Sudah tiga bulan belakangan ini, gue mulai masuk kuliah. Dan melakoni dua kegiatan sekaligus itu bukan hal yang mudah. Fokus gue jadi terbagi-bagi. Untuk itu gue mulai sedikit mengurangi job manggung. Seperti yang pernah gue bilang, kalau gue nantinya akan fokus pada satu bidang saja. Tapi untuk ke arah situ, pelan-pelan. Karena gue juga belum sepenuhnya rela untuk benar-benar meninggalkan dunia musik yang sangat gue cintai.
Musik itu seperti separuh dari jiwa gue. Bagian dari hidup gue. Saking cintanya dengan musik, gue bahkan rela menunda kuliah biar bisa lebih fokus bermusik. Dan bisa sepenuhnya mendedikasikan tenaga, hati dan pikiran gue dalam bermusik. Mungkin bagi sebagian orang, itu adalah hal yang nggak baik. Tapi itu sesuatu yang nggak patut dicontoh. Karena rules hidup setiap orang beda-beda. Tapi itulah pilihan gue. Meski nggak lama setelah itu, Ayah meminta gue untuk segera lanjut sekolah.
"Pendidikan itu nomer satu. Bermusik itu nomer dua. Mau kamu jadi penyanyi, atau jadi apa pun, yang penting sekolah dulu," Katanya pada saat itu.
Kalau Ayah sudah bersabda, dan Bunda juga setuju, gue semakin nggak bisa menolak. Dan kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan Ayah. Pendidikan itu penting.
Kalau dulu gue manggung hampir setiap hari kecuali sabtu dan minggu. Sekarang terbalik. Gue hanya manggung di hari sabtu dan minggu.
"Gimana, gimana," tanya Ayah saat kami bertiga hendak sarapan.
Bunda menengok, gue pun sama. Hampir berbarengan.
"Apanya yang gimana, Yah?"
"Kuliah kamu itu loh."
"Oh, yaaa baik-baik aja. Nggak gimana-gimana."
Lalu mereka lanjut menyuap nasi.
"Oh iya, Ayah Bunda, tau nggak?"
"Enggak," kata Ayah memotong pembicaraan gue.
"Ya, makanya dengerin dulu. Arka belum selesai ngomongnya, main potong-potong aja."
Bunda hanya tersenyum melihat kelakuan Ayah, yang memang suka usil.
"Ternyata..." tiba-tiba telepon gue berdering. Niko telepon. "Bentar, angkat telepon dulu. Dari Niko, takutnya penting."
Wajah Ayah dan Bunda sudah penasaran sekali. Tapi gue memang sengaja usilin mereka balik, hahaha.
"Anak Bunda tuh. Sukanya bikin penasaran orang," protesnya.
"Eh, anak Ayah juga loh." Bunda nggak terima.
Lalu Ayah tersenyum tipis.
Perdebatan lucu yang akhir-akhir ini mulai sering gue lihat lagi, setelah sekian lama. Tugas Ayah di luar kota juga sudah selesai. Akhirnya keluarga gue utuh kembali.
Setiap hari bisa melihat wajah orang tua dalam keadaan sehat itu nikmat yang luar biasa dari Tuhan. Ayah, meskipun rambutnya sudah mulai muncul uban, yang juga merambah ke jenggot tipisnya, tapi selalu energik. Selalu bisa mencairkan suasana dengan guyonan-guyonannya yang lebih sering garing. Tapi entah kenapa gue selalu ketawa kalau Ayah lagi ngelawak. Mungkin karena penampilannya yang sangat jauh berbeda dengan karakternya. Sekilas orang yang baru kenal pasti akan mengira kalau Ayah adalah orang yang kejam, keras, suka mendikte, atau yang lainnya, karena tatapan matanya yang tajam, memiliki brewok tipis dan postur tubuhnya tinggi. Ayah juga jarang tersenyum. Tapi kalau sudah ngelawak, meskipun nggak lucu, gue selalu ingin tertawa.
"Heh, Arka. Tadi ternyata apa?" tanyanya begitu melihat gue selesai menelepon.
"Ciye, kepo ya?"
"Udah, ayo buruan cerita," kata Bunda, yang ternyata penasaran juga.
"Jadi begini bapak Rasyid dan Ibu Syafira. Ternyata, putra kalian ini butuh yang namanya refreshing. Katanya dia pengen liburan." gue sengaja bercanda dan membuat mereka kesal.
"Kamu tau nggak kalau bohong itu dosa?" kata Ayah.
"Tau dong, yah."
"Nah kalau gitu jangan bohong. Ayo cepetan cerita."
"Astaga Ayah kepo nya melebihi Bunda, loh."
"Arka time is money. Bisa langsung aja nggak ke topik permasalahan. Ayah udah telat ini ke kantor."
Ayah memang beda dari yang lain. Sudah tahu telat, malah ingin mendengarkan gue cerita dulu. Padahal kan bisa nanti sepulang dari kantor. Atau bisa juga via telepon. Tapi memang begitulah Ayah Rasyid. Kalau dia ingin tahu sesuatu, maka akan dia cari tahu sampai dia mendapatkan jawaban. Dan karena itulah, sejak kecil, gue paling nggak bisa bohong sama Ayah. Karena pasti ketahuan.
"Jadi..." gue menggantung kalimat gue. Gue amati kedua wajah menggemaskan itu. Ayah sudah sangat serius dan bersiap mendengarkan lanjutan ucapan gue. Sedangkan Bunda sedikit lebih santai. Bahkan sambil membenarkan tatanan bunga yang ada di meja makan. Kelihatannya sudah ada beberapa yang layu. Pasti nanti akan diganti sama Bunda.
"Jadi, ada dua kabar yang akan Arka sampaikan pagi ini. Ayah mau yang mana dulu?"
"Ya mana Ayah tau. Kamu ini kebanyakan acara deh. Nggak bisa langsung aja, gitu?"
"Ya nggak bisa dong. Ini kan kabar gembira, jadi harus ada effort buat dengerinnya."
Ayah menghembuskan napasnya. Mungkin lama-lama capek juga baginya. Tapi disisi lain dia juga penasaran. Sepertinya Ayah memperhatikan bentuk mimik muka gue dari sebelum gue ada di meja makan. Ayah bisa menebak kalau gue lagi happy banget dari raut wajah gue.
"Kabar yang pertama, deh? Udah ini, Ayah udah pilih yang pertama. Ayo buruan."
"Oke oke. Jadi, kabar pertama adalah, Arka dan Niko udah sepakat akan buka Cafe yang kedua bulan depan."
"Serius, nak? Ih Bunda bangga banget sama kamu," Bunda lalu beranjak dari tempat duduk dan beralih duduk di samping gue.
"Jadi dimana, Ka? Di tempat yang Ayah rekomendasiin, atau kamu sama Niko ada tempat lain yang lebih oke?"
"Kata Niko, sebenernya tempat yang Ayah usulin itu udah bagus. Tapi kurang tepat buat market kita, Yah. Kurang tepat sasaran. Tempatnya juga jauh dari kota. Ya, emang sih, pemandangannya bagus. Tapi kurang tepat untuk Benjiro Cafe."
"Yaudah nggak apa-apa. Kan Ayah Cuma kasih saran aja."
"Terus yang kedua?"
"Yang kedua?"
"Iya. Katamu ada dua kabar."
"Masih mau denger, Yah? Katanya udah telat. Gimana nih ,Bun? Lanjut nggak?"
Bunda melirik Ayah, yang memberi isyarat agar gue cepat melanjutkan cerita. Bunda pun terheran-heran dengan sikap Ayah hari ini.
"oke.. jadi, ternyata Arka satu kampus sama Naira." Gue mengucapkannya dengan nada pelan.
Ayah kaget. Bunda juga kaget. Ini sesuatu yang nggak direncanakan sama sekali sebelumnya. Dan Bunda juga sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara gue dan Naira. Begitu pun dengan Ayah. Tapi meskipun begitu, Bunda masih sering sekali komunikasi dengan Naira.
"Bisa begitu ya?!" kata Bunda.
"Bagi Allah, apa sih Bun, yang nggak mungkin. Sesuatu yang nggak pernah kita inginkan saja, kalau Allah bilang itu untuk kita, kun fayakun, maka terjadilah."
Gue hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Ayah. Benar juga. Tapi ini seperti kebetulan yang disengaja.
"Terus gimana?" tanya Bunda.
"Ya nggak gimana-gimana, Bun. Arka juga baru tahu."
Itu pun gue tahu secara nggak sengaja juga. Karena bertabrakan di parkiran. Kebetulan mobil gue dan mobil si kulkas bersebelahan.