"BRENGSEK!!! KURANG AJAR! MEDIA NGGAK ADA OTAK!" umpatnya di serta dengan membanting koran di meja makan.
Aktivitas sarapan yang seharusnya menjadi momen hangat di pagi hari, berubah menjadi situasi yang panas. Raut wajah yang beberapa pekan terakhir mulai menunjukkan senyum ketenangan, kembali kerung.
"Ada apa Ayah?" Tanya Bunda berlari dari dapur. Bahkan celemek masih menempel di badannya.
Bunda melihat Ayah yang napasnya terengah-engah. Sorot matanya tajam sekali. Gue melihatnya seperti orang kesetanan yang siap menerkam orang lain.
Bunda mengambil koran itu dan membacanya. Headline News. Seorang pengusaha bernama Rasyid Mahendra tersandung kasus Narkoba. Kini nasibnya memprihatinkan. Pengusaha ternama, Rasyid Mahendra dikabarkan bangkrut. Bermain api dengan wanita lain, kini rumah tangga sang pengusaha RM di ujung tanduk. Dan masih banyak lagi berita-berita dengan judul yang menyudutkan Ayah.
Gue pikir setelah kejadian Ayah kehilangan pekerjaannya, Nenek gue meninggal, dan kami kehilangan banyak hal, Keadaan akan membaik dan kami pulih kembali. Tapi ternyata salah. Putaran roda kehidupan masih terus berjalan. Dan kita nggak boleh berhenti mengayuh.
Saat kejadian berlangsung, gue sudah cukup mengerti dengan situasi yang ada. Gue sudah menjadi siswa sekolah menengah pertama, bukan lagi anak kecil yang bisa dibujuk dengan kata-kata menenangkan seperti yang dulu Bunda lakukan. Tanpa Bunda bilang bahwa saat ini Ayah sedang capek pun, gue sudah mengerti itu. Satu-satunya pertanyaan yang muncul di benak gue adalah, siapa yang melakukan semua itu? Apa Ayah selama ini punya musuh? Atau hanya orang yang ingin menghancurkan nama baik yang Ayah bangun selama ini? Entahlah. Rasanya masa kecil gue penuh dengan hal-hal yang unprediction.
Ini adalah hari minggu yang terasa seperti hari Senin. Padahal rencana kita hari ini sebetulnya adalah killing time di mall sepuasnya. Bahkan gue sudah mikir bakal jalan-jalan dari mall buka sampai tutup. Tapi kembali lagi. Apa yang kita rencanakan nggak selalu sejalan dengan kehendak Tuhan. That's Life.
"Ya sudah, sebagai gantinya, gimana kalau kita lari keliling kompleks?" Bunda menawarkan ide sesaat setelah Ayah membatalkan rencana ke mall.
"Boleh juga."
"Ayah gimana?" Tanya Bunda.
"Let's go," ucapnya penuh semangat.
Huh, mendengar jawaban Ayah entah kenapa hati gue rasanya lega banget. Jujur gue takut Ayah seperti dulu lagi. Tapi semoga kali ini enggak. Gue harap begitu.
Lari pagi keliling kompleks bertiga. Gusti ini adalah momen langka. Terlebih setelah banyak kejadian yang nggak diduga sebelumnya. Setidaknya dengan gue di dampingi kedua orang tua gue saat bertemu dengan banyak orang, mereka akan tahu bahwa gue punya keluarga yang lengkap dan dalam keadaan baik-baik saja. Nggak seperti yang tertulis di berita-berita itu. Entah kenapa gue punya pemikiran seperti itu. Gue seperti punya keharusan untuk menjelaskan ke semua orang bahwa berita-berita yang ada di koran itu nggak benar.
Gue melenggang dengan penuh percaya diri. Sebelah kanan ada Bunda dan Ayah ada di sebelah kiri gue. Kita memutuskan untuk joging dan nanti berhenti di taman kompleks. Gue bisa bilang ini adalah hari minggu yang luar biasa. Untuk pertama kalinya gue bisa joging bareng Ayah Bunda.
"Eh Pak Rasyid, gimana pak kabarnya? Sehat?" tanya seorang perempuan yang sedang berdiri di depan gerbang rumah. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia juga baru selesai olahraga.
Kami menghentikan langkah. Ayah menjawab dengan santai, "Eh Anggi. Ya, sehat, sehat. Seperti yang lo lihat. Ini gue lagi joging sama anak istri gue."
Bunda menundukkan kepalanya, lalu menyodorkan tangan untuk berkenalan. Rupanya Bunda juga belum kenal.
"Syafira."
"Anggi."
"Oh iya, saya turut prihatin ya mbak atas kejadian yang menimpa Rasyid."
Meski kaget dengan ucapan Bu Anggi, Bunda berusaha untuk tetap tenang. Bunda hanya membalas dengan senyumannya. Nggak lama setelah itu Bu Anggi pamit untuk masuk ke dalam rumah, karena mau memberi makan anjing kesayangannya. Katanya.
Sambil berlari kecil Ayah menceritakan siapa perempuan bernama Anggi itu. Dia adalah teman kerja Ayah sebelum diberhentikan. Dan dia juga baru pindah sekitar dua bulan yang lalu.
Oh pantes dia tau tentang Ayah.
Di sepanjang jalan Ayah terus bercerita. Tentang masa mudanya hingga beberapa masalah yang beberapa waktu lalu menghampiri. Sesekali Bunda menimpali dengan candaan.
Dari cerita Ayah, gue bisa mengambil kesimpulan bahwa kita memang nggak bisa bergantung sama orang, atau menunggu orang lain berbaik hati menyelamatkan kita. Dan satu lagi. Orang yang paling berpotensi menyakiti kita, adalah orang terdekat. Orang yang terlihat manis di depan, tapi sebenarnya menyimpan bara api yang sewaktu-waktu bisa membakar.
Terlalu asik. Sampai-sampai 30 menit waktu yang kita habiskan untuk berlari nggak terasa sama sekali. Ternyata banyak juga yang olahraga di hari minggu. Banyak anak kecil juga di taman ini.
Sebelum mengistirahatkan kaki setelah berlari, Ayah membeli tiga botol air mineral dan juga beberapa snack.
Disini gue mulai merasa nggak nyaman. Karena beberapa orang mulai berbisik sambil melihat ke arah kita. Pandangan mereka sinis sekali. Terutama kepada Ayah. Kita seolah penjahat yang sedang buron.
"Arka, maafin Ayah ya."
"Maaf untuk apa, yah?"
"Karena sudah bikin Arka dan bunda ada di situasi yang seperti ini."
Bunda memegang tangan Ayah. Seperti mengisyaratkan sebuah kalimat, nggak apa-apa Ayah. Kita akan selalu bersama menemani Ayah. Apa pun keadaannya dan risikonya. Kita akan menghadapinya bersama-sama.
"Ayah malu dengan diri Ayah sendiri. Ayah merasa sudah gagal menjadi orang tua yang baik buat kamu. Karena kelakuan Ayah, kamu, Bunda jadi bahan omongan orang-orang. Padahal kalian berdua nggak tau apa-apa dan nggak ada hubungannya dengan masalah Ayah." Dengan tatapan mata kosong, Ayah begitu menyesali perbuatannya.
"Aya tetep akan jadi Ayah yang hebat di mata Arka. Sampai kapan pun."
Ayah tersenyum menatap mata gue. Di susul Bunda.
Dibalik setiap masalah yang datang, gue tetap bangga punya orang tua seperti Ayah Bunda.
Gue pernah mendengar sebuah kalimat yang berbunyi, 'Selagi kita baik sama orang, kita nggak akan kehabisan koin keberuntungan dalam hidup.' Apa yang dialami Ayah membuat gue sadar akan kalimat itu. Memang, Ayah terkena sial. Ayah tertimpa masalah dan Ayah hancur. Tapi setidaknya dia nggak kehilangan arah. Ayah masih punya Bunda dan gue yang akan selalu ada.