Sebuah hal baru bagi gue ada dalam situasi pelik di usia gue yang baru 8 tahun. Ya, tepat satu tahun setelah gue melihat Ayah yang sering pulang malam dan mabuk. Tahun berikutnya menjadi tahun yang lebih parah lagi. Meski pun pada saat itu gue nggak ngerti apa-apa, tapi gue ingat banyak hal. Gue ingat sekali ketika Ayah seperti orang yang sedang menahan sakit. Ayah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tapi sebagian dirinya menunjukkan kalau dia sedang nggak baik-baik saja.
Allah benar-benar menguji kesabaran Bunda melalui Ayah. Nggak cukup menjadi pemabuk, Ayah juga menjadi pemakai. Seandainya pada saat itu gue paham apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang sudah Ayah lakukan ke Bunda, entah akan sebenci apa gue sama Ayah.
Momen pertama kali melihat Ayah sakau adalah momen paling menakutkan di masa kecil gue. Sorry kalau misalnya gue nggak begitu bisa menggambarkan situasi pada saat itu. Dalam ketakutan, gue melihat ketika Ayah mengerang, berteriak, bahkan membanting apa yang ada di depannya.
Bunda menangis sepanjang Ayah seperti orang gila. Gue keluar dari kamar dan mendekat. Tapi Bunda berteriak katanya jangan. Gue diminta untuk tetap di dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam. Gue melakukannya, tapi disisi lain gue juga khawatir dengan Bunda. Selain itu juga gue masih trauma Ayah kembali kasar ke gue. Seperti waktu itu.
Dari dalam kamar gue berteriak, "Bundaaaa... Arka takut."
"Sayangku, tenang ya. Pokoknya Bunda minta kamu jangan keluar dulu sampe Bunda yabg panggil nanti," teriak Bunda.
Keberuntungan ada di pihak gue. Kebetulan HP Bunda ketinggalan di kamar. Sambil menangis dan masih dalam ketakutan, gue mencoba untuk menghubungi om dan tante. Orang tuanya Halil. Kurang lebih sepuluh menit gue mengutak-atik HP Bunda.
Plaakkk
Suara tamparan keras terdengar. Spontan gue teriak panggil Bunda lagi.
'Bundaaaaa."
Nggak ada jawaban. Gue semakin cemas.
"Bundaa. Bunda dimana?"
Masih nggak ada jawaban. Gue berinisiatif membuka pintu kamar. Dengan niatan ingin mengintip apa yang sudah terjadi. Tapi saat pintu terbuka sedikit, gue nggak lihat Ayah Bunda. Yang gue lihat hanya lantai yang berantakan penuh dengan barang-barang yang pecah.
Dengan langkah kecil dan mengendap gue berusaha mencari Bunda. Ternyata ada di kamar mandi. Dan Bunda lupa menutup pintu sepenuhnya. Dari meja makan, gue lihat Bunda sedang menyiram sekujur badan Ayah. Berkali-kali, sambil bilang, "Sadar Ayah. Sadar."
Arka kecil semakin bingung melihat Ayah yang diam saja saat disiram seperti tanaman.
Kenapa Ayah nggak ngelawan? Dan kenapa Bunda terus-terusan siram Ayah seperti itu?
Nggak lama setelah itu, suara mobil datang. Om dan tante gue sudah sampai. Gue berlari kembali ke kamar. Pura-pura untuk tidur dan nggak tahu semuanya. Tapi nggak bisa. Kenyataannya, gue melihat semua.
Setelah om dan tante datang, gue nggak tahu lagi apa yang terjadi. Karena gue sudah nggak sanggup lagi menyaksikan hal-hal yang membuat gue ketakutan.
๐๐๐
Selain cerita tentang masa kelam keluarga gue dulu. Gue juga akan cerita sedikit tentang masa kecil gue. Tentang suka duka gue menjadi anak tunggal. Banyak yang bilang enak menjadi anak semata wayang. Karena semua perhatian, cinta, kasih sayang orang tua pasti bakal sepenuhnya tercurahkan ke gue. Setelah dewasa gue sadar, sebenarnya masa kecil gue dulu adalah impian banyak anak-anak kecil. Apa pun yang gue ingin, bisa dengan mudah gue dapat. Bahkan segala macam mainan gue punya. Semua fasilitas yang memudahkan aktivitas disediakan. Di samping semua itu, ada 'Tapi' bercetak tebal yang harus digaris bawahi. Dalam hal ini adalah keadaan psikologis yang gue alami. Saat orang tua gue berantem, gue nggak punya saudara yang bisa gue jadikan pelindung. Gue nggak punya kakak yang bisa tenangin gue saat gue ketakutan. Meski punya banyak sekali mainan, tapi gue sering merasa kesepian. Terlebih saat Bunda nggak ada di samping gue.
Setiap pulang sekolah, gue selalu pergi ke perkampungan belakang kompleks. Di sana gue bisa main permainan yang nggak gue dapat di rumah. Gue bisa main enggrang, main petak umpet, bahkan main bola tanpa alas kaki di lapangan seadanya. Tapi gue merasa bahagia. Gue bisa tertawa lepas.
Dan biasanya sebagai imbalan dari kebaikan anak-anak itu, gue sering ajak mereka main ke rumah. Kita semua main mainan di rumah yang gue punya. Dan gue inget banget apa yang keluar dari mulut Umar, saat pertama kali gue ajak ke rumah. Dia bilang begini,
"Waaaahhh gede banget ya Ka rumah kamu." Setelah itu badannya berputar melihat setiap sudut rumah.
"Mainan kamu banyak banget, Arka," ucap Aldo setelah gue ajak mereka semua masuk ke ruang bermain.
"Enak banget ya, kamu bisa beli mainan apa pun yang kamu mau," kata Raka.
"Kalian bisa main mainan yang ada disini. Nanti sore aja pulangnya. Oke?"
Mendengar ucapan itu, seperti mendapat rejeki nomplok di siang hari. Tanpa diberi aba-aba, semua langsung bergerak mencari mainan yang menarik perhatian.
"Nanti kalau Bapak sama Ibu nyariin, gimana?" tanya Zaki.
Lalu semuanya terdiam. Saling berpandangan satu sama lain. Seperti baru ingat kalau mereka semua belum ijin ke rumah gue. Dan karena gue nggak mau mereka pulang, gue langsung bilang, "Yaudah nggak apa-apa, nanti Pak Amir yang akan kasih tau kalau kita lagi main di sini."
Mereka mengangguk setuju dan gue keluar kamar, pura-pura nyamperin Pak Amir. Padahal gue ke dapur untuk ambil sedikit kue di kulkas.
Pada hari itu rumah lagi kosong. Bunda lagi pergi. Gue lupa saat itu Bunda pergi kemana. Yang jelas hanya ada Pak Amir, sopir pribadi Bunda dan juga gue. Dan kebetulan Art juga nggak ada yang betah kerja sama keluarga gue. Mungkin karena nggak sanggup melihat keadaan rumah yang seperti neraka.
Dulu gue masih belum paham, Keadaan yang gue alami. Perasaan seperti apakah yang muncul setiap kali gue ajak teman-teman gue main ke rumah atau setiap gue main ke tempat mereka. Saat itu yang gue rasain adalah rasa aneh. Dan selalu muncul pertanyaan di benak gue. Kayak, kenapa mereka ingin menjadi seperti gue? Sedangkan gue ingin menjadi seperti mereka, gue ingin ada di posisi mereka. Situasi yang baru gue pahami saat gue sudah beranjak dewasa dan mulai mengenal lingkungan sekitar. Seandainya saat itu gue bisa mengungkapkan apa yang ada di hati gue, gue pasti akan bilang ke Ayah Bunda, kalau gue jauh lebih butuh kehangatan keluarga. Keharmonisan Ayah sama Bunda. Gue lebih butuh limpahan kasih sayang mereka ketimbang limpahan materi. Karena sebanyak apa pun mainan yang gue punya, gue tetap merasakan sepi. Ayah yang sibuk kerja. Pulang larut malam dan berteriak ke Bunda, memukul Bunda. Atau Bunda yang kadang sibuk dengan teman-teman arisannya. Sedangkan gue? Bermain bersama Pak Amir.
Pak Amir ini orangnya sabar banget. Gue juga sering di ajak ke rumahnya. Bertemu dengan Emak, Bapaknya. Yang gue panggil Uti dan Kung. Setiap kali gue datang, mereka selalu menyambut gue dengan hangat. Peluk gue dan langsung bawa gue ke dalam rumah. Dan biasanya sudah tersedia nasi beserta dengan lauknya. Kita makan bareng. Nggak ada meja makan seperti di rumah. Hanya ada dipan yang diberi alas tikar dari daun pandan. Beserta menu yang sederhana. Seperti tahu, tempe, sayur asem dan sambal terasi. Tapi terasa nikmat sekali. Semua duduk membundar. Saling bercanda, bercerita. Bahkan Uti secara bergantian suapin gue setelah menyuap dirinya sendiri.
Sesuatu yang seharusnya gue dapat dari keluarga gue sendiri, malah gue dapat dari orang lain.
Mereka semua adalah orang-orang terbaik dalam hidup gue. Sampai sekarang pun gue masih ingat mereka semua. Iya, meskipun gue udah lost contact sama mereka, karena kepindahan gue waktu itu. Maka dari itu izinkan gue menyapa sohib-sohib gue itu.
Hai Raka, Zaki, Beni, Umar, si kembar Aldo dan Aldi. Kalian apa kabar? Gue rasa baik-baik aja sih ya wkwkwk. Kalian kan superman hahaha seperti permainan yang sering kita mainkan dulu. Menjadi superman ala kadarnya. Kalian kalau seandainya baca buku gue ini. Sorry ya, gue ceritain masa kecil kita dulu tanpa ijin ke kalian. Tapi tenang hanya sekilas kok, nggak semuanya. Dan gue rasa Kalian pasti fine-fine aja sih. Ya, kita tau lah, gimana masa kecil kita dulu. Makanya udah gue saring dulu, cerita mana aja yang bisa diketahui banyak orang. Dan bagian mana yang Cuma kita aja yang tahu hahaha. Pasti Kalian semua udah pada sukses ya, sekarang. Gue harap dan gue doain begitu. Oh ya, kalau misal beneran ada salah satu diantara kalian baca tulisan gue, jangan lupa contact gue ya. Kayaknya kita perlu reunian nih bro hahaha. Nanti kita main bola bareng lagi. Karena kalau main petak umpet atau kelereng kan udah nggak mungkin lagi ya. Jadi kita main bola atau main futsal bareng. Salam sukses dari gue untuk kalian, Raka, Beni, Zaki, Aldo, Aldi dan Umar. Semoga kita bisa jumpa lagi. Dan untuk Pak Amir beserta Uti dan Kung yang paling Arka sayangi. Cuma satu sih harapan dan keinginan gue. Pak Amir, Arka ingin ketemu lagi sama kalian. Semoga kalian dalam keadaan sehat dan masih ingat Arka. Salam sayang untuk keluarga kedua gue, Pak Amir, Uti dan Kung.