Adnan Putra, lelaki berusia 23tahun. Kulitnya bersih. Dengan postur sedang. Kadang berkacamata, kadang tidak. Kepala Manager sebuah Perusahaan Pharmacy. Berlawanan dengan ia yang seorang lulusan Sarjana Ekonomi. Sahabat Aira, juga Zii dan Re. Re tinggal di lain Kota, jadi kurang bisa berkumpul dengan mereka.
Adnan berangkat ke kantor pagi itu dengan muka masam. Ketika masuk ke ruangannya, tanpa melirik pekerjaan, ia segera membuka ponsel. Mengecek galeri dan memperhatikan sebuah foto. Ia catat tulisan dari foto.
Lalu menghubungi salah satu Staff nya. "Bisa tolong kamu carikan informasi tentang obat-obatan ini? Jika sudah, segera kabari aku! Kukirim lewat pesan singkat."
"Baik, Sir!"
"Terima kasih"
Adnan termenung setelah itu. Sudah beberapa kali ia lihat sahabatnya, Aira. Mimisan terus menerus. Juga pucat dan pernah suatu kali, saat mereka berpetualang ke gunung, Aira pingsan.
Ia pegangi kepalanya, "Kamu sebenarnya sakit apa, Ai?!"gumamnya frustasi. Dihembuskannya nafas dalam. Pikirannya tak fokus. Adnan membuka notebook. Berusaha konsentrasi pada pekerjaan.
Jam delapan menuju sembilan terasa seperti setahun. Lelaki beralis tebal itu, berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Beruntungnya ia bisa fokus.
"Sir.." Salah satu Staff yang dimintai tolong menghubunginya.
"Ya, gimana"
"Beberapa obat anti inflamasi, anti radang, Juga ada anti nyeri dan obat tidur. Obat siapa ini, Sir. Kalau saya boleh tahu?"
Adnan kaget. "salah satu teman."
"Oh, dia menderita kanker?"
"Apa?!" Adnan terkesiap. "Apa maksudmu?"
"Maaf Sir. Obat-obat ini biasanya digunakan oleh penderita kanker. Kalau saya perhatikan dari macamnya obat, menurut sepengetahuan saya, nampaknya berhubungan dengan Penyakit dalam. Bisa darah, hati, kelenjar getah bening, pankreas dan semacamnya"
"Kamu bercanda?!!"
"Tidak, Sir"
Adnan menatap kosong ruangannya sendiri. 'kanker? Organ dalam?'batinnya galau. Semakin frustasi.
"Baiklah, terima kasih ya"
"Sama-sama, Sir"
Adnan menutup notebook. Meletakkan kepala di atasnya. Diam. Membeku. Tubuhnya seolah kaku. Tak bisa bergerak. Ia mencoba mencari informasi, lewat notebook. Dibukanya lagi.
Menuliskan gejala yang ia tahu sering dialami sang sahabat. Mimisan, pingsan, demam. Beragam hasil yang muncul. Lalu ia persempit pencarian.
Salah satu artikel menarik perhatiannya. Ia telusuri, ada satu gejala yang tidak ia temui pada Aira. Jika gejala ini ada, maka Adnan yakin bahwa Aira menderita penyakit ini.
Ia berusaha mengingat. Sekuat tenaga. Gunung, Mall, Resto, toilet resto. Halaman Sekolah, Ballroom Hotel dan... Rumah Zii! Ya, saat di rumah sahabatnya yang lain itu, Aira memakai kaos berlengan pendek. Tak sengaja, Adnan melihat memar kebiruan lebar. Di lengan dalamnya. Kulit Aira yang kuning bersih semakin menambah jelas warna memar yang biru gelap.
Mereka bercanda tawa saat itu. Juga bersama sahabat lelakinya yang lain. Aira tanpa sengaja, mengangkat tangan keatas. Jadi memar itu terlihat olehnya. Wajah Aira saat itu juga sedikit pucat.
Adnan shock. Ia pandangi notebooknya, yang masih menampilkan halaman site artikel yang ia buka. Menatap tak percaya. Lelaki berhidung mancung itu masih mematung, dengan mulut setengah terbuka. Dan bulir bening yang menggenang di sudut netra.
Lelaki itu mengusap mata. Mengerjap. Ia tutup notebook. Kemudian menyambar jas dan keluar dari ruangan dengan setengah berlari. Pamit pada sekretarisnya. Lalu segera menuju parkiran.
Tujuan utamanya ,BookShop Aira. Reuni pertama yang mereka adakan beberapa tahun lalu, memang begitu mengeratkan hubungan. Adnan kembali dekat dengan Aira. Juga Zii dan Re. Seperti ketika sekolah dulu.
Berbagi suka duka walaupun kini mereka telah beranjak dewasa.
BookShop ramai. Adnan mencari keberadaan sahabatnya. Namun tak ada dimanapun. Akhirnya ia bertanya pada keamanan yang setia berjaga di Pos.
"Oh Mba Aira ga ke BookShop hari ini, Mas. Tadi katanya sakit. Dia telepon Staff Administrasi yang piket siang ini"jelas Pak Satpam.
Adnan berterima kasih, lalu memutar kemudi ke rumah sang gadis. Dengan perasaan campur aduk. Gelisah, galau. Dan kawan-kawannya.
"Nona Ai, istirahat yang cukup ya. Jangan dipaksakan. Anda sudah beberapa kali ambruk, hanya dalam waktu kurang dari sebulan."kata Dokter.
"Terima kasih , Dok. Saya dapat obat seperti yang kemarin kan? Kayaknya cocok Dok"jawab Aira.
"Ya, saya tambahi."
Adnan mendengarkan dari balik tembok. Di sebelah kamar sang gadis. Karena pintu kamarnya terbuka.
Usai Dokter pergi, Adnan masuk. Aira memberesi obat di atas ranjangnya. Terkejut melihat kedatangan Adnan, di kamarnya.
"Hai Nan."sapanya, tersenyum. Namun wajah Adnan yang khawatir membuat gadis itu bingung. "kamu kenapa, Nan?"
Adnan berjalan mendekat. Berhenti di depan Aira. Kemudian menariknya ke pelukan. Mendekapnya erat. Aira yang sedikit kaget, hanya bisa diam. Gadis itu mengulurkan tangan, ragu. Tapi membalas pelukan sahabatnya.
Aira melepas pelukannya, tersentak. Menjauh. "Ada apa, Nan?"tanyanya linglung.
Adnan menatapnya khawatir. Membelai pipi Aira. Ia mendekat. Gadis itu mundur. Adnan semakin merapat.
"Sebenarnya ada apa, Nan?"tanya Aira bingung. Ia menjauh dengan cepat. Meredam debar yang sebenarnya tak ia inginkan. Menahan perasaan senang yang tak ia harapkan.
Sang lelaki duduk di sofa di kamar Aira. "Aku ingin bicara, Ai. Maaf sebelumnya, jika aku membuatmu bingung." masih, tatapannya lekat pada sahabat tersayangnya.
"Bicara apa, hingga kamu membuatku linglung begini?" Aira duduk di sebelah Adnan.
"Kamu sakit apa?"tanya Adnan, to the point.
Aira tertawa kecil. "Apa itu penting?"
"Penting untukku! Kenapa kamu malah ketawa?"jawab Adnan.
"Lucu aja, beberapa hari lalu bahkan membalas sapaanku saja kamu tak mau. Lalu kenapa sekarang peduli dengan sakitku?"balas Aira, tersenyum miring. Sedikit dongkol, sebenarnya.
Adnan menunduk. "Kamu belum memaafkanku?"
"Bukan belum memaafkan, tapi aku tak bisa lupa. Kamu tidak ke kantor? Jam segini kok malah keluyuran kesini?"
"Kamu sendiri tak Ke BookShop?"
"Badanku lemas, jadi aku istirahat. Lagipula sudah ada yang handle di sana. Lalu kamu kenapa?"
Aira berdiri, mengajak Adnan keluar dan duduk saja di ruang TV.
"Bapak sama Ibu sehat kan?"tanya Adnan tiba-tiba.
Aira mengangguk. "Sehat Alhamdulillah. Kenapa kamu juga peduli?" dinyalakannya TV. Mengambil beberapa kaleng soda, lalu ia berikan pada Adnan. "Mau makan siang di sini sekalian?"tanya Aira
Adnan mengangguk antusias. "Boleh, makasih ya Ai. Tapi kamu masih menganggapku sahabatmu kan?"
"Ya. Tentu saja. Kenapa tidak?"balas Aira santai.
Kliiing...ponselnya berdering
Mr Raave calling...
"Ya, ada apa Tuan Raave?"
"Kamu sudah sehat?"
"Ya, lumayan ada apa, Tuan?"
Call end..
Aira bengong sesaat. Heran dengan relasi yang baru saja menghubunginya.
Adnan menatap Aira dalam. "Siapa?"
"Relasi dekat. Dia suka memesan buku, alat tulis untuk membantu anak-anak di Panti Asuhan atau pedalaman."jelas Aira, menyesap air oksigennya.
"Mau kesini?"tanya Adnan kepo
Aira mengangguk.
"Baiklah, aku pulang saja kalau begitu, Ai."
"Tak jadi makan siang di sini?"tanya Aira santai.
Adnan menggeleng, tersenyum. Ia usap Lengan Aira sekilas, kemudian berlalu pergi.
Beberapa saat setelahnya Mr Raave datang. Membawa sekeranjang buah. "Permisi"sapanya, dengan suara selembut beledu. Wajahnya yang dingin juga angkuh, terasa tak sepadan dengan suaranya yang sungguh enak didengar.
Aira mengulas senyum sopan, agak menundukkan kepala. Usai sebelumnya, ia sedikit memperbaiki penampilan. Sungkan jika menemui relasi dekatnya, hanya memakai celana santai dan kaos oblong.
Raave Pranaja, CEO Perusahaan IT paling tersohor di seluruh Negeri. Tampan,tentu saja. Tak diragukan lagi. Tubuh tegap, tinggi, atletis bak aktor laga. Kulitnya coklat sawo eksotis dengan jambang tipis, yang membuatnya semakin keren. Dipertegas oleh bentuk wajahnya yang nampak kuat. Walau tak terlalu lebar. Proporsional.
Aira mempersilahkannya masuk. Menerima keranjang buah dengan sedikit ragu. "Kenapa Anda repot-repot, Tuan Raave. Saya sudah membaik sebenarnya."ujar Aira. Ia meletakkan si keranjang di tangan asistennya, yang langsung membawanya ke dalam. Menatap si pemberi buah.
Raave tersenyum, tipis. Sangat tipis. Ia duduk di sofa. "Hm, hanya ingin melihat kondisimu"jawabnya, tanpa memandang sang lawan bicara.
"Anda tidak ke kantor, Sir? Bukankah ini jam sibuk? Saya sungkan sebenarnya, jika Anda mengorbankan waktu Anda hanya untuk saya" Aira merasa terlalu banyak bicara di hadapan relasi, ah bukan. Kenalan sebenarnya. Ia baru mengenal lelaki 29 tahun itu beberapa minggu lalu.
Raave menggeleng pelan. Menatap Aira. Menelisik wajah gadis di depannya yang masih pucat. "Sudah minum obat?"tanyanya singkat.
"Sudah, Sir."jawab Aira. Berusaha tak cerewet agar Raave tak bosan. Ia tatap mata hitam pekat lelaki dingin itu dalam.
Raave mengangguk. Ia memasang handsfree. Bersandar di sofa. "Hm?". Ekspresinya berubah. Alis tebalnya bertaut muram. "Hm, lalu?". Aira bergidik. Raave berdiri, menghadap pintu. Beberapa Staff pribadinya siaga di luar. "Hm.ok". Lelaki itu berbalik, menatap Aira dalam.
"Aku pamit" Ia belai sekilas pipi sang gadis, lalu berlalu begitu saja dari sana. Dengan wajah yang semakin menakutkan. Staff pribadinya memandangi Tuan muda mereka heran. Namun tak berani bicara apa-apa. Takut kena marah lebih tepatnya.
"Terima kasih, Mr Raave"gumam Aira, lirih. Masih memandangi kepergian sang CEO. Tak banyak bicara. Hanya berdehem dan sesekali tersenyum tipis.
Ia raih ponsel, mengirim sebuah pesan singkat, pada Raave.
'Terima kasih Mr Raave, sudah bersedia mampir. Sungguh suatu kehormatan. Semoga hari Anda menyenangkan'
Send message..
Message delivered..
Message read..
Mr Raave calling..
"Ya,Mr Raave?"
"Hm. Semoga kamu cepat sehat"
"Anda sibuk. Maaf Tuan Raave. Anda boleh tutup saja."
"Aku yang menelepon"
"Begitu. Tapi, Saya takut mengganggu waktu anda Sir."
"Hm. Istirahatlah"tutupnya. Call end.
Ia simpan kembali ponselnya. Bernafas dalam. Memikirkan sikap Raave yang membingungkan padanya. Tapi ia tak ambil pusing.
Gadis itu kembali memakai kaos oblong. Lalu berbaring di kamar. Kepalanya masih pusing.
"Semoga cepat Sehat? Apa yang kau harapkan, Mr Raave? Aku cepat sehat? Kurasa akan sedikit sulit"gumamnya lirih. Lalu memejamkan mata rapat. Dengan tangan di atas kepala.
**