Jodoh, maut, rezeki sudah ada yang atur. Kita sebagai manusia hanya bisa melakukan yang terbaik, semampu yang kita bisa dan menerima kehendak Tuhan. Kalau saat ini gue dikasih Tuhan kesempatan untuk bekerja lebih giat dan mendapatkan rezeki lebih, masak gue tolak? Disini gue hanya menjalankan apa yang memang seharusnya gue jalani.
Ternyata, kesibukan gue menjadi masalah untuk sahabat gue sendiri. Entah dia masih menganggap gue sebagai sahabat atau enggak. Yang jelas, kali ini gue nggak setuju dengan dia. Ya, meskipun dari dulu, kita juga sering sekali berdebat dan berbeda pendapat. Tapi untuk kali ini gue rasa Naira sudah berlebihan. Dia protes atas kesibukan gue. Yang mana kesibukan itu adalah pekerjaan gue, yang membuat gue bisa seperti sekarang ini. Gue sempat mempertanyakan hak dia dalam hal ini. Gue merasa kalau dia sampai melarang gue untuk mengurangi jadwal-jadwal manggung gue, demi sesuatu yang nggak tentu itu sudah menyalahi prinsip gue. Dan nggak seharusnya Naira berperilaku seperti itu. Gue yakin, ada alasan lain yang masih dia sembunyikan dari gue. Alasan yang sebenarnya bukan seperti yang dia ucapkan.
Karena, meskipun gue sibuk, gue selalu memberikan waktu gue, meskipun sebentar entah untuk telfon atau chatt. Tapi itu dulu. Sebelum negara api menyerang.
"Maaf, Pak. Ada kiriman bunga. Katanya atas nama bapak," seorang karyawan gue memberi bucket bunga mawar. Namanya Bagus.
"Oh iya. Thankyou gus."
Sungguh momen yang sangat nggak tepat banget. Kiriman bunga gue datang disaat Bunda nggak ada di samping gue.
Kira-kira apa yang ada di pikiran Naira? Mungkin nggak, dia kira bunga-bunga ini buat dia? Kalau dia mikir begitu, nanti sedih nggak ya kalau tahu ternyata bunga ini bukan buat dia?
Ah astaga, kenapa gue jadi mikirin sesuatu yang nggak penting sih? Secepat kilat gue berusaha untuk membuyarkan pikiran-pikiran aneh gue. Lagi pula Naira kan sekarang lagi marah banget sama gue. Mana mungkin dia berpikiran begitu. Lihat, ekspresinya saja datar, cemberut, bahkan nggak merespon sama sekali apa yang terjadi di depannya. Dia selalu membuang muka.
Berhubung Bunda lama nggak balik-balik. Gue memutuskan untuk menelepon Ayah. Suasana disini sudah sangat nggak kondusif.
Sekitar tiga menit setelah gue telfon, Bunda dan Ayah kembali ke tempat duduk semula. Dengan wajah yang bersinar. Entah apa yang telah mereka bicarakan. Semoga nggak aneh-aneh lagi.
"Waahh bunganya bagus. Buat Naira ya?" tanya Bunda membuyarkan fokus gue.
"Sweet banget sih kamu. Pasti nurun dari Ayah ini. Iya kan Bun? Tapi kok nggak dikasih? Nungguin Ayah Bunda, biar jadi saksi gitu?" Ayah meledek sekali. Nggak tahu apa kalau gue sudah nggak kuat ada disini lama-lama.
"Hah, enggak Ayah. Bukan. Bukan buat Naira."
Seketika Ayah Bunda saling beradu pandang saat mendengar jawaban gue. Mereka kaget.
"Ini untuk Bunda," gue menyerahkan segerombolan mawar merah yang sudah dirangkai dengan sangat cantik oleh perempuan manis itu.
Bunda kaget dan bingung. Begitu pun dengan Ayah. Mereka mengira bunga itu untuk Naira. Padahal jujur, gue nggak tahu kalau akan ada Naira. Niat gue memang beli untuk Bunda. Itu pun karena misi penyelidikan gue tadi pagi. Biar sukses.
Kalian bisa bayangin, nggak? Ada Naira, Ayah, Bunda, dan gue pesan Bunga, tapi itu bukan untuk Naira. Sedangkan kedua orang tua gue mikirnya itu untuk Naira, dan mereka juga mengira dengan meninggalkan gue dan Naira berdua, sudah clear masalahnya. Padahal kenyataannya justru sebaliknya. Bukannya membaik, malah semakin buruk. Iya,
Begitulah hidup. Seringkali memberi kesan seolah baik-baik saja, padahal kita terjebak disituasi yang pelik.
๐๐๐
Hobi gue sejak kecil adalah memainkan berbagai jenis alat musik. Mulai dari gitar, piano, biola bahkan drum. Dan ketika gue mulai masuk SMA, gue coba ikut band sekolah. Sampai berjalan 3 tahun.
"Arka... Besok sibuk nggak?"
"Iya nih. Kenapa?" Tanya gue agak penasaran.
"Ah... Elo nih, sibuk melulu. Kapan punya waktu kumpul bareng temen-temen?"
"Yah... Sorry banget. Gue udah terlanjur ambil job manggung nih di festival. Lumayan buat bayar SPP."
"Woy... Mikirin apa Lo?" Gue jentikkan jari tepat di depan mukanya.
"Heh... Enggak. Emm gini deh, Ka. Gue boleh ikut Lo manggung nggak?"
"Apa ini? Enggak, enggak! Yang ada nanti lo malah bikin pusing gue. Elo ribet orangnya. Enggak ah. Udah lo di rumah aja."
"Ah nggak asik lo. Gue janji deh nggak bakal ganggu lo. Gue bakal diem," pintanya dengan sedikit memohon.
"Enggak! Sekali enggak ya tetep enggak. Udah ah, gue mau pulang. Persiapan buat besok. Dan lo juga harus pulang. Nggak usah bawel!"
"Ya ampun resek banget nih orang."
"Elo yang resek."
Kejadian di atas adalah momen yang paling gue rindukan sampai detik ini. Apalagi kemarin gue bertemu dengan Naira. Setelah sekian lama. Seandainya momen kemarin menjadi momen baikan gue dengan dia, pasti hari ini akan beda. Mungkin hari ini gue akan nyanyi ditemani oleh dia, atau mungkin juga dia akan kabur lagi seperti dulu. Demi nonton gue nyanyi. Dan ujung-ujungnya gue lagi yang repot.
"Arka hari ini Bunda sama Ayah nemenin kamu ya."
Gue lagi bersiap-siap memasukkan barang ke dalam tas, Slingbag. Lagi-lagi gue teringat Naira. Tas ini gue beli waktu kita berdua jalan-jalan ke salah satu Mall. Saat itu lagi ada diskon besar-besaran karena momen imlek. Saat kita melewati salah satu store, Naira bilang, "Ka, itu cocok deh kayaknya buat lo."
"Apaan?" gue menjawab acuh. Fokus balas chatt dari Niko.
Setelah itu dia narik tangan gue. Langsung mengambil tas itu dan dipasangkan ke badan gue, sambil berkata, "Tuh kan. Cocok banget." awalnya dia mau membelikan tas itu buat gue. Tapi gue tolak. Akhirnya dia ambil dompet gue, dan dia tetap beli tas itu, tapi bayar pakai duit gue sendiri. Hahaha kocak memang anak itu.
"Arkaaaaa. Kamu dengar Bunda nggak sih?"
"Heh, iya iya Bun. Denger kok."
"Apa coba? Bunda tadi ngomong apa?"
Karena memang nggak dengar apa yang dikatakan Bunda, gue Cuma nyengir kuda.
Saat ini yang bisa gue lakuin saat kangen Naira adalah dengan memutar kembali momen-momen ketika kita bersama dulu.