam. Hampir jam makan siang.
Akhirnya ia mampir ke salah satu Bake Shop. Ingin membeli beberapa Cake potong. 'Dokter Alan pasti juga sedang istirahat siang di jam begini.' Pikir Aira.
Ia mengambil nampan kayu, mengambil Cake strawberry, Pai buah, Roti keju, dan Cake mentega. Cake mentega di Bake Shop yang dikunjunginya terkenal enak. Aira segera mengantri di kasir. Ia juga sempat mengambil mikshake dingin rasa kopi di lemari es pojok Toko.
Aira sedikit bertanya pada Staff yang kebetulan berdiri di dekat lemari es. "Mba, ini Cake mentega ori atau sweet?"
"Oh yang di etalase semua Ori kak, Hari ini, untuk Cake menteganya."jawab sang Staff yang nampaknya masih berusia 17tahunan.
Aira mengangguk puas. "Ok. Siip. Thanks ya".
Aira berdiri di belakang seorang lelaki tinggi besar. Mengenakan setelan jas formal.
Nampaknya familiar. Dengan gerakan perlahan, gadis itu sedikit mencondongkan tubuh ke depan. Lalu tersenyum. "Mr Gio? Belanja Cake juga?"sapa Aira. Melihat sekotak Cake mentega yang ada di tangan si lelaki.
Mr Gio menoleh kaget, tersenyum kemudian. "Nona Aira! Bertemu anda di sini. Iya, ini kesukaan Tuan Raave. Mereka sudah membuatkannya khusus dan ini hasilnya." Mr Gio menunjuk Cake Mentega dengan toping cokelat putih dan keju cedar parut. Label Sweet di kotaknya.
Aira tersenyum. Lalu ia ambil beberapa Slice cake mentega lagi dari etalase. Menaruhnya di atas kotak Cake mentega Mr Gio. "Mr Gio. Saya rasa, Mr Raave harus coba yang ini."ujar Aira. Mengedipkan mata.
Gio tersenyum mengangguk. Gilirannya tiba.
Usai menerima cake yang telah dipacking, sekretaris pribadi Raave itu berpamitan pada Aira, segera keluar dari Bake Shop.
Aira membayar cakenya kemudian juga bergegas keluar, masih dengan senyum yang terulas di bibir.
Ia lanjutkan perjalanan ke tempat praktek Dokter Alan. Benar saja, sang Dokter sedang makan siang. Gadis itu duduk di ruang tunggu yang nyaman. Dilengkapi kulkas berisi aneka minuman ringan. Aira mengambil satu botol teh strawberry. Diteguknya dengan semangat.
Tiga puluh menit berikutnya, Aira dipanggil perawat Dokter Alan. Ia segera masuk. Sang Dokter tersenyum menyambutnya, menjabat tangan sang gadis dengan erat.
"Halo, Mba Aira. Gimana?"sapa Dokter 40tahun itu ramah.
"Ga gimana-gimana Dok. Hanya saja, setelah minum obat, saya jadi tidur terus. Apa memang itu efek obatnya?"jelas Aira, to the point.
Dokter Alan menatapnya dari balik kacamata. Tampak berpikir. Lalu menggeleng pelan. "Hm, berarti saya ganti saja resepnya. Itu saja keluhannya, Mba Aira?"
Aira mengangguk. Ia pandangi sang Dokter yang sedang menulis resep. Sedikit bertanya tanya. 'Langsung ganti obat? Ga tanya apa lagi gitu? Atau biasanya diperiksa lagi mungkin. Atau...'batinnya berusaha tenang.
Continued-->